Anda di halaman 1dari 33

Ujian Kasus

SEORANG LAKI-LAKI50TAHUN DENGANHEMIPARESE DEKSTRA,


AFASIA MOTORIK, PARESE N VII DEXTRA UMNET CAUSASTROKE
NON HEMORAGHIC

Oleh :
Rifaatul Mahmudah G99152107
Artrinda A.K.S.P G99152110
Aprillio Bagas S G99152099

Pembimbing :
dr.Yunita Fatmawati Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. T
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengepul sampah
Alamat : Ponorogo, Jawa Timur
Status : Menikah
Masuk Rumah Sakit: 13 Januari 2017
Tanggal Periksa : 17 Januari 2017
No RM : 01365485xx

B. Keluhan Utama :
Nyeri punggung
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri punggung. Anggota gerak lemah sejak tiga hari yang lalu.
Pasien merupakan konsulan dari Ilmu Penyakit saraf. Pasien datang ke IGD RSUD
Dr. Moewardi dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak kanan sejak 3,5 jamSMRS.
Keluhan dirasakan muncul tiba-tiba di pagi hari saat pasien sedang menonton tv.Pasien juga
tidak dapat bicara sejak 5 jam SMRS. Keluhan tidak bisa bicara muncul tiba-tiba bersamaan
dengan kelemahan anggota gerak kanan. Keluhan ini membuat pasien sulit diajak
komunikasi oleh keluarganya. Nyeri kepala disangkal. Muntah disangkal.Keluhan kejang
disangkal. Wajah merot ke sisi kiri. Makan dan minum tidak tersedak. BAB dan BAK
dalam batas normal.
Saat ini pasien membutuhkan bantuan untuk beraktivitas, seperti makan, BAB, BAK,
mandi, berganti pakaian, dan berpindah tempat.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

2
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat merokok : disangkal
Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang
Riwayat nutrisi : pasien makan 3x sehari menggunakan lauk dan sayur,
kadang mengkonsumsi buah.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Saat ini pasien sudah tidak bekerja lagi. Pasientinggal serumah dengan istri, anak,
menantu, dan cucunya. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum tampak sakit sedang, GCS E4VxM6
BB : 60 kg
TB : 166 cm
IMT : 21.78 (normoweight)
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi ` : 96 x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 20x/menit

3
Suhu : 36,50C (per aksiler)
VAS : sde
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-), spider naevi (-), striae
(-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
D. Kepala
Bentukmesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam beruban, tidak
mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/
+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah
(-), oral hygienecukup.

I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-),
benjolan (-)
J. Thoraks
Retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri (statis dan dinamis), gerakan
paradoksal (-)
4
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :suara dasar (vesikuler/vesikuler), suara tambahan (-/-)
K. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal, 12 x per menit
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien kesan normal
L. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
- -
- -

M. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : laki-laki, tampak sesuai umur, berpakaian rapi, perawatan cukup
2. Kesadaran : Kuantitatif : E4VxM6 (kesan afasia motorik)
Kualitatif : tidak berubah
3. Perilaku dan aktivitas motorik : normoaktif
4. Pembicaraan : kesan afasia motorik
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif, kontak mata cukup

Afek dan Mood


- Afek : normoafek
- Mood : sde
Gangguan Persepsi
- Halusinasi : sde
- Ilusi : sde
Proses Pikir
- Bentuk : sde
- Isi : sde

5
- Arus : sde
Sensorium dan Kognitif
- Daya konsentrasi : sde
- Orientasi : Orang : sde
Waktu : sde
Tempat : sde
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : sde

N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4VxM6
Fungsi Luhur : kesan afasia motorik

Meningeal Sign
- Kaku kuduk : -
- Brudzinksi I-II : -
- Laseque :-
- Kernig :-
Fungsi Sensorik
- Rasa Ekseteroseptik Lengan Tungkai
Nyeri sde sde
Rabaan sde sde
- Rasa Propioseptik Lengan Tungkai
Rasa Posisi sde sde
Rasa Nyeri Tekan sde sde
Rasa Nyeri Tusuk sde sde
- Rasa Kortikal
Stereognosis : sde
Barognosis : sde
Pengenalan 2 titik : sde
Fungsi Motorik dan Reflek :
Kekuatan Tonus RF RP
HT
2 5 n +2 +2 -
+
Bab
3 5 n +2 +2 -
+

6
NervusCranialis
Nervus II, III : pupil isokor (3 mm/ 3mm), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+)
Nervus III,IV,VI : dalam batas normal
Nervus V : reflek kornea (+/+)
Nervus VII : parese dekstra UMN
Nervus VIII : dalam batas normal
Nervus IX, X : uvula simetris, refleks muntah (+), disfagia (-)
Nervus XI :otot sternokleidomastoideus dan trapezius dalam batas normal
Nervus XII : parese dekstra UMN
Fungsi Otonom : terpasang DC

O. Range of Motion (ROM) dan MMT


ROM
NECK MMT
Pasif Aktif
Fleksi 0 - 70 0 - 70 5
Ekstensi 0 - 40 0 - 40 5
Lateral bending 0 - 60 0 - 60 5
kanan
Lateral bending kiri 0 - 60 0 - 60 5
Rotasi kanan 0 - 90 0 - 90 5
Rotasi kiri 0 - 90 0 - 90 5

ROM Pasif ROM Aktif MMT


Ektremitas Superior Dekst Sinist Dekst Sinistr D S
ra ra ra a
Fleksi 0-90 0-90 0 0-90 2 5
Ektensi 0-50 0-50 0 0-50 2 5
Abduksi 0-180 0-180 0 0-180 2 5
Adduksi 0-75 0-75 0 0-75 2 5
Shoulder Eksternal 0-90 0-90 0 0-90 2 5
Rotasi
Internal 0-90 0-90 0 0-90 2 5
Rotasi
Fleksi 0-150 0-150 0 0-150 2 5
Ekstensi 0- 0- 0 0-180 2 5
Elbow 180 180
Pronasi 0-90 0-90 0 0-90 2 5
Supinasi 0-90 0-90 0 0-90 2 5
Wrist Fleksi 0-90 0-90 0 0-90 2 5

7
Ekstensi 0-70 0-70 0 0-70 2 5
Ulnar Deviasi 0-30 0-30 0 0-30 2 5
Radius 0-20 0-20 0 0-20 2 5
deviasi
Finger MCP I Fleksi 0-50 0-50 0 0-50 2 5
MCP II-IV 0-90 0-90 0 0-90 2 5
fleksi
DIP II-V 0-90 0-90 0 0-90 2 5
fleksi
PIP II-V 0-100 0-100 0 0-100 2 5
fleksi
MCP I 0-30 0-30 0 0-30 2 5
Ekstensi

ROM Pasif ROM Aktif MMT


Ektremitas Inferior Dekst Sinist Dekst Sinistr D S
ra ra ra a
Fleksi 0-120 0-120 0 0-120 3 5
Ektensi 0-30 0-30 0 0-30 3 5
Abduksi 0-45 0-45 0 0-45 3 5
Hip
Adduksi 0-45 0-45 0 0-45 3 5
Eksorotasi 0-30 0-30 0 0-30 3 5
Endorotasi 0-30 0-30 0 0-30 3 5
Fleksi 0-120 0-120 0 0-120 3 5
Knee Ekstensi 0- 0- 0 0-180 5
3
180 180
Dorsofleksi 0-30 0-30 0 0-30 3 5
Plantarfleksi 0-30 0-30 0 0-30 3 5
Ankle
Eversi 0-50 0-50 0 0-50 3 5
Inversi 0-40 0-40 0 0-40 3 5

P. Status Ambulasi
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity Score
Feeding
0 = unable 5
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 0
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming

8
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 0
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 0
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 10
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani 0
sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 0
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 0
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 0
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable 0
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 15
(Dependen
Total)

Skor Resiko Jatuh dengan Morse Fall Scale


Activity Score
1. Riwayat jatuh 0
2. Mempunyai diagnosis sekunder (endak nol ya? 15
Sekundernya apa sih? Hehe)
3. Menggunakan alat bantu 0
4. Terapi intravena 20
5. Gaya berjalan 0
9
6. Status mental 0
Total 35
Skor 35 (resiko rendah)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah (13 Januari 2016)
Hasil Satuan Rujukan
KIMIA KLINIK
Hb 14.3 g/dl 13.5-17.5
HCT 44 33-45
AE 4.91 106/l 4.50-5.90
AL 12.9 103/l 4,5-11.0
AT 198 103/l 150-450
HEMOSTASIS
PT 14.2 detik 10.0-15.0
APTT 20.6 detik 20.0-40.0
INR 1.170
KIMIA KLINIK
GDS 110 mg/dL 60-140
Ureum 27 mg/dL <50
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.8-1.3
SGOT 18 U/L <35
SGPT 19 U/L <45
Albumin 3.7 g/dl 3.2-4.6
HbA1c 5.7 % 4.8-5.9
GDP 94 mg/dL 70-110
G2PP 88 mg/dL 80-140
Asam Urat 4.6 mg/dL 2.4-6.1
Cholesterol Total 310 mg/dL 50-200
Cholesterol LDL 234 mg/dL 89-197
Cholesterol HDL 52 mg/dL 28-63
Trigliserida 101 mg/dL <150
ELEKTROLIT
Na darah 137 mmol/ L 132-146
K darah 4.0 mmol/ L 3.7-5.4
Cl darah 102 mmol/ L 98-106
SEROLOGI
HBsAg Rapid Nonreactivee Nonreactive

10
11
B. MSCT Scan Kepala Tanpa Kontras (13 Januari 2017)

Tak ampak lesi hipodens/hiperdens


Tak tampak midline shifting
Sulci dan gyri normal
Sistem ventrikel dan sistemanormal
Pons, cerebellum, dan cerebellopontine angle normal
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Orbita, sinus paranasalis, dan mastoid kanan kiri normal
12
Craniocerebral space tak tampak melebar
Calvaria intak
Kesimpulan:
Tak tampak perdarahan, infark, maupun edema cerebri.

C. Foto Rontgen Thorax PA (13 Januari 2017)

Cor:Besar dan bentuk kesan normal


Paru:tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovaskular normal
Sinus costrophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan:
Cord dan Paru tak tampak kelainan

III. ASSESSMENT
Klinis : hemiparese dekstra,afasia motorik, parese N.VIIdekstra UMN
Topis : Sub Cortex Dextra
Etiologis : Stroke Infark Trombotik

IV. DAFTAR MASALAH


Masalah Medis Hemiparese dekstra, parese N.VII
dekstra UMN, parese N.XII dekstra
UMN
Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi Pasien mengalami kelemahan

13
ekstremitas kanan
2. Speech Terapi Pasien mengalami gangguan berbahasa
(afasia motorik)
3. Okupasi terapi Pasien tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari secara mandiri
4. Sosiomedik Memerlukan bantuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari
5. Ortesa-protesa (-)
6. Psikologi Beban pikiran penderita dan keluarga
dalam menghadapi penyakit penderita

V. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa :
1. Head up 30o
2. Diet bubur 1700 kkal
3. Infus asering 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam iv
5. Injeksi Citicolin 250mg /12 jam
6. Injeksi Neulin DS 250mg /12 jam

Rehabilitasi Medik:
1 Fisioterapi :
Proper bed positioning
Breathing exercise
AAROM exercise pada angggota gerak atas dextra
AROM exercise pada anggota gerak bawah dextra
Strengthening exercise
Mobilisasi bertahap sesuai kondisi
2 Okupasi Terapi
ADL exercise
3 Terapi Wicara :
Oromotor exercise
Latihan stimulasi wicara

VI. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP

14
a. Impairment
Hemiparese dekstra, parese N.VIIdan N XII dekstraUMN,
b. Disabilitas
Penurunan fungsi anggota gerak sebelah kanan, terjadi disabilitas personal dengan skor
ADL 15 (dependen total) pada makan, mandi, perawatan diri, berpakaian, masih
menggunakan kateter, belum dapat ke kamar mandi, menaiki tangga dan berjalan jauh.
c. Handicap
Gangguan berinteraksi dengan masyarakat luas, keterbatasan menghadiri acara sosial
seperti pengajian, pertemuan warga, dsb.

VII. PLANNING
Planning Diagnostik : -
Planning Terapi : -
Planning Edukasi : Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan rehabilitasi medik
yang dilakukan, edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk
melakukan terapi
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi wicara, terapi okupasi, danfisioterapi

VIII. TUJUAN
A Jangka pendek
1 Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
2 Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3 Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot
4 Meningkatkan dan memelihara ROM
5 Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang diderita pasien

B Jangka panjang
1 Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut,

tetapi juga fase kronik.


2 Minimalisasi impairment dan disabilitas pada pasien
3 Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama seperti ulkus decubitus,
pneumonia, atrofi otot, hipotensi ortostatik dan lain sebagainya.

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia adbonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I DEFINISI
Stroke sudah lama digolongkan sebagai defisit neurologis yang dihubungkan dengan
kerusakan fokal akut terhadap sistem saraf pusat yaitu otak akibat gangguan vaskuler seperti
infark serebri, perdarahan subarakhnoid, dan perdarahan intraserebri yang menjadi penyebab
utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia (Sacco et al., 2013). Menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2006, stroke adalah gangguan fungsi otak fokal atau global
dengan gejala klinis mendadak dan terjadi selama lebih dari 24 jam yang tidak lain
diakibatkan oleh gangguan vaskular serta bisa berujung terhadap kematian.
II EPIDEMIOLOGI
Stroke menempati peringkat keempat sebagai penyebab kematian di dunia setelah
penyakit jantung, kanker, dan infeksi saluran pernapasan bawah kronis. Dari semua kejadian
stroke, 87% kasus adalah stroke iskemik, 10% kasus adalah stroke hemoragik intraserebral,
dan 3% kasus adalah stroke hemoragik subarakhnoid (Go et al., 2013). Dari Survey ASNA
di 28 RS seluruh Indoneisia, diperoleh gambaran bahwa penderita laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah
54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5%. Data-data lain dari ASNA Stroke Collaborative
Study diperoleh angka kematian sebesar 24,5% (Misbach et al., 2007).
Stroke adalah penyebab utama disabilitas jangka panjang di Amerika Serikat.Di
antara pasien stroke iskemik yang berusia 65 tahun, disabilitas yang dapat diamati pada 6
bulan setelah stroke di antaranya adalah 50% memiliki beberapa hemiparesis, 46% memiliki
defisit kognitif, 35% memiliki gejala depresi, 19% memiliki afasia, dan 26% aktivitas
kehidupan sehari-harinya bergantung pada orang lain. Dari sudut pandang neuropsikiatri,
depresi pasca stroke adalah komplikasi yang sering timbul (Loubinoux, 2012). Sepertiga
dari orang yang memiliki stroke menderita depresi setelah 1-6 bulan (Townend, 2010).
Depresi pasca stroke akan berdampak juga terhadap gangguan kognitif, peningkatan
mortalitas, risiko jatuh, peningkatan disabilitas, dan memperburuk hasil dari rehabilitasi
(Srivastava, 2010).
III FAKTOR RISIKO
Menurut Setyopranoto (2011) dalam artikel Cermin Dunia Kedokteran (CDK), faktor
risiko stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1 Faktor risiko yang bisa dikendalikan:
a Hipertensi
b Penyakit jantung

16
c Fibrilasi atrium
d Endokarditis
e Infark miokard
f Merokok
g Anemia sel sabit
h Transient Ischemic Attack (TIA)
i Diabetes Mellitus
j Stenosis Karotis Asimtomatik
k Hiperhomosisteinemia
l Obesitas
m Inaktifitas fisik
n Konsumsi obat
o Dislipidemia
p Stress psikologis
2 Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan
a Usia
b Jenis kelamin
c Herediter
d Ras dan etnis
e Geografi

Autoregulasi Otak
Autoregulasi otak yaitu kemampuan darah arterial otak untuk mempertahankan
aliran darah otak tetap meskipun terjadi perubahan pada tekanan perfusi otak. Dalam
keadaan fisiologis, tekanan arterial rata rata adalah 50 150 mmHg pada penderita
normotensi. Pembuluh darah serebral akan berkontraksi akibat peningkatan tekanan darah
sistemik dan dilatasi bila terjadi penurunan.Keadaan inilah yang mengakibatkan perfusi otak
tetap konstan. Autoregulasi masih dapat berfungsi baik, bila tekanan sistolik 60 200
mmHg dan tekanan diastolik 60 120 mmHg. Dalam hal ini 60 mmHg merupakan ambang
iskemia, 200 mmHg merupakan batas sistolik dan 120 mmHg adalah batas atas diastolik.
Respon autoregulasi juga berlangsung melalui refleks miogenik intrinsik dari dinding
arteriol dan melalui peranan dari sistem saraf otonom (Guyton & Hall, 2006).
Metabolisme Otak
Otak dapat berfungsi dan bermetabolisme tergantung dengan pemasukan oksigen.
Pada individu yang sehat pemasukan oksigen sekitar 3,5 ml/100 gr/menit dan aliran darah
otak sekitar 50 ml/100 gram/menit. Glukosa merupakan sumber energi yang dibutuhkan
otak, bila dioksidasi maka akan dipecah menjadi CO2 dan H2O. Secara fisiologis 90%
glukosa mengalami metabolisme oksidatif secara komplit, 10% yang diubah menjadi asam
piruvat dan asam laktat (metabolisme anaerob). Bila aliran darah otak turun menjadi 20 25
ml/100gram otak/ menit maka akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi ke
jaringan otak sehingga fungsi-fungsi neuron dapat dipertahankan (Guyton & Hall, 2006).
IV KLASIFIKASI
17
Stroke adalah penyakit yang bersifat heterogen dengan lebih dari 150 kemungkinan
penyebab. Pengklasifikasian stroke memiliki banyak tujuan seperti mendeskripsikan
karakteristik pasien, melakukan studi epidemiologi sesuai pengelompokkannya, melakukan
studi genetik dan menentukan terapi sesuai klasifikasi. Sesuai etiologinya, stroke dibagi
menjadi 5 kategori utama (Amarenco et al., 2009), yaitu:
1 Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi apabila terdapat trombosis, emboli, dan infark lakunar.
Obstruksi aterosklerotik membentuk trombosis pada arteri besar serebri maupun
servikal yang berujung pada iskemi di wilayah yang arterinya terdapat oklusi.
Sedangkan emboli merupakan sumbatan yang terbawa dari arteri atau tempat lain
semisal arteri karotis atau katub jantung (WHO, 2006). Infark lakunar terjadi setelah
oklusi aterotrombotik dan penebalan lipohialinolitik yang kemudian membentuk
infark-infark kecil (Hartwig, 2006).
2 Stroke hemoragik intraserebral
Stroke hemoragik diakibatkan adanya perdarahan langsung ke arah atau di
sekitar otak dan menghasilkan gejala neurologis dari efek toksik darah tersebut atau
karena adanya peningkatan tekanan intrakranial (Smith et al., 2008).
3 Stroke hemoragik subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid memiliki dua kausa utama yaitu rupturnya suatu
aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan tersebut menjadi sangat hebat dan
ekstravasasi ke ruang subarakhnoid, yaitu ruang yang terdapat di antara
arakhnoideamater dan piamater dari otak atau sumsum tulang belakang (Hartwig,
2006).
4 Trombosis vena serebri
Stroke yang diakibatkan oleh trombosis vena serebri melibatkan sinus vena
intrakranial, sistem vena dalam, dan vena kortikal yang mengalir ke sinus
intrakranial utama. Oklusi struktur vena dapat menyebabkan beberapa mekanisme
cedera otak seperti iskemi atau infark jaringan dan petekie atau bercak perdarahan
pada intrakranial maupun subarakhnoid. Gangguan drainase vena menyebabkan
edema fokal dan meningkatkan tekanan intrakranial (Sacco et al., 2013).
5 Stroke sumsum tulang belakang
Stroke sumsum tulang belakang merupakan kondisi yang langka apabila
dibandingkan dengan stroke serebri. Stroke sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh gangguan akut suplai darah ke sumsum tulang belakang akan
mengakibatkan iskemi, infark, dan disfungsi sumsum tulang belakang. Defisit
neurologis pada stroke sumsum tulang belakang terkait dengan wilayah suplai darah
arteri beserta cabangnya (Romi & Naess, 2011).
18
Menurut Marshall dalam Misbach dan Jannis (2011), stroke dapat diklasifikasikan
menjadi :

1 Berdasarkan patologi anatomi dan etiologi

a Stroke Iskemik

1 Transient Ischemic Attack (TIA)

2 Trombosis serebri

3 Emboli serebri

b Stroke Hemoragik

1 Pendarahan intra serebral

2 Pendarahan subarachnoid

2 Berdasarkan stadium atau waktu

a Transient Ischemic Attack (TIA)

b Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

c Progressing stroke atau stroke in evolution

d Completed stroke

3 Berdasarkan sistem pembuluh darah

a Sistem karotis

b Sistem vertebro-basilar

V PATOFISIOLOGI
1 Trombosis (penyakit trombo - oklusif):
19
Merupakan penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis serebral dan
perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis selebral. Tanda-tanda
trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa
pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa awitan umum
lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan
bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului
awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteria
besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel sel
ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen
pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada
percabangan atau tempat tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan
tempat tempat khusus tersebut. Pembuluh pembuluh darah yang mempunyai resiko
dalam urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut: arteria karotis interna,
vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan
ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan
dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin
difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas
dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria
itu akan tersumbat dengan sempurna.
2 Embolisme:
Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita
trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung,
sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung.
Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan
menyumbat bagian bagian yang sempit. Tempat yang paling sering terserang embolus
sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.
3 Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus
GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua
kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri
serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini mengiritasi
jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan.
Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah

20
yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil.
Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat
membengkak dan mengalami nekrosis. Stroke iskemik akut hasil dari oklusi vaskuler
sekunder akibat penyakit tromboemboli. Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan
menipisnya adenosin trifosfat selular (ATP). Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk
mempertahankan gradien ionik melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya
ion natrium dan kalsium dan aliran pasif air ke dalam sel memimpin timbulnya edema
sitotoksik. Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis
serebri, emboli serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah
obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah
lokal. Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem
vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran
darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena
kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik (Jauch, 2015).
VI TATALAKSANA
Penatalaksanaan stroke iskemik trombotik berdasarkan waktunya meliputi fase
prehospital, fase akut, fase perawatan dan fase pemulihan/rehabilitasi. Pada fase prehospital
diperlukan pendekatan diagnosis secara klinis serta mengatasi kegawatan (primary survey),
selain itu diperlukan sistem transportasi dan rujukan yang baik untuk mengantarkan
penderita ke pusat kesehatan secepat mungkin. Berdasarkan guideline PERDOSSI tahun
2011 penatalaksanaan stroke fase akut antara lain:
1 Evaluasi cepat dan diagnosis: berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis, skala stroke dengan NIHSS.
2 Terapi umum/suportif:
a Stabilitas jalan nafas dan pernafasan: dianjurkan memantau terus status neurologis,
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dalam 72 jam pada pasien
dengan defisiti neurologis yang nyata. Pemberian oksigenasi dianjurkan pada
keadaan saturasi <95% (bila pasien stroke trombotik non hipoksia tidak perlu
tambahan oksigen). Intubasi ETT diperlukan pada pasien hipoksia (pO2 < 60 mmHg
atau pCO2> 50 mmHg), syok, atau pada pasien yang berisiko aspirasi. Bila perlu
dilakukan trakeostomi bila pemakaian ETT lebih dari 2 minggu.
b Stabilisasi hemodinamik: infus kristaloid/koloid, pemasangan central venous
catheter dan dijaga tekanannya 5-12 mmHg, pemantauan tekanan darah optimal 140-
220 mmHg untuk stroke trombotik fase akut, monitoring jantung pada 24 jam
pertama, bila ada penyakit jantung kongestif segera mengatasinya, hipotensi arterial,
hipovolemia.
21
c Pemeriksaan awal fisik umum: tekanan darah, pemeriksaan jantung, pemeriksaan
neurologis umum awal (derajat kesadaran, pupil dan okulomotor, keparahan
hemiparesis).
d Pengendalian tekanan intra kranial (TIK): pemantauan ketat terhadap edema serebral
terutama 24 jam pertama pasca stroke dengan melihat perburukan neurologis,
terutama penderita dengan GCS <9 dipasang monitor TIK dengan sasaran terapi <20
mmHg dan CPP> 70 mmHg. Pada penderita dengan kenaikan TIK, posisi kepala 20-
30o, hindari penekanan vena jugularis, hindari hipotermi, jaga norovolumi,
osmoterapi dengan mannitol 0,25-0,5 g/kgBB selama 20 menit diulang tiap 4-6 jam.
e Pengendalian suhu tubuh: pemberian asetaminofe 650 mg bila suhu > 38,5 oC,
pemeriksaan hapusan dan kultur bila dicurigai ada infeksi.
f Pemeriksaan penunjang: EKG, kimia darah, fungsi ginjal, hemtologi, faal
hemostasis, glukosa darah, analisis urine, analisis gas darah, serum elektrolit, foto
rontgen dada, CT Scan tanpa kontras.
Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam penatalaksaaan stroke. Agen
trombolitik digunakan untuk memicu tingkat reknalisasi endogen sehingga terjadi reperfusi
jaringan. Berdasarkan guideline stroke PERDOSSI syarat pemberian tPA adalah hanya
diberikan pada 3 jam pertama sejak serangan, tidak ada serangan stroke maupun trauma
pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah sistolik < 185 mmHg sedangkan menurut The
European Cooperative Acute Stroke Study, penggunaan trombolitik dalam 4,5 jam masih
bermanfaat dan aman.
Risiko perdarahan meningkat pada penggunaan tPA di atas 6 jam sejak serangan,
diduga karena terbentuknya porous pada blood brain barier. Risiko perdarahan diduga
meningkat berhubungan dengan peningkatan usia, perubahan iskemi awal pada CT scan,
peningkatan tekanan darah dan gula darah.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan terjadinya
edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular lebih lanjut dan
terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan tetapi, disisi lain, penurunan
tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan penurunan perfusi serebral sehingga
kerusakan daerah iskemik di otak akan menjadi semakin luas. Terlebih pada hipertensi
kronik dengan kurva perfusi (tekanan darah aliran darah ke otak) bergeser ke kanan,
Penurunan tekanan darah pada kondisi seperti ini akan semakin mengakibatkan penurunan
perfusi serebral. Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu, penurunan tekanan darah pada
pasien stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien, menimbulkan kecacatan dan

22
kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke tahun 2011
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada
stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan, karena kemungkinan dapat
memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun
dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Guideline stroke
tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini :
1 Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik > 220
mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang
diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik diturunkan hingga < 185 mmHg
dan tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan adalah
Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau Diltiazem intravena.
2 Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik > 200
mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu dengan pemantauan
tekanan darah setiap 5 menit.
3 Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan
intrakranial, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral >
60 mmHg.
4 Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan
pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah
160/90 mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole hingga
140 mmHg masih diperbolehkan.
5 Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah
terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid
akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 160 mmHg.
Sedangkan tekanan darah sistole 160 180 mmHg sering digunakan sebagai target
23
tekanan darah sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini
bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan
vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.
6 Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah
dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya
diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 25% pada jam pertama dan tekanan
darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
7 Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat berakibat
meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi perdarahan,
sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan perdarahan ulang
dan semakin luasnya hematoma (perdarahan).
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-hati.
Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kerusakan
semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh karena itu,
pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat dititrasi dengan
mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman penurunan tekanan darah
pada stroke akut adalah sebagai berikut :
1 Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting agent).
2 Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah
3 Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat mengakibatkan
penurunan aliran darah otak
4 Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)
5 Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan dicapai.
Penatalaksanaan fase perawatan menurut Guideline PERDOSSI antara lain:
1 Cairan
a Infus cairan isotonis, dijaga euvolemi dengan CV 5-12 mmHg
b Rata-rata kebutuhan cairan 20 cc/kgBB/hari.
c Balance cairan
d Mengkoreksi kelainan elektrolit dan asam basa darah
e Cairan hipotonis yang mengandung glukosa dihindri kecuali dalam keadaan
hipoglikemia.
2 Nutrisi
a Nutrisi parenteral sebaiknya diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi diberikan bila
fungsi menelan sudah baik.
b Nutrisi yang diberikan pada masa akut adalah sebesar 25-30mg/kgBB/hari.
c Apabila diperkirakan pemasangan nasogastrik tube melebihi 6 minggu sebaiknya
dilakukan gastrostomi.
3 Pencegahan dan komplikasi

24
Komplikasi sub akut yang sering terjadi antara lain aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, deep vein thrombosis, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
kontraktur. Untuk itu perlu dilakukan mobilisasi terbatas, penggunaan antibiotik sesuai
kultur, bila perlu menggunakan kasur anti dekubitus. Pasien dengan risiko DVT perlu
diberi heparin subkutan atau LMWH atau heparinoid. Pada pasien dengan risiko DVT
yang tidak dapat menggunakan obat anti koagulan, sebaiknya menggunakan stocking
eksternal atau aspirin.
4 Penatalaksanaan medik lain
Penatalaksanaan medik lain antara lain menjaga kadar glukosa darah tetap normal,
analgesik dan antiemetik digunakan sesuai indikasi, perdarahan lambung dapat diberikan
antihistamin 2.

Untuk menghindari serangan ulang, pada penderita dengan stroke minor/TIA


memerlukan prevesi sekunder dengan obat antiplatelet, obat antihipertensi, statin,
antikoagulan, serta carotid enderectomy untuk pasien tertentu. Obat antiplatelet, Aspirin,
harus diberikan dalam waktu 7 hari sejak terapi awal. Selain itu modifikasi gaya hidup
bebas alkohol, berhenti merokok, olahraga, diet juga berperan untuk mengurangi risiko
stroke.
Penanganan stroke iskemi pada sistem saraf bertujuan untuk mencegah injury
karena iskemia awal dan menghindari reperfusi injury. Reperfusi dapat menyebabkan
iskemi sekunder karena masuknya sel darah putih pada area yang sebelumnya
hipoperfusi sehingga menyebabkan perbuntuan arteriol, selain itu sel darah putih juga
memicu terbentuknya radikal bebas. Citicholine merupakan obat yang mampu
mengurangi iskemia jaringan dengan menstabilkan membran dan mencegah
pembentukkan radikal bebas. Citicholine dapat diberikan 24 jam pertama semenjak
serangan sebanyak 500 mg.
Rehabilitasi program juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan stroke
multidisipliner pada penyakit stroke, terutama karena penurunan angka morbiditas, maka
kecacatan akibat stroke menjadi meningkat. Kecacatan itu antara lain gangguan bicara,
berbahasa dan fungsi lainnya.
VII REHABILITASI
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini
dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
1 Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam
perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan

25
dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit stroke memberikan
outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam
kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut dalam makalah ini, karena
memerlukan penanganan spesialistik di rumah sakit.

2 Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke


Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan
rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa
yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan
gejala sisa yang sangat berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun
sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat
memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal.Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin dapat ditangani oleh
pelayanan kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan
aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf
otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk
tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan
fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan
gerak yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisienmungkin. Hal
tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan
secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
3 Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk,
membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih
tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang telah terbentuk
sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien.
Latihan endurans dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien
dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal. Tergantung pada beratnya stroke, hasil
luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti mandiri penuh dan kembali

26
ke tempat kerja seperti sebelum sakit, mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan
yang lebih ringan sesuai kondisi, mandiri penuh namun tidak bekerja, aktivitas sehari-
hari perlu bantuan minimal dari orang lain, atau aktivitas sehari-hari sebagian besar atau
sepenuhnya dibantu orang lain.

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:


a Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota geraksisi yang terkena
terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga
mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien
secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah
digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
b Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada
gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan dan
mengaktifkan bagian bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk
dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja.
Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk
gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang
baru.
c Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional yang
normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan
bantuan tenaga secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya secara
aktif. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang
akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan
memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan
seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga yang diberikan harus disesuaikan
dengan kemajuan pemulihan pasien.
d Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai, yaitu
dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu
27
mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan dalam kurun
waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik
tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang
tubuhdoyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan
tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau
samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu
stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu
melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai
apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.
e Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak
fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak
semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan.
Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil
yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah
satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan
perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang
sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama
(umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin.
f Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan
fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik
dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisahpisahkan. Mengembalikan
kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi
pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali
melakukan suatu aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk mencegah timbulnya
komplikasi akibat tirah baring, menyiapkan/mempertahankan kondisi yang
memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mengembalikan kebugaran fisik
dan mental.
Rangkaian program rehabilitasi stroke:
Fisioterapi
a Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 ke bawah)
b Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot.
c Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari kekuatan
otot.
28
d Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
e Latihan fasilitasi / redukasi otot
f Latihan mobilisasi.

Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS)


Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam AKS,
meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu
baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan
secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian
alat-alat yang disesuaikan.

Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat
ditangani oleh speech therapist dengan cara:
a Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas, menelan, meniup,
latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
b Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-
kata.
c Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-
kata.
d Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.

Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam
membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara
lain: arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace,
cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).

Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial
fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase
penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat,
sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase,
bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase
psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.

Sosial Medik dan Vokasional


Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga,
keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup
serta keadaan rumah
(Wirawan, 2009)
29
Tujuan rehabilitasi medik adalah tercapainya sasaran fungsional yang realistik dan untuk
menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dengan sasaran tersebut.
Pemeriksaan penderita meliputi empat bidang evaluasi:
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal
Mencakup evaluasi neurologi secara umum dengan perhatian khusus pada:
Tingkat kesadaran
Fungsi mental termasuk intelektual.
Kemampuan bicara.
Nervus kranialis.
Pemeriksaan sensorik.
Pemeriksaan fungsi persepsi.
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan gerak sendi.
Pemeriksaan fungsi vegetatif.
2. Evaluasi medik umum
Mencakup sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem endokrin serta sistem saluran
urogenital.
3. Evaluasi kemampuan fungsional
Meliputi kegiatan sehari-hari (AKS) seperti makan dan minum, mencuci, kebersihan diri,
transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut ditentukan derajat kemandiriaan dan
ketergantungan penderita juga kebutuhan alat bantu.
4. Evaluasi psikososial-vokasional
Mencakup faktor psikologis, vokasional dan aktifitas rekreasi, hubungan dengan keluarga,
sumber daya ekonomi dan sumber daya lingkungan Evaluasi psikososial dapat dilakukan
dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal sederhana yang dapat dipakai untuk
penilaian tentang kemampuan mengeluarkan pendapat, kemampuan daya ingat dan orientasi.

VIII PROGNOSIS
Sehubungan dengan pemulihan secara fungsional, prognosis stroke pada dewasa
muda baik, terutama bila dibandingkan dengan usia lanjut. Sekitar 50% orang dewasa muda
dengan stroke iskemik serangan pertama akan sembuh. Dari sebuah studi didapatkan, 90%
pasien dengan tindak lanjut jangka panjang mampu melakukan semua kegiatan sehari-hari
secara independen dan 95% mampu berjalan tanpa bantuan. Berbeda dengan usia lanjut, 35-
40% pasien dengan stroke bergantung pada orang lain pasca stroke. Namun, stroke iskemik
pada usia muda berujung pada keterbatasan dalam kualitas hidup dan okupasi. Selain itu,
22% memiliki depresi yang signifikan hingga membutuhkan bantuan psikiatri dan 25%
pasien mengalami stroke berulang. (Varona et al., 2004).

30
IX KOMPLIKASI
Dalam Martono (2011), komplikasi akibat stroke dibagi menjadi dua yaitu, komplikasi
akut dan komplikasi kronis. Gejala yang diakibatkan oleh komplikasi akut lima kali lebih
mematikan dari gejala akibat lesi.

Komplikasi akut, di antaranya:


1 Kenaikan tekanan darah
2 Kadar gula darah
3 Gangguan jantung
4 Gangguan respirasi
5 Infeksi dan sepsis
6 Gangguan ginjal dan hati
7 Gangguan cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam basa
8 Ulkus dekubitus akibat stress
9 Inkontinensia atau retensi urin
10 Konstipasi
11 Deep Vein Thrombosis
Komplikasi kronis, di antaranya:
1 Komplikasi dari imobilisasi
2 Rekurensi stroke
3 Spastisitas
4 Kontraktur
5 Shouder hand syndrome
6 Central pain
7 Gangguan sosial ekonomi
8 Gangguan psikologi

DAFTAR PUSTAKA

Amarenco P, Bogousslavsky J, Caplan LR, Donnan GA, Hennerici MG (2009). Classification of


stroke subtypes. Cerebrovasc Dis., 27: 493-501.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan. 616.132
Ind P; 2006.

31
Gaete JM, Bogousslavsky J (2008). Post-stroke depression. Expert Rev. Neurotherapeutics., 8 (1):
75-92.

Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, Bravata DM et
al. (2013). Heart disease and stroke statistics2013 update: A report from the American
Heart Association. Circulation., 127: e6-e245.

Guyton, AC. Hall, JE. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2006. Hlm: 801-808

Hartwig MS (2006). Penyakit Serebrovaskular. Dalam: Price SA, Wilson LM (eds). Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6 dalam Volume 2. Jakarta: EGC, pp: 1105-1132.

Jauch, EC (2015). Ischemic Stroke. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1916852-


overview#aw2aab6b2b7 pada 14 Oktober 2015.

Loubinoux I, Kronenberg G, Endres M, Schumann-Bard P, Freret T, Filipkowski RK, Kaczmarek L


et al.. (2012). Post-stroke depression: Mechanisms, translation and therapy. J. Cell. Mol.
Med., 16 (9): 1961-1969.

Martin Jeffery. Hypertension Guidelines: Revisiting The JNC 7 Recommendations. The Journal of
Lancaster General Hospital: Hypertension and kidney specialists. 2008. Vol. 3 No. 3.

Martono HH (2011). Penatalaksanaan stroke berdasarkan bukti medis (EBM). Proseding


Simposium Geriatric Syndromes: Revisited. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, pp: 31-44.

Misbach J, Achmad A, Soertidewi L, Jannis J, Harris S, Lumempauw S, Rasyid A, Mulyatsih E


(2007). Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

Misbach J, Jannis J (2011). Diagnosis stroke. Dalam: Soertidewi L, Jannis J (eds). Stroke: aspek
diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp: 57-84.

PERDOSSI (2011). Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Pusat Data dan Informasi. Mencegah dan Mengontrol Hipertensi Agar Terhindar dari Kerusakan
Organ Jantung, Otak dan Ginjal. Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan RI; 2014.

Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di


Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 12, Desember 2009.

32
Romi F, Naess H (2011). Characteristics of spinal cord stroke in clinical neurology. Eur Neurol., 66:
305-309.

Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, Elkind MSV et al..
(2013). An updated definition of stroke for the 21 st century: A statement for healthcare
proffesionals from the American Heart Association/ American Stroke Association. Stroke.,
44: 2064-2089.

Setyopranoto I (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran.,38 (4): 247-
250.

Smith WS, English JD, Johnston SC (2010). Cerebrovascular disease. Dalam: Fauci AS, Kasper
DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (eds). Harrisons
Neurology in Clinical Medicine Second Edition. US: McGraw-Hill, pp: 246-281.

Srivastava A, Taly AB, Gupta A, Murali T (2010). Post-stroke depression: Prevalence and
relationship with disability in chronic stroke survivors. Ann Indian Acad Neurol., 13: 123-
127.

Townend E, Tinson D, Kwan J, Sharpe M (2010). Feeling sad and useless: An investigation into
personal acceptance of disability and its association with depression following stroke.
Clinical Rehabilitation., 24: 555-564.

Varona JF, Bermejo F, Guerra JM, Molina JA (2004). Long-term prognosis of ischemic stroke in
young adults: Study of 272 cases. J Neurol., 251: 1507-1514.

WHO (2014). Stroke, cerebrovascular accident. http://www.who.int


/topics/cerebrovascular_accident/en/- Diakses 14 Oktober 2015

Wirawan RP (2009). Rehabilitasi medik pada pelayanan kesehatan primer. Maj Kedokt Indon.,
59(2): 61-71.

33

Anda mungkin juga menyukai