Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn.P DENGAN DIAGNOSA BENIGNA PROSTAT


HIPERPLASIA (BPH)
PRE OPERASI DAN POST OPERASI
DI BANGSAL ALAMANDA I
RSUD MURANGAN SLEMAN

Di susun oleh :

Desy Nurwulan P07120213010


Rohmad Adi Setiyoko P07120213035
Kalifa Nurahmad Fauzi P07120213024

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Asuhan Keperawatan yang berjudul Asuhan Keperawatan
pada Tn.P dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) di RSUD Murangan
Sleman.
Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk melengkapi tugas Praktik Klinik
Keperawatan dengan Mata Kuliah KMB I. Pembuatan Asuhan Keperawatan ini
tidak akan terlaksana tanpa adanya kerjasama, bantuan, dukungan, bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Tri Prabowo, S.Kp, M.Sc selaku Ketua Jurusan Keperawatan Politeknik
Kesehatan Yogyakarta,

2. Sapta Rahayu Noamperani, S.Kep.Ns selaku Pembimbing Akademik


Keperawatan Medikal Bedah I,

3. selaku Pembimbing Lapangan RSUP Dr Sarjito,

4. Teman-teman yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Kami percaya dalam penyusunan Asuhan Keperawatan ini banyak sekali


kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini.
Demikian Asuhan Keperawatan ini kami susun, apabila banyak kesalahan
kami mohon maaf dan semoga Asuhan Keperawatan ini bermanfaat bagi
pembaca.

Sleman, 1 Juni 2015

Penyusun
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN DIAGNOSA
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
PRE OPERASI DAN POST OPERASI
DI BANGSAL ALAMANDA I
RSUD MURANGAN SLEMAN

telah disahkan pada,


Hari, tanggal :
Waktu :
Tempat : Bangsal Alamanda I

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing


Pendidikan

Sapta Rahayu Noamperani,


S.Kep.Ns

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian BPH
BPH adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Prostat Hiperplasia adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan
dengan proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan
urethra, sehingga hipertropi prostat sering menghalangi pengosongan kandung
kemih (Susan Martin Tucker, 1998).
BPH (Benigna Prostat Hiperplasi) adalah pembesaran atau hipertrofi
prostat, kelenjar prostat membesar memanjang ke arah depan kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat mengakibatkan
hidronefresis dan hidroureter (Boughman, 2000).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat destruksi uretral
dan pembesaran aliran urinarius (Doengoes, 2000).
Kesimpulannya, BPH merupakan pembesaran atau hipertropi prostat
yang berhubungan dengan perubahan endrokin dimana dapat mendesak
kandung kemih dan uretra sehingga dapat menyumbat aliran keluar urine dan
dapat mengakibatkan hidroureter dan hidronefresis.

B. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
( DHT ) dan proses aging ( menjadi tua ).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor ( faktor pertumbuhan ) sebagai pemacu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan se epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.

Ada 2 stadium yang mempengaruhi perubahan pada dinding kemih yaitu :

1. Stadium dini

Hiperplasi prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menyumbat aliran urine sehingga meningkatkan tekanan intravesikel

2. Stadium lanjut

Terjadi dekompensasi karena penebalan dinding vesika urinaria tidak


bertambah lagi residu urine bertambah. Gejala semakin menyolok ( retensi
urine clonis ), tonus otot vesika urinaria menurun. Persyarafan para
simpatis melemah dan akhirnya terjadi kelumpuhan detsrusor dan spinter
uretra sehingga terjadi over flow incontinensia ( urine menetes sacara
periodik )

C. Patofisiologi

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini
disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :


1. Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra
adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
2. Hesistancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas
sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam
buli-buli.
4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap
pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra
berkurang selama tidur.
6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
D. Pathway

Hormon Faktor usia Sel prostat umur Poliferasi abnormal sel


estrogen & panjang stream
progesteron
Sel stroma Sel yang mati Produksi stroma
tdk seimbang
pertumbuhan kurang dan epitel
berpacu berlebihan
Prostat membesar

Penyempitan Resiko perdarahan TURP


lumen ureter
Iritasi mukosa Pemasangan Kurang
kandung kencing DC informasi
terputusnya terhadap
jaringan
Obstuksi Rangsangan syaraf Luka Ansietas
diameter kecil
Tempat masuknya
Retensi Gangguan
Nyeri akut Gate kontrol terbuka mikroorganisme
urin pola tidur

Resiko infeksi
Hidro
ureter

Hidronetri
Resiko
tis Ganggua
ketidakef
ektifan n
perfusi eleminasi
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000).
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a) Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
b) Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c) Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d) Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e) Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,
disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a) Normal : Tidak ada sisa
b) Grade I : sisa 0-50 cc
c) Grade II : sisa 50-150 cc
d) Grade III : sisa > 150 cc
e) Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

F. Komplikasi
Komplikasi BPH menurut Brunner and Suddart (1996) yaitu:
1. Perdarahan
2. Infeksi
3. Retensi Uriner
4. Hidroureter
5. Hidronefresis
6. GGA
7. GGK
8. Hernia

G. Pemeriksaan Penunjang
1. a) Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra
pubik ( buli-buli penuh / kosong ).
b) Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan
rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa
yang kontraktil dan Ballottement.
c) Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2. Colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter
anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan
prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi
prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah
asimetris adakah nodul pada prostat , apa batas atas dapat diraba .
Dengan colok dubur besarnya prostat dibedakan :
a. Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
b. Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
c. Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
3. Laboratorium.
a. Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita .
b. Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit
diabetus militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada
buli-buli (buli-buli nerogen).
c. Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian
atas .
d. Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih .
e. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebadkan infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
4. Flowmetri :
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan
satuan ml/detik. Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa
dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak <10ml/detik --------obstruktif
Fmak 10-15 ml/detik-----borderline
Fmak >15 ml/detik-------nonobstruktif
5. Radiologi.
a. Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan
kadang kadang dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi
urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
b. Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis, dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter
berkelok kelok di vesikula ) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel,
residu urine atau filling defect divesikula.
c. Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau
trasrektal (trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui
pembesaran prostat < pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume
buli-buli, meng ukur sisa urine dan keadaan patologi lain seperti
divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat diukur besar prostat
untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat
pula dilakukan dengan USG suprapubik.
d. Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan
cystoscop. Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan
tumor dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah
datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam vesika. Selain itu
dapat juga memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat
kedalam uretra.
6. Kateterisasi: Mengukur rest urine
Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan dengan cara
kateterisasi . Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat .

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan
BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis :
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini
adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b. Medikamentosa
1) Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-1,
dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis.
Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-
buli secara primer diperantarai oleh reseptor 1a. Penghambatan
terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan
objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada
beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan
selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
2) Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors)
Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat
perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini
mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan
pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan
pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal
terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala.
3) Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5-
Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan
peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan
sedang berlangsung
4) Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak
tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH
telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja
fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum
banyak diuji .
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

I. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Fokus Pengkajian

a) Identitas klien : Jenis kelamin laki-laki, umur >50 thn, banyak


dijumpai pada bangsa / ras caucasian

b) Keluhan utama : Nyeri berhubungan denga spasme buli-buli

c) Riwayat penyakit sekarang : LUTS (hesitansi, pancaran urine lemah,


intermitensi, terminal dribbing, terasa ada sisa setelah miksi, urgensi,
frekuensi dan disuria)

d) Riwayat penyakit dahulu : DM (diabetes mellitus), hipertensi, PPOM


(penyakit paru obstruksi menahun), jantung koroner, decompensasi
cordis dan gangguan faal darah

e) Riwayat penyakit keluarga : penyakit keturunan (hipertensi,DM,


ashma)

f) Riwayat psikososial : emosi, kecemasan, gangguan konsep diri

g) Pola hidup sehari-hari

1) Pola nutrisi : Puasa sebelum operasi


2) Pola eliminsi : Hematuri setelah tindakan TUR, retensi urine karena
bekuan darah pada kateter, inkontinensia urine setelah kateter
dilepas

3) Pola istirahat/tidur : Hospitalisasi mempengaruhi pola tidur

4) Pola aktivitas : Keterbatasan aktivitas karena kelemahan, terpasang


traksi kateter

h) Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum : Keadaan lemah, kesadaran baik, perlu adanya


observasi TTV

2) Sistem pernafasan : SAB tidak mempengaruhi pernafasan

3) Sistem sirkulasi : Tekanan darah biasa meningkat atau menurun, cek


HB (adanya perdarahan animea), observasi balance cairan

4) Sistem neurologi : Daerah caudal mengalami kelumpuhan dan mati


rasa akibat SAB

5) System gastrointestinal : Pusing, mual, muntah akibat SAB, bising


usus menurun dan terdapat masa abdomen

6) System urogenital : Hematuri, retensi urine (daerah supra sinisfer


menonjol, terdapat ballottement jika dipalpasi dan klien ingin
kencing)

7) system muskuluskeletal : Klien tidak boleh fleksi selam traksi


kateter masih diperlukan

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri fisik, pembedahan

b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer yang tidak


adekuat, prosedur invasif.

c. Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya


berhubungan dengan kurang familier terhadap informasi, kognitif.

d. Syndrom defisit self care berhubungan dengan kelemahan,


penyakitnya

e. Potential Komplikasi ( PK ) : Perdarahan

3. Perencanaaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
berhubungan asuhan keperawatan -Kaji nyeri secara komprehensif
dengan Agen tingkat kenyamanan termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
injuri fisik klien meningkat, nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
(pembedahan) terkontrol dengan KH: presipitasi.
-Klien melaporkan -Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri berkurang, skala ketidak nyamanan.
nyeri 2-3 -Gunakan teknik komunikasi
-Ekspresi wajah tenang terapeutik untuk mengetahui
& dapat istirahat, tidur. pengalaman nyeri klien sebelumnya.
-v/s dbn (TD 120/80 -Berikan lingkungan yang tenang
mmHg, N: 60-100 -Kurangi faktor presipitasi nyeri.
x/mnt, RR: 16- -Ajarkan teknik non farmakologis
20x/mnt). (relaksasi, distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri.
-Kolaborasi pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri.
-Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
-Monitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
-Cek program pemberian analogetik;
jenis, dosis, dan frekuensi.
-Cek riwayat alergi.
- Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
-Monitor V/S
-Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
-Evaluasi efektifitas analgetik, tanda
dan gejala efek samping.
2 Resiko infeksi Setelah dilakukan Kontrol infeksi :
b/d pertahanan asuhan keperawatan -Bersihkan lingkungan setelah dipakai
tubuh primer infeksi terkontrol dan pasien lain.
yang tidak terdeteksi dg KH: -Batasi pengunjung bila perlu.
adekuat, -Bebas dari tanda dan -Anjurkan keluarga untuk cuci tangan
prosedur gejala infeksi sebelum dan setelah kontak dengan
invasif, luka -Angka lekosit normal klien.
pembedahan. (4-11.000) -Gunakan sabun anti microba untuk
- V/S dbn mencuci tangan.
-Lakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan.
-Gunakan baju, masker dan sarung
tangan sebagai alat pelindung.
-Pertahankan lingkungan yang aseptik
selama pemasangan alat.
-Lakukan perawatan luka dan dresing
infus,DC sesuai kebutuhan.
-Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
yang adekuat
-Berikan antibiotik sesuai program.
Proteksi terhadap infeksi
-Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
-Monitor hitung granulosit dan WBC.
-Monitor kerentanan terhadap infeksi.
Pertahankan teknik aseptik untuk
setiap tindakan.
-Inspeksi kulit dan mebran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase.
Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya
Ambil kultur jika perlu
-Dorong klien untuk intake nutrisi dan
cairan yang adekuat.
-Anjurkan istirahat yang cukup
- Ajari dan ajarkan klien untuk
meningkatkan mobilitas dan latihan.
-Instruksikan klien untuk minum
antibiotik sesuai program.
-Ajarkan keluarga/klien tentang tanda
dan gejala infeksi.
-Laporkan kecurigaan infeksi.
3 Kurang Setelah dilakukan Teaching : Dissease Process
pengetahuan asuhan keperawatan, -Kaji tingkat pengetahuan klien dan
ttng penyakit, pengetahuan klien keluarga tentang proses penyakit
perawata,peng meningkat. Dg KH: -Jelaskan tentang patofisiologi
obatan -Klien/klg mampu penyakit, tanda dan gejala serta
Nya d/g kurang menjelaskan kembali penyebabnya
familier apa yang dijelaskan -Sediakan informasi tentang kondisi
terhadap -Klien /klg kooperative klien
informasi, saat dilakukan tindakan -Berikan informasi tentang
terbatasnya perkembangan klien
kognitif. -Diskusikan perubahan gaya hidup
yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau kontrol proses
penyakit
-Diskusikan tentang pilihan tentang
terapi atau pengobatan
-Jelaskan alasan dilaksanakannya
tindakan atau terapi
-Dorong klien untuk menggali pilihan-
pilihan atau memperoleh alternatif
pilihan
-Jelaskan kemungkinan komplikasi
yang mungkin terjadi
-Anjurkan klien untuk mencegah efek
samping dari penyakit
-Gali sumber-sumber atau dukungan
yang ada
-Anjurkan klien untuk melaporkan
tanda dan gejala yang muncul pada
petugas kesehatan
4 Sindrom defisit Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri makan,
self care b/d asuhan keperawatan kebersihan, berpakaian, toileting dan
kelemahan dan klien mampu Perawatan ambulasi)
nyeri, diri
penyakitnya Dg KH: -Monitor kemampuan pasien terhadap
-Pasien dapat perawatan diri
melakukan aktivitas -Monitor kebutuhan akan personal
sehari-hari (makan, hygiene, berpakaian, toileting dan
berpakaian, kebersihan, makan dan ambulasi
toileting, ambulasi) -Beri bantuan sampai klien
-Kebersihan diri pasien mempunyai kemapuan untuk merawat
terpenuhi diri
-Bantu klien dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
-Anjurkan & ajarkan klien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuannya
-Pertahankan aktivitas perawatan diri
secara rutin
-Evaluasi kemampuan klien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
-Berikan reinforcement positip atas
usaha yang dilakukan dalam
melakukan perawatan sehari hari.
5 PK: Setelah dilakukan -Pantau tanda dan gejala perdarahan
Perdarahan asuhan keperawatan post operasi (drainage, drip spool,
perawat akan urine)
menangani atau -Monitor V/S
mengurangi komplikasi -Pantau laborat Hb, HMT. AT
dari pada perdarahan -kolaborasi untuk tranfusi bila terjadi
dan klien mengalami perdarahan (hb < 10 gr%)
peningkatan Hb/> 10 gr -Kolaborasi dengan dokter untuk
% terapinya
-Pantau perdarahan pada daerah yang
dilakukan operasi

Anda mungkin juga menyukai