Anda di halaman 1dari 6

A.

Translate Kesimpulan ke Bahasa Indonesia

Dalam makalah ini, kami mengevaluasi pandangan konvensional bahwa CBI adalah
instrumen yang diperlukan dan / atau memadai untuk mencapai inflasi rendah. Kesimpulan
kami setelah meninjau argumen analitis dan bukti empiris adalah bahwa kasus ini jauh dari
meyakinkan. Kami berfokus pada cara berpikir alternatif tentang CBI yang secara teoritis dan
empiris lebih masuk akal. Idenya adalah masyarakat membuat dua keputusan mengenai
kebijakan moneter. Pertama, mereka memutuskan pentingnya melekat pada inflasi.
Keputusan kedua menyangkut pengaturan kelembagaan terbaik untuk mencapai tujuan
stabilitas harga, mengingat kerangka politik, hukum, dan ekonomi. Keputusan pertama
menunjukkan bahwa CBI bukanlah kondisi yang cukup untuk stabilitas harga, karena ini
bukan penyebab utama, namun instrumen di antara banyak orang untuk mencapai tujuan ini.
Keputusan kedua menjelaskan bahwa CBI bukanlah kondisi yang diperlukan untuk stabilitas
harga secara umum, walaupun ini mungkin solusi tepat untuk beberapa negara.

Model keputusan dua tahap ini memungkinkan interpretasi dalam kerangka umum
berbagai temuan mengenai kebijakan moneter dan CBI yang telah muncul dalam literatur.
Hal ini tidak mungkin dilakukan dalam kerangka kerja konvensional. Bagian pertama dari
makalah ini telah mempertimbangkan argumen teoritis mengenai kasus independensi bank
sentral. Kami mengusulkan bahwa ada solusi lain untuk masalah konsistensi waktu, seperti
target inflasi, nilai tukar tetap, dan kontrak inflasi, dan beberapa mungkin lebih baik daripada
independensi dan konservatisme, karena melibatkan biaya yang lebih rendah sementara pada
saat yang sama mencapai tingkat suku bunga rendah Inflasi. Meskipun biasanya tidak
mungkin untuk menulis kontrak inflasi yang lengkap, target inflasi atau kebijakan moneter
berbasis nilai tukar praktis dan telah dipilih sebagai alternatif CBI. Alternatifnya sering
digabungkan dengan instrumen independensi bank sentral. Namun, yang penting dalam
argumen Rogoff adalah tujuan kemerdekaan. CBI adalah konsep yang relevan dalam praktik
namun bukan satu-satunya pilihan. Memberikan daftar kondisi yang jelas dimana salah satu
atau solusi kebijakan moneter lainnya lebih unggul harus diberi peringkat tinggi dalam daftar
penelitian lebih lanjut.

Bagian kedua dari makalah ini telah mengulas literatur tentang endogenitas CBI.
Secara khusus, kami mengidentifikasi dua alasan mengapa masyarakat memilih untuk
menetapkan prioritas tinggi untuk memerangi inflasi. Pertama, perbedaan budaya
memungkinkan klasifikasi masyarakat sesuai dengan keengganan inflasi. Kedua, kelompok
kepentingan politik mungkin memiliki kepentingan untuk menjaga inflasi tetap rendah, dan
mungkin dapat mempengaruhi hasil politik.

Mengenai pilihan CBI dibandingkan dengan instrumen potensial lainnya, kami telah
meninjau kembali literatur yang melihat aspek politik, hukum, dan ekonomi. Misalnya, biaya
yang lebih tinggi untuk mengubah status hukum bank sentral dalam hal kesulitan politik
dapat menyebabkan penerapan CBI. Kebebasan politik mungkin kondusif untuk menerapkan
CBI. Jika CBI sudah terbentuk, sebuah 'budaya hukum' 'dapat mencegah perubahan pada
undang-undang bank sentral. Akhirnya, ketika pasar tenaga kerja dicirikan oleh serikat
pekerja yang kuat, menunjuk seorang bankir konservatif sebagai presiden sebuah bank sentral
independen mungkin bukan solusi yang tepat. Di sisi lain, hasil Rogoff (1985) dapat
dibangkitkan ketika pasar tenaga kerja bersifat atomistik atau bila pilihan luar untuk serikat
pekerja didefinisikan secara riil.

Kerangka kerja dua tahap kami untuk menganalisis pengaturan kebijakan moneter
tidak terkait dengan pengaturan informal. Dalam studi kasus Prancis, Italia, dan Inggris,
Cobham dkk. (1999) menekankan pentingnya CBI informal dalam menjalankan kebijakan
moneter. Mereka menunjukkan bahwa perubahan inflasi rata-rata tidak selalu disertai oleh
perubahan tingkat CBI dan bahwa perubahan dalam tingkat formal CBI tidak selalu
mengarah pada perubahan tingkat inflasi yang diharapkan. Hal lain yang dicatat oleh
beberapa penulis adalah bahwa dukungan publik terhadap bank sentral perlu cukup kuat
untuk membuat penerapan tindakan kebijakan moneter (kadang-kadang keras) berhasil
(Posen, 1995; Bofinger et al., 1998; Hayo, 1998). Dalam lingkup terbatas makalah ini,
bagaimanapun, kami tidak melakukan keadilan terhadap penyempurnaan ini.

Ada beberapa area di mana penelitian lebih lanjut tampaknya bermanfaat. Pertama,
kami yakin masih banyak yang bisa dipelajari tentang alasan memilih institusi kebijakan anti
inflasi dengan menganalisis data survei. Secara khusus, informasi tingkat mikro dan makro
dapat digabungkan dalam kumpulan data panel untuk menangani sejumlah pertanyaan
menarik. Upaya pertama dalam arah ini adalah studi oleh Di Tella dkk. (2001), yang melihat
trade-off antara inflasi dan pengangguran menggunakan sejumlah besar data survei dan
menggabungkan rangkaian mikro dan makro dalam proses dua langkah. Kedua, bukti empiris
untuk argumen kelompok kepentingan tetap tidak meyakinkan. Orang bisa melihat kelompok
kepentingan selain sektor keuangan.
Lebih banyak yang bisa dipelajari tentang mengapa masyarakat memilih CBI dan
bukan instrumen lain yang mungkin. Hasil empiris yang ada relatif lemah. Penelitian empiris
di masa depan harus mengambil karakteristik yang relevan dari kerangka hukum, politik, dan
ekonomi suatu negara yang secara eksplisit diperhitungkan.

B. Analisis Jurnal
1. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah suatu usaha pemerintah dalam mengendalikan keadaan


ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan
jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi
kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Kebijakan
moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, dan pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta
tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang
seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan
moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter
pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi


yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali,
tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan
moneter dilakukan antara lain dengan salah satu tetapi tidak terbatas pada instrumen sebagai
berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai
tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan
likuiditas.

Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan


moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar. Pengaturan jumlah uang yang beredar
pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy, adalah suatu
kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar.
b. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy, adalah suatu
kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga
dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
2. Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti peningkatan konsumsi masyarakat, berlebihnya likuiditas di pasar
yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, termasuk akibat adanya ketidaklancaran
distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata
uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya
tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi.
Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses
kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah
inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala
dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat
inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan
likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) produksi dan/atau
distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya
distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan
moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara
dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government)
seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan
infrastruktur, regulasi, dll.

1) Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya


permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di
pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga.
Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap
barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi
tersebut yang kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Membanjirnya
likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya
kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank
sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.

2) Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan
produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi meskipun permintaan secara
umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidaklancaran aliran
distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal
dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran.
Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis
di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dan lain-lain), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan
bahan baku untuk menghasilkan produksi, aksi spekulasi (penimbunan), dan sebagainya
sehingga memicu kelangkaan produksi di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi
pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat
penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu kenaikan harga,
misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan
mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang
berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam
negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara
mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.
Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga
barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau
adanya kenaikan tarif impor barang.

Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga.
Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi
itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada
semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation).
Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus
berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan
nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).

Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :


1) Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)

2) Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)

3) Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)

4) Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)

3. Hubungan Kebijakan Moneter dan Inflasi

Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral
suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar.
Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa
kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral, termasuk pemerintah.
Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang
independen (salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan
kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian) akan mendorong tingkat inflasi yang
lebih tinggi.

Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku
bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral juga
berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan
karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi)
maupun eksternal (kurs).

Anda mungkin juga menyukai