Anda di halaman 1dari 4

PEMIKIRAN ARISTOTELES TENTANG FILSAFAT

PEMIKIRAN ARISTOTELES TENTANG FILSAFAT

Pemikiran kefilsafatan memiliki cirri-ciri khas (karateristik) tertentu, sebagian besar filosof berbeda
pendapat mengenai karateristik pemikiran kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat tersebut
dipahami secara teliti dan mendalam, maka karateristik pemikiran kefilsafatan tersebut terdiri dari:
a. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandang.
Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui
hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas pemikiran kefilsafatan juga
memikirkan hubungan ilmu dengan moral, seni dan pandangan hidup.
b. Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala).
Hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan
(science).
c. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran
selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan (obyek) yang baru
pula. Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang meskipun demikian bukan berarti hasil
pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu diluar filsafat.
Menurut Aristoteles filsafat ilmu adalah sebab dan asas segala benda. Oleh karena itu dia
menamakan filsafat sebagai teologi. Filsafat sebagai refleksi dari pemikiran sistematis manusia atas
realitas dan sekitarnya, tentunya tidak berdiri sendiri, tidak tumbuh diruang dan tempat yang kosong.
Lingkungan keluarga, sosial alam dan potensi diri akan ikut mempengaruhi seseorang dalam
melakukan refleksi filosofis. Oleh karenanya dalam sejarah pemikiran manusia terdapat tokoh pemikir
ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke zaman dengan tema yang berbeda-beda.
Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang
terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
A. Pembagian filsafat menurut Aristoteles
1. Logika yaitu tentang bentuk susunan pikiran.
2. Filosofia teoritika yang diperinci atas
a. Fisika yaitu tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya)
b. Matematika yaitu tentang barang menurut kuantitasnya.
c. Metafisika yaitu tentang ada.
3. Filosofia praktika, tentang hidup kesusilaan (berbuat)
a. Etika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup perorangan.
b. Ekonomi yaitu tentang kesusilaan dalam kekeluargaan.
c. Politika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan.
4. Filosofia poetika/aktiva (pencipta)
Fisafat kesenian.

Pembagian ini meliputi seluruh ilmu pengetahuan waktu itu, jadi apa yang sekarang dipandang
termasuk ilmu pengetahuan, dimasukkan didalamnya (khususnya bagian fisika). Sekarang dengan
tugas dibedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Maka pembagian filsafat seperti yang
dikemukakan oleh Aristoteles telah ketinggalan, jadi harus disesuaikan dengan perkembangan
modern.
B. Warisan
Karya Aristoteles amat banyak dan terwariskan kepada kita. Ia bukan saja ahli filsafat, akan tetapi ahli
semua ilmu yang terkenal pada waktu itu. Biasanya karya Aristoteles dibagi atas empat golongan:
1. Logika : biasanya disebut organon (alat) membentangkan tentang pengertian, putusan,
syllogismus, bukti dan lain-lainnya.
2. Fisika : tentang alam, langit, bintang, hewan, jiwa dan lain-lainnya.
3. Metafisika : buku-buku yang terutama tentang filsafat.
4. Pengetahuan praktis : Ethica Eudemia, Ethica Nichomachea, kedua-keduanya tentang tingkah
laku, Republica Atheniensium (tatanegara Atena), Rhetorica (tentang berceramah dan berpidato) dan
Poetica.
C. Logika
Biji ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan ajaran tentang jalan pikiran (ratiocinium) dan bukti.
Jalan pikiran itu baginya berupa syllogismus, yaitu putusan dua yang tersusun demikian rupa
sehingga melahirkan putusan yang ketiga.
D. Ontologia
Ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika umum (ontologia) tidak selalu dapat dibeda-bedakan
atau dipisah-pisahkan. Yang penting bagi kita ialah metafisikanya. Menurutnya yang sungguh-
sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan yang khusus, satu per satu.
E. Hule dan Morfe
Unsur yang menjadi dasar permacam-macaman ini disebut oleh Aristoteles hule, adapun unsur
kesatuan itu sebutnya morfe. Tiap-tiap benda yang konkrit terdiri dari hule dan morfe, karena hulenya
maka benda itu benda itulah (bukan benda yang lain), karena morfenya mempunyai inti dan dari itu
termasuk pada suatu macam dan dapat ditangkap oleh budi. Jadi menurut saya hule dan morfe saling
mengisi dan ada keterkaitannya. Hule dan morfe ini merupakan satu kesatuan dan tak dapat
dipisahkan, tak ada hule tanpa morfe, begitu pula sebaliknya.
F. Aktus dan Potensia
Pontesia ialah dasar kemungkinan, sedangkan aktus ialah dasar kesungguhannya. Barang sesuatu
mungkin karena potensinya. Ia sudah ada karena aktusnya. Dalam hal yang konkrit itu maka hule
merupakan potensia sedangkan morfenya merupakan aktus.
G. Abstraksi
Idea tidaklah merupakan realitas tersendiri didunia sendiri, melainkan sifat-sifat yang sama terdapat
pada hal-hal yang kongkrit. Oleh karena semua hal yang semacam itu memiliki sifat itu, maka
umumlah, oleh karena semua hal yang semacam itu harus memiliki sifat itu, maka mutlaklah ia, tetap
tak berubah.
H. Antropologi dan etika
Filsafat Aristoteles tentang manusia sebetulnya tidak begitu terang seperti ajarannya tentang hal-hal
diatas. Baginya manusia itu hal yang istimewa ia membeda-bedakan ada menurut kesempurnaan
masing-masing. Ada terdapat ada segitu saja seperti logam dan lain-lain, terdapat pula ada hidup
vegetatif, seperti tumbuh-tumbuhan, terdapat pula yang kecuali ada dan hidup vegetatif masih berasa,
jadi sensitif, seperti binatang. Manusia disamping kesempurnaan ada yang ketiga diatas itu masihlah
pula berbudi. Manusia tidak hanya ada saja dan pula hidup vegeatif serta sensitif, melainkan juga
rasionil. Baginya yang sensitif dan vegetatif itu kena rusak maka karena itu akan mati, adapun rasionil
tidaklah kena mati, karena merupakan roh. Bagian yang roh dan bagian yang mendukung budinya ini
akan terus ada, setelah manusia meninggal.
Menurut Aristoteles tujuan tertinggi yang dicapai ialah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan ini
bukan kebahagiaan yang subjektif, tetapi suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala
sesuatu yang termasuk keadaan bahagia itu terdapat pada manusia. Tujuan yang dikejar adalah demi
kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Isi kebahagiaan tiap makhluk yang
berbuat ialah, bahwa perbuatan sendiri bersifatnya khusus itu disempurnakan. Jadi kebahagiaan
manusia terletak disini, bahwa aktifitas yang khas miliknya sebagai manusia itu disempurnakan.
Padahal cirri khas manusia ialah bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi puncak perbuatan
kesusilaan manusia terletak dalam perkiraan murni. Kebahagiaan manusia yang tertinggi, yang
dikejar oleh tiap manusia ialah berpikir murni. Tetapi puncak itu hanya dicapai oleh para dewa,
manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur keinginannya.
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan
gurunya bahwa kuda tertentu berubah (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada
kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi
idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah
kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada
(sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi
adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang
kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal
yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran
dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia
dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu.
Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh
pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam
metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa
pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang
merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji
keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata,, dan berarti sesuatu yang
diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai
sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang
sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang
manusia dan memilih hylemorfisme: apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan
pengejawantahan material (hyle) sana-sini dari bentuk (morphe) yang sama. Bentuk memberi
aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi
kemungkinan (dynamis, Latin: potentia) untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap
individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang
sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar
antara kedua gejala yang tetap dan yang berubah.
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah pria
yang belum lengkap. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan
produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria.
Wanita adalah ladang, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah yang
menanam. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan bentuk, sedang wanita
menyumbangkan substansi.
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama jiwa (psyche, Latin:
anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat mengamati
dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup mengerti dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi
dengan nous (Latin: ratio atau intellectus) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan
menerima logoz. Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa
sampai kini, itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara
kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan
gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif
tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah
yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas =
Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di
wilayah Timur Tengah juga.
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi
tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon (alat) untuk sampai
kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa
kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong,
kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada
benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan
Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity
(oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species
(hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi
dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai