Anda di halaman 1dari 6

Efek Kebijakan Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak

sebagai Stimulus Perekonomian Indonesia terhadap Potensi Penerimaan Pajak

Oleh :
Andi Setyo Wicaksono

April, 2017

Pembangunan nasional terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui


peningkatan dan perbaikan infrastruktur terutama yang berkaitan dengan penyediaan
fasilitas umum, memaksa pemerintah untuk terus menyediakan sumber pembiayaan yang
besar dan berkelanjutan. Menilik kenyataan dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa
sumber pembiayaan utama pembangunan Indonesia bertumpu pada penerimaan pajak.
Hal ini terlihat dari porsi penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai 1355,2 triliun
rupiah dari target total pendapatan negara yang dianggarkan sebesar 1784,2 triliun rupiah
pada APBN-P 2016. Jika dikonversi menjadi persentase maka kurang lebih 75% dari
target pendapatan negara pada tahun 2016 dibebankan kepada penerimaan pajak.
Penerimaan Pajak di Indonesia terdiri atas beragam jenis pajak, dimana Pajak Penghasilan
(PPh) merupakan pajak yang berkontribusi paling besar dalam penerimaan pajak
Indonesia secara keseluruhan.
Pajak Penghasilan (PPh) terbagi atas PPh Migas dan PPh Non-Migas, dengan
PPh Non-Migas sebagai jenis pajak penghasilan yang memiliki kontribusi paling besar.
Dalam APBN-P 2016, PPh Non-Migas ditargetkan sebesar 819,5 triliun rupiah dari total
target penerimaan pajak penghasilan sebesar 855,8 triliun rupiah atau bisa dikatakan
sekitar 95% target penerimaan pajak penghasilan diharapkan berasal dari PPh Non-
Migas. Untuk itu pemerintah perlu untuk menjaga penerimaan PPh Non-Migas terus
tumbuh secara berkelanjutan. Struktur dalam PPh Non-Migas Indonesia tersusun atas
bergam jenis pajak yakni PPh Pasal 21, 22, 22-Impor, 23, 25/29 Orang Pribadi, 25/29
Badan, 26, PPh Final dan PPh Non Migas lainnya, dimana PPh Pasal 21 sampai saat ini
masih menjadi salah satu pajak yang berkontribusi besar dalam penerimaan PPh Non
Migas Indonesia.
Menurut Peraturan Jenderal Pajak Nomor : PER-16/PJ/2016, Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21 diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah,

Page 1
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-
Undang Pajak Penghasilan. Dalam penghitungan PPh Pasal 21 terdapat komponen
penting yang perlu diperhatikan yakni besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak(PTKP),
hal ini karena PTKP berfungsi sebagai pengurang yang diakui oleh pajak dari jumlah
penghasilan kotor yang kemudian atas penghasilan neto tersebut dikenakan tarif pajak
berlaku, atau dengan kata lain Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pegawai
atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21 yang penghasilan netonya masih
dibawah PTKP, tidak akan dikenai pemotongan PPh Pasal 21 (Wibowo, 2014).
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah pengurangan terhadap penghasilan
bruto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam
menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus
dibayar wajib pajak di Indonesia. PTKP dalam penghitungan pajak, merupakan suatu
perwujudan sifat subjektif pengenaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (OP) yang
dampaknya harus memperhatikan keadaan Wajib Pajak, misalnya telah kawin punya anak
dan ada tanggungan keluarga. Jangan sampai karena membayar pajak, Wajib Pajak
menurun tingkat kesejahteraannya, karena seharusnya penagihan pajak dibebankan
setelah semua beban hidup atau konsumsi pokok seorang Wajib Pajak dipenuhi terlebih
dahulu. Maka dari itu penentuan besarnya PTKP harus dilakukan melalui kebijakan yang
diambil secara objektif dan terukur dimana pemerintah tetap bisa memaksimalkan
penerimaan pajak tanpa mengesampingkan aspek kesejahteraan dari Wajib Pajak.
Penetapan kebijakan terkait kenaikan besarnya PTKP juga harus diambil secara hati-hati,
mengingat kebijakan tersebut berpotensi menurunkan penerimaan PPh Pasal 21 yang
notabene merupakan salah satu sumber penerimaan pajak penghasilan yang cukup
signifikan dalam menopang penerimaan pajak Indonesia.
Pada Juni 2016, Pemerintah memutuskan untuk menaikkan besaran PTKP sebesar
50 persen dibandingkan dengan besaran PTKP yang berlaku sejak tahun 2015 melalui
penetapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP yang disesuaikan yakni
Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi,
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin, Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami dan Rp4.500.000,00 (empat

Page 2
juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah klan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penyesuaian PTKP ini
mulai digunakan untuk menghitung pajak penghasilan untuk tahun pajak 2016 dan
sesudahnya.
Penetapan kebijakan penyesuaian PTKP pada tahun 2016 ini, dilatarbelakangi
oleh kondisi kecenderungan perlambatan perekonomian sejak tahun 2013. Hingga
triwulan I tahun 2016, perekonomian hanya tumbuh sebesar 4,9 persen. Kinerja ekonomi
negara mitra dagang utama yang melambat seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, juga
menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2016,
pertumbuhan ekonomi disepakati sebesar 5,2 persen dan untuk mencapainya perlu
ditopang dengan tingkat konsumsi masyarakat yang stabil. (SP/31/KLI/2016)
Dengan dinaikkannya PTKP ini, diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat
dalam membayar pajak sehingga meningkatkan pendapatan siap belanja (disposable
income) masyarakat sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat yang akhirnya dapat
meningkatkan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) disebabkan adanya penambahan dari tax base dari kedua pajak
tersebut dimana keduanya dikenakan atas konsumsi dalam negeri baik dalam bentuk
konsumsi Barang Kena Pajak ataupun Jasa Kena Pajak, sehingga penerimaan keduanya
tidak dapat dipungkiri terpengaruh oleh tinggi rendahnya daya beli masyarakat di
Indonesia. Selain itu, peningkatan pendapatan siap belanja (disposable income)
masyarakat juga diharapkan dapat memberikan stimulus pada perekonomian nasional
melalui peningkatan permintaan agregat baik melalui konsumsi rumah tangga maupun
investasi yang dalam jangka panjang akan berdampak positif pada sektor riil, berupa
tambahan serapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran serta kemiskinan.
(SP/31/KLI/2016)
Namun disisi lain kebijakan penyesuaian besarnya PTKP ini juga dapat berpotensi
menurunkan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi, terutama akan berimbas pada
salah satu jenis pajak penghasilan yang berkontribusi besar seperti PPh Pasal 21, karena
dalam penghitungan pajaknya kenaikan PTKP akan menurunkan nilai Penghasilan Kena
Pajak (PKP) yang notabene merupakan dasar pengenaan pajak penghasilan, sehingga
pada akhirnya berpotensi menurunkan penerimaan PPh Pasal 21 dibandingkan proyeksi
penerimaan sebelum dilakukannya penyesuaian PTKP.

Page 3
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai bagian pendapatan masyarakat
yang digunakan untuk konsumsi pokok sangat berkaitan erat dengan tingkat Upah
Minimum Provinsi (UMP)/Upah Minimum Kabupaten (UMK), yang mana menurut
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), menyatakan bahwa upah minimum merupakan upah
bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap,
yang digunakan untuk memenuhi standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat
hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan. Melihat ide adanya UMP dan PTKP yang
sama-sama memastikan bahwa masyarakat akan bisa memenuhi standar hidup minimum
untuk memastikan konsumsi pokok mereka tercukupi, sehingga dalam menetapkan
kebijakan kenaikan PTKP pemerintah hendaknya mempertimbangkan rata-rata tingkat
Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia secara keseluruhan.
Menurut data BPS, pada tahun 2016 tingkat UMP di Indonesia sebesar Rp
1.997.819 per bulan atau Rp 23.973.828 per tahunnya untuk setiap individu/lajang, yang
berarti masih jauh dibawah PTKP yang ditetapkan pada tahun 2016 sebesar Rp
4.500.000 per tahun atau Rp 54.000.000 per tahun untuk setiap individu/lajang. Kondisi
ini menunjukkan potensi hilangnya penerimaan PPh pasal 21 yang cukup besar karena
penghasilan dibawah PTKP tidak akan dikenai potongan pajak seperti PPh pasal 21,
bahkan jika dibandingkan antara UMP Indonesia tahun 2016 dengan PTKP sebelum
penyesuaian yakni PTKP tahun 2015, tingkat UMP Indonesia tahun 2016 masih dibawah
PTKP tahun 2015 yang ditetapkan sebesar Rp 3.000.000 per bulan atau Rp 36.000.000
per tahun untuk setiap individu/lajang sesuai dengan PMK No. 122/PMK.0.10/2015
tentang Penyesuaian Besarnya PTKP.
Penyesuaian besarnya PTKP tahun 2016 mungkin sudah tepat untuk diterapkan di
provinsi yang memiliki tingkat UMP yang cukup tinggi, seperti Provinsi DKI Jakarta
yang pada tahun 2016 tingkat UMP nya sudah mencapai Rp 3.100.000 per bulan yang
berarti sudah diatas PTKP tahun 2015 yang hanya Rp 3.000.000/bulan sehingga sudah
tepat jika diterapkan PTKP tahun 2016 yang mencapai Rp 4.500.000/bulan karena
konsumsi pokok minimum masyarakat DKI Jakarta sudah lebih dari Rp 3.000.000. per
bulan. Melihat fakta bahwa hanya DKI Jakarta saja dari seluruh provinsi di Indonesia
yang memiliki tingkat UMP lebih besar dari PTKP tahun 2015 serta implementasi
kebijakan yang tidak bisa dilakukan secara parsial, menunjukkan bahwa PTKP tahun
2016 berpotensi sangat besar dalam menggerus penerimaan PPh Pasal 21 secara
keseluruhan di Indonesia karena konsep dari PTKP sebagai penghasilan minimum untuk

Page 4
mencukupi konsumsi pokok juga selaras dengan ide penetapan UMP oleh pemerintah
provinsi yang berfungsi untuk menetapkan standar upah minimum untuk mencukupi
konsumsi pokok seorang individu/lajang dalam satu bulan.
Ide utama dalam penetapan kebijakan penyesuaian/kenaikan PTKP ini, dilakukan
untuk meningkatkan stimulus perekonomian, dimana pemerintah Indonesia berharap
walaupun ada risiko tergerusnya penerimaan PPh 21 tetapi gerusan ini dapat
dikompensasi dengan kenaikan jenis pajak lain seperti PPN dan PPnBM dengan dasar
peningkatan pendapatan siap belanja (disposable income) masyarakat yang diharapkan
meningkatkan tingkat konsumsi dan investasi barang dan jasa dalam negeri. Namun, yang
perlu dipahami bahwa PPN dan PPnBM merupakan pajak objektif yang didasarkan atas
konsumsi yang terjadi dalam negeri atas barang dan jasa dari produk lokal atau impor
yang termasuk dalam daftar Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) untuk
PPN serta Barang Mewah untuk PPnBM.
Dalam perekonomian yang terus berkembang tingkat konsumsi maupun investasi
dilakukan tidak semata-mata hanya karena peningkatan pendapatan siap belanja saja
(disposable income) namun berbagai faktor ekonomi lainnya juga turut dipertimbangkan,
seperti tingkat inflasi yang selanjutnya mempengaruhi tingkat harga, tentang opportunity
cost apakah mereka akan membelanjakannya atau justru memilih untuk menabungnya
melihat dari tingkat suku bunga yang ada, bahkan kuat lemahnya mata uang negara yang
berdampak pada fluktuasi harga barang impor juga akan berpengaruh pada keputusan
individu dalam konsumsi. Sedangkan dalam konteks investasi, investor juga tidak
melakukan investasi hanya semata memiliki modal untuk ditanamkan tetapi juga melihat
ketersediaan infrastruktur nasional, fasilitas umum serta fasilitas lain yang tersedia di
negara tersebut apakah akan memberikan return yang menguntungkan atau tidak serta
kalkulasi-kalkulasi lainnya.
Mengetahui bahwa kebijakan kenaikan PTKP ini berpengaruh langsung hanya
pada pendapatan siap belanja (disposable income) yang notabene hanya salah satu faktor
dari berbagai faktor yang mempengaruhi penerimaan PPN dan PPnBM, pemerintah juga
harus menyiapkan kebijakan pendukung lain dalam fiskal maupun moneter seperti
mempercepat pembangunan nasional dalam infrastruktur sebagai insentif investasi,
memberikan subsidi sebagai stimulus modal bagi pelaku pasar, mempertahankan
kestabilan mata uang, serta kebijakan lainnya yang dapat meningkatkan potensi
penerimaan PPN dan PPnBM, sehingga tujuan dari kebijakan kenaikan PTKP untuk

Page 5
menstimulus perekonomian dapat terlaksana serta dapat mengurangi dampak gerusan
yang terjadi pada pajak penghasilan terutama PPh Ps. 21 karena penetapan kebijakan ini.
Selain mengusahakan peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM sebagai
kompensasi atas potensi penurunan PPh 21 menggunakan kebijakan-kebijakan
pendukung lainnya, pemerintah Indonesia juga dapat mengurangi potensi penurunan PPh
21 karena kebijakan kenaikan PTKP, dengan cara memastikan bahwa tingkat
pertumbuhan jumlah Wajib Pajak yang memiliki penghasilan diatas PTKP 2016 lebih
besar dibandingkan dengan tingkat penurunan jumlah Wajib Pajak yang terbebas dari
kewajiban membayar PPh Pasal 21 karena penghasilannya menjadi dibawah PTKP 2016.
Penetapan kebijakan kenaikan PTKP merupakan salah satu langkah yang tepat dalam
menstimulus perekonomian, tetapi hanya jika kebijakan tersebut juga diiringi dengan
penetapan kebijakan lainnya yang dapat berperan sebagai support policy dalam bentuk
kebijakan fiskal dan moneter, sehingga selain tujuan pemerintah untuk mengembangkan
perekonomian melalui penetapan kebijakan kenaikan PTKP dapat tercapai, efek samping
atas kebijakan kenaikan PTKP yang menggerus penerimaan PPh Pasal 21 juga dapat
dikompensasi dengan meningkatnya Penerimaan Pajak Lainnya seperti PPN dan PPnBM.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2016. Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) dan rata-rata
Nasional per tahun (Dalam Rupiah), 1997-2016. Dipetik 27 April 2017 https://www.
bps.go.id/linkTable Dinamis/view/id/917
Biro Komunikasi dan Layanan Informasi . 2016. Siaran Pers Nomor 31/KL/2016 tanggal 24
Juni 2016 tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak Naik. Jakarta : Sekretariat Jenderal
Kemernterian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pajak. 2016. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016
tentang Pedoman Teknis Tata cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan
Pekerjaan, jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Jakarta : Sekretariat Negara.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. PMK Nomor 101/PMK.010/2016 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Republik Indonesia. Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan Tahun
2016. Jakarta : Sekretariat Negara
Subekti, Wibowo.(2014,Agustus).Pengertian dan Besarnya PTKP(Penghasilan Tidak
KenaPajak. Dipetik 9 Maret 2017, dari http://www.wibowopajak.com/2014
/08/pengertian-dan-besarnya-ptkp.html.
Sukardji, Untung. 2015. Pokok-Pokok PPN(Pajak Pertambahan Nilai) Indonesia Edisi Revisi
2015. Jakarta : Rajawali Pers.

Page 6

Anda mungkin juga menyukai