Anda di halaman 1dari 5

Pengobatan Demam Tifoid pada Anak : Perbandingan Keberhasilan Siprofloksasin dan Seftriakson

Dr. Amna Naveed


Spesialis Anak, Fellow College of Physicians and Surgeons Pakistan
Dr. Zeeshan Ahmed
Frontier Medical College, Pakistan

doi: 10.19044/esj.2016.v12n6p346 URL:http://dx.doi.org/10.19044/esj.2016.v12n6p346

Abstrak
Tujuan : Membandingkan proporsi keberhasilan siprofloksasin dan sefriakson dalam membebaskan anak
dari demam selama 96 jam.
Rancangan penelitian : Uji acak terkontrol
Tempat dan waktu penelitian : Departemen Anak, Holy Family Hospital, Maret sampai dengan
September 2010
Metodologi : 88 anak yang memenuhi kriteria klinis demam tifoid dilibatkan dalam penelitian ini.
Berasal dari dalam dan luar departemen. 44 pasien diterapi dengan siprofloksasin dan 44 pasien diterapi
dengan seftriakson.
Hasil : Penelitian ini melibatkan 88 pasien demam yang dicurigai demam tifoid. Usia rata-rata 8,3 1,94
tahun dan 41 (46,6%) adalah laki-laki. Berat badan rata-rata 24,7 6,3 kg. Hanya 15 (17%) menggunakan
air matang dalam rutinitas. Bebas demam 96 jam terjadi pada 68 (77,3%) anak dan 20 (22,7%) anak tidak
bebas demam dalam 96 jam. Pada kelompok siprofloksasin, 25 (56,8%) pasien bebas demam dalam 96
jam dan 19 (43,1%) tidak bebas demam dalam 96 jam. Sedangkan pada kelompok seftriakson 43 (97,7%)
anak bebas demam dalam 96 jam dan 1 (2,3%) tidak bebas demam dalam 96 jam. Proporsi pasien yang
bebas demam lebih tinggi pada kelompok seftriakson dibandingkan kelompok siprofloksasin dengan
p=0,00
Kesimpulan : Seftriakson lebih efektif membebaskan demam pada anak dengan demam tifoid dalam 96
jam.
Kata Kunci : Demam tifoid, Seftriakson, Keberhasilan obat
Pendahuluan
Demam tifoid, penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhoid, telah menjadi
penyebab mortalitas dan morbiditas yang tinggi sejak zaman dahulu. Salmonela merupakan basil gram
negatif sebagai penyebab berbagai sindroma klinis seperti gastroenteritis, demam enterik, bakteremia,
infeksi endovaksular dan infeksi fokal seperti osteomielitis atau abses. Demam enterik, sering disebut
juga dengan demam tifoid atau paratifoid, merupakan demam sistemik yang sering disebabkan oleh
Salmonella typhoid, lebih jarang disebabkan Salmonella paratyphoid A, Salmonella paratyphoid B,
Salmonella paratyphoid C. Bahkan Salmonella non typhoid dapat menyebabkan sakit parah yang
konsisten dan demam enterik. Komplikasi lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati antara lain
perdarahan intestinum dan perforasi atau infeksi fokal seperti abses viseral. Di era preantibiotik, sekitar
15% dari individu yang menderita sakit ini meninggal, dengan korbannya mengalami sakit
berkepanjangan dan kelemahan berbulan-bulan. Selanjutnya, sekitar 10% orang mengalami kekambuhan
dan kelemahan berbulan-bulan.
Pakistan menduduki peringkat k-3 dari insidensi demam tifoid pada populasi dunia. Demam tifoid sering
tampak pada gambaran umum di klinik anak. Di dunia barat penyakit ini berada dalam tahap
pemberantasan. Namun, secara global setidaknya tedapat 13 sampai dengan 17 juta kasus yang
mengakibatkan 600 juta kematian. Demam tifoid merupakan penyebab paling umum ke-4 kematian di
Pakistan. Penularannya melalui fekal-oral dan makan-minum yang terkontaminasi. WHO
mengidentifikasikan bahwa tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insidensi
tertinggi pada anak-anak dan dewasa muda antara 5-19 tahun. WHO mengungkapkan bawha insidensi
demam tifoid di Pakistan terjadi pada anak usia 2-5 tahun yaitu 573,2 per 100.000 orang per tahun. Selain
itu, insidensi yang sama terjadi pada anak dan remaja dan kejadian ini terjadi pada anak usia 2-15 tahun.
Oleh karena itu, Salmonella thypi merupakan penyebab tersering dari bakteremia pada kelompok usia ini
dan angka tahunan penyakit thypoid (dikonfirmasi dengan kultur darah) dalam penelitian terbaru dari
India, Pakistan, dan Indonesia memiliki rentang antara 149 sampai dengan 573 kasus per 100.000 anak.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dengan isolasi salmonela dari darah, BAB, urin, sumsum tulang, dan
lain-lain dan dengan adanya karakteristik klinis. CFR 10% tanpa pengobatan namun 1% dengan
pengobatan antibiotik.
Florokuinolon seperti siprofloksasin direkomendasikan sebagai lini pertama terapi pada anak atau remaja
dengan infeksi Salmonella thypi dan parathypi Multi Drug Resisten. Sefalosporin generasi tiga seperti
seftriakson juga bermanfaat namun mampu menyebabkan Multi Drug Resisten (resisten terhadap
kloramfenikol, ampisilin, kotrimoksazol) meningkat dari 34% di 1999 menjadi 66% di tahun 2005. Pada
penelitian pospektif di India Utara, terjadi peningktan resistensi florokuinolol selama 7 tahun. Pada tahun
1999 tidak terdapat resistensi terhadap fluorokuinolon, sedangkan pada tahun 2005 4,4% resisten
terhadap sparfloksasin, 8,8% resisten terhadap ofloksasin, dan paling tinggi resisten terhadap
siprofloksasin (13%). Mengingat resistensi obat di masyarakat dapat dipertanyakan bahwa salah satu dari
obat ini memiliki perbedaan keberhasilan dalam hal sensitifitas dan pola resistensi serta kekambuhan.
Selain itu, kami berencana untuk melakukan penelitian untuk mengetahui respon klinis pada anak dengan
demam tifoid yang diobati dengan siprofloksasin dibandingkan seftriakson. Dengan demikian, hasil
penelitian ini akan memungkinkan dokter anak untuk memilih terapi lini pertama untuk pengobatan
demam enterik. Dengan cara ini, manajemen ketepatan waktu tatalaksana anak-anak ini akan mampu
mengurangi morbiditas dan juga mengurangi beban klinik rumah sakit pada umumnya.

Metodologi
Penelitian dilakukan di Anak Departemen, Holy Family Hospital, Rawalpindi. Penelitian ini dilakukan
selama enam bulan dari 25 Maret 2010 sampai dengan 24 September 2010. Sebanyak 88 pasien dengan
diagnosis klinis demam tifoid dilibatkan dalam penelitian tersebut. 44 pasien diobati dengan
siprofloksasin (Kelompok Siprofloksasin), sedangkan 44 diobati dengan seftriakson (Kelompok
Seftriakson).

Teknik Sampling Konsekutif (Non-Probabilitas)


Anak-anak berusia 5-12 tahun dari kedua jenis kelamin yang menderita demam tifoid dilibatkan dalam
penelitian ini. Semua anak yang memiliki riwayat asupan antibiotik oral atau Intravena (sefalosporin
generasi ketiga dan kuinolon) dan tidak demam pada saat penelitian berlangsung tidak diikutsertakan.
Namun, penelitian ini merupakan uji acak terkendali. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian di bangsal
anak Holy Family Hospital dan secara acak dibagi menjadi dua kelompok, A dan B, berdasarkan angka
acak. Grup A diberikan injeksi 10 mg/kgbb siprofloksasin intravena dua kali sehari, sedangkan kelompok
B diberi injeksi seftriakson 70mg/kgbb intravena sekali sehari selama 7 hari. Kedua kelompok diamati
selama demam (96 jam). Penyelidikan yang harus dilakukan selama tinggal di rumah sakit berupa tes
typhidot (antibodi IgM) di laboratorium dengan menggunakan kit standar. Namun, hasilnya diverifikasi
oleh konsultan ahli patologi. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS (V10).
Mean dan standar deviasi dihitung untuk variabel kuantitatif yaitu usia dan durasi demam. Frekuensi dan
persentase yang dihitung untuk variabel kualitatif yaitu jenis kelamin dan bebas demam dalam 96 jam.
Uji chi-square digunakan untuk membandingkan keberhasilan (bebas demam dalam 96 jam) pada kedua
jenis obat ini. Nilai p<0,05 bermakna.

Hasil
Penelitian ini melibatkan 88 pasien yang diduga demam tifoid berdasarkan gejala klinis. Secara klinis,
pasien mengalami demam > 37 C dengan ada setidaknya satu atau lebih dari tanda dan gejala berikut:
sakit kepala persistent, rasa sakit atau ketidaknyamanan perut, splenomegali/ hepatomegali, bintik-bintik
merah pada kulit, muntah, dan tidak ada bukti infeksi urine, usus, dada atau meningeal. Semua subjek
penelitian berusia <12 tahun. Rentang usianya dari 5 sampai 12 tahun dengan usia rata-rata 8,3 1,94
tahun. 41 (46,6%) adalah laki-laki dan 47 (53,4%) adalah perempuan. Berat badan anak-anak berkisar 14-
41 kg dengan berat rata-rata 24,7 6,3 kg. Selain itu, 15 (17%) menggunakan air matang untuk rutinitas,
sementara 73 (83%) menggunakan air tidak matang untuk rutinitas.

Jumlah

Umur dalam tahun

Gambar 1. Hologram Distribusi Umur Kelompok Penelitian

Jumlah

Berat dalam kilogram

Gambar 2. Hologram Distribusi Berat Kelompok Penelitian


Gambar 3. Diagram Lingkaran Distribusi Jenis Kelamin Kelompok Penelitian

Tabel 1. Distribusi Umur Kelompok Penelitian


Jenis Kelamin Siprofloksasin Seftriakson
Laki-laki 24 (54,5%) 17 (38,6%)
Perempuan 20 (45,5%) 27 (61,4%)

Persen
82,95

17,05

Matang Tidak Matang


Air

Gambar 4. Penggunaan Air Matang dan Air Tidak Matang

Anda mungkin juga menyukai