Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada era kali ini, penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan
adalah penyakit yang sangat sering dijumpai. Biasanya penyakit sistem
pencernaan pada masyarakat Indonesia memiliki prognosa yang buruk yaitu
sering disertai infeksi sistemik. Crohn dan kolitis ulseratif adalah salah satu
penyakit sistem pencernaan yang memiliki risiko tinggi infeksi.
Tingkat prevalensi dari penyakit Crohn adalah 35-100/100.000 dari
populasi di Eropa Utara dan Amerika Utara. Pada benua Amerika Selatan,
Asia, dan Afrika, penyakit Crohn masih jarang dijumpai tetapi setiap tahun
megalami pengikatan setiap tahunnya. Di Indonesia prevalensi penyakit Crohn
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,4% setiap tahunya pada 7 tahun
terakhir (Sood. A, 2007). Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena
kolitis ulseratif. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000
orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah
antara usia 50 sampai 60 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada
setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Kolitis ulseratif terjadi 3 kali lebih
sering daripada Crohn disease. Kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang
kulit putih daripada orang African American atau Hispanic. Kolitis ulseratif
juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).
Klien yang menderita penyakit Crohn dan kolitis ulseratif biasanya
memiliki keluhan berupa nyeri perut, berak darah, diare dan perut terasa
kembung. Masalah ini sangat mengganggu kesehatan klien yaitu, tidak nafsu
makan, badan klien terasa lemas, tidak nafsu makan dan menimbulkan
perasaan cemas klien akan keadaannya. Dan masalah akan menimbulkan
komplikasi berupa infeksi sistemik bila klien tidak segera diberikan tindakan
yang tepat.
Solusi dari masalah yang dialami klien akibat penyakit Crohn dan kolitis
ulseratif adalah dengan pemberian asuhan keperawatan tentang penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif. Diharapkan dengan pemberian asuhan
keperawatan, klien merasa tidak ada gangguan terhadap masakah pada sistem

1
pencernaan dan klien memiliki pengetahuan terhadap penyakit Crohn dan
kolitis ulseratif.

1.2 Rumusan Masalah


1 Apa yang dimaksud dengan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif ?
2 Bagaimana penatalaksanaan terapi pada pasien dengan penyakit Crohn dan
kolitis ulseratif ?
3 Bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang diharapkan mahasiswa dalam makalah ini adalah
mengetahui dan mampu menerapkan prosedur asuhan keperawatan pada
klien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif.

1.3.2 Tujuan Khusus


1 Untuk mengetahui pengertian, etiologi, dan patofisiologi mengenai
penyakit Crohn dan kolitis ulseratif.
2 Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi pada pasien dengan penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif.
3 Untuk mengetahui serta menerapkan prosedur asuhan keperawatan
meliputi tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi pada klien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal

2
Sistem gastrointestinal atau biasa disebut sistem digestif (sistem
pencernaan) terdiri atas saluran gastrointestinal dan organ aksesori.
Rongga mulut, faring, esfagus, lambung, usus halus, usus besar merupakan
saluran gastrointestinal, sedangkan organ aksesorinya yaitu gigi, lidah,
serta beberapa kelenjar lain. Sistem gastrointestinal mempunyai fungsi
utama yaitu menyuplai nutrisi ke sel-sel tubuh.

a. Rongga mulut
Rongga mulut mempunyai beberapa fungsi meliputi; 1) menganalisis
material makanan sebelum menelan, 2) proses mekanis dari gigi,lidah, dan
permukaan palatum, 3) lubrikasi oleh sekresi saliva, 4) digesti pada
beberapa material karbohidrat dan lemak. Rongga mulut dibatasi oleh
mukosa mulut, yang memiliki stratified squamous epithelium. Meskipun
absorbsi nutrisi tidak terjadi didalam mulut, mukosa bagian inferior lidah
yang sempit dan cukup vaskular mampu melakukan absorbsi cepat pada
obat yang mempunyai sifat larut lemak.
1. Lidah
Fungsi utama lidah yaitu 1) proses mekanik dengan cara menekan,
melunakkan, dan membagi material; 2 ) melakukan manipulasi
material makanan didalam rongga mulut dan melakukan proses
menelan.; 3) analisis sensori terhadap karakteristik material, suhu, dan
reseptor rasa; serta 4) menyekresikan mukus dan enzim. Epitelium di
lidah dibilas oleh sekresi dari kelenjar kecil yang meluas ke lamina
propria dari lidah. Sekresi ini mengandung mukus, air, dan enzim
lingual lipase. Enzim ini untuk mengurai lemak, khususnya
trigliserida, sebelum makanan ditelan.
2. Kelenjar saliva
Kelenjar saliva menyekresikan air liur ke rongga mulut oleh
kelenjar saliva sublingual dan submandibular bawah lidah, serta oleh
kelenjar parotis yang mempunyai fungsi utama sebagai pelumas untuk
memperhalus material. Saliva mengandung enzim amilase (ptialin)
yang menguraikan zat tepung menjadi maltosa.
3. Gigi
Gigi melakukan fungsi sebagai proses mekanik dalam
penghancuran makanan.

3
b. Faring
Faring merupakan jalan untuk material makanan, cairan, dan udara.
Faring terdiri atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Bolus makanan
secara normal melewati orofaring dan nasofaring menuju esofagus.
c. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang berada menembus diafragma
untuk menyatu dengan lambung di taut gastroesofagus. Fungsi utama
esofagus yaitu membawa bolus makanan dan cairan menuju lambung.
Submukosa esofagus tebal dan berlemak sehingga mobilitas esofagus
cukup tinggi. Lapisan otot mendorong makanan disepanjang esofaus
menuju lambung melalui gerakan peristaltik yang dirangsang oleh saraf
vagus, dan dilumasi oleh mukosa penghasil mukus. Pada bagian bawah
esofagus terdapat otot sirkuler yang berfungsi sebagai sfingter yang tetap
berkontriksi, kecuali jika terjadi proses menelan. Hal ini mencegah
terjadinya refluks isi lambung kedalam esofagus.
Proses menelan terdiri dari 3 tahap, yaitu 1) tahap volunteer yang terjadi
di rongga mulut, dengan bantuan lidah bolus makanan terdorong menuju
faring. 2) tahap faringeal terjadi didalam faring dengan penutupan
epiglotis, bolus makanan didorong kedalam esofagus. 3) tahap esofageal
dengan proses peristaltik esofagus, bolus makanan didorong untuk
melewati otot sirkuler yang berfungsi sebagai sfingter, sehingga bolus
makanan masuk ke lambung dan sfingter tertutup mencegah refluk isi
lambung kedalam esofagus.
d. Lambung
Terletak di bagian kiri atas abdomen tepat dibawah diafragma. Dalam
keadaan kosong, lambung berbentuk tabung j, dan bila penuh berbentuk
seperti buah alpukat raksasa. Secara anatomis lambung terdiri dari fundus,
badan, antrum pilorikum atau pilorus. Kapasitas lambung normal sebanyak
1-2 l. Volume lambung akan meningkat saat makan, dan menurun saat
cairan lambung(kimus)masuk kedalam usus halus. Sfingter pada kedua
ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter
kardia(esofagus bawah), mengalirkan makanan masuk kedalam lambung
dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Saat
sfingter pilorikum berelaksasi, maknaan masuk kedalam duodenum dan

4
ketika berkontraksi, sfingter ini akan mencegah kembalinya makanan ke
lambung. Sfingter pilorus ini memiliki arti klinis yang penting karena
dapat mengalami stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai
komplikasi dari penyakit tukak lambung. Hal ini terjadi jika serat-serat
otot disekelilingnya mengalami hipertrofi/spasme sehingga sfingter gagal
berelaksasi untuk mengalirkan makanan menuju duodenum. Keadaan ini
dapat diperbaiki dengan cara operasi atau obat-obatan adrenergik yang
menyebabkan relaksasi serat-serat otot.
Tidak seperti daerah gastrointestinal yang lain, bagian otot lambung
tersusun dari 3 lapis: 1) lapisan longitudinal luar; 2) lapisan sirkular
tengah; 3) lapisan oblik dibagian dalam. Susunan yang unik ini
memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan
untuk memecah makanan menjadi partikel yang lebih kecil, mengaduk,
dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, lalu
mendorongnya menuju duodenum.
e. Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter
panjang dalam keadaan hidup. Usus halus memanjang dari lambung,
sampai katup ileo-kolika, tempat bersambung dengan usus besar.

Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi usus besar.


Dibagi dalam beberapa bagian: Duodenum adalah bagian pertama usus
halus yang 25cm panjangnya, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya
mengelilingi kepala pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas
masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula
hepatopankreatika, atau ampula vateri, sepuluh sentimeter dari pilorus.
Jejunum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus yang
selebihnya. Ileum menempati tiga perlima akhir. Dinding usus halus terdiri
atas keempat lapisan yang sama dengan lambung:

Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritonium yang


membalut usus dengan erat.

5
Dinding lapisan berotot terdiri atas dua lapis serabut saja; lapisan luar
terdiri atas serabut longitudinal, dan di bawahnya ada lapisan tebal terdiri
atas serabut sirkular. Di antara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan pleksus saraf.
Dinding submukosa terdapat antara otot sirkular dan lapisan yang terdalam
yang merupakan perbatasannya. Dinding submukosa ini terdiri atas
jaringan areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar,
dan pleksus saraf yang disebut pleksus Meissner. Di dalam duodenum
terdapat beberapa kelenjar khas yang dikenal sebagai kelenjar Brunner.
Kelenjar-kelenjar ini adalah jenis kelenjar tandan yang mengeluarkan
sekret cairan kental alkali yang bekerja untuk melindungi lapisan
duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam.
Dinding mukosa dalam yang menyelaputi sebelah dalamnya disusun
berupa kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes, yang
memberi kesan anyaman halus. Lipatan ini menambah luasnya permukaan
sekresi dan absorpsi. Dengan ini juga dihalangi agar isinya tidak terlalu
cepat berjalan melalui usus, dengan demikian memberi kesempatan lebih
lama pada getah pencerna untuk bekerja atas makanan.

Usus halus mempunyai dua fungsi utama : pencernaan dan absorpsi


bahan- bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan
lambung oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan
masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-
enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein
menjad izat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret

6
pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk
kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hatimembantu proses pencernaan
dengan mengemulsikan lemak sehimgga memberikan permukaan lebih
luas bagi kerja lipase pankreas. Proses pencernaan disempurnakan oleh
sejumnlah enzim dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara
enzim-enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat-zat
makanan sambil diabsorpsi. Isi usus digerakkan oleh peristalsis yang
terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan peristaltik yang diatur
oleh sistem saraf autonom dan hormon. Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar,
dan sekresi usus,dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah 7 satu
ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal
dan suplai kontinu isi lambung.
f. Usus besar (Kolon) dan rektum
Usus besar memiliki diameter lebih besar dari pada usus halus
sekitar 1.5 meter. Diawali dengan persimpangan ileocekal, dimana jalan
masuknya usus besar dari usus halus dan diakhiri dengan anus.
Persimpangan ileocekal memiliki pita melingkar yang terdiri dari serat
otot halus yang disebut dengan spinkter ileocekal dan katup yang disebut
katup ileocekal.

Dinding usus besar memiliki beberapa tipe jaringan yang


ditemukan di bagian yang lain dalam sistem pencernaan, tapi memiliki
karasteristik pembeda. Mukosa memiliki angka sel goblet yang banyak
tapi tidak memiliki satupun vili. Lapisan otot longitudinal tidak sempurna.
Otot longitudinal memiliki tiga band yang berbeda, disebut teniae coli,
yang menjalankan seluruh usus besar. Kontraksi teniae coli memberikan
tekanan dan menciptakan serangkaian kantong, disebut haustra,
sepanjang kolon. Epiploic appendiks, potongan lemak yang mengisi
jaringan ikat yaitu yang melekat pada permukaan luar dari usus besar.

Usus besar terdiri dari sekum, kolon, rectum dan anal kanal.
Sekum memiliki proksimal porsi yang besar pada usus besar. Itu adalah

7
kantong buta yang memanjang inferior dari persimpangan ileocecal.
Vermiform appendiks terlampir pada sekum. Pada manusia, apendiks tidak
memiliki fungsi pada saluran pencernaan tapi berisi beberapa jaringan
limpa. Kolon memiliki porsi terpanjang pada usus besar dan berdivisi pada
ascending, descending, dan porsi sigmoid. Ascending kolon dimulai pada
simpangan ileocekal sampai ke atas, sepanjang dinding abdominal
posterior sebelah kanan sampai hati, dari sini berbelok ke anterior dan ke
kiri. Pada poin ini, kolon membelok tajam dan turun dan berjalan ke
inferior menjadi transverse kolon dan berlanjut sepanjang anterior
abdomen ke limpa pada sisi kiri. Poin ini, kolon berbelok tajam ke bawah
dan menuju inferior sepanjang dinding abdomen posterior disebut dengan
ascending kolon. Pinggir panggul, descending kolon membuat kurva
variable S-shapeyang disebut dengan sigmoid kolon, dan lalu menjadi
rektum. Kurve diantara ascending dan transverse porsion adalah hepatic
flexure. Kurve antara transverse dan descending porsi adalah splenic
flexure. Rektum dilanjutkan dari kolon sigmoid kolon pada anal kanal dan
memiliki lapisan otot yang tebal. Itu diikuti kurvatur sakrum dan melekat
erat pada jaringan ikat. Akhir rektum sekitar 5 cm di bawah ujung tulang
ekor dan diawali anal kanal. Terakhir 2-3 cm sistem pencernaan adalah
anal kanal. Dilanjutkan dari rektum dan dibuka diluar pada anus. Mukosa
rektum dilipat untuk membentuk anal kolom memanjang. Lapisan otot
halus dan membentuk spinkter anak internal pada akhir superior anal
kanal. Spinkter mengontrol pengeluaran paksa. Disana spinkter anal
eksternal pada akhir inferior anal kanal. Spinkter ini terdiri dari otot
skeletal dan mengontrol dibawah paksaan.

Tidak seperti usus halus, usus besar tidak memproduksi enzim


pencernaan. Pencernaan kimia disempurnakan di usus halus sebelum
menjadi bubur di usus besar. Disana tidak ada vili untuk mengabsorpsi
nutrisi. Proses ini juga disempurnakan di usus halus. Fungsi utama usus
besar adalah mengabsorpsi cairan dan elektrolit dan mengeliminasi produk
yang terbuang. Kime masuk usus besar yang mengandung material yang
tidak dicerna atau diabsorpsi di usus halus yaitu air, elektrolit, dan

8
bakteria. Beberapa air dan elektrolit diabsorpsi di sekum dan ascending
kolon. Meskipun kuantitas relatif kecil, fungsi absorpsi ini pada usus besar
sangat penting di dalam keseimbangan cairan di dalam tubuh. Residu dari
kime menjadi feses. Usus besar memiliki beberapa tipe mencampur dan
gerakan peristaltik terjadi pada bagian yang lain pada sistem pencernaan,
tapi mereka lebih lamban dan terjadi sedikit frequensi. Mereka lebih
banyak terjadi setelah makan reflek dari usus halus. Rektum diisi dengan
feses, defekasi refleks dipicu dan produk buangan di eliminasi. Hanya
produksi sekresi pada usus besar yaitu mukus dari sel goblet. Mukus
melindungi dinding usus dari abrasi dan iritasi dari kime. Juga membantu
merekatkan partikel feses, karena mukus mengandung alkaline, itu
membantu dalam mengontrol pH material di usus besar.

g. Organ aksesori
1. Pankreas
Fungsi pankreas adalah mempermudah penyimpanan makanan
dengan mengeluarkan insulin setelah makan dan menyediakan mekanisme
bagi mobilisasi makanan dengan mengeluarkan glukagon selama masa
puasa. Insulin dan glukagon, serta somatostatin dan polipeptida pankreas,
dihasilkan oleh pulau-pulau langerhans. Hormon ini akan dikeluarkan
melalui darah, sedangkan enzim pencernaan mengalir melalui duktus
pankreatikus untuk mencapai duodenum.
Setiap hari pankreas menyekresikan sekitar 1000 ml getah
pankreas. Aktivitas sekret ini menjadi kontrol utama hormon yang ada di
duodenum. Ketika asam kimus tiba di duodenum, sekretin dilepaskan dan
dipicu oleh sekresi pankreatik oleh buffer air. Di antara komponen lainnya,
sekresi ini berisikan buffer bikarbonat dan fosfat yang membantu
meningkatkan elevasi dari ph cairan lambung.hormon duodenum lainnya
yaitu kolesistokinin, menstimulasi produksi dan sekresi enzim-enzim
pankreatik yang juga distimulasi oleh nervus vagus.
2. Hati
Hati merupakan organ terbesar tubuh dan dapat dianggap sebagai
sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, serta

9
mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat dalam
metabolisme. Lokasi hati sangat penting dalam pelaksanaan fungsi
metabolisme karena hati menerima darah yang kaya nutrien langsung dari
traktus gastrointestinal, kemudian hati akan menyimpan semua nutrien ini
menjadi zat-zat kimia yang digunakan di bagian lain dalam tubuh untuk
keperluan metabolik. Hati juga organ yang penting khususnya dalam
pengaturan metabolisme glukosa dan protein. Hati menbuat dan
menyekresikan getah empedu yang memegang peranan utama dalam
proses pencernaan, serta penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal.
Organ ini mengeluarkan limbah produk dari dalam aliran darah dan
menyekresikan ke empedu.getah empedu yang dihasilkan oleh hati akan
disimpan untuk sementara waktu dalam kantong empedu sampai kemudian
dibutuhkan untuk proses pencernaan. Pada saat ini, kantong empedu akan
mengosongkan isinya dan getah empedu akan memasuki intestinum.
Hati bertanggung jawab terhadap regulasi metabolisme,
hematologis, dan produksi empedu. Hati merupakan organ penting untuk
anabolsime dan katabolisme tubuh dan juga organ utama yang terlibat
dalam meregulasi komposisi sirkulasi darah. Seluruh darah yang
meninggalkan perumkaan saluran gastrointestinal masuk kedalam sistem
portal hati dan aliran kedalam hati. Sel-sel hati dapat mengekstraksi
material nutrisi yang diabsorbsi dari racun yang terdapat di darah sebelum
masuk ke sirkulasi sistemik. Kelebihan nutrisi akan dipindahkan atau
disimpan. Dan kekurangan nutrisi akan dilakukan koreksi dengan
memobilisasi nutrisi cadangan melalui berbagai aktivitas sintesis.

2.2 Enteritis Regional (Penyakit Crohn)


2.2.1 Definisi Enteritis Regional (Penyakit Crohn)
Penyakit regional atau lebih dikenal dengn penyakit Crohn adalah
suatu penyakit idiopatik dan kronis dengan perdangan pada intestinal yang
sering menyebabkan fibrosis dan gejala obstruktif, yang dapat
memengaruhi bagian mana pun dari saluran gastrointestinal dari mulut ke
anus.

10
2.2.2 Faktor Risiko Enteritis Regional (Penyakit Crohn)
1. Faktor keturunan atau genetik.

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam


patogenesis Crohns disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk
timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohns
disease. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penyakit Crohn
mungkin memiliki link genetik. Penyakit ini berjalan dalam keluarga dan
mereka yang memiliki saudara dengan penyakit tersebut adalah 30 kali
lebih mungkin untuk mengembangkannya daripada populasi normal.
Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohns disease (20%) mempunyai
setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama.

2. Sistem kekebalan tubuh.


Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-
pasien dengan Crohns disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral
dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan
adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada
respons inflamasi saluran cerna pada Crohns disease mencakup sitokin-
sitokin
3. Faktor usia.
Meski penyakit Crohn bisa muncul kapan saja, kondisi ini lebih
sering dialami pada usia muda. Kebanyakan penyakit Crohn terdiagnosis
di bawah usia 30 tahun.
4. Merokok.
Risiko paling tinggi dalam menyebabkan penyakit Crohn adalah
merokok, selain faktor riwayat kesehatan keluarga dan latar belakang
etnis. Orang yang merokok berisiko dua kali lipat dibandingkan orang

11
yang tidak merokok. Gejala penyakit Crohn pada orang yang merokok
biasanya lebih parah dan cenderung membutuhkan operasi untuk
penanganannya.
5. Infeksi.
Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga
merupakan penyebab potensial Crohns disease, namun terdapat dua agen
infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya
Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang
diperkirakan menjadi penyebab Crohns disease adalah Chlamydia,
Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.

2.2.3 Etiologi Enteritis Regional (Penyakit Crohn)


Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa predeposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas,
makanan, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok,
kontrasepsi oral, serta menggunakan obat NSAID, diyakini oleh sebagian
besar ahli terlibat dalam patogenesis enteritis regional.
Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan
penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel
mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip
yang kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan
memiliki kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). Pengaruh
lingkungan seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada
enteritis regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai resiko
rendah untuk pengembangan enteritis regional dan berbanding terbalik
dengan terjadinya risiko kolitis ulseratif.

2.2.4 Patofisiologi Enteritis Regional (Penyakit Crohn)


Awal dimulainya penyakit chron masih belum diketahui,
namun beberapa predeposisi seperti, gen, infeksi, imunitas, makanan,
penyakit vaskuler dan faktor psikososial menyebabkan penyakit ini.
contohnya penyakit chron yang disebabkan karena infeksi. Kemungkinan
infeksi seperti mycobacterium paraturbeculosis, pesudomonas, dan
listeria mempunyai keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal

12
ini menunjukkan bahwa radang dengan penyakit menghasilkan kondisi
disfungsi terhadap sumber infeksi. Secara mikroskopis, lesi awal dimulai
sebagai fokus peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal.
Kemudian menyerang sel-sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam
proses mulai membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua
lapisan dinding usus dan masuk ke dalam mesenterium dan kelenjar getah
bening regional. Menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dari usus.
Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk penumpulan vili di usus.
Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan sering terlihat.
Secara makroskopis kelainan awal adalah hiperemia dan edema
dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid
dangkal dan dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa.
Keadaan ini dapat menjadi mendalam, borok serpiginous terletak
melintang dan longitudinal di atas mukosa yang meradang. Lesi sering
segmental dan dipisahkan oleh daerah sehat
Hasil peradangan membentuk penebalan dinding usus dan
penyempitan lumen. Obstruksi yang awalnya disebabkan oleh edema dari
mukosa dan spasme usus terkait, semakin lama akan menjadi kronis akibat
jaringan parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan
dari enteritis regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau
ulkus yang menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya
sinus yang menembus serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi,
malabsorpsi. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga
melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya.

13
Infeksi Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria
Imunitas Genetik

pat lesi di mukosa gastrointestinal yang terlibat sebagai


Responrespon awaltidak
imun yang inflamasi
terkontrol Mutasi gen NOD2

Sistem imun menyerang sel inflamasi dalam TNF-alpha,


Produksi lapisan mukosa
IL-12, dan interferon gamma

Inflamasi saluran gastrointestinal

Membentuk granuloma

Granuloma menyelimuti seluruh mukosa yang ter-inflamasi

Kerusakan lapisan yang dalam akibat infiltrasi neutrofil


2.2.5 WOC Enteritis Regional (Penyakit Crohn)

Enteritis Regional

Peradangan transmural
Respon psikologis
Penurunan absorpsi nutrisi dan asam
Sel-sel di daerah usus mengeluarkan sejumlah besar air dan garam
Penyempitan dan penebalan lumen intestinal
Kecemasan pemenuhan informasi
Malnutrisi protein-kalori

Obstruksi intestinal
Karena usus tidak dapat menyerap sepenuhnya kelebihan cairan Anemia

Gangguan transportasi makananCepat lelah, keletihan


Diare

Output cairan berlebih Kram abdomen Intoleransi aktivitas


Mual, muntah, nafsu makan

Nyeri
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan 14
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan BB
2.2.6 Manifestasi Klinis Enteritis Regional (Penyakit Crohn)
Gejala klinis yang paling sering timbul adalah sebagai berikut
(brunner & suddarth, 2002) :

a Nyeri abdomen
b Diare yang tidak hilang dengan defekasi, terjadi pada 90% pasien
c Jaringan parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan
usus untuk menstranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen
terkonstriksi mengakibatkan nyeri abdomen seperti kram . karena
peristaltic usus di rangsang oleh makanan, nyeri terjadi setelah makan.
Untuk menghindari nyeri, pasien cenderung untuk membatasi masukan
makanan , mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan
nutrisi normal tidak terpenuhi
d Penurunan berat badan ,malnutrisi, 3nemia sekunder.akibatnya individu
menjadi kurus karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan hilang
secara terus-menerus

15
e Usus yang terinflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk abses
anal dan intra-abdomen . terjadi demam dan leukositosis. Abses ,fistula,
dan fisura umum terjadi
f Perjalan klinis dan gejala bervariasi. Pada beberapa pasien terjadi periode
remisi dan eksaserbasi, sementara yang lain mengikuti beratnya penyebab
g Gejala meluas keseluruhan saluran gastrointestinal dan umumnya
mencakup masalah sendi(arthritis),lesi kulit(eritema nodosum),gangguan
okuler(konjungtivitis), ulkus oral

Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit


perut dan diaresering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak
muncul sama sekali.Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi,
demam, anemia atau pertumbuhanyang lambat. Pola umum dari penyakit
Crohn, Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda,
tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :

1 Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan


2 Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan
nyeri hebat didinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-
muntah
3 Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan
kurang gizidan kelemahan menahun
4 Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah
(abses),yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang
terasa nyeri dan penurunan berat badan.

2.2.7 Komplikasi Enteritis Regional (Penyakit Crohn)


Obstruksi usus atau pembentukan struktur, penyakit perianal,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan pembentukan fistula serta
abses. Fistula adalah hubungan abnorml antara dua struktur tubuh, baik
internal (Antara dua struktur) atau eksternal (antara sruktur internal dan
permukaan luas tubuh). Jenis fistula usus halus usus halus yang paling
umum yang diakibatkan oleh enteritis regional adalah fistula enterokutan
(Antara usus halus dan kulit). Abses dapat berasal dari jalur fistula internal
yang kemudian masuk kedalam area yang mengakibatkan akumulasi
cairan dan infeksi. (brunner & suddarth, 2002).

16
2.2.8 Penatalaksanaan Enteritis Regional (Penyakit Crohn)
a. Penatalaksanaan Umum
Koreksi anemia, malnutrisi, dehidrasi
Diet rendah serat, suplementasi vitamin, besi, atau asam
folat
b. Penatalaksanaan farmakologi
5-Aminosalicylic acid (5ASA mesalazine). Ini adalah
senyawa dari aksi lokal anti-inflamasi, terutama pada colon,
dan dapat pengaturan rectal atau oral. Perlambatan
perumusan pelapasan (pentasa atau asacol) melarutkan di
dalam kolon, pada saat mentrransfirkan pembentukan dari
5asa (sulphasalazine. osalazine, dan basalazine) adalah
pelepasan enzim di dalam colon oleh bakteri
Corticosteroids, terapi steroid biasanya efektif
mempengaruhi remisi dan bisa digunakan terutama untuk
pengobatan penyakit yang akut dan sudah mulai adanya
pembusukan. Itu mungkin dapat diatur oleh parenteral, oral,
dan rectal. Memperpanjang pengobatan steroid sistemik
banyak efek yang merugikan. Mencangkup memperburuk
osteoporosis. Budesonide adalah sintetik steroid proses
metabolisme dengan cepat oleh liver. Menghasilkan level
sistemil yang lebih rendah, dan kemungkinan itu sebagai
partikel yang efektif dari penyakit terminal chron disease
Immunosupresive, obat seperti azathioprine, 6-
mercaptopurine dan methotrexate dapat digunakan,
terutama ketika sering mengalami relaps mengharuskan
mengulangi pengobatan steroid
Antibiotik, metronidazole, mungkin membujuk remisi dari
beberapa penyebab chron disease tapi ini tidak efektif di
ulseratif colitis
Probiotik, bakteria yang hidup, untuk memperbaiki dari
keseimbanan flora normal pada usus, telah digunakan untuk
pengobatan dengan berhasil (Keshaf, satish. 2004)
c. Pembedahan
Indikasi untuk pembedahan adalah :

17
1. Kelainan-kelainan perianal
2. Obstruksi
3. Bila ada perdarahan yang banyak
4. Adanya keganasan
5. Bila pengobatan dengan obat-obat dan diit tidak memberikan h
asil yang baik.
Pembedahan Peproctocolectomy (pemotongan colon dan
rectum) adalah penyembuhan untuk colitis ulseratif dan digunakan
sebagai tempat beristirahat selanjutnya untuk penyakit ringan atau
dimana timbul dysplasia. Chron disease hampir tanpa terkecuali
setelah operasi oleh karena itu, penggunaan prosedur bedah lebih
terbatas. Contohnya pengurangan tanda dan gejala penyempitan
atau terjadi abses (keshaf, satish. 2004)
Lebih dari 80% pasien yang telah lama menderita penyakit
Chron akan menjalani operasi walaupun operasi tak mencegah
rekuensi, namun dapat menghilangkan gejala dalam waktu lama
(mansjoer arif, dkk. 2001).

2.3 Kolitis Ulseratif


2.3.1 Definisi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang
terjadi pada mukosa usus besar, khususnya pada bagian kolon descenden
sampai rektum.

2.3.2 Faktor Risiko Kolitis Ulseratif


1. Stress psikologik dan stress psikososial
Walaupun tidak secara langsung memengaruhi, tetapi seseorang
dengan masalah psikis sering kali memiliki pola makan yang tidak teratur
sehingga dapat mencetus kolitis ulseratif
2. Umur

18
Kolitis ulseratif biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, tetapi
sebenarnya bisa terjadi pada semua usia, dan beberapa orang mulai terkena
penyakit pada usia 50-60 tahun.
3. Riwayat keluarga
Beresiko lebih tinggi jika seseorang memiliki kerabat dekat seperti
orang tua, saudara atau anak yang terkena penyakit ini.

4. Diet susu
Diet susu dan rendah serat diduga berpengaruh terhadap terjadinya
IBD, walaupun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
5. Obat-obatan
Obat-obatan: penelitian juga menunjukkan hubungan antara asupan
oral pil kontrasepsi dan kolitis ulseratif dapat menyebabkan pasien
menderita serangan apalagi jika mengkonsumsi antibiotik dan NSAIDs.
6. Imunitas
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-
ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun
p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun
ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA
negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.

2.3.3 Etiologi Kolitis Ulseratif


Penyebab penyakit kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi
fenomena autoimun, faktor genetik, perokok pasif, diet, pascaapendiktomi,
dan infeksi.
Pada fenomena autoimun, serum, dan mukosa auot-antibodi akan
melawan sel-sel epitel usus yang mungkin terlibat. Pada studi individu
dengan kolitis ulseratif sering ditemukan memiliki antibodi P-
antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi,1998). Faktor konsumsi makanan,
khususnya t=yang terbuat dari susu dapat mengekserbasi (meningkatkan)
respon penyakit. Pascaapendiktomi mempunyai asosiasi negatif dengan
kolitis ulseratif. Infeksi tertentu telah terlibat dalam penyakit inflamasi
usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri atipikal.

2.3.4 Patofisiologi Kolitis Ulseratif

19
Mula terjadinya kolitis ulseratif sangat beragam penyebabnya
seperti autoimun, genetik, diet, perokok pasif, infeksi dan
pascaapendiktomi. Pada fenomena yang diperantarai respon imun, terdapat
kelainan humoral dan imunitas yang diperantarai sel dan/atau reaktivitas
umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi terhadap flora
usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam patogenesis
penyakit inflamasi usus. Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa,
kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel
goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat, dalam
beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Atau megakolon toksik, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis,
pembesaran, serta dilatasi usus besar yang mungkin terjadinya perforasi.
Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukan pseudopolip pada sekitar
15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan
dengan prekanker kolon. Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis
fulmina
Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat,
yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut:
1 Akumulasi sel T didalam lamina propia dari segmen kolon yang
mengalami peradangan. Perubahan ini disertai dengan peningkatan
populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan IgG dan IgE
2 Pelepasan PAF (platelet-activating factor) dirangsang oleh
leukotrienes, endotoksin, atau faktor lain yang mungki
bertanggungjawab atas peradangan mukosa.
3 Antobodi antikolonik telah terdeteksi pada pasien dengan ulseratif
kolitis.
Respon awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada
terbentuknya jaringan parut dan pembentukan ulkus disertai dengan
adanya pendarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran, satu lesi
diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit dimuali dari rektum dan
akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Pada kondisi ini, dengan adanya
respon inflamasi lokal yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi
dari lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usu menebal sehingga
memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendekan

20
dari usus. Perubahan peradangan secara mikroskopis jaringan yang
mengalami ulkus segera ditutupi oleh jaringan yang selanjutnya akan
merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan polypoidal atau yang dikenal
dengan polip atau peradangan pseudopolip.

2.3.5 WOC Kolitis Ulseratif

Infeksi Auto-imun Genetik

Memiliki antibodi
Campak, infeksi mikrobakteri atipikal Adanya fenotipe HLA-B27
p-antineutropil cytoplasmic

Sel T sitotoksik ke epitel kolon


Resiko kolitis ulseratif

Melawan sel-sel epitel kolon yang terlibat

Inflamasi di lapisan mukosa kolon

Kolitis Ulseratif

Edema dan pembentukam abses pada mukosa kolon yang terlibat

Terbentuk jaringan parut dan ulkus pada kolon

Penyempitan dan penebalan kolon akibat


Respon psikologis Pendarahan

Diare kadanag di sertai darah


Anemia
Kecemasan pemenuhan informasi Gangguan transportasi makanan

Cepat lelah, keletihan


Output cairan berlebih

Kram abdomen bawah kiri


Intoleransi
Mual, muntah, nafsu makan aktivitas
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Nyeri
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit 21

Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan BB


2.3.6 Manifestasi Klinis Kolitis Ulseratif

1. Kolitis ulseratif akut fulminan ditandai oleh awitan mendadak disertai


diare berdarah, nausea, muntah-muntah yang hebat, demam prognosis
jelek dan sering terjadi komplikasi mengakolon toksik.

2. Kolitis ulseratif kronik intermitten (rekuren)

Timbulnya cenderung pelan-lean selama berbulan-bulan sampai


bertahun-tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan singkat
yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan
berlangsung 1 3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada
demam diare mungkin ringan, perdarahan ringan dan intermiten biasanya
hanya colon bagian distal yang terserang

3. Kolitis ulseratif kronik kontinyu.

Demam dan gejala-gejala sistemik dapat timbul pada bentuk yang


lebih berat dan serangan berlangsung 3 atau 4 bulan pada keadaan ini
penderita diare terus-menerus colon yang terserang cenderung lebih luas.
Defekasi lebih dari 6 x sehari disertai banyak darah dan mucus nyeri kolik
hebat.

2.3.7 Komplikasi Kolitis Ulseratif

Fistula dan fisura abses rectal

Dilatasi toksik atau megakolon

Perforasi usus

Karsinoma kolon

Obstruksi

22
Dehidrasi
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Terjadinya malabsorbsi umum
Kehilangan darah dalam feces dapat menyebabkan anemia defisiensi besi

2.3.8 Penatalaksanaan Kolitis Ulseratif


a Penatalaksanaan Medis
Terapi Obat - obatan
Terapi obat-obatan. Obat-obatan sedatif dan antidiare/antiperistaltik
digunakan untuk mengurangi peristaltik sampai minimum untuk
mengistirahatkan usus yang terinflamasi. Terapi ini dilanjutkan sampai
frekuensi defekasi dan kosistensi feses pasien mendekati normal.
Sulfonamida seperti sulfasalazin (azulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotik digunakan untuk infeksi sekunder, terutama untuk
komplikasi purulen seperti abses, perforasi, dan peritonitis. Azulfidin
membantu dalam mencegah kekambuhan. (Brunner & Suddarth, 2002,
hal 1107-1108).
Pembedahan
Pembedahan umunya digunakan untuk mengatasi kolitis ulseratif
bila penatalaksaan medikal gagal dan kondisi sulit diatasi, intervensi
bedah biasanya diindikasi untuk kolitis ulseratif. Pembedahan dapat
diindikasikan pada kedua kondisi untuk komplikasi seperti perforasi,
hemoragi, obstruksi megakolon, abses, fistula, dan kondisi sulit
sembuh.(Cecily Lynn betz & Linda sowden. 2007, hal 323-324)
b Penatalaksanaan Keperawatan
Masukan diet dan cairan
Cairan oral, diet rendah residu-tinggi protein-tinggi kalori, dan
terapi suplemem vitamin dan pengganti besi diberikan untuk
memenuhui kebutuhan nutrisi. Ketidak- seimbangan cairan dan
elektrolit yang dihubungkan dengan dehidrasi akibat diare, diatasi
dengan terapi intravena sesuai dengan kebutuhan. Adanya makanan
yang mengeksaserbasi diare harus dihindari. Susu dapat menimbulkan

23
diare pada individu intoleran terhadap lactose.Selain itu makanan
dingin dan merokok juga dapat dihindari, karena keduanya dapat
meningkatkan morbilitas usus. Nutrisi parenteral total dapat diberikan.
(Brunner & Suddarth, 2002, hal 1106-1107).

Psikoterapi
Ditunjukkan untuk menentukan faktor yang menyebabkan stres
pada pasien, kemampuan menghadapi faktor-faktor ini, dan upaya
untuk mengatasi konflik sehingga mereka tidak berkabung karena
kondisi mereka. (Brunner & Suddarth, 2002, hal 1108).

2.4 Tabel Perbedaan Penyakit Crohn dengan Kolitis Ulseratif

Penyakit Crohn Kolitis Ulseratif


Lokasi peradangan bisa timbul dimana saja, Banyak terjadi di kolon
sepanjang GI Tract. hingga rektum.
Inflamasi Pada daerah tertentu saja, Inflamasi berkelanjutan,
tidak secara keseluruhan. berada sepanjang lokasi
yang terpapar.
Nyeri Sering dirasakan pada Sering dirasakan pada
abdomen regio kanan abdomen regio kiri bawah
bawah (ileosekal). (kolon desenden hingga
rektum).
Penampakan fisik Dinding usus bisa Dinding kolon menjadi
mengalami penebalan dan lebih tipis dan
terlihat seperti bebatuan, memperlihatkan adanya
ulser yang terdapat di inflamasi secara
sepanjang dinding GI Tract berkelanjtan. Lapisan
lokasinya sangat dalam dan mukus usus besar bisa
bisa menyentuh ke semua mengalami ulser, tetapi
bagian dinding bowel tidak sampai menjalar ke
transmural. lapisan yang lain
submukosa atau mukosa.
Perdarahan Tidak disertai hematokezia, Terdapat hematokezia sejak
tetapi bila tidak segera awal gejala.
ditangani, maka

24
hematokezia bisa menjadi
gejala primer. Atau karena
pengaruh obat-obatan dan
makanan yang dikonsumsi.
Komplikasi Timbul fistula, abses, Perdarahan, toksik
obstruksi. megakolon.
Temuan radiografi Tanda seperti benang/tali Tanda seperti pipa panjang
pada saat pemeriksaan saat pemeriksaan barium.
barium.
Risiko terhadap kanker Lebih sedikit Risiko lebih besar dan jelas
kolon mengakibatkan kanker bila mengarah ke kanker kolon.
segera dilakukan terapi.

2.5 Asuhan Keperawatan Enteritis Regional (Penyakit Crohn) dan Kolitis


Ulseratif
Enteritis regional atau penyakit Crohn adalah suatu penyakit
idiopatik dan kronis dengan proses peradangan pada intestinal yang sering
menyebabkan fibrosis dan gejala obstruktif, yang dapat memengaruhi
bagian manapun dari saluran gastrointestinal dari mulut ke anus.
Sedangkan Kolitis ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik
(belum jelas penyebab pastinya) yang terjadi pada usus besar, khususnya
bagian kolon descenden sampai rektum. Kondisi ini diyakini sebagai hasil
dari ketidakseimbangan antara pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi.
Sebagian besar kasus enteritis regional melibatkan usus halus, khususnya
ileum terminal. Manifestasi enteritis regional adalah sakit perut dan diare,
yang mungkin menjadi rumit oleh fistula usus, obstruksi, atau keduanya.
Penyakit ini mempunyai sifat yang sulit diprediksi dan mempunyai tingkat
remisi jangka panjang (Aufses, 2001 dalam buku Gangguan
Gastrointestinal:Salemba Medika).

2.5.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian keperawatan merupakan salah satu proses penting
komponen asuhan keperawatan bagi klien. Pengkajian penyakit Crohn dan

25
kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik dan
evaluasi diagnostik. Kaji pula data demografi (identitas) klien. Adapun
data yang harus dikumpulkan oleh perawat adalah:
1. Data Subyektif
Data yang didapatkan berdasarkan hasil wawancara oleh perawat
kepada klien ataupun keluarga klien yang sifatnya tidak dapat diukur
dengan jelas karena merupakan suatu penilaian subyektif.
2. Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang dapat diukur hasilnya.Data obyektif
diperoleh melalui hasil pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang
lainnya seperti hasil pemeriksaan laboratorium. Adapun hal-hal yang perlu
dikaji pada klien dengan gangguan sistem pencernaan antara lain; (1)
Riwayat Kesehatan, (2) Pemeriksaan Fisik, dan (3) Pengkajian
Psikososial.

2.5.2 Riwayat Kesehatan


Riwayat kesehatan yang perlu dikaji adalah riwayat kesehatan
sekarang dan dahulu. Serta perlu dikaji pula riwayat psikososial apakah
ada pengaruh terhadap pola kehidupan sehari-hari atau tidak.
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang lazim didapatkan saat melakukan anamnesa
adalah adanya nyeri abdomen atau diare. Keluhan nyeri biasnaya bersifat
kronis yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kanan bawah
dan kondisi rasa sakit dapat mendahului diare, serta mungkin beberapa
dari pasien melaporkan perasaan nyaman setelah buang air besar (BAB).
Diare biasanya tanpa disertai darah dan sering terputus-putus atau tidak
mau berkurang dengan melakukan defekasi. Akan tetapi, apabila usus
besar yang terlibat, pasien dapat melaporkan nyeri perut difus disertai
dengan BAB lendir, darah, atau nanah (Fiocchi, 1998). 1 Pasien juga
mengeluh bahwa saat BAB timbul perasaan seperti ada yang menghalangi.
Awalnya halangan tersebut adalah peradangan sekunder edema dan
spasme usus, kemudian bermanifestasi sebagai kembung dan kram.

1 Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011.Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:Salemba Medika

26
Setelah menjadi kronis, lumen usus menyempit, pasien mungkin mengeluh
sembelit dan kesukaran membuang air besar (Briones, 2007).

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan lainnya yang menyertai terjangkitnya enteritis regional,
seperti peningkatan suhu tubuh, mual muntah, anoreksia, perasaan lemah,
dan penurunan nafsu makan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tujuan pengkajian riwayat penyakit dahulu adalah untuk
menentukan dasar yang menyebabkan enteritis regional, serta mengenali
penyakit yang pernah diderita klien apakah mampu menimbulkan penyakit
Crohn atau tidak. Pengkajian predisposisi seperti genetik, infeksi,
imunitas, makanan, dan vaskular perlu didokumentasikan. Anamnesis
penyakit sistemik seperti diabetes, hipertensi, dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d. Riwayat Psikososial
Lakukan pengkajian tingkat stres klien seperti akibat rasa nyeri
abdomen yang diderita, serta kebiasaan sehari-hari seperti merokok,
mengonsumsi alkohol, serta obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID).
Pengkajian dan pendokumentasian sangat dibutuhkan untuk menguatkan
diagnosa yang ada.

2.5.3Pemeriksaan Fisik
B1: takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme
kompensasi asidosis dalam kasus dehidrasi parah.
B2: takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit
>3 detik menandakan gejala dehidrasi.
B3: perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan
perfusi ke otak. Pasien dengan episkleritis dapat hadir dengan
erythematous yang menyakitkan mata.
B4: oliguria dan anuria pada dehidrasi berat.

27
B5: Inspeksi: kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan
kembung. Saat kondisi kronis, status nutrisi bisa didapatkan tanda-
tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
Auskultasi: bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipoaktif.
Nada gemerincing bernada tinggi dapat ditemukan dalam kasus-
kasus obstruksi.
Palpasi: terdapat nyeri tekan abdomen, menunjukkan
penyakit parah yang kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat
terjadi pada kuadran kanan bawah. Sebuah massa dapat teraba
menunjukkan obstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa
mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun
terkait atau kolangitis sklerosis.
Perkusi: nyeri ketuk dan timfani akibat adanya flatulen.
B6: kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian
energi setelah nyeri dan diare. Nyeri sendi adalah gejala umum
yang ditemukan pada penyakit inflamasi usus. Sendi besar, seperti
lutut, pergelangan kaki, pergelangan kanan, dan siku, yang paling
sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat terlibat. Pada integumen,
kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan turgor
kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada
permukaan ekstensor.

2.5.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009).
a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk
peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan
malabsorpsi B12 atau folat ( normalnya yaitu hemoglobin <14 g/dL
pada pria dan <12 g/dL pada wanita).
b. Hipoalbuminemia (albumin <3,5 g/dl), hipokalsemia (kalsium <8,8
mg/dL), hipomagnesemia (konsentrasi magnesium <1,6 mEq/L), dan
hipoprothrombinemia (tes koagulasi protombin <11-12,5 detik (85-
100%) mungkin mencerminkan malabsorpsi.

28
c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau
pengobatan steroid.
d. Masker inflamasi akut, seperti CRP dan orosomucoid, berkorelasi erat
dengan aktivitas penyakit. Laju endap darah (ESR) dianggap lebih
bermanfaat dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada colitis
ileitis (variabel referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan
peningkatan CRP (>100 mg/L).
e. Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan feses yang cermat
dilakukan untuk membedakannya dengan disentri yang disebabkan
oleh organisme usus umum, khususnya Enthamoeba histolytica. Feses
positif terhadap darah.
f. Peningkatan alkalin fosfatase: lebih dari 125 U/L menunjukkan
kolangitis sklerosing primer (biasanya >3 kali batas atas dari kisaran
referensi).
g. Trombositosis (platelet >350.000/L).
2. Pemeriksaan radiografik
a. Studi kontras barium
Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan
tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah pasien dapat
menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam
evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi
fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema submukosa.
Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin tampak sebagai
penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi oleh studi barium
saluran pencernaan atau melalui suntikan kedalam pembukaan fistula yang
dicurigai (Mackalski, 2006).
b. CT Scan
CT Scan yang membantu dalam penilaian diluar sekolah
komplikasi seperti fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi
ginjal (Mackalski, 2006).
c. MRI
Dapat lebih unggul dari CT Scan dalam menunjukkan lesi panggul.
Oleh karena kadar air diferensial, MRI dapat membedakan peradangan
aktif dari fibrosis dan dapat membedakan antara inflamasi serta lesi
fibrostenosis enteritis regional (Chen, 2007).
3. Pemeriksaan USG

29
USG dapat membantu dalam membedakan kelainan tubo-ovarium.
Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran kelenjar getah
bening, abses, stenoses, atau bahkan fistula. USG dianggap sebagai cara
yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu dalam
diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi klien untuk komplikasi
(Wu, 2009).
4. Pemeriksaan kolonoskopi
Kolonoskopi dapat membantu ketika barium enema satu kontras
belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon. Kolonoskopi
berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam
diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam
pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan
memvisualisasi fibrosis striktur pada klien dengan penyakit kronis. Selain
itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi bedah
untuk mengevaluasi anastomosis dan memprediksi kemungkinan kambuh
klinis, serta respons terhadap terapi pasca operasi (Mackalski, 2006).
5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP sangat membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat
terapeutik pada pasien dengan striktur kolangitis sklerosa (Wu, 2009).
Endoskopi dapat menunjukkan mukosa yang rapuh, mukosa terinflamasi
dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat
memberikan diagnosis colitis. Tujuan ini dari pemeriksaan ini adalah
untuk mendokumentasikan sejauh mana progresivitas penyakit, untuk
memantau aktivitas penyakit, dan sebagai surveilans untuk displasia atau
kanker. Namun, berhati-hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsi pada
pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi atau
komplikasi lainnya (Rajwal, 2004).

2.5.5 Pengkajian Penatalaksanaan Medis


1. Penurunan respons diare.
a. Pemberian antidiare;
b. Pemberian diet rendah lemak;
c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg),
dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamin (0,125 mg);
d. Antimikroba; dan
e. Antiinflamasi.

30
2. Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan
untuk mencegah komplikasi. Pertimbangan-pertimbangan yang dapat
dilakukan meliputi:
a. Tumor Necrotic Factors (TNF) inhibitors. Agen ini mencegah sitokin
endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan mengerahkan
aktivitas biologis.
b. Immunomodulators. Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem
kekebalan tubuh.
c. Antibiotik. Penggunaan antibiotik belum terbukti memberikan
keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol untuk
pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan atas
dasar empiris pada pasien dengan colitis yang parah dan dapat
membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d. Kortikosteroid. Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif
untuk induksi remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat dalam
mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
efek samping.
3. Terapi steroid
Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik
yang parah (misal: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam
kondisi mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-
60 mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah remisi
tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu). Pada
klien yang kambuh setelah pemberian steroid, pilihan perawatan lain
diperlukan. Steroid tidak diindikasikan untuk terapi perawatan karena
komplikasi serius, seperti nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak,
diabetes dan hipertensi.
4. Terapi imunosupresi
Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil
maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6-
mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya resiko
supresi sumsum tulang.
5. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis
regional untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi

31
medis gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan
secara berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam
kasus diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi perdarahan atau
fistula benterovesiculer, enterocutaneous, cologastric, dan fistula
coloduodenal (Valusek, 2006).
Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif meliputi:
Subtotal Colectomy with Ileostomy and Hartmanns Pouch, Total
Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal
Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch,
Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal
Transition Zone Preservation, dan Diverting Ileostomy. Pertimbangan
untuk melakukan total kolektomi adalah:
a. Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b. Terdapat bukti karsinoma atau displasia.
c. Perdarahan parah.
d. Colitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e. Megakolon toksik.
f. Perforasi.
g. Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h. Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i. Gagal tumbuh pada anak-anak.
Tingkat kekambuhan pada pasca operasi tetap tinggi, manajemen
medis meskipun dalam periode pasca operasi. Tingkat berulangnya pasien
yang menjalani total kolektomi dan ileostomi tampaknya lebih rendah
daripada mereka yang menjalani prosedur segmental (Markowitz, 2005).
6. Diet
Diet pada klien dengan enteritis regional harus dijalankan secara
seimbang. Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan
penyakit kolon karena fakta menyatakan bahwa serat makanan dapat
diubah menjadi rantai pendek asam lemak, yang menyediakan bahan bakar
untuk penyembuhan mukosa kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi (Heuschkel, 2004).
Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki
intoleransi laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun,
suplemen kalsium mungkin diperlukan.
Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk
merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200

32
kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi
pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal. Indikasi untuk
Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan jangka pendek: pasien dengan inflamasi aktif
dan kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan
sejak preoperatif;
b. Penggunaan jangka panjang: pasien yang telah mengalami
reseksi usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek.

2.5.6 Diagnosis Keperawatan


1. Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram, abdomen, respons
pembedahan.
2. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh
melalui muntah.
3. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d. intake makanan yang kurang adekuat.
4. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi diagnostik, rencana
pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
5. Defisit perawatan diri b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pasca-
nyeri, dan diare.
6. Risiko injuri b.d. pascaprosedur bedah kolektomi dan ileostomi.
7. Aktual/risiko ketidak efektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan
batuk menurun, nyeri pascabedah.
8. Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entree luka pascabedah.
9. Kecemasan b.d. prognosis penyakit, misinterpretasi informasi, dan
rencana pembedahan.

2.5.7 Rencana Keperawatan


Rencana keperawatan disusun sesuai dengan tingkat toleransi
individu. Pada pasien enteritis regional, intervensi pada masalah
keperawatan aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas dapat
disesuaikan pada pasien dengan pasca bedah gastrektomi (bedah
lambung). Penggunaan intervensi masalah kecemasan dan pemenuhan
informasi dapat disesuaikan dengan intervensi pada pasien divertikulitis.
Masalah keperawatan risiko injuri dan risiko tinggi infeksi disesuaikan
dengan masalah yang sama pada pasien peritonitis.

33
Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons pembedahan.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam pascabedah nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi:
Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi;
Skala nyeri 0-1 (0-4);
TTV dalam batas normal, pasien nampak rileks.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
dan noninvasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri
keperawatan, meliputi:
Kaji nyeri dengan pendekatan Pendekatan PQRST dapat secara
PQRST. komprehensif menggali kondisi nyeri
pasien.
Beri oksigen nasal apabila skala Pemberian oksigen dilakukan untuk
nyeri 3 (0-4). memenuhi kebutuhan oksigen pada saat
pasien mengalami nyeri pascabedah
yang bisa mengganggu kondisi
hemodinamik.
Istirahatkan pasien pada saat
Istirahat diperlukan untuk menurunkan
nyeri muncul. Biasakan pasien
peristaltik usus. Istirahat secara
untuk BAB diatas tempat tidur.
fisiologis dan melakukan BAB diatas
tempat tidur akan menurunkan
kebutuhan oksigen yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal pada aktivitas dan
menurunkan keletihan pasca nyeri.
Atur posisi fisiologis Pengaturan posisi semifowler dapat
membantu merelaksasi otot-otot
abdomen pascabedah sehingga dapat
menurunkan stimulus nyeri dari luka
pasca bedah.

34
Beri kompres hangat pada area Memberikan respons vasodilatasi.
abdomen Kompres ini hanya dilakukan pada
pasien tanpa pembedahan.
Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan intake oksigen sehingga
pernapasan dalam pada saat akan menurunkan nyeri sekunder dari
nyeri muncul. iskemia spina

Ajarkan teknik distraksi pada Distraksi (pengalihan perhatian) dapat


saat nyeri. menurunkan stimulus internal.

Lakukan manajemen sentuhan. Manajemen sentuhan pada saat nyeri


berupa sentuhan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan nyeri.
Tingkatkan pengetahuan tentang: Pengetahuan yang akan dirasakan
sebab-sebab nyeri dan menghubungkan membantu mengurangi nyerinya dan
berapa lama nyeri akan berlangsung. dapat membantu mengembangkan
kepatuhan pasien terhadap rencana
terapeutik.
Kolaborasi dengan tim medis untuk Analgetik membantu menghambat
pemberian: stimulus nyeri ke pusat persepsi nyeri
Analgetik IV di korteks serebri sehingga nyeri dapat
berkurang.
Antidiare
Penurunan respons diare dapat
menurunkan stimulus nyeri.

Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurangnya intake makanan
yang adekuat.
Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam pascabedah
intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi:
Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
Keluhan mual dan muntah berkurang.
Secara subjektif melaporkan peningkatan napsu makan.
Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.

35
Intervensi Rasional
Kaji dan berikan nutrisi sesuai tingkat Pemberian nutrisi pada pasien dengan
toleransi individu. enteritis regional bervariasi sesuai
dengan kondisi klinik dan tingkat
toleransi individu.
Sajikan makanan dengan cara yang Membantu merangsang nafsu makan.
baik. Tindakan ini dapat diberikan bila
toleransi oral tidak menjadi masalah
pada pasien.
Fasilitasi pasien untuk mendapatkan Diet diberikan pada pasien dengan
diet rendah lemak. gejala malabsorpsi akibat hilangnya
fungsi penyerapan permukaan mukosa,
khususnya penyerapan lemak.
Keterlibatan ileum terminal dapat
mengakibatkan steatorrhea (BAB
bercampur lemak).
Fasilitasi pasien memperoleh diet Suplemen serat dikatakan bermanfaat
dengan kandungan serat tingi. bagi pasien dengan penyakit kolon
karena fakta bahwa serat makanan
dapat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak yang menyediakan bahan
bakar untuk penyembuhan mukosa
kolon.
Fasilitasi pasien memperoleh diet Diet rendah serat biasanya
rendah serat pada pasien gejala diindikasikan untuk pasien dengan
obstruksi. gejala obstruksi.
Fasilitasi untuk pemberian nutrisi Nutrisi parenteral total (TPN)
parenteral total. digunakan bila gejala penyakit usus
inflamasi bertambah berat. Dengan
TPN, perawat dapat mempertahankan
catatan akurat tentang intake dan output
cairan, serta berat badan pasien setiap
hari. Berat badan pasien harus
meningkat 0,5 kg setiap hari selama

36
terapi. Urin diuji setiap hari terhadap
adanya glukosa, aseton, dan berat jenis
bila TPN digunakan. Pemberian makan
yang tinggi protein, rendah lemak, dan
residu digunakan setelah terapi TPN
karena makanan ini dicerna terutama
dalam jejunum, tidak merangsang
sekresi usus, dan memungkinkan usus
beristirahat. Intoleransi dicatat bila
pasien menunjukkan mual, muntah,
diare, atau distensi abdomen.
Pantau intake dan output, anjurkan Berguna dalam mengukur keefektifan
untuk timbang berat badan secara nutrisi dan dukungan cairan.
periodik (sekali seminggu).
Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk menurunkan risiko
infeksi oral.
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai Ahli gizi harus terlibat dalam
jenis nutrisi yang akan diperlukan penentuan komposisi dan jenis
pasien. makanan yang akan diberikan sesuai
dengan kebutuhan individu.

Aktual/risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d. diare, kehilangan


cairan dari gastrointestinal,gangguan absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit
dari muntah.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
Kriteria evaluasi:
Pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran
optimal.
Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT < 3 DETIK.
Laboratorium: nilai elektrolit normal, analisa gas darah normal.
Intervensi Rasional
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan Sebagai parameter dasar untuk
volume cairan: kulit dan membran pemberian intervensi terapi cairan atau

37
mukosa kering, penurunan turgor kulit, pemenuhan hidrasi.
oliguria, kelelahan, penurunan suhu,
peningkaatan hematokrit, peningkatan
berat jenis urin, dan hipotensi.
Intervensi pemenuhan cairan:
Identifikasi faktor penyebab, Parameter dalam menentukan
awitan (onset), spesifikasi usia intervensi kedaruratan. Adanya riwayat
dan adanya riwayat penyakit keracunan dan usia anak atau lanjut
lain. usia memberikan tingkat keparahan dari
kondisi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
Lakukan pemasangan IVFD. Apabila kondisi diare dan muntah
berlanjut, maka lakukan pemasangan
IVFD. Pemberian cairan intravena
disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan RL dengan
tetesan cepat sebagai kompensasi awal
hidrasi cairaan diberikan untuk
mencegah syok hipovolemik.
Dokumentasi dengan akurat Sebagai evaluasi penting dari intervensi
tentang intake dan output hidrasi dan mencegah terjadinya over
cairan. hidrasi.
Aspirasi muntah dapat terjadi terutama
Bantu pasien apabila muntah. pada usia lanjut dengan perubahan
kesadaran. Perawat mendekatkan
tempat muntah dan memberikan masase
ringan pada pundak untuk membantu
menurunkan respons nyeri dari muntah.
Intervensi pada penurunan kadar
elektrolit.
Evaluasi kadar elektrolit serum. Untuk mendeteksi adanya kondisi
hiponatremi dan hipokalemi sekunder
dari hilangnya elektrolit dari plasma.

38
Dokumentasikan perubahan Perubahan klinik seperti penurunan urin
klinik dan laporkan dengan tim output secara akut perlu diberitahu
medis. kepada tim medis untuk mendapatkan
intervensi selanjutnya dan menurunkan
risiko terjadinya asidosis metabolik.
Monitor khusus
Individu lansia dapat dengan cepat
ketidakseimbangan elektrolit
mengalami dehidrasi dan menderita
pada lansia
kadar kalium rendah (hipokalemia)
akibat diare. Individu lansia yang
menggunakan digitalis harus waspada
terhadap cepatnya dehidrasi dan
hipokalemia pada diare. Individu ini
juga diinstruksikan untuk mengenali
tanda-tanda hipokalemia karena kadar
kalium rendah akan memperberat kerja
digitalis dan dapat menimbulkan
toksisitas digitalis.
Kolaborasi dengan tim medis terapi
farmakologis:
Antimikroba. Antimikroba diberikan sesuai dengan
pemeriksaanfeses agar pemberian
antimikroba dapat rasional diberikan
dan mencegah terjadinya resistensi
obat.

Antidiare/antimotilitas. Agen ini digunakan untuk menurunkan


frekuensi diare. Salah satu obat yang
lazim diberikan adalah Loperamide
(Imodium).

Defisit perawatan diri b.d. kelemahan fisik, keletihan setelah nyeri atau diare.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam kemampuan perawatan diri klien meningkat.
Kriteria evaluasi:
Pelaksanaan intervensi perawatan diri dilakukan setelah fase akut.

39
Tidak terjadi komplikasi sekunder, seperti kejang dan peningkatan agitasi.
Intervensi Rasional
Kaji perubahan pada sistem saraf Identifikasi terhadap kondisi penurunan
pusat. tingkat kesadaran.
Tinggikan sedikit kepala pasien Untuk mengurangi tekanan intrakranial.
dengan hati-hati, cegah gerakan yang
tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala
dan leher, hindari fleksi leher.
Bantu seluruh aktivitas dan gerakan- Untuk mencegah peregangan otot yang
gerakan pasien, beri petunjuk untuk dapat menimbulkan risiko peningkatan
BAB (jangan enema). Anjurkan stimulasi nikotinik-muskarinik pada
pasien untuk menghembuskan napas sistem saraf pusat.
dalam bila miring dan bergerak di
tempat tidur. Cegah posisi fleksi pada
lutut.
Waktu prosedur-prosedur perawatan Untuk mencegah eksitasi yang
disesuaikan dan diatur tepat waktu merangsang otak yang sudah iritasi dan
dengan periode relaksasi; hindari dapat menimbulkan kejang.
rangsangan lingkungan yang tidak
perlu.
Beri penjelasan kepada keadaan Untuk mengurangi disorientasi dan untuk
lingkungan pada pasien. klarifikasi penyakit sensoris yang
terganggu.

2.5.8 Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah melakukan tindakan keperawatan adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri dilaporkan berkurang atau teradaptasi.
2. Status hidrasi optimal.
3. Pemenuhan nutrisi optimal.
4. Pemenuhan informasi kesehatan optimal.
5. Tidak terjadi injuri.
6. Jalan napas efektif.
7. Tidak terjadi infeksi pasca bedah.
8. Peningkatan kemampuan perawatan diri.
9. Penurunan respons kecemasan.

40
BAB III

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

3.1 Kasus

41
Ny.A berusia 51 tahun datang ke RSUA mengatakan bahwa pasien
mengalami kram perut terjadi sejak 2 minggu yang lalu, diare dan BAB
berdarah terjadi sejak 1 minggu yang lalu, terjadi 4x sehari disertai mual
muntah dan tidak nafsu makan. Pasien juga terlihat lemah, dan selalu
memegangi perutnya sejak kedatangannya. Menurut hasil anamnesa,
perawat mendapatkan data bahwa pasien dahulunya ada riwayat penyakit
demam tifoid 2 tahun yang lalu, telah mendapat penatalaksanaan dengan
terapi medikamentosa antibiotik golongan fluoroquinolone. Diagnosa
medis masuk Ny.A adalah penyakit crohn. lalu didapatkan hasil
pemeriksaan fisik sebagai berikut: terdapat bising perut 40x/menit.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan data suhu 38.5 C, nadi 100x/menit,
RR 20x/menit, TD 120/80 mmHg, CRT >3 detik (5 detik), Hb 9 g/dL,
albumin 3 g/dL, magnesium 1 mg/dL.

3.2 Pengkajian
a. Data Demografi
Nama : Ny.A
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
b. Keluhan Utama
Ny.A memiliki keluhan kram perut.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny.A pernah mengalami demam tifoid
Pernah menggunakan antibiotik golongan fluoroquinolone
Berdasar pemeriksaan PQRST:
a. Provokatif / Paliatif : tidak mengetahui kenapa terjadi nyeri, yang
membuat nyerinya lebih baik yaitu dengan tidur, terkadang rasa nyeri
yang tidak tertahankan membuat pasien bangun saat tidur
b. Quality : terjadi kram perut, seperti diremas-remas
c. Radiates: Nyeri terlokasi di satu titik, yaitu di perut kanan bawah.
lebih tepatnya di hypogastric region
d. Scale : nyeri yang dirasakan terletak di skala 4 (rentang 1-10)
e. Time : nyeri timbul beberapa saat setelah makan.
d. Riwayat Penyakit Terdahulu

42
Ny.A pernah terdiagnosa demam tifoid sejak 2 tahun yang lalu,
serta telah mendapat terapi medikamentosa berupa antibiotik golongan
fluoroquinolone.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat penyakit turunan berdasarkan hasil anamnesa.
3.3 Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath)
RR 20x/menit, irama nafas teratur, tidak ada suara nafas tambahan,
tidak adanya pernafasan menggunakan otot-otot ekspirasi tambahan.
B2 (Blood)
Suara jantung S1 dan S2 reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan,
CRT= >3 detik, akral hangat, TD: 120/80 mmHg, nadi: 100 X/menit,
akral hangat.
B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, GCS : 4-5-6, Reflek pupil terhadap
cahaya normal, ukuran pupil kanan dan kiri tidak ada kelainan(2-
6mm)
B4 (Bladder)
Oliguria, dengan output urine <400ml/hari, warna urine kuning
kecoklatan.
B5 (Bowel)
Diare dan BAB berdarah sejak 1 minggu yang lalu dengan frekuensi
4x sehari, mual muntah. Terdapat bising perut 40x/menit
B6 (Bone)
Keadaan Tn. BM mengalami kelemahan.
3.4 Pemeriksaan Diagnostik
1 Pemeriksaan Darah Lengkap
Indikator Hasil Laboratorium Nilai Normal
Hb 9 g/dl 12 16 g/dl
Hematokrik 27 % 37 43 %
Leukosit 10.000 mm3 4000-10.000 mm3
Eritrosit 4x108/L 4,5-5,10x108/L
Albumin 3 g/dL 3,4 - 4,8 g/dL
Magnesium 1 mEq/dL 1,5-2,5mEq/dL

2 Pemeriksaan Radiografi
a Studi Kontras Barium

43
Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat,
distribusi, dan tingkat keparahan enteritis regional. Setelah
pasien dapat menoleransi prosedur, barium enema mungkin
dapat membantu dalam evaluasi lesi kolon. Studi kontras
barium berguna dalam mengevaluasi fitur seperti kekakuan,
pseudodivertikula, fistula dan edema submukosa. Edema dan
ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin tampak sebagai
penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi oleh studi
barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam
pembukaan fistula yang dicurigai.

b CT-Scan
Membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti
fistula abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal.

c Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dapat lebih unggul daripada CT-Scan dalam
menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diferensial,
MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis dan
dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis
enteritis regional.

44
3 Pemeriksaan Ultrasonography (USG)
USG dapat membantu dalam membedakan kelainan tubo-ovarium.
Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran kelenjar
getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap
sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk
membantu dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi
pasien untuk komplikasi.

4 Pemeriksaan kolonoskopi
Kolonoskopi dapat membantu ketika barium enema satu kontras
belum informative dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon.
Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsy, yang
membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa,
dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga
memungkinkan memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan
penyakit kronis. Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam
periode pasca-operasi bedah untuk mengevaluasi anastomosis dan
memprediksi kemungkinan kambuh klinis, serta respon terhadap terapi
pascaoperasi.

45
5 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sangat
membantu baik sebagai prosedur diagnostic dan alat terapeutik pada
pasien dengan striktur kolangitis sklerosa.

3.5 Analisa Data


Dx Etiologi Masalah Keperawatan
DS: pasien mengatakan Infeksi Terdapat lesi di Nyeri akut (00132).
bahwa kram perut sejak 2 mukosa gastrointestinal yang Domain 12. (Kenyamanan)
minggu yang lalu terlibat sebagai respon awal Kelas 1. Kenyamanan Fisik
DO: pasien terlihat selalu inflamasi Sistem imun
menyerang sel inflamasi dalam
memegangi perutnya
lapisan mukosa Membentuk
granuloma Granuloma
menyelimuti seluruh mukosa
yang ter-inflamasi Kerusakan
lapisan yang dalam akibat
infiltrasi neutrofil Enteritis
Regional Peradangan
transmural
Penyempitan dan penebalan

46
lumen intestinal Obstruksi
intestinal Gangguan
transportasi makanan
Kram abdomen Nyeri
Akut
DS: pasien mengatakan Infeksi Terdapat lesi di Risiko ketidakseimbangan
bahwa pasien mengalami mukosa gastrointestinal yang cairan tubuh (00028).
diare 4x sehari, BAB terlibat sebagai respon awal Domain 2 (Nutrisi)
berdarah, terjadi sejak 1 inflamasi Sistem imun Kelas 5.Hidrasi
menyerang sel inflamasi dalam
minggu yang lalu Risiko ketidakseimbangan
lapisan mukosa Membentuk
DO: pasien terlihat lemah elektrolit (00195). Domain 2
granuloma Granuloma
(Nutrisi)
menyelimuti seluruh mukosa
Kelas 5.Hidrasi
yang ter-inflamasi Kerusakan
lapisan yang dalam akibat
infiltrasi neutrofil Enteritis
Regional Sel-sel di daerah
usus mengeluarkan sejumlah
besar air dan garam Karena
usus tidak dapat menyerap
sepenuhnya kelebihan cairan
Diare Output cairan
berlebih
Ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit
DS: pasien mengatakan Infeksi Terdapat lesi di Resiko ketidakseimbangan
bahwa klien sering mual mukosa gastrointestinal yang nutrisi kurang dari
muntah dan tidak nafsu terlibat sebagai respon awal kebutuhan tubuh (00002).
makan inflamasi Sistem imun Domain 2 (Nutrisi)
menyerang sel inflamasi dalam
DO: - Kelas 1. Ingesti
lapisan mukosa Membentuk
granuloma Granuloma
menyelimuti seluruh mukosa
yang ter-inflamasi Kerusakan
lapisan yang dalam akibat

47
infiltrasi neutrofil Enteritis
Regional Sel-sel di daerah
usus mengeluarkan sejumlah
besar air dan garam Karena
usus tidak dapat menyerap
sepenuhnya kelebihan cairan
Diare Output cairan
berlebih
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

3.6 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan kram abdomen (00132)

2. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d output cairan berlebih (00028)

3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d output cairan berlebih (00195)

4. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002)

3.7 Intervensi Keperawatan


Diagnosa :

Nyeri Akut (00132)

Domain 12. Kenyamanan


Kelas 1. Kenyamanan Fisik
NOC NIC
Dalam waktu 2x24 jam klien Manajemen Obat (2380)
tidak merasakan sensasi nyeri
1. Diskusikan dengan keluarga
pda bagian epigastric dengan tentang kebutuhan dan
outcomes: kemampuan yang berhubungan
dengan proses pengobatan klien.
Tingkat Nyeri (2102)
2. Ajarkan klien dan keluarga klien
1. Klien menunjukan ekspresi yang
untuk memonitor tindakan medis
tenang dan tidak kesakitan
dan pengobatan klien dengan
(tidak memercingkan mata) saat
baik dan benar.
ditekan pada daerah abdomen.
3. Ajarkan klien dan keluarga klien

48
2. Klien tidak menunjukan gejala untuk menjalankan gaya hidup
mual dan muntah serta memiliki yang sehat.
nafsu makan dan pola makan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk
yang baik. pemberian Analgesik.

3. Klien memiliki tanda-tanda vital Manajemen Nyeri (1400)


yang normal (RR=16-20x/mnt 1. , Lakukan pengkajian nyeri

temperatur = 36o 37,5o C , komprehensif meliputi lokasi,


karateristik, durasi, frekuensi,
nadi= 60-100)
kualitas, intensitas atau beratnya
Tingkat Kelelahan (0007)
nyeri, serta faktor pencetus.
1. Klien menunjukan wajah segar 2. Ajarkan klien untuk
dan bersemangat (tidak adanya menggunakan teknik manajemen
kelahan) nyeri non-farmakologi ( relaksasi,
2. Klien mempunyai tingkat
nafas dalam, dan kompres
istirahat dan tidur yang baik
hangat)
secara kualitas dan kuantitas.
3. Anjurkan klien untuk istirahat
( 6-9 jm/hari)
atau tidur yang adekuat.

49
Diagnosa :
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
Domain 2. Nutrisi
Kelas 1. Makan
NOC NIC
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam klien Manajeman Nutrisi (1100)
dapat menunjukkan status nutrisi yang 1. Tentukan status gizi pasien dan
baik dengan outcomes: kemampuan pasien untuk memenhui
Status Nutrisi (1004) kebutuhan gizi
2. Tentukan jumlah kalori dan jenis
1. Klien menerima asupan gizi
nutrisi yang dibutuhkan untuk
sesuai dengan kebutuhan
memenuhi persyaratan gizi
tubuh
3. Berikan pilihan makanan sambil
2. Klien menerima asupan
menawarkan bimbingan terhadap
makanan sesuai dengan
pilihan makanan yang lebih sehat, jika
kebutuhan tubuh
3. Klien menerima asupan cairan diperlukan.
4. Anjurkan keluarga untuk membawa
yang sesuai dengan kebutuhan
makanan favorit pasien dengan gizi
tubuh
dan nutrisi yang disesuaikan
perawatanyang dianjurkan.
Nafsu Makan (1014)
5. Monitor kalori dan asupan makanan.
1. Klien menunjukan adanya
Manajeman Gangguan Makan (1030)
hasrat atau keinginan untuk
1. Rundingkan dengan ahli gizi dalam
makan.
menentukan asupan kalori harian yang
2. Klien mampu meningkatkan
diperlukan untuk mempertahanakan
Intake makanan.
3. Klien mampu meningkatkan berat badan yang sudah ditentukan
2. Bantu klien (dan orang-orang terdekat
intake cairan.
4. Klien mampu memenuhi klien dengan tepat) untuk mengkaji dan
kebutuhan nutrisinya. memcahkan masalah personal yang

50
berkontribusi terhadap terjadinya
gangguan makanan
3. Monitor asupan cairan secara tepat.
4. Monitor berat badan klien secara rutin
Monitor Nutrisi (1160)
1 Monitor adanya mual dan muntah
2 Identifikasi abnormalitas eliminasi
bowel.

51
Diagnosa :
Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit (00195)
Domain 2. Nutrisi
Kelas 5. Hidrasi
NOC NIC
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam klien Manajemen Nutrisi (1100)
dapat menunjukkan status nutrisi yang 1. Diskusikan dengan pasien dan
baik dengan outcomes: anggota keluarga untuk mencatat
Fungsi Gastrointestinal (1015) warna, volume, frekuensi,dan
1. Klien mengatakan bahwa konsistensi tinja.
2. Monitor tanda dan gejala diare.
frekuensi, konsistensi, dan
3. Ukur diare/output pencernaan.
jumlah BAB normal dan 4. Instruksikan kepada klien untuk diet
lancar. rendah serat, tinggi protein, tinggi
2. Klien tidak mengalami feses
kalori, sesuai kebutuhan.
berdarah.
Manajemen Elektrolit: Hipokalemia
Eliminasi Usus (0501)
(2007)
1. Klien sudah tidak
1. Monitor adanya gejala awal
menunjukan adanya suara
hipokalemia untuk mencegah
bising usus.
kondisi yang mengancam jiwa
2. Klien tidak mengalami diare.
(kelelahan, anoreksia, dan
Keparahan Mual dan Muntah(2107)
kelemahan otot).
1. Klien menunjukan tidak adanya
2. Kolaborasi dengan dokter dan
rasa ingin mual dan muntah.
apoteker berhubungan pemberian
kalium.
3. Berikan pemberian cairan dan
elektrolit melalui akses intravena,
4. Monitor status cairan, termasuk
masukan dan keluaran, jika
diperlukan.
5. berikan makanan tinggi kaliuam

52
(garam pengganti, buah kering,
pisang, sayuran hijau, coklat, susu),
jika diperlukan.
Manajemen Mual (1450)
1. intervensikan obat antiemetik yang
efektif diberikan untuk mencegah
mual bila memungkinkan (kecuali
untuk mual yang berhubungan
dengan kehamilan).
2. Ajari penggunaan teknik
nonfarmakologi (hipnotis, relakssi,
imajinasi terbimbing, terapi musik)
unutk mengatasi mual.
Diagnosa:
Risiko ketidakseimbangan volume cairan (00025)
Domain 2. Nutrisi
Kelas 5. Hidrasi
NOC NIC
Dalam waktu 1x24 jam, klien mampu Manajemen Cairan (4120)
menunjukkan status pemenuhan cairan 1. Jaga intake/asupan cairan secara
yang baik secara adekuat dengan adekuat dan catat outputnya.
2. Berikan terapi cairan secara IV
outcomes:
bila klien masih mengalami
Keseimbangan Cairan (0601)
mual dan muntah.
1. Klien mampu menunjukkan
Monitor Cairan (4130)
keseimbangan intake dan output
1. Periksa tekanan turgor kulit
cairan dalam waktu 24 jam.
2. Klien mampu menunjukkan klien dengan memegang
keadaan tekanan turgor kulit jaringan sekitar tulang seperti
yang membaik. tangan atau tulang kering, amati
Hidrasi (0602) apakah kulit bisa kembali
1. Klien mampu mendapatkan seperti semula dengan cepat.
2. Lakukan pemeriksaan pengisian
perfusi jaringan yang optimal
kapiler secara berkala, pastikan
(CRT < 3 detik).
2. Klien mampu mengurangi CRT < 3 detik setelah

53
hingga mengatasi frekuensi pemberian cairan adekuat.
diarenya. Pengurangan Perdarahan:
Fungsi Gastrointestinal (1015) Gastrointestinal (4022)
1. Klien mampu menurunkan 1. Monitor pemeriksaan
frekuensi bising usus (auskultasi pembekuan darah (PTT, PT).
2. Instruksikan pasien untuk
abdomen dalam rentang 5-
menghindari stres.
34x/menit).
2. Klien mampu mengatasi Manajemen Obat (2380)
keluarnya darah saat BAB 1. Lakukan kolaborasi dengan tim
(hematokezia). medis dalam pemberian obat
antidiare.

3.8 Evaluasi

1. S = Klien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri


O = Klien tampak senang dan segar, tidak tampak kelelahan, tanda tanda
vital normal (RR=18x/mnt , temperatur = 36,5o C , nadi= 80x/mnt)

A= Laporan subjektif dan objektif memuaskan, kriteria hasil tercapai,


masalah teratasi keseluruhan.

P= Intervensi diberhentikan.

2. S= Klien mengatakan bahwa nafsu makan bertambah.

O= pada makanan klien terlihat habis dan tidak ada sisa.

A= Laporan subjektif dan objektif memuaskan, kriteria hasil tercapai,


masalah teratasi keseluruhan.

P= Intervensi diberhentikan.

3. S= Klien mengatakan bahwa BAB nya sudah lancar dan tidak berdarah.

O= Klien tampak segar tidak adanya rasa lemah dan kehilangan berat
badan, tidak ditemukannya suara bising usus.

A= Laporan subjektif dan objectif memuaskan, kriteria hasil tercapai,


masalah teratasi keseluruhan.

P= Intervensi diberhentikan.

4. S= Klien mengatakan bahwa frekuensi mual dan muntah sudah berkurang.

54
O= Klien nampak tidak pucat, hasil CRT < 3 detik, serta motilitas ususnya
berkurang ditunjukkan dengan tidak terjadi hematokezia.
A= Laporan subjektif dan obyektif memuaskan, kriteria hasil tercapai,
masalah teratasi secara keseluruhan.
P= Intervensi diberhentikan.

BAB IV

KESIMPULAN

Penyakit regional atau lebih dikenal dengn penyakit Crohn adalah


suatu penyakit idiopatik dan kronis dengan perdangan pada intestinal yang

55
sering menyebabkan fibrosis dan gejala obstruktif, yang dapat
memengaruhi bagian mana pun dari saluran gastroitestinal dari mulut ke
anus. Kolitis ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang
terjadi pada mukosa usus besar, khususnya pada bagian kolon descenden
sampai rektum. Faktor resikonya seperti, genetik, sistem kekebalan tubuh,
infeksi, merokok, usia, stress, dll. Penyebab dari enteritis regional masih
belum diketahui secara pasti. Beberapa predeposisi seperti genetik,
lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor
psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta menggunakan obat
NSAID, diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam patogenesis
enteritis regional. Penyebab penyakit kolitis ulseratif sangat beragam,
meliputi fenomena autoimun, faktor genetik, perokok pasif, diet,
pascaapendiktomi, dan infeksi. Secara mikroskopis, lesi awal dimulai
sebagai fokus peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal.
Kemudian menyerang sel-sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam
proses mulai membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua
lapisan dinding usus dan masuk ke dalam mesenterium dan kelenjar getah
bening regional. menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dari usus.
Kolitis Ulseratif hanya melibatkan mukosa, kondisi ini ditandai dengan
pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang
berat, submukosa mungkin terlibat. Selanjutnya terdapat beberapa
perubahan imunologis akan terlibat. Penatalaksanaan dapat berubah,
penatalaksanaan umum, obat-obatan, dan pembedahan.

Daftar Pustaka

A Grace, Pearce dkk. 2007. Surgery at a Glance terj. At a


Glance Ilmu Bedah. Jakarta:Erlangga

Bulechek, G.M. dkk. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), sixth


edition. USA: ELSEVIER.

56
Bulechek, G.M. dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), sixth
edition. USA: ELSEVIER.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions and Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011.Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:Salemba Medika

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Pratama, Nata. 2011. Prevalence of Crohns Disease in


Endoscopic Unit Cipto Mangunkusumo Hospital.
Jakarta:Universitas Indonesia

Salverra, Yossi dkk. 2014. Inflamatory Bowel Disease pada


Anak. Palembang:FK Universitas Sriwijaya

http://www.academia.edu/11625193/asuhan_keperawatan_sistem_pencernaan_de
ngan_enteritis diakses pada tanggal 8 November pukul 21.57 WIB
https://www.scribd.com/document/209348395/Doc1FGG diakses pada tanggal 8
November pukul 21.57 WIB
http://dokumen.tips/documents/askep-kolitis-ulseratif-app-gi.html# diakses pada
tanggal 9 November pukul 05.08 WIB

57

Anda mungkin juga menyukai