Anda di halaman 1dari 3

Apa yang kau lakukan untuk menghilangkan keterasingan dalam keseharianmu?

Ada banyak pilihan jawaban untuk pertanyaan di atas. Seseorang bisa saja menjawab berbincang
atau berduaan dengan pasangan, atau mengerjakan hobi atau bakat tertentu, bisa pula hanya
berselancar di dunia maya dengan ponsel ataupun laptop di waktu-waktu kosong sebelum
ataupun sehabis kerja. Tapi bagaimana pendapatmu ketika melihat seseorang yang meninggalkan
manusia dan mengambil hewan sebagai teman bergaul dan melihat seseorang yang suka pergi ke
pemakaman untuk mengusir keterasingan atau rasa sepinya?

Dua macam alienasi di atas diambil dari buku kumpulan cerpen Yasunari Kawabata yang
berjudul Daun-Daun Bambu. Dua cerpen awalnya yang berjudul Burung-burung dan Satwa Liar
dan Sang Juru Makam bercerita tentang tokoh aku yang melawan alienasi atau keterasingan
yang menimpanya dengan caranya masing-masing yang bisa dikategorikan unik. Perbedaan
kisah hidup dua tokoh aku itu menyebabkan keduanya menghadapi jenis keterasingan yang
berbeda.

Dalam cerpen Burung-burung dan Satwa Liar, tokoh aku adalah seorang penyendiri yang lebih
suka menghabiskan waktunya dengan binatang. Peliharaan yang menjadi favoritnya adalah
burung. Dia mengoleksi berbagai jenis burung seperti burung Kikuitadaki, Higara, Misosazai,
Hitaki, Kiku, Komadori, Mozu, Hibari, dan burung Pipit. Selain memelihara burung, ia pernah
memelihara anjing jenis Shiba dan Doberman dan juga ikan Mujair dan Minnow. Dia tidak suka
berinteraksi dengan manusia kecuali dengan pembantu wanitanya dan si penjual burung yang
telah menjadi langganannya. Jika ada orang yang datang bertamu di rumahnya, seringkali dia
mengabaikan sang tamu demi merawat hewan peliharaannya hingga sang tamu beranjak pergi.

mungkin karena aku sudah mulai beranjak tua. Aku tak lagi suka bertemu orang. Aku tak
suka mereka. Menit pertama bertemu, aku sudah jemu.

Alienasi yang dialami oleh tokoh aku pada cerpen ini diawali dengan ketidakmampuannya dalam
memenuhi tuntutan sosial. Ada standar-standar tertentu yang jadi acuan tiap kelompok sosial dan
seringkali hal itu bersifat mengikat. Ia harus memperlihatkan sikap yang dibutuhkan oleh orang
lain, bukan menjadi dirinya. Ia merasa seolah dirinya bukan pusat dari dunianya, tetapi orang
lainlah yang harus disuguhi dengan kepura-puraan yang ia tak sukai. Karena itu ia merasa
terisolasi dan tak pernah tahan berinteraksi dengan orang lain dalam waktu yang lama.
Ia kemudian mengalihkan ketertarikannya untuk berinteraksi pada hewan peliharaannya. Disitu
tak ada tuntutan yang harus dipenuhi. Tak ada sanksi yang ia harus dapatkan bila tak mampu
memenuhi tuntutan sosial yang kadang bersifat mengikat. Pilihannya untuk berinteraksi hanya
dengan hewan bahkan membuatnya dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan dirinya,
dalam hal ini hewan yang lebih superior dibanding hewan sejenisnya yang lain untuk dipelihara.
Dia lah pusat dari dunianya sendiri. Dia bisa bersikap sesuai keinginannya tanpa harus membuat
kepura-puraan di hadapan orang lain.

Pada cerpen kedua yang berjudul Sang Juru Makam, Kawabata juga menggunakan tokoh aku
sebagai tokoh utama. Aku mengalami alienasi ketika seluruh keluarganya satu persatu meninggal
saat usianya masih anak-anak. Ketidakhadiran keluarga dekat membuatnya merasa asing ketika
harus hidup berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lain yang bahkan tidak dikenalnya
sama sekali. Ketidakberhasilannya dalam menghadirkan orangtua dan kakak kandungnya dalam
ingatannya membuatnya merasa sendiri. Juga rasa simpati yang berlebihan dari orang-orang di
sekitarnya menjadi penyebab ia menjaga jarak dari orang lain.

Alienasi yang ia dapatkan bisa ia kikis dengan cara menghadiri pemakaman. Karena
pengalamannya yang telah melalui banyak pemakaman keluarganya, ia menjadi ahli dalam
persoalan makam-memakamkan. Caranya bersikap, pengetahuannya tentang tata cara
pemakaman membuatnya dikenal sebagai sang juru makam. Seperti kata Karl Marx, kerja
yang merupakan ekspresi kemampuan khas manusia, merupakan kegiatan yang jauh dari
alienasi. Jelas disini kerja bukan cuma aktivitas ekonomi dan tidak ada praktik eksploitasi. Dari
kepiawaiannya dalam persoalan makam itulah ia bisa melawan alienasinya.

***

Dalam keseharian kita, tidak bisa dipungkiri bahwa alienasi juga menghampiri hampir setiap
orang. Hal tersebut bisa disebut sebagai penyakit manusia modern. Kemudahan teknologi yang
kita hadapi mengikis interaksi antar manusia. Hal ini menyebabkan ada ruang kosong yang tak
pernah terisi. Interaksi langsung antar manusia bagaimanapun takkan bisa digantikan dengan
interaksi lewat perantara data. Ketidakhadiran interaksi langsunglah yang memicu munculnya
alienasi.
Smartphone, ponsel pintar dengan segala kemudahan yang diberikannya yang bisa masuk dalam
satu genggaman tangan, seringkali dianggap sebagai penjawab semua kebutuhan manusia. Rasa
bosan, keterasingan di tempat yang baru, dan rasa sepi bisa diatasi dengan berseluncur ke dalam
alat elektronik ini. Tapi apakah smartphone bisa menghilangkan alienasi? Jawabannya adalah
tidak. Lebih jauh lagi, smartphone bahkan adalah alienasi itu sendiri. Berikut kutipan Karl Marx
tentang alienasi :

tiap orang berspekulasi menciptakan suatu kebutuhan baru dalam diri orang lain, memaksa
dia masuk ke dalam suatu ketergantungan baru, bentuk kesenangan baru, dan karena itu
ekonominya hancur... dengan menumpuknya barang-barang komoditas, tampillah dunia benda-
benda yang asing, yang memperbudak manusia.
Smartphone, media sosial, dan segala yang berhubungan dengan itu telah menjadi candu untuk
kita. Sebuah kebutuhan baru yang disebut Marx sebagai benda asing yang memperbudak
manusia. Curhatan kaum muda ketika smartphonenya lowbat, lupa membawa charger, atau
kehabisan kuota sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi telinga manusia modern. Kehadiran
smartphone dan media sosial juga menghadirkan beragam hal lain sebagai kebutuhan baru yang
tak kalah menyesatkan. Caf, hotel, dan rumah makan kehilangan nilai fungsi dan hanya jadi
ajang selfie dan check-in untuk memenuhi kebutuhan like di media sosial. Dunia maya seolah
sudah jadi dunia yang lebih dekat dengan manusia dibandingkan dengan dunia nyata. Dunia
nyata tinggallah bangunan-bangunan fisik yang begitu asing bagi mata.

Lantas, bisakah kita keluar dari alienasi yang menjadi candu ini?

Anda mungkin juga menyukai