Anda di halaman 1dari 43

Tinjauan Pustaka

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


(PTSD) MENURUT DSM V

Oleh :
dr. I Kadek Suaryana

Pembimbing :
dr. Nyoman Ratep, SpKJ(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
tinjauan pustaka ini bisa diselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas selama Stase Poli oleh residen pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu
upaya untuk terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat
memberi manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Nyoman Ratep, SpKJ(K) selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran, perhatian dan telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan-
masukan dalam penulisan tinjauan pustaka ini.
2. dr. Wayan Westa, SpKJ(K) selaku Ketua Program Studi Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
3. dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ selaku Kepala Bagian/SMF Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
4. Seluruh staf dosen pada Bagian/SMF Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan
referensi, dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.
5. Rekan-rekan Residen dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu
persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior
maupun teman-teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan
banyak terima kasih.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR..iii

DAFTAR TABEL...iv

DAFTAR SINGKATAN.v

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Definisi..........................................................................................................3

2.2 Epidemiologi..........................................................................................4

2.3 Komorbiditas.................................................................................................4

2.4 Faktor Resiko................................................................................................5

2.5 Faktor Predisposisi........................................................................................5

2.6 Etiologi dan Patogenesis...6

2.7 Kriteria Diagnosis13

2.7.1 PTSD dalam DSM-IV dan DSM-V..................................................13

2.7.2 PTSD menurut DSM-V-309.81(F43.10)...........................................16

2.7.3 PPDGJ-III-F43.1...............................................................................23

2.8 Diagnosa

Banding..24

2.9 Penatalaksanaan.....27

2.10 Prognosis31

BAB III Ringkasan.................................................................................................33

2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................35

DAFTAR GAMBAR

YGambar 1 Karakteristik Post Traumatic Stress Disorder......................................3


Gambar 2 Hipokampus dan Re-experience.............................................................9
Gambar 3 Amigdala dan Avoidance......................................................................10

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Faktor Resiko PTSD...................................................................................5


Tabel 2 PTSD pada DSM - IV dan DSM - V.........................................................14

4
DAFTAR SINGKATAN

A : Amygdala

ACTH : Adenocorticotropic Hormone

APA : American Psychiatric Assosiasion

CRF : Corticotropin Releasing Hormon

DSM : Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder

EMDR : Eye Movement Desensitization and Reprocessing

HPA : Hypothalamic Pituitary Adrenal

MAOI : Monoamine Oxidase Inhibitors

OCD : Obsessive Compulsive Disorder

PAG : Periaqueductus Gray

PPDGJ : Pedoman Penggolongan Penyakit dan Diagnosis Gangguan Jiwa

PTSD : Post Traumatic Stress Disorder

SSRI : Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors

TBI : Traumatic Brain Injury

5
BAB I

PENDAHULUAN

Setelah mengalami traumatis, normal untuk merasa takut, sedih dan

cemas. Tetapi, apabila keadaan tersebut tidak hilang dan merasa terjebak dengan

perasaan yang menetap terhadap bahaya dan kenangan yang menyakitkan,

mungkin orang tersebut menderita gangguan stress pasca trauma (PTSD). Hal ini

dapat tampak seperti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi (Brewin dkk,

2014; Breslau dkk, 2014).

Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD adalah gangguan kecemasan

yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/

mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik

atau perasaan terancam. Laporan Jacob DaCosta's pada tahun 1871 tentang

Irritable Heart, mendeskripsikan tentara-tentara dengan sindrom tersebut

(Brewin dkk, 2014; Yehuda, 2014).

Kodefikasi PTSD oleh American Psychiatric Association (APA) sebagai

gangguan kesehatan mental pada tahun 1980 (APA, 1980), dengan gejala

karakteristik yang didokumentasikan pada abad 19. Kebanyakan orang

mengasosiasikan PTSD dengan pertempuran tentara dan militer adalah penyebab

paling umum pada pria. Tetapi setiap pengalaman hidup yang luar biasa dapat

memicu PTSD, terutama jika peristiwa tersebut tidak terduga dan tidak terkendali.

PTSD dapat mempengaruhi penderita secara pribadi mengalami bencana, mereka

yang menyaksikannya, dan orang-orang yang mengalami sebagian dari pasca

1
peristiwa tersebut, termasuk pekerja darurat dan aparat penegak hukum. PTSD

berkembang secara berbeda dari orang ke orang. Sedangkan gejala PTSD paling

sering timbul dalam hitungan jam atau hari pasca peristiwa traumatis, kadang-

kadang dapat muncul setelah beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun

tahun. Untuk mendiagnosis PTSD, gejala harus bertahan lebih dari 1 bulan pasca

peristiwa traumatis dan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya, seperti

keluarga dan pekerjaan. Pada DSMV , gangguan yang menyerupai PTSD disebut

acute stress disorder, dimana gejala yang timbul bertahan dalam kurun waktu 3

hari sampai dengan 1 bulan (Chris dkk, 2014).

Bila gejala tersebut bertahan hingga lebih dari 4 minggu, maka dapat

didiagnosis sebagai PTSD. Stresor yang menyebabkan acute stress disorder

maupun PTSD cukup luar biasa untuk mempengaruhi siapa saja. Stresor tersebut

dapat berasal dari pengalaman berperang, penganiayaan/penyiksaan, bencana

alam, pemerkosaan, kecelakaan seperti kecelakaan mobil, kebakaran dalam

gedung. Gejala dapat berupa depresi, cemas, dan gangguan kognitif (James dkk,

2014).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorderPTSD)

adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau

mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman

tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap

menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat

hal itu (Yehuda, 2014).

Gambar 1. Karakteristik Post Traumatic Stress Disorder ( dikutip dari

Sthal, 2013)

3
2.2 Epidemiologi

Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan

prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. Pada kelompok resiko

tinggi yang mengalami peristiwa traumatis angka prevalensi seumur hidupnya 5-

75%. Prevalensi seumur hidup perempuan 10-12% dan 5-6% pada laki-laki.

Di Amerika Serikat, gambaran resiko untuk menderita PTSD sepanjang

hidup menggunakan DSMIV dengan kriteria 75 tahun adalah 8,7%. Prevalensi

selama 12 bulan diantara orang tua di AS sekitar 3,5%. Perkiraan lebih rendah

dapat dilihat di Eropa dan sebagian besar Asia, Afrika, dan negara-negara Amerika

Latin dikelompokkan sekitar 0,5% - 1,0% (Helzer dkk, 2015; James dkk, 2014).

PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering

dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi. Trauma pada laki-laki biasanya

berupa pengalaman berperang sedangkan pada perempuan kekerasan dan

perkosaan. Cenderung terjadi pada orang yang lajang, bercerai, janda, menarik

diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi rendah (Robert dkk, 2009; Saigh dkk,

2013)

2.3 Komorbiditas

Angka komorbiditas pasien PTSD tinggi. Sekitar 80% individu dengan

PTSD memenuhi kriteria diagnostik paling tidak 1 gangguan mental lainnya,

seperti depresif, bipolar, gangguan cemas, gangguan terkait zat lebih sering pada

pria. Pola komorbid PTSD pada anak yang lebih muda berbeda dengan dewasa,

meliputi gangguan oposisi menentang dan gangguan cemas terpisah (Zoellner

dkk, 2013)

4
2.4 Faktor Resiko

Tabel 1 Faktor Resiko PTSD

Pretraumatic Peritraumatic Posttraumatic


Tempramental Lingkungan Tempramental
Masalah emosi masa Keparahan trauma, Penilaian negatif,
kanak-kanak 6 tahun ancaman kehidupan, Strategi koping yang
pertama dan gangguan cedera personal, salah, perkembangan dari
mental utama kekerasan interpersonal, gangguan stress akut
personil militer, pelaku
kejahatan, saksi
kekejaman, membunuh
musuh. Disosiasi yang
terjadi pada dan menetap
setelah trauma menjadi
faktor resiko

Lingkungan Lingkungan
Status sosioekonomi Paparan subklinis pada
rendah, pendidikan hal yang mengecewakan,
rendah, paparan pada kejadian tak diinginkan
trauma utama, subklinis, gangguan
keberagaman masa kanak finansial atau hal lain
,karakteristik budaya, yang berhubungan
intelegensi rendah, dengan trauma.
ras/etnik minor, dan Dukungan sosial adalah
riwayat psikiatrik faktor protektif.
keluarga. Dukungan
sosial bersifat protektif

Genetik dan psikologis


Jenis kelamin perempuan

( Tabel diambil dari Zoellner dkk, 2013)

2.5 Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami

gangguan stress pascatrauma adalah (James dkk, 2014):

5
a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang

bersangkutan maupun keluarganya;

b. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual;

c. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir;

d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisocial;

e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem

menyesuaikan diri;

f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna;

g. Terpapar oleh kejadiankejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya

baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang

bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan

penderitaan bagi dirinya.

2.6 Etiologi & Patogenesis

a. Stresor

Stresor dapat timbul berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak atau

trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Stresor

dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan,

perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak setiap orang

mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik, ada pertimbangan faktor

psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa sebelum dan sesudah

trauma, serta arti subjektif suatu stresor pada seseorang (Saigh dkk, 2013; Yehuda,

2014; Zoellner dkk 2013).

6
b. Faktor Psikodinamik

Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan

kembali konflik psikologis yang sebelumnya tidak terselesaikan. Aktivasi kembali

trauma pada masa kanak-kanak menimbulkan regresi, mekanisme defense,

represi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Menurut Freud,

penghidupan kembali trauma terjadi pada pasien yang melaporkan riwayat trauma

seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sudah ada secara simbolis

menghidupkan kembali peristiwa traumatik baru, sedangkan ego mencoba

menguasai dan mengurangi ansietas (Saigh dkk, 2013; Yehuda, 2014; Zoellner

dkk 2013)..

Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stress

pasca trauma adalah (Yehuda, 2014):

1. Arti subyektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari

peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang,

2. Kejadian traumatik yang dialami mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat

peristiwa traumatik di masa kanak-kanak,

3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem

afeksinya,

4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk

somatisasi atau aleksitimia,

5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan

stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa

bersalah,

7
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai

peran seperti penyelamat omnipoten atau korban yang omnipoten.

c. Faktor Perilaku-Kognitif

Faktor kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak

mampu memproses atau merasionalisasikan trauma pencetus gangguan ini.

Penderita terus mengalami stress dan berupaya menghindarinya. Secara kognitif,

konsistensi dengan kemampuan parsial menghadapi peristiwa tersebut mereka

mengalami periode bergantian memahami dan memblok peristiwa. Faktor

perilaku menekankan adanya dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma

yang menimbulkan respon takut dan pembelajaran klasik sebagai stimulus yang

dipelajari. Kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari

mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari

dengan pengembangan pola penghindaran. Sejumlah penerima bantuan sekunder

dari dunia luar (kompensasi keuangan, peningkatan perhatian/simpati, pemuasan

kebutuhan) dapat menyokong gangguan dan penetapan gangguan (Saigh dkk,

2013; Yehuda, 2014; Zoellner dkk 2013).

d. Faktor Biologis

Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari

respon biologik dan psikologik seorang individu karena aktivitas dari beberapa

sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang.

Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar.

Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan

neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang

8
mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut

(Robby dkk 2009):

Gambar 2. Hipokampus dan re-experience ( dikutip dari Sthal, 2013)

Cemas pada PTSD dipicu tidak hanya dari stimulus external tetapi juga

dari memori seseorang. Memori traumatic yang tersimpan pada hipokampus dapat

mengaktivasi amigdala, mengaktivasi region otak yang lain dan menghasilkan

respon takut. Ini dinamakan dengan istilah Re-experiencing yang sering tampak

pada gejala dari PTSD (Sthal, 2013).

9
Gambar 3. Amigdala dan avoidance ( dikutip dari Sthal, 2013)

Perasaan takut bisa di perlihatkan melalui sikap seperti menghindar

(Avoidance) yang diatur oleh amigdala dan periaqueductus gray (PAG) yang

berhubungan secara timbal balik. Avoidance pada kasus ini adalah respon motorik

dan kemungkinan dapat disamakan dengan ancaman.

Sistem Simpatis dan Parasimpatis

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segara setelah

mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi reaksi fight or flight reaction.

Sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada

beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak

berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Ketekolamin

berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh

10
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Katekolamin yang meningkat ini

membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Sejumlah studi

menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan

PTSD dan peningkatan katekolamin urin pada perempuan yang mengalami

penyiksaan seksual. Pada PTSD, reseptor -adrenergik limfosit dan -trombosit

mengalami downregulation, kemungkinan sebagai respon terhadap peningkatan

kronis katekolamin.

Sistem Opioid

Abnormalitas ditemukan dengan penurunan konsentrasi -endorfin plasma

pada penderita PTSD. Pada veteran perang yang mengalami PTSD menunjukkan

efek analgesik reversibel dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan

perang sehingga meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem opioid serupa

dengan hiperregulasi aksis HPA

Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis HipotalamusHipofisis

Adrenal

Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf

simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defentif tadi yang timbul akibat

dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain,

hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respon tubuh dalam

menghadapi tekanan. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka

aktivitas katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya

konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami.

11
Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas rendah pada

plasma dan urin penderita PTSD. Terdapat pengingkatan reseptor glukortikoid

pada limfosit dan percobaan dengan corticotropin releasing hormone (CRF)

eksogen menunjukkan respon adenocorticotropic hormone (ACTH) yang tumpul.

Sejumlah studi juga menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada

pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan dengan pasien

yang terpajan trauma tetapi tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan

hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan aktivitas neuroendokrin yang biasa

terlihat selama stress dan gangguan lainnya seperti depresi. Pada studi hewan,

stres berhubungan dengan perubahan struktural hipokampus dan pada studi pada

veteran perang menunjukkan volume rata-rata yang lebih rendah pada regio

hipokampus otak walaupun masih kontroversial. Perubahan struktural pada

amygdala, juga menunjukkan perubahan area otak yang terkait dengan rasa takut.

Studi pada depresi menunjukkan efek serupa pada amigdala dan korteks

prefrontal.

Gambaran klinis dari PTSD adalah mengingat kembali suatu peristiwa

yang traumatik, sehingga tampak dengan sengaja menghindari berbagai situasi

atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa tersebut, terlihat dengan

hilangnya emosi, serta keadaan terus terjaga yang cukup konstan. Penderita

umumnya datang dengan keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri,

penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan

alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang lainnya (misalnya nyeri kolik,

irritable bowel symptoms, dll).

12
Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,

penolakan, dan cemooh. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan

serangan panik, serta ilusi dan halusinasi. Uji kognitif menunjukkan hendaya

memori dan perhatian.Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga

dapat mempengaruhi reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti:

a. Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami,

b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap ancaman terhadap

kehidupan seseorang,

c. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal),

d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatic

tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian

atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.

2.7 Kriteria Diagnosis

2.7.1. PTSD dalam DSM-IV dan DSM-V

DSM (Diagnostic & Statistical Manual of Mental Dissorder) merupakan

acuan yang digunakan secara universal di Amerika untuk mendiagnosa gangguan

kejiwaan. Sampai saat ini, DSM telah mengalami lima kali revisi sejak pertama

kali dipublikasikan pada tahun 1952. Edisi terakhir DSM sebelum DSM-V adalah

DSM-IVyang dipublikasikan pada tahun 1994 dan mengalami revisi teks pada

tahun 2000 yang disebut DSM-IV TR. (Sy Saeed. 2012: 1). DSM-V sendiri telah

dipublikasikan baru-baru ini, tepatnya pada bulan May 2013. Revisi terakhir DSM

ini bukan tanpa kontroversi. DSM-V justru sedang ramai diperbincangkan pada

13
saat ini dalam dunia psikologi, beberapa kritik tentang DSM-V pun bermunculan

(Gerald dkk, 2008).

Telaah para ahli terhadap DSM-IV dan DSM-V menemukan beberapa

perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut baik pada penggunaan istilah,

kategori gangguan, metode diagnosis, jumlah disorder maupun perubahan-

perubahan khusus yang terjadi pada beberapa disorder seperti, perubahan

penamaan pada beberapa disorder, kategorikal disorder, dan kriteria diagnosis

untuk beberapa jenis disorder. Salah satu disorder yang mengalami perubahan

pada DSM-V adalah PTSD (Matthew dkk, 2011). Perubahan-perubahan

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Dean dkk, 2013; Hackmann dkk, 2010):

Tabel 2 PTSD pada DSM-IV dan DSM-V


No Aspek DSM-IV DSM-V
1 Klasifikasi Post traumatic Stress Post traumatic Stress
disorder diklasifikasikan disorder diklasifikasikan
di bawah kelompok di bawah kelompok
gangguan kecemasan Trauma and Stressor-
(anxiety disorder). Related Disorders
bersama dengan 6 jenis
disorder lainnya.
2 Kriteria Kriteria PTSD Kriteria stressor (kriteria
ditetapkan secara A) dinyatakan lebih
general. Reaksi-reaski eksplisit dan reaksi-reaksi
subjektif termasuk salah subjektif (kriteria A2)
satu kriteria PTSD dihilangkan sebagai
(kriteria A2) kriteria PTSD karena
dianggap tidak didukung
oleh cukup data penguat.
Tidak ada kriteria Tersedia kriteria khusus
terpisah PTSD untuk untuk mengidentifikasi
anak-anak preschool PTSD pada anak-anak
(anak-anak yang preschool.
berumur 6 tahun atau
kurang). Artinya,
kriteria PTSD pada
DSM IV tidak sensitif

14
terhadap perkembangan
anak-anak yang sangat
muda.
Simtom-simtom PTSD
untuk anak-anak
Simtom A: 1) Kriteria
PTSD yang biasanya
digunakan untuk orang
dewasa hanya digunakan
untuk anak-anak yang
berusia lebih dari 6 tahun,
2) PTSD dipicu oleh
kejadian-kejadian
traumatis seperti terancam
kematian, cedera serius,
dan mengalami kekerasan
seksual, tidak termasuk
menyaksikan melalui
media elektronik, dan 3).
trauma bisa dipicu oleh
pengasuhan
Simtom B: 1) mengingat
kejadian yang
mengganggu secara
berulang-ulang, 2)mimpi
buruk, 3) flashbacks, 4)
distress, 5) ditandai oleh
adanya reaksi-reaksi
psikologis apabila teringat
kejadian traumatis
Simtom C: 1)
menghindari stimulus-
stimulus secara
berkepanjangan, dan 2)
adanya perubahan-
perubahan kognisi yang
negatif termasuk emosi
negatif dan adanya
perilaku menarik diri.
Simtom D: perubahan
gairah (semangat) yang
ditandai oleh 2 dari gejala
gejala berikut: 1) mudah
marah, 2) Hypervigilance,
3) mudah kaget, 4)
masalah konsentrasi dan

15
5) masalah tidur
3 Kluster Simptom Terdiri dari 3 cluster Terdiri dari 4 cluster
simtom sebagai simtom sebagai indikator
indikator bagi PTSD bagi PTSD yaitu intrusion
yaitu re-experincing, symptoms (sebelumnya
avoiding, dan arousal disebut re-experincing),
avoidance symptoms
(kriteria C), negative
alterations in mood and
cognition (kriteria D), dan
alterations in arousal and
reactivity (sebelumnya
disebut arousal)
4 Spesifikasi Dalam DSM-IV-TR, Kedua spesifikasi akut dan
spesifikasi diagnosis kronis telah dihapus dari
PTSD terbagi 2 yaitu DSM V. Diagnosis
akut dan kronis (acute diberikan jika gejala
and chronic). PTSD terakhir setidaknya satu
disebut akut apabila bulan dan tidak ada
gejala berlangsung diferensiasi antara PTSD
antara satu dan tiga akut dan kronis
bulan. Sementara itu,
apabila gejala yang
berlangsung lebih dari
tiga bulan maka disebut
sebagai PTSD kronis.
(Tabel dikutip dari Dean dkk, 2013)

2.7.2. PTSD Menurut DSM-V 309.81 (F43.10) (Dean dkk, 2013; Rachel dkk,

2009; Robby dkk, 2009; Yehuda, 2014):

Gangguan Stress Pasca Trauma

Note: Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di atas 6 tahun.

A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau

kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

16
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau teman

dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga atau

teman, kejadian harus kekerasan atau kecelakaan.

4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak

diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi, film,

atau gambar yang berhubungan dengan pekerjaan.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian

traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang

mengganggu.

Note: Pada anak di atas 6 tahun, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali

isi mimpinya.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi

mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi mimpinya

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau

berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat

terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total

kesadaran akan keberadaan sekelilingnya)

Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan.

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika

berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa

traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal

17
5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan

dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara

internal atau eksternal.

C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan dengan

peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan satu atau kedua gejala di

bawah ini:

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati

sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat

eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang

menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati

sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

D. Perubahan negatif ada kognitif, dan mood yang berhubungan dengan kejadian

traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi,

yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis (biasa

berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi faktor lain

seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).

2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang

seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: Saya buruk,Tidak ada orang

mempercayai saya, Dunia sangat berbahaya, Seluruh sistem saraf saya

tidak bekerja permanen).

18
3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari kejadian

traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri atau orang

lain.

4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan,

perasaan bersalah, rasa malu).

5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas

6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat

merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang).

E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan

dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian

traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit

atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan

pada orang lain atau objek tertentu.

2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).

4. Respon terkejut yang berlebihan.

5. Kesulitan berkonsentrasi.

6. Gangguan tidur.

F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu bulan.

G.Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial,

pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

19
H. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol)

atau kondisi medik umum lainnya.

Tentukan jika

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai

respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang

seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi: Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa

dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.

2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap

lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan

efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.

Tentukan: Dengan Ekspresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui

minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).

Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak 6 Tahun

A. Pada anak 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera

serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang tua atau

perawatnya.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian

traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

20
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang

mengganggu.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi

mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau

berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi

berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran

akan keberadaan sekelilingnya).

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika

berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa

traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan

dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara

internal atau eksternal.

C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran menetap yang

berhubungan dengan kejadian traumatis, maupun kemunduran negative

kognitif dan mood berhubungan dengan kejadian traumatis harus ada, dimulai

atau bertambah parah setelah kejadian:

Penghindaran Stimulus Menetap

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau

mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat

eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang

21
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati

sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

Kemunduran Negatif Kognitif

3. Frekwensi emosi negatif yang meningkat.

4. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas,

termasuk pembatasan bermain.

5. Perilaku menarik diri.

6. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif

D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan

dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian

traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit

atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan

pada orang lain atau objek tertentu.

2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan)

3. Respon terkejut yang berlebihan

4. Kesulitan berkonsentrasi

5. Gangguan tidur

E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dengan orangtua, saudara

kandung, teman main, atau perawat atau dengan perilaku sekolah.

G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat- obatan, alkohol)

atau kondisi medik umum lainnya.

22
Tentukan jika:

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan

sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau

berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi: Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa

dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.

2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap

lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan

efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum

Tentukan jika:

Dengan Ekspresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui

minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).

2.7.3. PPDGJ-III F43.1

Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara

beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampai 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai

saat kejadian dan awitan gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi

klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif ketegori lainnya ( Yehuda, 2014)

Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang kembali

(flashback)

23
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas

Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar

biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan dalam

kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami

katastrofa) (Yehuda, 2014).

2.8 Diagnosis Banding

Kunci dari diagnosis PTSD yang tepat adalah pemeriksaan yang teliti dari

waktu timbulnya gejala dengan suatu kejadian traumatik sebelumnya. Pasien

sering menunjukkan reaksi kompleks terhadap trauma, sehingga klinisi harus hati-

hati dalam menentukan PTSD dengan sindrom lain (Yehuda, 2014; Matthew dkk,

2011):

a. Gangguan Penyesuaian

Pada gangguan penyesuaian, penyebab stress bisa melebihi keparahan

yang terdapat pada kriteria A PTSD. Diagnosis dari gangguan penyesuaian

digunakan ketika respon dari penyebab stress sesuai dengan kriteria A PTSD

namun tidak sesuai dengan kriteria PTSD lainnya (atau kriteria gangguan mental

lainnya). Gangguan penyesuaian juga dapat didiagnosis ketika pola gejala PTSD

yang terjadi dalam menghadapi penyebab stress tidak sesuai dengan kriteria A

PTSD.

b. Gangguan dan Kondisi Pasca Trauma Lainnya

Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada suatu individu yang terkena

penyebab stress yang ekstrim harus dikaitkan dengan PTSD. Diagnosis

24
memerlukan paparan terhadap trauma yang mendahului onset atau eksaserbasi

dari gejala yang bersangkutan. Selain itu, jika pola respon gejala terhadap

penyebab stress yang ekstrim sesuai dengan kriteria gangguan mental lainnya,

diagnosis ini harus diberikan, atau sebagai tambahan pada PTSD. Diagnosis dan

keadaan lain tidak termasuk jika keadaan itu lebih baik disebut PTSD. Jika parah,

pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim mungkin memerlukan

diagnosis terpisah.

c. Gangguan Stress Akut

Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada

gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan mengikuti suatu

paparan kejadian traumatis.

d. Gangguan Cemas dan Gangguan Obsesif Kompulsif

Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan sesuai

dengan definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran mengganggu itu tidak

terkait dengan suatu kejadian traumatis, biasanya juga terdapat kompulsi,

sedangkan gejala PTSD atau gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan

merupakan bangkitan dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun

penghindaran, gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait dengan

suatu kejadian traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap perpisahan secara

jelas terkait seperti berada jauh dari rumah atau keluarga daripada terhadap suatu

kejadian yang traumatis.

e. Gangguan Depresif Mayor

25
Gangguan depresi mayor dapat atau tidak dapat didahului dengan suatu

kejadian traumatis dan dapat didiagnosis bila gejala PTSD lainnnya tidak

ditemukan. Secara spesifik, gangguan depresi mayor tidak sesuai dengan gejala

Kriteria B dan C dari PTSD. Juga tidak mencakup sejumlah gejala dari Kriteria D

atau E dari PTSD.

f. Gangguan Kepribadian

Kesulitan interpersonal pada onsetnya atau pada eksaserbasi, setelah

paparan kejadian traumatik dapat diindikasikan sebagai PTSD daripada gangguan

kepribadian.

g. Gangguan Disosiatif

Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan

depersonalisasi derealisasi dapat/tidak dapat didahului oleh paparan kejadian

traumatik atau dapat/tidak dapat terjadi bersamaan dengan gejala PTSD. Ketika

seluruh kriteria PTSD ditemui, dapat juga dipertimbangan subtipe PTSD dengan

gejala disosiatif.

h. Gangguan Konversi (Gejala Gangguan Neurologis Fungsional)

Onset baru dari gejala somatik pada distres pascatrauma dapat

diindikasikan sebagai PTSD dibandingkan dengan gangguan gejala neurologis

fungsional/gangguan konversi (gejala gangguan neurologis fungsional).

i. Gangguan Psikotik

Kilas balik PTSD harus dibedakan dengan ilusi, halusinasi, dan gangguan

persepsi yang terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan

26
psikotik lainnya; gangguan depresif dan bipolar dengan gejala psikotik; delirium;

gangguan terkait zat/obat; dan gangguan psikotik terkait kondisi medis

j. Cedera Otak Traumatik.

Ketika cedera otak terjadi dalam konteks kejadian traumatis (misalnya:

Kecelakaan traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi dan deselerasi), gejala dari

PTSD mungkin timbul. Suatu kejadian yang menyebabkan trauma kepala dapat

merupakan kejadian traumatis psikologis. Gejala sebelumnya disebut post konkusi

(misalnya: sakit kepala, pusing, sensitif terhadap cahaya dan suara, gelisah, dan

kurang konsentrasi) dapat terjadi pada cedera otak dan pada populasi yang bukan

cedera otak, termasuk pada individu dengan PTSD. Karena gejala dari PTSD dan

TBI (Traumatic Brain Injury) yang terkait gejala neurokognitif dapat saling

tumpang tindih, diagnosis banding antara PTSD dan gangguan gejala

neurokognitif yang disebabkan oleh TBI mungkin dapat berdasarkan adanya

gejala yang dibedakan dari setiap presentasi. Sebaliknya mengulang kembali dan

menghindar adalah karakteristik dari PTSD dan bukan merupakan efek dari TBI,

disorientasi menetap dan kebingungan lebih spesifik untuk TBI (efek

neurokognitif) daripada PTSD.

2.9 Penatalaksanaan

Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan member

dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan

pengajaran mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan

hipnotik juga dapat membantu. Berdasarkan rekomendasi dari Expert Consensus

Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya

27
mempertimbangkan beberapa aspek dibawah ini (Hackmann dkk, 2010; Nenad &

Lars, 2010):

1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik

dan berulang dangan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI

merupakan obat pilihan pertama kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Exposure threrapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial

terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dianjurkan selama 6 bulan.

a. Farmakoterapi

Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors

(SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), karena keberhasilan,

tingkat tolerir, dan juga tingkat keamanan obat itu. SSRI mengurangi semua gejala

PTSD dan sangat efektif dalam memperbaiki gejala khas PTSD, tidak hanya

gejala yang mirip depresi atau gangguan ansietas lainnya. Dosis SSRI yang sering

digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertaline 50-200 mg/hr atau

Fluvoxamine 50-300 mg/hr. Buspirone (BuSpar) adalah obat serotonergik yang

juga bisa dipakai. Kemampuan dari obat golongan trisiklik, yaitu Imipramine

(Tolfanil) dan juga Amitriptyline (Elavil) juga didukung oleh beberapa percobaan

walaupun beberapa percobaan ditemukan temuan negatif, seperti kecacatan desain

penelitian yang serius seperti percobaan yang terlalu singkat. Dosis Imipramine

dan Amytriptilin yang yang biasa digunakan adalah Amiltriplin 50-300mg/hr dan

Imipramin 50-300 mg/hr dan lama waktu percobaan pemberian minimal 8

28
minggu, pasien yang merespon pengobatan dengan baik harus melanjutkan terapi

paling tidak 1 tahun sebelum dicoba untuk menghentikan percobaan. Obat-obat

lain yang mungkin bermanfaat pada PTSD adalah Monoamine Oxidase Inhibitors

(MAOIs); (misalnya: Phenelzine (Nardil)), Trazodone (Desyrel), dan anti-

konvulsan (misalnya: Karbamazepine (Tegretol), Valproate (Depakene). Pada

beberapa penelitian pemberian Reversible Monoamine Oxidase Inhibitors

(RIMAS) juga bermanfaat memberikan perbaikan pada pasien PTSD. Penggunaan

agen anti-adrenergic seperti Clonidine (Catapres) dan Propranolol (Inderal),

direkomendasikan karena teori hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan ini.

Tidak ada data positif yang mendukung penggunaan obat anti psikotik (misalnya:

Haloperidol (Haldol), sehingga penggunaan obat ini digunakan untuk kontrol

jangka pendek pada agresif yang parah dan juga agitasi (Hackmann dkk, 2010;

Nenad & Lars, 2010).

b. Psikoterapi

Intervensi psikoterapi pada PTSD adalah terapi tingkah laku, terapi

kognitif, dan juga hypnosis. Psikoterapi psikodinamik mungkin bermanfaat pada

pengobatan orang dengan PTSD. Pada beberapa penelitian, rekonstruksi dari

peristiwa traumatik dengan cara abreaksi dan catharsis mungkin bisa menjadi

salah satu terapi, tetapi psikoterapi itu sendiri harus tergantung dengan tiap

individual itu sendiri karena pada beberapa orang mengulang kembali kejadian

bisa membuat menjadi sangat tertekan.Terapi psikoterapi biasanya memerlukan

pendekatan secara kognitif dan juga menyediakan dukungan dan juga perasaan

aman Psikoterapi jangka pendek juga meminimalisasi ketergantungan dan juga

29
kemungkinan PTSD menjadi kronik. Perasaan seperti perasaan curiga, paranoid,

dan kepercayaan sering mempengaruhi kepatuhan pasien dalam terapi.Terapis

harus menanggulangi perasaan menyangkal pasien dari kejadian traumatis,

meyakinkan mereka untuk bersantai, dan juga menjauhkan mereka dari sumber

stress. Pasien harus disarankan untuk tidur dan minum obat-obatan jika perlu.

Dukungan dari orang-orang di sekitar lingkungan juga sangat diperlukan seperti

dari keluarga dan teman. Pasien harus diyakinkan untuk mengingat kembali dan

juga melakukan abreaksi emosional terhadap peristiwa traumatis yang telah

dialami dan melakukan rencana untuk pemulihan di kemudian hari (Nenad &

Lars, 2010)

Abreaksi yaitu mengalami emosi yang berkaitan dengan kejadian

traumatis mungkin bisa bermanfaat untuk beberapa orang. Wawancara dengan

Amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk mempermudah proses ini.

Psikoterapi pascatrauma harus mengikuti model intervensi dengan dukungan,

edukasi, peningkatan mekanisme koping, dan penerimaan terhadap peristiwa itu

Ketika PTSD telah timbul, pendekatan dapat dilakukan dengan 2 cara, yang

pertama yaitu pajanan terhadap peristiwa traumatis melalui teknik membayangkan

atau pajanan in vivo. Pajanan dapat diberikan secara intens, sebagai terapi

implosif, atau secara bertingkat yaitu melalui desensitisasi sistematik. Pendekatan

yang kedua adalah pendekatan dengan mengajari pasien metode mengendalikan

stress, seperti dengan cara teknik relaksasi, dan pendekatan kognitif untuk

menghadapi stress. Beberapa data menunjukkan psikoterapi dengan manajemen

stress efektif lebih cepat daripada pendekatan dengan teknik pajanan, tetapi hasil

30
terapi dengan teknik pajanan bisa bertahan lebih lama. Psikoterapi lain yang

relatif baru dan kontroversial adalah dengan eye movement desensitization and

reprocessing (EMDR), yaitu dengan cara pasien fokus pada gerakan lateral jari

terapis dengan tetap membayangkan peristiwa trauma yang pernah terjadi.

Kepercayaan umum bahwa gejala dapat dikurangi dengan cara mengingat

peristiwa traumatis saat dalam keadaan relaksasi dalam. Penggagas dari terapi ini

mengatakan bahwa terapi ini lebih efektif daripada terapi PTSD lainnya, dan

terapi ini lebih disukai baik klinisi maupun pasien yang telah mencoba terapi ini.

Selain terapi individual, terapi kelompok atau terapi keluarga juga dilaporkan

efektif dalam menanggulangi PTSD. Keuntungan dari terapi berkelompok adalah

saling berbagi pengalaman mengenai peristiwa traumatis yang telah dialami

sebelumnya dan juga dukungan dari sesama anggota kelompok. Terapi keluarga

biasanya membantu mempertahankan perkawinan ketika gejala PTSD ini

memberat. Rawat inap dibutuhkan ketika gejala yang timbul sangat berat atau

beresiko untuk bunuh diri ataupun kemungkinan kekerasan lainnya (Nenad &

Lars, 2010).

2.10 Prognosis

Gejala PTSD biasa muncul setelah kejadian traumatis, bisa tertunda mulai

dari 1 minggu atau hingga 30 tahun, dengan fluktuasi dari waktu ke waktu dan

menjadi paling intens pada periode stress. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien

akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut

dengan gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau

bahkan bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi

31
pulih. Prognosis yang baik dapat terlihat pada onset gejala yang cepat, kurang

dari 6 bulan, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak

adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor resiko

lainnya.Orang yang sangat muda dan sangat tua biasanya lebih mengalami

kesulitan ketika menghadapi trauma daripada orang dengan umur pertengahan

(Yehuda, 2014).

BAB III

RINGKASAN

32
Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorderPTSD) adalah

suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau

mendengar stressor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman

tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap

menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat

hal itu. Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan

prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. PTSD dapat terjadi pada

usia berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda akibat pajanan situasi

penginduksi. Faktor resiko PTSD bermacam-macam tergantung dari pretraumatik,

peritraumatik dan posttraumatik. Patogenesis PTSD tergantung pada setiap

etiologi. Etiologi PTSD meliputi: stressor, faktor psikodinamik, faktor perilaku

kognitif dan faktor biologis. Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa

gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya,

kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik

yang lainnya. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,

penolakan, dan cemooh. Kriteria diagnosis PTSD dengan menggunakan DSMV

atau PPDGJ III. Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan

memberi dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan

pengajaran mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan

hipnotik juga dapat membantu. Lini pertama terapi PTSD adalah Selective

Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine

(Paxil). Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih kembali, 40%

berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala sedang, dan 10%

33
tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan bertambah buruk. Setelah 1

tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.

34
DAFTAR PUSTAKA

Breslau, N., Glenn, C., Davis, M.D., Andreski, P., Peterson, E.


2014. Traumatic Events and Posttraumatic Stress Disorder in an
Urban Population of Young Adults. Arch Gen Psychiatry, 48(3):
216-222. Retrived Maret 21, 2015, Available from
http://archpsyc.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=495250
Brewin, Chris R., Dalgleish, T., Joseph, Stephen. 2014. A
dual representation theory of posttraumatic stress disorder.
American psychological association, 103(4): 670-686. Retrived
Maret 13, 2015, Available from http://dx.doi.org/10.1037/0033-
295X.103.4.670
Chris, R.B., Ruth, A.L., Andrei, N., Ulrich, S., Sandro, G. 2009.
Reformulating PTSD for DSM-V: Life after Criterion A. Journal of Traumatic
Stress, 22(5): 366-373. Retrived Maret 15, 2015, Available from
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jts.20443/abstract?
systemMessage=Subscribe+and+renew+is+currently+unavailable+online.
+Please+contact+customer+care+to+place+an+order%3A++http%3A%2F
%2Folabout.wiley.com%2FWileyCDA%2FSection%2Fid-397203.html+
+.Apologies+for+the+inconvenience.
Dean, G.K., Heidi, S.R., Melissa, E.M., Mark, W.M., Katherine, M.K.,
Matthew, J.F. 2013. National Estimates of Exposure to Traumatic
Events and PTSD Prevalence Using DSM-IV and DSM-5 Criteria.
Journal of Traumatic Stress, 26(5): 537-547. Retrived Maret 12, 2015,
Available from
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jts.21848/abstract?
systemMessage=Subscribe+and+renew+is+currently+unavailab
le+online.
+Please+contact+customer+care+to+place+an+order%3A+
+http%3A%2F%2Folabout.wiley.com%2FWileyCDA%2FSection
%2Fid-397203.html+
+.Apologies+for+the+inconvenience.&userIsAuthenticated=fals
e&deniedAccessCustomisedMessage=
Gerald, M., Rosen, Robert, L., Spitzer, P. R., McHugh. 2008. Problems
with the post-traumatic stress disorder diagnosis and its future in DSMV. The
British Journal of Psychiatry, 192(1): 3-4. Retrived Maret 20, 2015, Available
from http://bjp.rcpsych.org/content/192/1/3.short
Hackmann, A., Anke, E., Anne, S., David, M.C. 2010. Characteristics
and content of intrusive memories in PTSD and their changes
with treatment. Journal of Traumatic Stress, 17(3): 231-240.
Helzer, J.E., Lee, N., Robins, McEvoy, L. 2015. Post-Traumatic Stress
Disorder in the General Population. The new england journal of medicine, 317:
1630-1634. Retrived Maret, 20, 2016, Available from
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJM198712243172604

35
James, C., Ballenger, Jonathan, R.T., Davidson, Y., Lecrubier, Y., David,
J., Nutt, Randall, D., Marshall, Charles, B., Nemeroff, Arieh, Y., Shalev, Yehuda,
R. 2014. Consensus Statement Update on Posttraumatic Stress Disorder From the
International Consensus Group on Depression and Anxiety. The Journal of
Clinical Psychiatry, 65: 5562.
Matthew, J.F., Patricia, A.R., Richard, A.B., Chris, R.B. 2011.
Considering PTSD for DSM-5. The official journal of ADAA, 28(9):
750-769. Retrived Maret 14, 2015, Available from
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/da.20767/abstract;jsess
ionid=09B893668664EEBDA0BD38CA9693578C.f02t02?
systemMessage=Subscribe+and+renew+is+currently+unavailab
le+online.
+Please+contact+customer+care+to+place+an+order%3A+
+http%3A%2F%2Folabout.wiley.com%2FWileyCDA%2FSection
%2Fid-397203.html+
+.Apologies+for+the+inconvenience.&userIsAuthenticated=fals
e&deniedAccessCustomisedMessage=
Nenad, P., Lars, G. 2010. Cognitive-behavior therapy vs
exposure therapy in the treatment of PTSD in refugees.
Behaviour research and therapy, 39(10): 1183-1197. Retrived
Maret 21, 2015, Available from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S000579670000
0930
Rachel, Y. And Linda, M.B. 2009. The relevance of epigenetics to PTSD:
Implications for the DSM-V. Journal of Traumatic Stress, 22(5): 427-434.
Retrived Maret 20, 2015, Available from
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jts.20448/abstract?
systemMessage=Subscribe+and+renew+is+currently+unavailable+online.
+Please+contact+customer+care+to+place+an+order%3A++http%3A%2F
%2Folabout.wiley.com%2FWileyCDA%2FSection%2Fid-397203.html+
+.Apologies+for+the+inconvenience.
Robert, L., Spitzer, Michael, B.F., Jerome, C.W. 2013. Saving
PTSD from itself in DSM-V. Journal of Anxiety Disorders, 21(2):
233-241. Retrived Maret 12, 2015, Available from
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0887618506001381?
via=sd&cc=y
Robert, S.P., Alan, M.S., Christopher, M.L., Ernestine, C.B., Sarah, A.O.,
John, A.F. 2009. DSM-V PTSD diagnostic criteria for children and
adolescents: A developmental perspective and
recommendations. Journal of Traumatic Stress, 22(5): 391-398.
Saigh, Philip, A., Bremner, J., Douglas. 2013. The history of
posttraumatic stress disorder. American psychological association, 15: 434.
Retrived Maret 12, 2015, Available from http://psycnet.apa.org/psycinfo/2013-
06874-001

36
Stahl, Stephen M. 2013. Stahls Essential Psychopharmacology
Neuroscientific. Basis and Practical Application Fourth Edition. New York.
Cambrige Medicine Press.
Yehuda, R. 2014. Post-Traumatic Stress Disorder. The new
england journal of medicine, 346:108-114. Retrived Maret, 16,
2015, Available from
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra012941
Zoellner, L.A., Michele, A., Bedard, G., Janie, J.J.,
Libby, H.M., Natalia, M.G. 2013. The Evolving Construct of
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD): DSM-5 Criteria Changes
and Legal Implications. Psychological injury and law, 6(4): 277-
289. Retrived Maret 12, 2015, Available from
http://link.springer.com/article/10.1007/s12207-013-9175-6

37

Anda mungkin juga menyukai