Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lupus adalah salah satu penyakit autoimun yang bersifat akut kronis yang
disebabkan adanya kelebihan aktivitas sistem imunitas dan sistem itu menyerang
tubuh sendiri. Lupus dapat menyerang beberapa jaringan dan organ tubuh yang
dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh dan kematian. Penyebab lupus saat ini
belum diketahui dengan pasti. Faktor lingkungan dan genetik memiliki peranan
penting dalam timbulnya penyakit itu. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara
lain infeksi, antibiotik khususnya golongan sulva dan penicillin, sinar ultraviolet,
stres berat, beberapa jenis obat-obatan, dan hormon. Penderita SLE diperkirakan
mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia).
Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50
kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 % kasus per 100.000 populasi pada
orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita
SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan
hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.
Di Jawa Barat jumlah penderita lupus terdata mencapai 700 orang. Setiap
bulan misalnya di RSHS selalu ada 10 pasien lupus baru. Lupus juga dikenal
sebagai penyakit seribu wajah karena menyerang semua sistem organ dan
gejalanya bervariasi. Penyakit lupus dapat diderita siapa saja tanpa kecuali.
Namun wanita lebih beresiko 6 hingga 10 kali dibandingkan pria, terutama pada
usia 15 hingga 50 tahun.
Karenanya, lupus seringkali menimbulkan berbagai masalah kesehatan,
contohnya saja keguguran (jika seorang wanita sedang hamil terkena penyakit
lupus), gangguan perkembangan janin, atau dapat menyebabkan bayi meninggal
saat dilahirkan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
2. Bagaimana epidemiologi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?

1
3. Bagaimana penyebab terjadinya (Systemic Lupus Erythematosus) SLE ?
4. Apa sajakah klasifikasi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
5. Bagaimana patofisiolgi SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
6. Apa saja kriteria dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
7. Apa saja manifestasi klinis dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
9. Apa saja komplikasi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ?
10. Bagaimana prognosis dari (Systemic Lupus Erythematosus) SLE?
11. Bagaimana aplikasi asuhan keperawatan SLE (Systemic Lupus
Erythematosus) ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
2. Mengetahui epidemiologi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
3. Mengetahui penyebab terjadinya (Systemic Lupus Erythematosus) SLE
4. Mengetahui klasifikasi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
5. Mengetahui patofisiolgi SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
6. Mengetahui kriteria dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
7. Mengetahui manifestasi klinis dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
8. Mengetahui penatalaksanaan dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
9. Mengetahui komplikasi dari SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
10. Mengetahui prognosis dari (Systemic Lupus Erythematosus) SLE
11. Mengetahui aplikasi asuhan keperawatan SLE (Systemic Lupus
Erythematosus)

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi
Lupus adalah penyakit kronik /menahun, merupakan penyakit daya tahan
tubuh atau disebut penyakit autoimun artinya kekebalan/perlindungan (immune)
terhadap jaringan tubuh sendiri (auto).

2
Lupus dalam bahasa
Latin berarti anjing hutan/serigala. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad
yang lalu. Hal ini disebabkan penderita penyakit ini pada umumnya memiliki
butterfly rash atau ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi yang serupa di pipi
serigala, tetapi berwarna putih.
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003).
Penyakit Lupus dalam ilmu kedokteran disebut dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem
dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai
adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.

2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan
10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh
obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun.
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002).

3
Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika
Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam
1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam
100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan
prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi
dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels,
2006).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia
(Yayasan Lupus Indonesia). Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per
100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New
Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit
putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat
belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di
Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil
survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.

2.3 Etiologi
a. Genetik
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-
DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan
komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).
b. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan

4
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari
sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
(Herfindal et al., 2000).
c. Makanan
Seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine
dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
d. Infeksi virus dan bakteri
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di
kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar,
2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat

5
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin Antikonvulsan Propitiourasil Griseofulvin
Prokainamid Fenitoin Metimazol Penisilin
Isoniazid Karbamazepin Penisilinamin Garam emas
Klorpromazin Asam valproat Sulfasalazin
Metildopa Etosuksimid Sulfonamid
-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral

Tabel : Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000)


Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

2.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-
faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang

6
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Uniknya,
penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan.
Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat.
Kelainan ini disebut autoimunitas. Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke
seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh,
seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur.
Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau
anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang
pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks
imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai
tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan.
Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang
(fagosit). Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi
dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil
mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks.
Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ
tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai
gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi
organ tubuh akan terganggu.

2.6 Faktor Resiko

7
Meskipun para doker tidak mengetahui apa yang menyebabkan lupus pada
banyak kasus, mereka telah mengidentifikasi faktor apa saja yang meningkatkan
risiko penyakit ini, antara lain :
1. Jenis kelamin : Dari beberapa kasus yang pernah ada Lupus 10x lebih
sering pada wanita dari pada pria, meskipun belum diketahui secara pasti
penyebab dan alasannya.
2. Usia : Meskipun lupus dapat berefek pada segala usia,termasuk
bayi, anak dan orang dewasa, tetapi lupus paling umum terdiagnosis pada
mereka yang berusia antara 15 sampai 40 tahun.
3. Ras : Umumnya terdapat pada ras Afrika, Hispanics dan Asia.
4. Sinar matahari : Terkena sinar matahari dapat membawa pada lupus kulit
atau memicu respon internal pada mereka yang rentan.
5. Obat tertentu : Obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan drug-induced lupus. Banyak obat yang secara potensial
dapat memicu lupus, sebagai contoh antara lain adalah antipsychotic
chlorpromazine; obat tekanan darah tinggi, seperti hydralazine; obat
tuberculosis isonoazid dan obat jantung procainamide. Biasanya
membutuhkan jangka waktu penggunaan dalam beberapa bulan sebelum
gejala timbul.
6. Terinfeksi virus Epstein-Barr : Merupakan virus yang biasanya
tertidur di dalam sel dari sistem imun anda meskipun tidak jelas alasan
mengapa dan apa yang membuat virus tersebut aktif kembali.
7. Terkena zat kimia : Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka yang
bekerja dan rentan terekspos merkuri dan silica memiliki peningkatan risiko
lupus. Merokok juga dapat meningkatkan risiko mengalami lupus

2.7 Kriteria
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan
kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE
ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung
dan pipi.
2. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang
melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.

8
3. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya
matahari.
4. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri,
bengkak, atau efusi.
6. Serositis
Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi
gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi
gesekan perikard atau efusi perikard.
7. Kelainan ginjal
Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
8. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
9. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari
400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia
(kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
10. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya
antibodi antifosfolipid
11. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan
tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

2.8 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia
umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah
sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak
menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-
kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua
pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada
bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi
karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10%

9
20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual,
livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis,
miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala
endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi
dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko
penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).

Gejala pada paru : Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus


menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi
namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25%
kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul
adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis,
perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa
gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003).
Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang,
dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi
kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji
Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya
limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh.
Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai
perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan
glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan
pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai
kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan
splenektomi (Delafuente, 2002).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan
akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal

10
setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau
kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang
disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum
kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut
lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial),
kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative),
dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien
dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien
dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan
serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi,
dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002)

2.9 Penatalaksanaan
a. Medis
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear,
komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan uji
terhadap lues yang positif (semu).
Pemeriksaan khusus :
Biopsi ginjal
Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular
pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%)
maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

b. Non-Medis
Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil &
motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren
membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi,
dan jaringan-jaringan lain.

11
Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol,
deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan memugarkan
kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna
ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan
secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-
jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously).
Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius
jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang
panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang
dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian
(necrosis) dari sendi-sendi besar.
Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka
kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus,
muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering
diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek
sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan
pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun
memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi secara
signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada
pasien-pasien dengan SLE sistemik.
Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over
aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan
yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis
cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas
digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi
yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal.
Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate
(Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide
(Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune).
Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah
sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek
sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya,

12
Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan
Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari
rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu
antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah
putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam
sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada
aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung
menuju remisi.
Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah
yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan
omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus
dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi
risiko penyakit jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE.
Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan
mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau
pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik
sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang
mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah
kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan
rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya
penyakit.

2.10 Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh
gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan
eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian
kehamilan dan trauma fisik/ psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum

13
yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang
disertai menggigil, kerusakan organ internal.

2.11 Prognosis
Sebelum tahun 1950, SLE merupkan penyakit fatal. Pemakaian preparat
kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik pada
penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang teratur dan terencana, pemakaian
obat imunosupresif dan penggunaan antibiotic, anti hipertensi, dialysis serta
transplantasi ginjal lebih memperpanjang survival rate lagi. Surviva rate 5 t\ahun
sebesar 50 % pada tahun 1954, menjadi 95% pada tahun 1976. Angka ini tidak
banyak berubah sampai sekarang. Kematian paling sering terjadi karena
komplikasi pada ginjal dan susunan saraf pusat.

2.12 Resiko Penyakit Lupus pada Kehamilan


Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan
janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga
mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering dijumpai gejala Lupus
muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Dalam kehamilan sering terjadi kelainan kulit sehingga kambuhnya lupus
dapat tidak diketahui, namun pada umumnya tetap dapat diobati dengan obat yang
terseleksi. Lebih baik apabila ibu dengan lupus tidak mendapat obat-obatan
selama hamil, namun belum ada laporan bahwa obat-obat untuk lupus (kecuali
cyclophosphamide atau golongan kortikosteroid selain prednison) menyebabkan
cacat janin meskipun jumlah kasus belum banyak.
Risiko terhadap bayi: sekira 25% kehamilan pada ibu lupus akan berakhir
dengan keguguran (pada ibu normal tanpa lupus keguguran sekira 8 10%), 25
50% dapat hamil cukup bulan, dan sekira 25 50% melahirkan pada usia kurang
bulan. Sekira 3% bayi yang dilahirkan dapat mengalami neonatal lupus berupa
kelainan pada kulit dan kelainan irama jantung. Tidak didapatkan peningkatan
angka kejadian cacat fisik lainnya atau cacat mental pada bayi yang dilahirkan

14
oleh ibu dengan penyakit lupus. Demikian juga perkembangan bayi dengan
nenonatal lupus pada umumnya normal.
Risiko pada ibu meningkat dalam hal terjadinya preeklamsi/eklamsi
(kenaikan tekanan darah yang terjadi dalam kehamilan, dapat disertai kejang),
turunnya trombosit dan terdapatnya protein dalam air kemih.

BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Anamnase
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Penanggung jawab :
Agama :
Status perkawinan :
Alamat :
No . medical record :
Tanggal masuk :
Diagnose medic :
Tanda tanda vital
- Nadi :
- Tekanan darah :
- Pernafasan :
- Suhu :

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Tanyakan pada pasien apakah pasien pernah menderita penyakit yang
sama sebelumnya. Tanyakan juga pola aktivitas sehari-hari pasien apakah
sering terpapar sinar matahari atau tidak, pola makan, serta tanyakan hal-hal
yang berhubungan dengan faktor pencetus terjadinya penyakit SLE. Obat
apa yang pernah diminum.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

15
Tanyakan pada pasien tentang keluhan apa yang dirasakan pada saat
MRS. Sejak kapan timbul gejala penyakit. Frekuensi nyeri/keluhan yang
dirasakan.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit apa yang pernah dialami keluarga, apakah keluarga pernah
mengalami penyakit serupa.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala yang pernah dialami seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia, dan efek
gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
1. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada muka atau leher.
2. Kardiovaskuler
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis da efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, ajri kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
3. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
4. Sistem Intergumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum
5. System pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
6. System vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
ertematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan , siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. System renal
Edema dan hematuria.
8. System saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, chorea
(gerakan tiba-tiba), ataupun manifestasi SSP lainnya.

3.3 Pemeriksaan Penunjang

16
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta
penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis
atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik
lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan
SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b/d agen cedera
2. Kerusakan Integritas kulit b/d penumpukan kompleks imun
3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan kapasitas ventilasi
4. Gangguan Perfusi jaringan b/d penurunan curah jantung
5. Ketidakefektifan pola nafas b/d penimbunan cairan pada pleura
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
7. Resiko cidera b/d penurunan fungsi motorik
8. Gangguan eliminasi urin b/d penurunan absorbs cairan ke ginjal
9. Ansietas b/d perubahan status kesehatan
10. Kurang pengetahuan b/d keterbatasan kognitif

3.5 Intervensi
N Diagnosa NOC NIC
o
1. Nyeri akut b/d NOC NIC:
agen cedera Pain level Pain Management
Pain control Lakukan pengkajian nyeri secara
Comfort level
komprehensif termasuk
Kriteria hasil lokasi,karakteristik,durasi,frekuensi,kual
Mampu mengontrol
itas, dan faktornya
nyeri ( tahu Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri ketidaknyamanan
,mampu Gunakan teknik komunikasi terapeutik

17
menggunakan Kaji kultur yang mempengaruhi respon
tehnik nyeri
nonfarmakologi Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Control lingkungan yang dapat
untuk mengurangi
mempengaruhi nyeri
nyeri, mencari Pilih dan lakukan penanganan nyeri
bantuan ) (farmakologi,non farmakologi dan
Melaporkan bahwa
interpersonal)
nyeri berkurang Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
dengan menentukan intervensi
menggunakan Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Berikan analgetik untuk mengurangi
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri
Evaluasi keefektifan control nyeri
nyeri (skala,
Tingkatkan istirahat
intensitas, frekuensi Kolaborasikan dengan dokter jika ada
dan tanda nyeri ) keluhan dan tindakan nyeri tidak
Menyatakan rasa
berhasil
nyaman setelah Monitor penerimaan pasien tentang
nyeri berkurang. Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
Monitor sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali

18
Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda,
dan gejala (efek samping).
2 Kerusakan NOC : NIC : Pressure Management
Integritas kulit Tissue Integrity : Anjurkan pasien untuk menggunakan
b/d Skin and Mucous pakaian yang longgar
penumpukan Membranes Hindari kerutan padaa tempat tidur
kompleks imun Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
Kriteria Hasil : dan kering
Integritas kulit yang Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
baik bisa setiap dua jam sekali
dipertahankan Monitor kulit akan adanya kemerahan
(sensasi, elastisitas, Oleskan lotion atau minyak/baby oil
temperatur, hidrasi,
pada derah yang tertekan
pigmentasi)
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Tidak ada luka/lesi
Monitor status nutrisi pasien
pada kulit
Memandikan pasien dengan sabun dan
Perfusi jaringan baik
air hangat
Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan
kulit dan mencegah
terjadinya sedera
berulang
Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit
dan perawatan alami
3 Gangguan
repiratori status:gas Airway mangement
pertukaran gas
exchange Buka jalan nafas, digunakan tekhnik
b/d penurunan respiratori status:

19
kapasitas
ventilation chin lift atau jaw thurst bila perlu
ventilasi
vital sign status Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Kriteria hasil:
ventilasi
mendemonstrasikan
Identifikasi psien perlunya pemasangan
peningkatan
alat jalan nafas buatan
ventilasi dan Pasang mayo bila perlu
oksigenasi yang Lakukan fisio terapi dada jika perlu
Keluarkan secret dengan batuk atau
adekuat.
Memelihsrs section
Auskultasi suara nafas , catat adanya
kebersihan paru-
suara tambahan
paru dan bebas dari Lakukan suction pada mayo
tanda tanda distress Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udaara
pernafasan
Atur intake untuk cairan mengoptimlkan
Mendemonstrasika
keseimbangan
n batuk efektif dan
Monitor respirasi dan status O2
suara nafas yang Respiratory monitoring:
bersih, tidak ada Monitor rata rata , kedalman, irama, dan

sianosisdan usaha respirasi


Catt pergerakan dada, amati
dyspnew(mampu
kesimetrisan, penggunaan otot
mengeluarkan
tambahan, retraksi otot supralavicular
sputum, mampu
dan intercostal
bernafas dengan Mopnitor suara nafas, seperti dengkur
mudah, tidak ada Monitor pola nfas: bradipena takipne,
pushed lips) kussmaul , hiperventilasi, cheyne stokes,
Tanda tanda vital biot
dalan rentang Ctat lokasi trakea
Monitor kelelahan diafragma ( gerakan
normal.
paradogsis)
Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilsi dan
suara tambahan
Tentukan kebutuhan suction dgn
auskultasi kracles dan ronkhi pd jalan
nfas utama

20
Auskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengtahui hasilnya
4 Gangguan NOC : NIC :
Circulation status Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring
Perfusi jaringan
Tissue Prefusion : (Monitor tekanan Intrakrania)
b/d penurunan Berikan informasi kepada keluarga
cerebral Monitor tekanan perfusi serebral
curah jantung Kriteria Hasil :
Catat respon pasien terhadap stimuli
Mendomonstrasikan
Monitor tekanan intracranial pasien dan
status sirkulasi yang
respon neurology terhadap aktivitas
ditandai dengan : Monitor intake dan output cairan
Tekanan systole Posisikan pasien pada semiflower
dan diastole dalam Meminimalkan stimuli dari lingkungan
Peripheral Sensation Management
rentang yang (Manajemen sensasi perifer )
diharapkan Monitor adanya daerah tertentu yang
Tidak ada hanya peka terhadap
ortostatikhipertensi panas/dingin/tajam/tumpul
Tidak ada Monitor adanya paretese
peningkatan Instruksikan keluarga untuk

tekanan intracranial mengobservasi kulit jika ada isi atau


)tidak lebih dari 15 laserasi
Gunakan sarung tangan untuk proteksi
mmHg) Batasi gerakan pada kepala, leher dan
Mendemonstrasika
punggung
n kemampuan Monitor kemampuan BAB
kognitif yang Kolaborasi pemberian analgetik
ditandai dengan : Monitor adanya tromboplebitis
Berkomunikasi Diskusikan mengenai penyebab

dengan jelas dan perubahan sensasi

sesuai dengan
kemampuan
Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
Memproses
informasi

21
Membuat
keputasan dengan
benar
Menunjukkan
fungsi sensori
motori cranial yang
utuh
5 Ketidakefektifa NOC : NIC :
Respiratory status : Posisikan pasien untuk memaksimalkan
n pola nafas b/d
penimbunan Ventilation ventilasi
Respiratory status : Atur intake untuk mengoptimalkan
cairan pada
Aitway patency keseimbangan
pleura Vital sign Status Monitor respirasi dan status O2
Auskultasi suara nafas, catat adanya
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pola suara tambahan
Monitor adanya cushing triad(tekanan
nafas yang
nadi yang melebar, brakikardi,
paten(klien tidak
peningkatan sistolik)
merasa tercekik, Monitor suara paru dan pola pernafasan
irama nafas, yang abnormal
frekuensi Monitor kualitas dari nadi
Monitor TTV sebelum, selama, setelah
pernafasan dalam
aktivitas
rentang normal, Monitor frekuensi dan irama pernafasan
tidak ada suara Auskultasi TD pada kedua lengan dan
nafas abnormal) bandingkan.
TTV dalam rentang
normal
6 Perubahan NOC : Manajemen Nutrisi
Nutritional Status :
nutrisi kurang Anjurkan pasien untuk meningkatkan
dari kebutuhan Food and Fluid
protein dan vitamin C
tubuh b/d Intake Kolaborasi dengan ahli gizi umtuk
Nutritional Status :
anoreksia menentukan jumlah kalori dan nutrisi
Nutrient Intake
yang dibutuhkan pasien.
Yakinkan diet yang dimakan
Kriteria Hasil :
Adanya mengandung tinggi serat untuk
peningkatan berat mencegah konstipasi

22
badan sesuai Berikan makanan yang terpilih (sudah
dengan tujuan dikonstulasikan dengan ahli gizi )
Berat badan ideal Berikan informasi tentang kebutuhan
sesuai dengan nutrisi.
tinggi badan Kaji kemampuan pasien untuk
Mampu mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
mengindentifikasik Kaji adanya alergi makanan
Monitor Nutrisi
a kebutuhan nutrisi BB pasien dalam batas normal
Tidak ada tanda- Monitor adanya penurunan Bb
tanda malnutrisi Jadwalkan pengobatan dan tindakan
Menunjukkan tidak selama jam makan
peningkatan fungsi Monitor makanan kesukaan
Monitor mual dan muntah
pengecapan dari Monitor pertumbuhan dan
menelan
perkembangan
Tidak terjadi
Monitor kalori dan intake nutrisi
penurunan berat Monitor pucat,kemerahan, dan
badan yang berarti. kekueringan jaringan konjungtiva
7 Resiko cidera NOC : NIC :
Risk Control
b/d penurunan Environment Management ( manajemen
fungsi motorik Kriteria Hasil : Lingkungan)
Klien terbebas dari Sediakan lingkungan yang aman untuk
cidera pasien
Klien mampu Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
menjelaskna sesuai dengan kondisi fisik dan fingsu
cara/metode untuk kognitif pasien dan riwayat penyakit
mencegah terdahulu pasien
injry/cedera Menghindari lingkungan yang
Klien mampu
berbahaya (misalnya memindahkan
menjelaskan faktor perabotan)
resiko dari Memasang side rail tempat tidur
Menyediakan tempat tidur yang nyaman
lingkungan/perilak
dan bersih
u personal
Menempatkan saklar lampu ditempat
Mampu
yang mudah dijangkau pasien
memodifikasi gaya
Membatasi pengunjung
untuk mencegah Menganjurkan keluarga untuk

23
injuri menemani pasien
Menggunakan Mengontrol lingkungan dari kebisingan
Memindahkan barang-barang yang
fasilitas kesehatan
yang ada dapat membahayakan
Mampu mengenali Berikan penjelasan pada pasien dan

perubahan status keluarga pengunjung adanya perubahan

kesehatan status kesehatan dan penyebab penyakit.


8 Gangguan NOC : NIC :
Urinary Urinary Retention Care
eliminasi urin
Monitor intake dan output
b/d penurunan Elimination
Monitor penggunaan obat antikolinergik
Urinary
absorbs cairan Monitor derajat distensi bladder
Contiunence Instruksikan pada pasien dan keluarga
ke ginjal Kriteria Hasil :
Kandung kemih untuk mencatat output urine
Sediakan privacy untuk eliminasi
kosong secara penuh Stimulasi reflek bladder dengan
Tidak ada residu
kompres dingin pada abdomen
urine .100-200 cc Kateterisasi jika perlu
Intake cairan dalam Monitoring tanda dan gejala ISK
rentang normal ( panas, hematuria, perubahan baud an
Bebas dari ISK
Tdak ada spasme konsistensi urine )

bladder
Balance cairan
seimbang
9 Ansietas b/d NOC NIC
perubahan Anxiety self-control Anxiety Reduction (penurunan
status kesehatan Anxiety level kecemasan)
Coping
Gunakan pendekatan yang
Kriteria hasil : menenangkan
Klien mampu Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
mengidentifikasi pelaku pasien
dan mengungkapkan Jelaskan semua prosedur dan apa yang
gejala cemas dirasakan selama prosedur
Mengidentifikasi Pahami prespektif pasien terhadap
mengungkapkan dan situasi setres
Temani pasien untuk memberikan
menunjukkan teknik
keamanan dan mengurangi takut
untuk mengontrol

24
cemas Dorong keluarga untuk menemani anak
Vital sign dalam Lakukan back/neck rub
batas normal Dengarkan dengan penuh perhatian
Postur tubuh, Identifikasi tingkat kecemasan
Bantu pasien mengenal situasi yang
ekspresi wajah,
menimbulkan kecemasan
bahasa tubuh dan Dorong pasien untuk mengungkapkan
tingkat aktivitas perasaan,ketakutan,persepsi
menunjukkan Instruksikan pasien menggunakan teknik
berkurangnya relaksasi
Berikan obat untuk mengurangi
kecemasan
kecemasan
10 Kurang NOC : Berikan penilaian tentang tingkat
Kowlwdge : disease
pengetahuan pengetahuan pasien tentang proses
b/d keterbatasan process
penyakit yang spesifik
Knowledge :
kognitif Gambarkan proses penyakit, dengan
Health behavior
Kriteria Hasil : cara yang tepat
Pasien dan keluarga Identifikasi kemungkinan penyebab,
menyatakan dengan cara yang tepat
Sediakan informasi pada pasien tentang
pemahaman tentang
penyakit, kondisi, kondisi, dengan cara yang tepat
Diskusikan perubahan gaya hidup yang
prognosis dan
mungkin diperlukan untuk mencegah
program pengobatan
Pasien dan keluarga komplikasi di masa yang akan dating

mampu dan atau atau proses pengontrolan

melaksanakan penyakit
Instruksikan kepada pasien mengenai
prosedur yang
tanda dan gejala untuk melaporkan pada
dijelaskan secara
pemberi perawatan kesehatan dengan
benar
Pasien dan keluarga cara yuang tepat

mampu menjelaskan
kembali apa yang di
jelaskan perawat/
tim kesehatan
lainnya

25
3.6 Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap-tahap tindakan keperawatan:
1. Persiapan yang meliputi:
a. Review tindakan keperawatan yang diidentifikasikan pada tahap
perencanaan
b. Menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang
diperlukan.
c. Mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang mungkin
timbul.
d. Menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan.
e. Mempersiapkan lingkungan yang kondusif sesuai dengan tindakan yang
dilaksanakan.
f. Mengidentifikasi aspek hukum dan etika terhadap resiko.
2. Tindakan keperawatan ada tiga kategori:
a. Dependen: Suatu tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan
rencana tindakan medis.
b. Interdependen: Kerjasanma dengan tenaga kesehatan lain.
c. Independen: Kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk
dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lain.
3. Dokumentasi ada tiga tipe yaitu :
a. Sourcess Oriented Records (SOR)
b. Problem Oriented Records (POR)
c. Computer Assisted Records

3.7 Evaluasi
Berguna mengetahui kebutuhan pasien secara optimal dan mengukur dari
proses keperawatan
Menentukan kriteria data
Mengumpulkan data dan menafsirkan
Membandingkan data baru dengan standar yang berlaku
Merangkum hasil dan membuat kesimpulan
Melakukan tindakan sesuai keperawatan

26
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Penyakit Lupus dalam ilmu kedokteran disebut dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem
dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai
adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri. Penyakit SLE terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti

27
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Program pengobatan yang tepat bersifat sangat individual tergantung
gambaran klinis dan perjalanan penyakitnya. Pada umumnya, penderita SLE yang
tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ vital
dapat diterapi secara konservatif. Salah satu bagian dari pengobatan SLE yang
tidak boleh terlupakan adalah memberikan penjelasan kepada penderita mengenai
penyakit yang dideritanya, sehingga penderita dapat bersikap positif terhadap
terapi yang akan dijalaninya.

4.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Nurafif, Huda Amin, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis NANDA & NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. (1996). Buku ajar


ILMU PENYAKIT DALAM JILID I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

Cicilia. 2011. http://www.ziddu.com/16469146/askepSLE.docx.html. Diakses


tanggal 28 September 2014. Pukul 19.21 WIB

Fitriani, Rahmi. 2013.http://rahmifitriani.wordpress.com/2013/09/20/systemic-


lupus-erythematosus/. Diakses tanggal 28 September pukul 19.21 WIB

28
29

Anda mungkin juga menyukai