Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of

Childhood Illness (IMCI) adalah suatu manajemen melalui pendekatan

terintegrasi atau terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang di pelayanan

kesehatan, baik mengenai beberapa klasifikasi penyakit, status gizi, status

imunisasi maupun penanganan balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan. 9

Derajat kesehatan merupakan pencerminan kesehatan perorangan, kelompok,

maupun masyarakat yang digambarkan dengan usia harapan hidup, mortalitas,

morbiditas, dan status gizi masyarakat.7

Ditinjau dari hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012,

Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka

Kematian Balita (AKBA) adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Artinya,

setiap satu dari 31 anak yang lahir di Indonesia meninggal sebelum mencapai usia

satu tahun. Sebanyak 60% bayi mati terjadi pada usia satu bulan, menunjukan

angka kematian bayi sebesar 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Delapan

puluh persen anak meninggal terjadi saat berusia 111 bulan, yang menunjukkan

angka kematiaan anak sebesar 13 kematian per 1.000 kelahiran.7 Tiga penyebab

utama kematian bayi menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2012

adalah karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti oleh infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA), diare, tetanus neonatorum, saluran cerna, dan penyakit

6
7

saraf. Pola penyebab utama kematian balita juga hampir sama (penyakit saluran

pernapasan, diare, penyakit saraf termasuk meningitis, encephalitis dan tifus).8

Kematian akibat infeksi dapat dicegah dengan teknologi sederhana di

tingkat pelayanan kesehatan dasar. Salah satu caranya adalah dengan

melaksanakan upaya Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di tingkat

pelayanan kesehatan dasar. Pada tahun 1993, Bank Dunia melaporkan bahwa

MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah

kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare,

campak, malaria dan malnutrisi.9

Terdapat tiga komponen dalam penerapan strategi MTBS, yaitu: komponen

I meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita

sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan), komponen II memperbaiki

sistem kesehatan agar penanganan penyakit pada balita lebih efektif, sebagai

contoh adanya bagan yang terstruktur yang akan mempermudah penilaian,

klasifikasi dan tindakan atau pengobatan anak sakit, dan komponen III

memperbaiki praktik keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan

upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan

keluarga dan masyarakat, yang dikenal sebagai Manajemen Terpadu Balita Sakit

berbasis masyarakat). Proporsi penekanan pada ketiga komponen harus sama

besar agar keberhasilan penerapan MTBS tercapai. Kegiatan MTBS merupakan

upaya yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar

seperti puskesmas.9
8

Tujuan MTBS adalah untuk menurunkan secara bermakna angka kematian

dan kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita, memberikan kontribusi

terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak. Pendekatan MTBS di

Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (Puskesmas dan jaringannya

termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes, dan lain-lain). MTBS mengkombinasikan

perbaikan tatalaksana kasus pada balita sakit (kuratif) dengan aspek gizi,

imunisasi dan konseling (promotif dan preventif). World Health Organization

(WHO) telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan di

negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan kematian, kesakitan dan

kecacatan pada bayi dan balita.9

2.2 Strategi Promosi MTBS

Untuk meningkatkan penemuan penderita tuberkulosis (TB), ISPA, malaria,

dan DBD secara dini pada anak balita, diperlukan suatu puskesmas dan Dinas

Kesehatan Kabupaten (DKK) setiap daerah untuk menerapkan suatu metode yang

bersifat aktif dan selektif, yaitu MTBS. Aspek positif dari data yang ada adalah

walaupun Case Detection Rate (CDR) rendah, tetapi target cure rate tercapai. Hal

ini menunjukkan bahwa 85% dari yang ditemukan sembuh yang berarti ada

pemutusan rantai penularan dengan sekitarnya. Dengan CDR yang masih rendah

walaupun yang ditemukan 85% sembuh, ternyata masih banyak anak balita

penderita TB di lapangan yang belum ditemukan dan diobati. Dengan cara

sekarang (berdasarkan hasil penelitian) akan sulit untuk meningkatkan CDR.


9

Sebaiknya DKK dan puskesmas menerapkan metode penemuan penderita

tuberkulosis dengan cara aktif selektif yang terintegrasi dengan pelayanan gizi dan

kesehatan dasar di posyandu maupun di polindes, yaitu dengan MTBS.6

Alasan yang dapat menjelaskan mengapa DKK dan puskesmas tidak dapat

membuat kebijakan dalam penemuan penderita tuberkulosis dan penyakit infeksi

anak balita lainnya karena tidak adanya pendanaan yang cukup untuk melakukan

modifikasi serta 13 pendanaan program penurunan angka kesakitan dan kematian

anak balita. Oleh karena itu, perlu promosi MTBS yang dapat membantu

mencegah penularan berbagai penyakit pada anak dan menolong penyembuhan

anak balita sakit di kota maupun di pedesaan. Sampai saat ini strategi yang

dikembangkan seperti terlihat pada Gambar 2.1.6

Gambar 2.1 Strategi Promosi MTBS di negara berkembang.6


10

2.3
Strategi Menuju MTBS

Strategi menuju MTBS, yaitu:6

1. Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi

masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita serta

mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan

pertumbuhan melalui revitalisasi posyandu.

2. Meningkatkan kemampuan petugas dalam manajemen dan melakukan

tatalaksana gizi buruk untuk mendukung fungsi posyandu yang dikelola oleh

masyarakat melalui revitalisasi puskesmas.

3. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok

rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul

vitamin A, MP-ASI, dan makanan tambahan.

4. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan

sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang, dan pola hidup

bersih dan sehat.

5. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta atau dunia

usaha serta masyarakat untuk mobilisasi sumber daya dalam rangka

meningkatkan daya beli keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan

bergizi seimbang.

6. Meningkatkan perilaku sadar gizi dengan: a) memantau berat badan, b)

memberi ASI eksklusif pada bayi 06 bulan, c) makan beraneka ragam, d)

menggunakan garam beryodium, e) memberikan suplementasi gizi sesuai

anjuran.
11

7. Intervensi gizi dan kesehatan dalam MTBS, dengan cara: a) memberikan

perawatan atau pengobatan di rumah sakit dan puskesmas pada anak balita gizi

buruk disertai penyakit penyerta, b) Pendampingan Pemberian Makanan

Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak 623 bulan dan PMT pemulihan

pada anak 2459 bulan kepada balita gizi kurang baik yang memiliki penyakit

penyerta ataupun tidak ada penyakit penyerta.

8. Advokasi dan pendampingan MTBS, dengan: a) menyiapkan materi atau

strategi advokasi MTBS, b) diskusi dan rapat kerja dengan DPRD secara

berkala tentang pelaksanaan dan anggaran MTBS, c) melakukan

pendampingan di semua puskesmas di setiap kabupaten.

2.4 Keutamaan MTBS

Manajemen terpadu balita sakit pada pelayanan kesehatan dasar seperti di

puskesmas dan beberapa posyandu merupakan pilihan termurah dari aspek

pembiayaan kesehatan anak. Selain itu, MTBS juga mampu berperan sebagai

suatu program yang terintegrasi yang dapat diterapkan pada semua fasilitas-

fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas di hampir seluruh

kecamatan yang umumnya memiliki keterbatasan fasilitas, juga mampu

menghemat pembelian obat, menurunkan tingkat kesalahan pemeriksaan, dan

dapat merupakan penggabungan sumber daya pelayanan kesehatan anak balita

sakit di puskesmas.6

Menurut Lesley Bamford dari National Department of Health tahun 2008

yang mengatakan bahwa MTBS di hampir seluruh negara berkembang merupakan


12

pelayanan kesehatan anak balita sakit secara komprehensif karena dapat

mengkombinasikan pemeriksaan lima penyakit yang dominan diderita anak balita.

Malnutrisi diperkirakan berkontribusi sekitar 50% pada kematian balita (49%),

namun dalam perkembangannya ada sembilan penyakit yang harus dicegah pada

anak balita. Gambaran penyakit tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.6

--
m p
c
eoe
anr
sgi
len
ena
sit
ta
(a l
8l
% (
)( 2
0
4
%
%
)
Gambar 2.2 Lima Penyebab Kematian Anak Balita.6

Penyakit-penyakit terbanyak pada balita yang dapat diberikan tatalaksana

dengan MTBS adalah penyakit yang menjadi penyebab utama kematian, antara

lain pneumonia, diare, malaria, campak, dan kondisi yang diperberat oleh masalah

gizi (malnutrisi dan anemia). Langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan

menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk

mengatasi masalah kesakitan pada balita. Bank Dunia melaporkan bahwa MTBS
13

merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita

yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak, malaria,

dan kurang gizi yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.9

Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar

(Puskesmas dan jaringannya termasuk pustu, polindes, poskesdes, dan lain-lain).

Manajemen terpadu balita sakit mengkombinasikan perbaikan tatalaksana kasus

pada balita sakit (kuratif) dengan aspek gizi, imunisasi, dan konseling (promotif

dan preventif). Langkah-langkah secara sistematis dan menyeluruh meliputi

pengembangan sistem pelatihan, pelatihan berjenjang, pemantauan pasca

pelatihan, penjaminan ketersediaan formulir MTBS, ketersediaan obat dan alat,

serta bimbingan teknis diperlukan agar penerapan MTBS dapat berjalan

sebagaimana yang diharapkan.9

Gambar 2.3Bagan pendekatan MTBS.6

2.5 Penerapan MTBS


14

Penerapan kegiatan MTBS di puskesmas meliputi: a) diseminasi informasi

mengenai MTBS kepada seluruh petugas puskesmas, b) persiapan penilaian dan

penyiapan logistik, obat-obat, dan alat yang diperlukan dalam pemberian

pelayanan, c) persiapan atau pengadaan formulir, d) persiapan dan penilaian serta

pengamatan terhadap alur pelayanan, sejak penderita datang, mendapatkan

pelayanan hingga konseling, e) melaksanakan pengaturan dan penyesuaian dalam

pemberian pelayanan, f) melaksanakan pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan

dan penerapan pencatatan dan pelaporan untuk pelayanan di puskesmas,

puskesmas pembantu, dan Pondok Bersalin Desa atau PKD, g) penerapan MTBS

di puskesmas dilaksanakan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan rawat

jalan di tiap puskesmas.11

Pada beberapa puskesmas, diadakan pemisahan khusus untuk poli MTBS

atau poli anak. Khusus penerapan pada bayi muda, penatalaksanaan bayi muda

lebih di titik beratkan pada saat petugas kesehatan (pada umumnya bidan di desa)

melakukan kunjungan neonatal yaitu dua kali selama periode neonatal. Kunjungan

pertama dilaksanakan pada tujuh hari pertama dan kunjungan kedua pada hari 8-

28 hari. Penerapan MTBS pada semua unit pelayanan terdepan yang kontak

dengan anak usia 0-5 tahun dengan menggunakan MTBS dalam mengelola

kesehatan anak, dapat secara preventif mendeteksi adanya kesakitan yang diderita

yang mungkin diperlukan rujukan untuk menyelamatkan jiwa, juga upaya

promotif untuk meningkatkan kesehatan melalui pemberian konseling gizi pada

ibunya. Hal ini secara ekonomi akan menghemat biaya dibandingkan bila anak

jatuh pada kondisi sakit yang berat.11


15

2.6 Gambaran Penanganan Balita Sakit Berdasarkan MTBS

Berikut ini gambaran singkat penanganan balita sakit memakai pendekatan

MTBS. Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh

petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut

algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan dengan cara

menanyakan kepada orang tua atau wali, apa saja keluhan-keluhan atau masalah

anak, kemudian memeriksa dengan cara melihat dan mendengar atau melihat dan

meraba. Setelah itu, petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan

hasil tanya jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan

menentukan jenis tindakan atau pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi

pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas,

anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah

gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dan seterusnya. Di bawah ini adalah

gambaran pendekatan MTBS yang sistematis dan terintegrasi tentang hal-hal yang

diperiksa pada pemeriksaan. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan,

petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua atau wali secara berurutan,

dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti apakah anak bisa

minum atau menyusu, apakah anak selalu memuntahkan semuanya, atau apakah

anak menderita kejang. Kemudian petugas akan melihat atau memeriksa apakah

anak tampak letargis atau tidak sadar. Setelah itu petugas kesehatan akan

menanyakan keluhan utama lain seperti apakah anak menderita batuk atau sukar

bernapas, apakah anak menderita diare, apakah anak demam, apakah anak
16

mempunyai masalah telinga, memeriksa status gizi, memeriksa anemia,

memeriksa status imunisasi, memeriksa pemberian vitamin A, dan menilai

masalah atau keluhan-keluhan lain.10

Gambar 2.4 Penilaian, Klasifikasi dan Tindakan/Pengobatan Anak Sakit Usia 2 Bulan sampai 5 Tahun.10
17
tersebut
Berdasarkan

diatas,
hasil penilaian hal-hal
18

10 10
10
Gambar
Gambar
Gambar 2.10 Memeriksa Anemia, 2.7
Status2.6
Manajemen
Manajemen
Imunisasi Anakdengan
danAnak dengan
Pemberian Keluhan
Keluhan
Vitamin
Gambar Demam
ADemam
2.5pada (2).
(1).
Anak.
Manajemen Anak Gambar 2.8 Manajemen
Gambar
dengan Keluhan 10Anak
Diare.2.9 Memeriksa
dengan Status
KeluhanGizi
Telinga.
Anak.10
19

petugas akan mengklasifikasi keluhan atau penyakit anak, setelah itu melakukan

langkah-langkah tindakan atau pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian

atau klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain, mengajari ibu cara

pemberian obat oral di rumah, mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di

rumah, menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di

rumah seperti aturan penanganan diare di rumah, memberikan konseling bagi ibu

seperti anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan

sehat, menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan, dan lain-

lain.10
10
Gambar 2.12 Cara Pemberian Obat Oral di Rumah (2).
10
Gambar 2.13 Cara Mengobati Infeksi Lokal di Rumah.
Gambar 2.11 Cara Pemberian Obat Oral di Rumah (1).10
20
Gambar 2.14 Pemberian Cairan.10
Gambar 2.18 Pemberian Pelayanan Tindak Lanjut (4).10
Gambar 2.15 Pemberian Pelayanan Tindak Lanjut (1).10
Gambar 2.17 Pemberian Pelayanan Tindak Lanjut (3).10
21

Gambar 2.16 Pemberian Pelayanan Tindak Lanjut (2).10


22

2.7 Proses Manajemen Kasus

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah program intervensi dalam

penanganan anak terutama balita yang menggunakan suatu algoritme, sehingga

dapat mengklasifikasikan penyakit yang dialami oleh balita, melakukan rujukan

secara cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi, dan memberikan

imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, ibu balita juga diberi

konseling tata cara memberi obat di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan

yang seharusnya diberikan dan memberitahu kapan harus kembali (kunjungan

ulang) atau segera kembali untuk mendapatkan pelayanan tindak lanjut.11

Dalam rangka menjaga kualitas pelayanan dan meningkatkan keterampilan,

petugas kesehatan dilatih standarisasi MTBS dengan mempelajari materi dasar

dan materi inti yang memberikan pengetahuan dan keterampilan klinis dalam

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang terdiri dari penilaian dan

klasifikasi anak sakit usia 2 bulan sampai 5 tahun, menentukan tindakan,

pengobatan, konseling bagi ibu, tindak lanjut, serta tatalaksana bayi muda usia 1

hari sampai 2 bulan (Manajemen Terpadu Bayi Muda atau MTBM). Selanjutnya
23

untuk menjaga tetap terpeliharanya keterampilan petugas akan manajemen

pengelolaan paripurna pada balita, pelaksanaan di lapangan diterapkan pada

formulir MTBS atau MTBM yang berupa checklist pengamatan untuk

membimbing petugas dalam melakukan pelayanan kepada bayi dan balita.11

Pelatihan standarisasi MTBS tersebut di atas dilaksanakan selama enam hari

efektif dengan sesi malam (minimal 60 jam pelajaran), sebagaimana ketentuan

dalam Keputusan Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Nomor: KU.03.02/

BI.3/486/2007 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana APBN yang

dilaksanakan di Propinsi, Kabupaten atau Kota Tahun 2007 Program Upaya

Kesehatan Masyarakat dan Program Perbaikan Gizi Masyarakat. Kompetensi

yang diharapkan dari pelatihan MTBS adalah petugas kesehatan bisa

melaksanakan proses manajemen kasus penanganan balita sakit dan bayi muda di

fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, puskesmas pembantu,

pondok bersalin , klinik, balai pengobatan, maupun melalui kunjungan rumah.11

Kompetensi yang diharapkan dari pelatihan MTBS adalah petugas

kesehatan bisa melaksanakan proses manajemen kasus penanganan balita sakit

dan bayi muda di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas,

puskesmas pembantu, pondok bersalin, klinik, balai pengobatan maupun melalui

kunjungan rumah. Dengan berpedoman pada buku bagan, petugas menangani

balita sakit dan bayi muda diantaranya: a) menilai tanda dan gejala penyakit,

status imunisasi, status gizi, dan pemberian vitamin A, b) membuat klasifikasi, c)

menentukan tindakan sesuai dengan klasifikasi anak dan memutuskan apakah

seorang anak perlu dirujuk, d) memberi pengobatan pra rujukan yang penting,
24

seperti dosis pertama antibiotik, vitamin A, suntikan kuinin, dan perawatan anak

untuk mencegah turunnya gula darah serta merujuk anak, e) melakukan tindakan

di fasilitas kesehatan (kuratif dan preventif) seperti pemberian oralit, vitamin A,

dan imunisasi, f) mengajari ibu cara memberi obat di rumah (seperti antibiotik

oral atau obat anti malaria) dan asuhan dasar bayi muda, g) memberi konseling

kepada ibu mengenai pemberian makan pada anak termasuk pemberian ASI dan

kapan harus kembali ke fasilitas kesehatan, h) melakukan penilaian ulang dan

memberi perawatan yang tepat pada saat anak datang kembali untuk pelayanan

tindak lanjut.11

2.8 Evaluasi Penilaian MTBS

World Health Organization (WHO) telah melakukan evaluasi pada beberapa

negara untuk mengevaluasi dampak, biaya, dan efektivitas strategi MTBS. Hasil

yang didapatkan dari evaluasi program MTBS ini yaitu melakukan dukungan dan

advokasi dalam upaya intervensi kesehatan anak oleh departemen kesehatan di

negara-negara berkembang dan dengan mitra nasional maupun internasional.

Hasil dari evaluasi ini menunjukkan bahwa: a) MTBS meningkatkan kinerja

petugas kesehatan dan kualitas perawatan, b) MTBS dapat menurunkan angka

kematian balita dan meningkatkan status gizi jika diterapkan dengan baik, c)

MTBS dapat menghemat biaya hingga enam kali lebih sedikit, d) program untuk

mengelola kesehatan anak dengan lebih mengutamakan pada kegiatan pada

lingkungan keluarga dan perilaku masyarakat, e) menurunkan secara signifikan

angka kematian balita yang disebabkan lima penyakit tersering.12


25

Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS apabila memenuhi kriteria

melaksanakan atau melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah

kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.9

Anda mungkin juga menyukai