Rhinitis-Ozaena 2
Rhinitis-Ozaena 2
PENDAHULUAN
Rinitis Atrofi atau disebut juga dengan Rinitis Ozaena adalah penyakit infeksi
hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka
dan pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang
kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka
pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan
faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk
kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan,
sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya.
Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau,
bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia).
Menurut Boies, frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia
pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah
dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena.
1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi rinitis atrofi.
2. Mengetahui etiologi rinitis atrofi.
3. Mengetahui patofisiologi rinitis atrofi.
4. Mengetahui klasifikasi rinitis atrofi.
5. Mengetahui penegakan diagnosis riniti atrofi.
6. Mengetahui penanganan rinitis atrofi.
7. Mengetahui komplikasi rinitis atrofi.
8. Mengetahui prognosis rinitis atrofi.
1.4. Manfaat
1. Manfaat keilmuan : Sebagai landasan ilmiah mengenai penyakit rinitis atrofi.
2. Manfaat praktis : Memberi dasar bagi penanganan rinitis atrofi bagi dokter
umum maupun spesialis di tempat pelayanan kesehatan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga
rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non
foetida. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat
submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang
wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.
3
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
ini biasanya rudimenter.
4
Gambar 2.2 Sinus-sinus
5
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau.
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
2.4. Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,
dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita
wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki
adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun,
Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di
kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang
buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena
2.5. Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis ozaena sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan, ada beberapa hal yang dianggap
sebagai penyebabnya, antara lain :
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis
kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.
6
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus.
7
akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat
baik untuk pertumbuhan kuman
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :
Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai
awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai
mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana
epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang
kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel
perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,
termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan,
pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius,
berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak
diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.
2.7. Klasifikasi
8
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi : Rhinitis
atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik rhinitis
atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah
mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan
komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus,
radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat.
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.8. Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
2.8.1. Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam
hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan
pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita,
melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak
nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang
perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta
(pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung
tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
9
Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior dan media
menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.
10
2.11. Komplikasi
Komplikasi rinitis ozaena dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
2.12. Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan
operasi.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik
pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
11
b. Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
12
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rhinitis ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka.
Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti
infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering klebsiela ozaena,
kemudian staphylokokus, dan pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe, defisiensi
vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin
berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien
biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental
hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat. Pada
pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media
hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
Terapi belum ada yang baku, ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala
dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan, Edisi III, editor : H. Dr. Efianty Arsyad Soepardi,
Sp.THT, Fak. Kedokteran UI, Jakarta, 1997, Hal : 89-95 ; 113-115.
2. Adams, Boeis higler, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi VI, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Hal : 221-222.
3. A. Mansyoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Satu, FK UI,
Jakarta, Hal : 100-101.
4. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004. Hal 5-7.
15