Anda di halaman 1dari 43

Penyakit Pada Hidung dan Patofisiologi

RINITIS AKUT

1. Rinitis virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:

Rinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)


Etiologi. Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain,
adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus,
dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.
Gambaran klinis. Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung,
lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang
berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan.
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret hidung
(ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila
terdapat invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus,
pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella
Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
Pengobatan. Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah penyakit
semakin berat. Pasien disarankan minum air lebih dari biasanya. Gejala-
gejalanya dapat diatasi dengan pemberian antihistamin dan dekongenstan.
Analgesikberguna untuk mengatasi sakit kepala, demam dan myalgia.
Analgesik yang tidak mengandung aspirin lebih dianjurkan karena aspirin
dapat menyebabkan virus semakin berkembang biak. Antibiotik diberikan
bila terdapat infeksi sekunder bakteri.
Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan
membaik secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang,
komplikasi seperti sinusitis, faringitis, tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan
otitis media dapat terjadi.

1
Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip denagn common cold. Komplikasi sehubungan dengan
infeksi bakteri sering terjadi.
Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder
dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.

2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:

Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
Rinitis bakteri primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi
pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membrane putih
keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila
diangkat dapat menyebabkan pendarahan.

Rinitis bakteri sekunder. Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis
viral akut

Rinitis difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri
dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan
dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri
harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak
lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program
imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis akut ialah demam,
toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan.
Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan
tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah,
membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.

2
Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas
dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan
antitoksin difteri.

3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang
bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi
intranasal,contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan
terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan immediate catarrhal
reaction bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya
dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap
selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung
pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.

Tanda dan Gejala

Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan
antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di
dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer hingga
mukopurulen. Mukosa hidung dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan
edema. Biasanya diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan
sakit kepala.23

Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit
pada otot. Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik
atau ruam muncul. Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada
rinitis iritan.

Diagnosis

Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun


pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga
beberapa karekteristik yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri,
diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari secret hidung.23

3
Terapi dan Pencegahan

Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan
setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih
bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan
antihistamin disertai dengan istirehat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan
kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik
perlu diberikan.23,24,25
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah
dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat
terbentuknya system imuitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari
serangan za-zat asing. Istirehat yang cukup, mengkonsumsi makanan dan
minuman yang sehat dan olahraga yang teraturjuga baik untuk menjaga kebugaran
tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan, seperti
vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.25

RINITIS KRONIK
Rhinitis Hipertrofi
Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan
sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. 8
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,
mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi,
permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. 8
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi. 8

Rinitis Sika
Etiologi

4
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,
peminum alkohol, dan gizi buruk. 8

Manifestasi Klinis
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai
epitaksis. 8

Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung. 8

Rhinitis Difteri

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

Manifestasi klinis
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret
hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah,
terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik
gejalanya lebih ringan.

Terapi
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan
intramuskular.

Rhinitis Atrofi
Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi
kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan
hormonal, dan penyakit kolagen. 26

Manifestasi Klinis

5
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung.
Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental
berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung
tersumbat. 26

Terapi
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika
berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada
perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk
mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali. 26

Rhinitis Sifilis
Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. 26

Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut
lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada
rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan
perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang
berbau. 26

Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. 26

Rhinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. 26

Manifestasi Klinis

6
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau
ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi26

Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung. 26

Rhinitis Lepra
Etiologi
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae. 26

Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan
produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya
destruksi tulang dan kartilago hidung. 26

Terapi
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup. 26

Rhinitis Jamur

Etiologi
Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida
yang menyebabkan kandidiasis. 26

Manifestasi Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan
sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah. 26

Terapi

7
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci
hidung. 26

Rinitis alergi
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). 8
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas
hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan
dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan
komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.9

Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik
secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10
15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi
menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam
rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan
alergi.8
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.8

Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi

8
problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien
datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini
dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke
dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.

Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari
"non-self" yang berpasangan dengan memory. Fungsi dari sistem kekebalan
tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin
yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi
sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs
menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik,
komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi
(rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi
sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik
dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang
hal tersebut.10
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 8

9
Gambar 5. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 8
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2.
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 8
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

10
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 8
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 8
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi. 8

Gambaran histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. 8

11
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal. 8

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 8

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan


Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan
kacang-kacangan.
2. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan
Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.
3. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa
Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member
gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. 8

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari: 8

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi
ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag
tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.

2. Respon sekunder

12
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang
tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik
yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal
disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor).
Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai
dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan
dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.

13
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 8

1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 8

1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. 8
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai
oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

14
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien.8 Gejala klinis lainnya dapat berupa popping of the ears,
berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.11

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner.8
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut sebagai allergic crease.8
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 8

Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). 8
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.

15
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.8

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).8
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan. 8

Diagnosis banding
Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:8,12

1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung
yang disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis,
tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari
penyebabnya, antara lain:

- rhinitis vasomotor

16
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal
2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)
Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-
silia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance
mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis
kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di
masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus
frontalis.13

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 8
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. 8,11
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara
topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal
(non-sedatif). 8,11

17
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua
golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 8
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 8

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

18
Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.11
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15
mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg
untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-
obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 11
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. 8
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja
pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat
topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion
kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 8
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 8

19
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki
efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas
hidup pasien. 14
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat8
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 8

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 8

1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung
dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.


3. Sinusitis paranasal.
Rinitis vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik
lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas
parasimpatis. 8 Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan

20
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific
allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. 8,15-17
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala
hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun
jarang. 8
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-
faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 8
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis
rinitis lainnya. 15
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan
dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. 16,17

Epidemiologi
Sebanyak 30 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus
rinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada
wanita. Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul
pada dekade ke 3 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara
7 21%.

Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. 8,17
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 8,17

obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti


ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.

21
faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada
rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik
sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif,
keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema
dan kongesti. 17
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari
selsel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak
diperantarai
oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 19
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ). 19 Dengan
demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu : 16,19
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis

22
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.

Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-
pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak
dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis
alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosahidung yang non
spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. 18
1. Latar belakang 15
adanya paparan terhadap suatu iritan -> memicu ketidakseimbangan
sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar
pada mukosa hidung -> vasodilatasi dan edema pembuluh darah
mukosa hidung -> hidung tersumbat dan rinore.
disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis )
merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan
respon terhadap protein spesifik pada zat allergennya.
tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE
( IgE-mediated hypersensitivity )
2. Pemicu ( triggers ) : 20
alkohol
perubahan temperatur / kelembapan
makanan yang panas dan pedas
bau bauan yang menyengat ( strong odor )
asap rokok atau polusi udara lainnya
faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas
penyakit penyakit endokrin
obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

Gejala klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan

23
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu
perubahan posisi. 8 Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan
dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 8
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok
( post nasal drip ). 20 Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor
dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan
rinore (
runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. 8

Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak
mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa. 8,20
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap
paparan zat
iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik),
tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya
sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa
dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal
drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta

24
kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil
pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering
menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. 8, 20
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat. 8
Tabel 3. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor
Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan
musim
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu
anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin
(-)
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa
(+)
- Hipertrofi konka inferior
sering dijumpai
Radiologi X Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan
sinus
- Umumnya dijumpai
penebalan mukosa
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total - Normal
Prick Test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

Diagnosis banding20
1. Rinitis alergi

2. Rinitis infeksi

25
Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 4

Riwayat terpapar allergen


Riwayat terpapar allergen (+)
(-)

Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler


Etiologi
rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

Tidak membantu Membantu


Neurektomi n. vidianus
Tabel 4. Perbandingan rinitis alergi dan rinitis vasomotor

Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 8,20
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
i. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :

26
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
ii. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
iii. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
iv. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3
25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun
secara elektrik (electrical cautery).
Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal
diathermy of the inferior turbinate )
Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection)
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara
diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini
sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi

Simptom Jenis terapi Prosedur

- Kauterisasi konka ( chemical atau


Obstruksi hidung Reduksi konka
electrical )
- Diatermi sub mukosa

- Bedah beku ( cryosurgery )

- Turbinektomi parsial atau total


Reseksi konka
- Turbinektomi dengan laser ( laser

27
turbinectomy )

- Eksisi nervus vidianus


Rinore Vidian neurectomy
- Diatermi nervus vidianus

Tabel 5. Terapi operatif terhadap rinitis vasomotor


Komplikasi20
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang
diberikan. 20

Rinitis medikamentosa

Definisi

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa


gangguan respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor
topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis
mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [21,22]

Etiologi

Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis


yang bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan
psikosedatif . Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti
cholinesterasi yang digunakan secara berlebihan juga dapat menyebabkan
gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan sekret
hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak

28
lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa
hidung berupa:[3]

1. Silia rusak 5. Stroma tampak edema

2. Sel goblet berubah ukurannya 6. Hipersekresi kelenjar mukus

3. Membran basal menebal 7. Lapisan submukosa menebal

4. Pembuluh darah melebar 8. Lapisan periostium menebal

29
Phosphodiesterase type 5 Hormon
Antihipertensi inhibitors

Amiloride Sildenafil Estrogen


Angiotensin-converting Tadalafil Eksogenous
enzyme inhibitors Vardenafil Pil kontrasepsi
-blockers
Chlorothiazide
Clonidine
Hydralazine
Hydrochlorothiazide
Prazosin
Reserpine

Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

Aspirin Chlordiazepoxide- Kokain


NSAIDs amitriptyline Gabapentin
Chlorpromazine
Risperidone
Thioridazine
Tabel 6 : Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis

Dekongestan Imidazolines

Simpatomimetik :
Amfetamin Klonidin
Benzedrine Naphazolin
Kafein Oxymetazolin
Ephedrin Xylometazolin
Mescalin
Phenylephrin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin

30
Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan


atau iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi
topikal dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus
nasal dan akan berfungsi kembali dengan menghentikan pemakaian obat.
Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan
mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan.
Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan
lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang,
pH hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan
menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila
pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan.
Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan selsel mukoid,
sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan. 3
Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi
sebagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi
jalur umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu
yang lama, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan
vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan. 3

Manifestasi klinis
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis
medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa
hidung kelihatan kemerahan ( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan
sekret yang minimal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat dan
udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan
hidung dalan jangka waktu yang lama. 3,7

Diagnosis
Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah :- 3,7

i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau


obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau
bersin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.

Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis


lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk
menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis
lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk
bagi pasien yang mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang
mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi
3,7,21,22
septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.

Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah :- 21
i. Rinitis Alergi
ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
iii. Polip Nasi
iv. Rinitis Non-Alergi
v. Rhinosinusitis

Penatalaksanaan
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan
bersama penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat
pengobatan rhinitis medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi
kortikosteroid ( triamsinolone asetat 20 mg pada turbinasi anterior juga mampu
mengurangkan kongesti hidung. Glukokortikosteroid intranasal ( semprotan
deksametason sodium fosfat / budesonide ). 3,8,22

Prognosis
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan
penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang
sempurna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti
rebound ini akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan pengobatan
tersebut.

EPISTAKSIS

Epistaksis adalah perdarahan dari hidung. Seringkali merupakan gejala atau


manifestasi dari penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri
tanpa bantuan medis.

Etiologi:
- Trauma.
- Kelainan pembuluh darah lokal
- Infeksi lokal
- Tumor
- Penyakit kardiovaskuler
- Kelainan darah
- Kelainan kongenital
- Infeksi sistemik
- Perubahan udara atau tekanan atmosfer
- Gangguan hormonal

Sumber perdarahan:
- epistaksis anterior
dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau dari ethmoidal anterior.

Perdrahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang
hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Kebanyakan terjadi pada anak,
berulang dan bisa berhenti sendiri.

- epistaksis posterior
dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya
lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sering ditemukan pada pasien dengan
penderita kardio vaskuler

Terapi
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan,
mencegah, komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Menghentikan Perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan
tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu
epistaksis berhenti dengan sendirinya.

Jika seorang pasien dengan epistaksisa datang, maka pasien harus diperiksa
dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dengan meletakkan
bantal di belakang punggungnya, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.

Dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan


darah, dicari sumber perdarahan, kemudian tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin/ epedrin dimasukkan kedalam rongga hidung. Dengan cara
ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau bagian posterrior.

Perdarahan arterior
Tindakan sederhana mengatasi perdarahan anterior ialah dengan memasukkan
tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin/epedrin, kalau perlu juga
dengan obat analgesia lokal (pantokain,lidokain), ke dalam rongga hidung,
dan kemudian menekan ala nasi ke arah septum selama 3 5 menit. Setelah
tampon dikeluarkan tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras
Argenti 20-30%, atau dengan Asam trikloresetat 10%. Dapat juga dipakai
elektrokauter untuk kaustik itu.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
atau salep antibiotik. Yang dimasukkan melalui nares anterior. Tampon yang
dipasang ini harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat
dipertahankan selama 1 2 hari.

Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebaba biasanya
perdarahan hebat dan agak sukar mencari sumber perdarahan di posterior
dengan rinoskopi anterior, sehingga kadang-kadang tidak mungkin untuk
mencari sumber perdarahan itu.

Untuk menanggulangi perdaraha posterior dilakukan pemasnagan tampon


posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup
koana (nares posterior). Pada tampon bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu
2 buah pada satu posisi dan sebuah benang pada sisi lainnya.

Untuk memasang tampon posterior kateter karet dimasukkan melalui nares


anterior sampai tampak di orofaring lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujng
kateter kemudian diikatkan pada 2 buah benang tampon bellocq kemudian
kateter itu ditarik keluar melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah
keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan tangan,
tampon itu diletakkan di nasofaring. Jika dianggapperlu bila masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon
anterior kedalam nares arteriow. Kedua benang yang keluar dari nares
arterior itu kemudian diikat pada sebuah kain kasa didepan lubang hidung
supaya tampon yang terletak di nasifaring tidka bergerak. Benang yang
sehelai pada sisi lain dari tampon bellocq itu diikatkan pada pipi pasien.
Gunanya ialah untuk mengeluarkan tampon ke luar melalui mulut setelah 2-
3 hari.

Sebagai pengganti tampon posterior dipakai juga kateter Foley dengan


balon.

Bat hemostatik diberikan disamping tindakan penghentian perdarahan itu.


Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa obat-obatan hemostatik itu sedikit
sekali manfaat sama sekali.
Pada epistasis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon arterior maupun posterior dilakukan ligasi arteri.

Ligasi a.etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan


membuat sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua.
Pembuluh darah tersebut di dinding media orbita. Ligasi a. Maksila interna
yang terletak di fosa pterogomaksila dapat dilakukan melalui operasi
Caldwell Luc dasn kemudian mengangkat dinding posterior sinus
maksilla.

FURUNKEL

Adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya.


Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu tempat
disebut furunkulosis.

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Iritasi
Tekanan
Gesekan
Dermatitis (kerusakan dari kulit dipakai sebagai jalan masuknya
Staphylococcus aureus)
Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi :
malnutrisi atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes
mellitus
Gejala
Mula-mula nodul kecil kemudian menjadi pustule nekrosis
menyembuh setelah pus keluar sikatriks. Nyeri terjadi terutama pada
furunkel yang akut, besar, dan lokasinya di hidung. Bisa timbul gejala
prodromal yang seperti panas badan, malaise, mual.

Tatalaksana
Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan
solusio sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium
fusidat atau framycetine sulfat kassa steril

Antibiotik sistemik : mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib


diberikan terutama pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia.
Antibiotik diberikan selama 7-10 hari. Lebih baiknya, antibiotik
(Levofloxacin 500 mg/hari) diberikan sesuai dengan hasil kultur bakteri
terhadap sensitivitas antibiotik

POLIP HIDUNG
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa.

Bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan
meningokel atau meningoensefalokel.

Anamnesis
Hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai yang berat, rinore dari
yang jernih sampai purulen, hipoosmia atau anosmia.

Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri dihidung disertai sakit kepala


didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal
drip dan rinore purulen.

Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.

Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.

Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi


terhadap aspirin dan alergi obat lainya serta alergi makanan.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna
pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.

Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)

Stadium 1: polip masih terbatas dimeatus medius


Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak
dirongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3: polip yang massif
Patogenesis
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung
karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip
hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan
gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung
mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa
hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor
predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak
menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang
dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat
sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat
konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung
yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat
mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu
terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

ABSES HIDUNG

Trauma hematoma septum infeksi kuman abses

Gejala hidung tersumbat progresif


nyeri berat di puncak hidung
demam
sakit kepala
pembengkakan septum

Terapi
Abses Septum Insisi, drenase nanah bahaya komplikasi ke intrakranial
atau septikemia
Antibiotika dosis tinggi
Analgetika
Destruksi hidung rekonstruksi

BENDA ASING HIDUNG

Sering terjadi pada anak usia 2 4 tahun/ keterbelakanga nmental

Anamnesis
Hidung tersumbat
Sekret mukopurulen banyak dan bau busuk di sisi yang ada benda asing,
Kadang disertai nyeri, demm, epitaksis dan bersin
Pemeriksaan Fisik
Edem dg inflamasi mukosa hidung unilateral, dapat terjadi ulserasi

Patofisiologi
Beberapa benda asing yang masuk kedalam rongga hidung dapat bertahan
bertahun-tahun tanpa adanya perubahan mukosa, namun sebagian besar benda
mati yang masuk ke hidung dapat menimbulkan pembengkakan mukosa hidung
dengan kemungkinan menjadi nekrosis, ulserasi, erosi mukosa, dan epistaksis.
Tertahannya sekresi mukus, benda asing yang membusuk serta ulserasi dapat
menyebabkan sekret berbau busuk.
Penyakit Pada Sinus Paranasal dan Patofisiologi

SINUSITIS
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah
sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.
Secara klinis sinusitis dibagia atas :
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.
3. Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar
dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhatis
3. ETIOLOGI
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi
dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh
silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain
adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal
atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus
(Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan
obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan
sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu
pengeluaran mukus.
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor
untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat
disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang
sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.
Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga
terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi
pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis
pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif
yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan
Fusarium.
4. EPIDEMIOLOGI
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama
di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan
konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari
sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30
juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling
umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima
pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap
tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan
untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat.
5. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus.
Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus,
adenovirus dan enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan
memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi
virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus
sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus,
dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi,
polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga
menyebabkan menurunya patensi sinus ostia.
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya
tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya
fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang
tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum
unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab.
Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada
infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya
menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan
memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh
oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka.
Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai
dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan
mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke
sinus dapat terjadi.

Anda mungkin juga menyukai