Anda di halaman 1dari 14

BELLS PALSY

I. Pendahuluan

Bells palsy merupakan suatu sindroma kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.. Terjadi tiba-tiba, terisolasi, unilateral,
peripheral facial paralysis dengan penyebab yang tidak bisa dideteksi. Sindroma paralisis
fasialis yang idiopatik pertama kali digambarkan satu abad yang lalu oleh Sir Charles
Bell (Gambar 1) , tapi sampai sekarang masih terdapat kontroversi mengenai etiologi dan
penatalaksanaannya (Lee, 1997).

Penyebab penyakit ini tidak diketahui namun dicurigai adanya riwayat keluarga
dengan adanya reaktivasi virus herpes simpleks atau herpes zoster pada ganglion
genikulatum, demyelisasi saraf, kekejangan pada pembuluh saraf maupun trauma (Lee,
1997).

Pada serangan satu sisi wajah, terjadi gangguan menutup kelopak mata. Gejala
dari kelainan ini adalah rasa sakit, keluarnya air mata, menetesnya air liur, peka terhadap
suara, dan gangguan pengecapan. (Neville, 2002).

1
Gambar 1. Sir Charles Bell

II. Anatomi Nervus Fasialis


Saraf fasialis (gambar 2 dan 3) adalah saraf motorik yang perjalanannya ke perifer
saraf intermedius turut menggabungkan diri. Saraf intermedius tersusun oleh serabut
sekremotorik untuk gandula salivatorius dan serabut sensorik yang khusus
menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah. Saraf fasialis yang keluar
dari kanalis os petrosum merupakan berkas saraf yang mengandung serabut
somatomotorik, viseromotorik, dan sensorik khusus. Cabang pertama yang keluar adalah
saraf stapedius, cabang kedua adalah korda tympani. Selanjutnya masuk ke tulang
mastoideus dan keluar melalui foramen stilomastoideus. Sebelum memasuki glandula
parotis, terlebih dahulu memberikan cabang aurikuler. Saraf fasialis yang melalui
glandula parotis, akan bercabang lagi untuk mempersarafi seluruh otot-otot wajah melalui
cabang temporal, zygomatikus, bukal, marginal mandibula, dan servikal. Otot-otot yang
dipersarafi tersebut adalah m. frontalis, m. orbicularis occuli, m. orbicularis oris, m.
quadratus labii superior, m. levator anguli oris, m. zygomaticus, m. buccinators, m.
quadratus labii inferior, m. levator menti dan m. depressor anguli oris.

2
Gambar 2. Gambaran saraf fasialis dan otot-otot wajah

3
Gambar 3. Anatomi nervus fasialis

III. Etiologi
Penyebab paralisis fasialis (bells palsy) sampai saat ini masih belum diketahui,
para ahli berpendapat bahwa penyebabnya adalah idiopatik. Meskipun demikian,
paralisis fasialis dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya karena iskemi vaskuler,
trauma pada saraf fasialis dan infeksi virus.
Nervus fasialis dapat menjadi parese secara tidak langsung karena gangguan
sirkulasi darah (iskemi vaskuler) di kanalis Fallopi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
tekanan pada nervus fasialis perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh

4
darah yang mengaliri saraf tersebut. Meskipun epineurium nervus fasialis dikelilingi oleh
jaringan yang kaya vaskuler tetapi nervusnya sendiri relatif avaskuler, sehingga jika
terjadi penurunan pembuluh darah di daerah kanalis faloppi maka aliran darah ke nervus
juga akan terganggu (Lee, 1997).
Infeksi HSV tipe 1 terjadi sesudah suatu infeksi akut primer dalam jangka waktu
cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion genikulatum. Reaktivasi virus ini dapat
terjadi bila daya tahan tubuh menurun sehingga terjadi neuritis dengan proses inflamasi,
edema dan kemudian terjadi gangguan vaskuler sekunder yang akhirya menimbulkan
degenerasi lebih lanjut di nervus fasialis perifer. Secara histolgis ditemukan sedikit
infiltrasi sel-sel radang dan rusaknya selubung mielin. Sehingga memperkuat dugaan
sebelumnya bahwa paralisis fasialis ini disebabkan oleh reaktifasi dari HSV tipe 1 (Lee,
1997).
Paralisis fasialis (Bells Palsy) mempunyai beberapa penyebab potensial seperti :
o Trauma pada wajah (mengenai saraf fasialis)
o Terpapar udara dingin
o Infeksi lokal dan sistemik (HSV tipe 1)

IV. Patofisiologis
Nervus fasialis mengatur beberapa fungsi seperti berkedip, dan menutup mata,
tersenyum, menyeringai, lakrimasi dan salivasi. Nervus ini juga menginervasi otot-otot
stapedius di telinga tengah dan membawa sensasi rasa ke daerah duapertiga anterior lidah
(Ahmed, 2005).
Setiap nervus fasialis berjalan melewati canalis yang sempit pada tengkorak
diantara telinga ke otot pada setiap sisi regio inflamasi akut dan oedem dari nervus
fascialis dianggap terjebaknya nervus pada bone canal, yang menyebabkan kompresi
sistemik (Ahmed, 2005).
Trauma maksilofasial berpotensi untuk menyebabkan cedera saraf fasialis oleh
karena letaknya. Pada kejadian trauma biasanya telah terjadi kerusakan atau cedera pada
saraf. Untuk keadaan ini terlebih dahulu diberikan penanganan adalah yang berhubungan
dengan pertolongan hidup dan penatalaksanaan trauma pada jaringan lunak dank keras.
Gangguan pada fungsi saraf bukan merupakan tindakan yang primer tetapi tindakan yang

5
bersifat sekunder. Dalam penatalaksanaan fraktur dan jejas pada jaringan lunak,
sebaiknya ahli bedah mempertimbangkan anatomi dan fungsi saraf di daerah
maksilofasial sebab konsekuensinya dapat menimbulkan suatu paralisis permanen yang
membutuhkan perbaikan atau rekonstruksi pembuluh saraf yang cukup sulit. (LaBanc,
1997; Hausamen and Schliephake, 2003),
Mekanisme cedera saraf perifer yang banyak pada daerah fasialis adalah
kompresi. Derajat kerusakan yang terjadi berhubungan dengan kekuatan tekanan pada
saraf, lamanya penekanan pada saraf, jumlah dan ukuran fesikel serta tebalnya jaringan
konektif. Saraf dengan fesikel yang besar dikelilingi oleh epineurium yang relative
banyak akan memberikan perlindungan terhadap adanya kompresi. Saraf yang terletak
ekstraoseus seperti cabang perifer dari fasialis memang terletak di antara jaringan lunak
yang cukup tebal namun peka terhadap laserasi atau tarikan. Saraf yang terletak
intraoseus terlindung oleh struktur tulang disekitar namun rentan tehadap tarikan apabila
tulang tersebut fraktur serta berpindah tempat. (LaBanc, 1997)

V. Tanda klinis

Bells Palsy klinisnya biasanya terjadi sangat cepat, dalam beberapa jam atau
dalam semalam, dimulai dengan adanya rasa sakit disekeliling telinga, diikuti dengan
paralysis otot wajah pada satu sisi secara tiba-tiba (gambar 4) (Adams, 1989).

Tanda klinisnya meliputi (Greenberg 2003)

Rasa sakit pada daerah muka disekitar telinga pada daerah yang terkena
selama beberapa hari
Wajah akan terasa mati rasa pada sisi yang terkena.
Pada saat tersenyum hanya satu sisi wajah yang bergerak
Mata pada sisi yang terkenan akan berair atau menjadi kering dan tidak dapat
menutup secara sempurna
Tidak dapat mengunyah secara sempurna
Tidak dapat mengerutkan dahi
Kehilangan rasa pengecapan pada sisi yang terkena

6
Kesulitan bicara
Kehilangan rasa pada duapertiga antrior lidah pada sisi yang terkena
Berkurangnya sekresi saliva
Kira-kira 80% penderita akan mengalami perbaikan dalam tiga minggu dan akan
sembuh sempurna dalam 2 3 bulan. Lebih dari 90% akan sembuh semparna dalam satu
tahun, Sekitar 5%-10% penderita mengalami kelemahan yang menetap. Sangat jarang
yang mengalami perbaikan minimal atau tidak ada perbaikan.
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda.4 Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis
semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke
atas (Bells phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke
sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit
lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di
atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan
menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di
saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri
terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan
lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.

Gambar 3. Tanda klinis Bells Palsy

Gambar 4. Gambaran klinis Bells Palsy

7
VI. Pemeriksaan
Pemeriksaan dimulai dari anmnesa, pemeriksaan fisik, dan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan MRI dan CT Scan dilakukan apabila tidak ada
perbaikan pada paralisis setelah satu bulan, adanya hearing loss, adanya multiple cranial
nerve deficits (Ahmed, 2005). MRI dengan gadolinium merupakan test pilihan untuk
menyingkirkan cerrebellopontine angle tumor, stroke dan multiple sclerosis. CT Scan
(gambar 5) direkomendasikan jika diduga ada fraktur tulang temporal. Test pendengaran
dilakukan untuk menyingkirkan adanya suatu acoustic neuroma (Ahmed, 2005).

Gambar 5. Gambaran CT Scan pada pemeriksaan paralisis fasialis

Teknik Pemeriksaan Paralisis Fasialis


Pemeriksaan Fungsi Motorik
Kawasan motorik saraf fasialis adalah wajah. Asimetri yang timbul akibat kelumpuhan
salah satu otot wajah sangat menyolok sehingga observasi sesaat saja telah dapat
diketahui.(Sidharta, 1999)

1. Inspeksi, dengan memperhatikan kerutan pada dahi, kedipan mata, lipatan


nasolabial dan sudut mulut. Pada waktu berbicara atau tersenyum, asimetri dapat
ditemukan. Pada paresis atau paralisis hemifasial perifer, terlihat kulit yang sehat,
kedipan mata pada sisi yang lumpuh lambat, tidak gesit dan tidak kuat, hal ini

8
berbeda dengan sisi yang sehat. Pada sisi yang lumpuh sudut mulut lebih rendah
letaknya dan lipatan nasolabialis menjadi datar. Pada waktu tersenyum atau
tertawa, sudut mulut yang sehat saja yang terangkat sehingga asimetris yang
terlihat lebih jelas. Pada paresis hemifasial sentral, asimetria wajah hanya terlihat
pada bagian bawah saja, yaitu pada sudut mulut dan lipatan nasolabialis dan bila
pasien tertawa asimetri tersebut hilang.

2. Observasi gerakan otot volunter, diperiksa dengan meminta pasien


mengkontraksikan oto-otot fasialis dengan cara menggerakan dahi, mengerutkan
alis, menutup mata, meringis, memperlihatkan barisan gigi rahang atas,
mengembungkan pipi, menjungurkan bibir, bersiul, dan mengetakan kulit dahi.
Kontraksi otot ini dilakukan secara bilateral dan unilateral, lalu kedua sisi dapat
diketahui adanya kelumpuhan pada otot-otot yang mempersarafinya.

3. Observasi gerakan otot wajah involunter, gerakan otot involunter terbagi atas
involunter spontan fisiologis dan patologis. Pada involunter spontan fisiologis,
otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas dari yang atasnya. Sudut mulut sisi
yang lumpuh nampak lebih rendah, lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar.
Jika kedua sudut mulut diangkat, maka hanya sudut mulut yang sehat saja yang
terangkat.Pada gerakan involunter spontan iritatif patologis, otot-otot wajah
bergerak secara spontan karena iritasi di korteks motorik, seperti pada epilepsy
Jackson. Karena di ganglion basalis, maka timbul gerakan-gerakan spontan yang
menyerupai gerakan meringis, memjungur-jungurkan bibir, memejamkan mata,
mengerutkan dahi berselingan dengan mengerutkan kulit diantara dua alis.

Pemeriksaan Reflektoris Fasialis


Gerakan-gerakan fasialis yang bersifat reflektorik diantaranya : (Sidharta, 1999)
1. Refleks Glabela, dengan cara mengetuk glabela yang diikuti oleh berkedipnya
kedua mata. Tetapi setelah berturut-turut diketuk 3 sampai 4 kali, kedipan mata
tidak akan timbul lagi pada orang yang sehat, sebaliknya pada orang yang
demensia mata terus berkedip seiring dengan ketukan berturut-turut pada glabela.

9
2. Refleks Snout, ialah kontraksi bibir atas serta penarikan kedua sudut mulut ke atas
dan timbulnya kerutan-kerutan pada kulit dagu sejenak dan serentak.

3. Refleks Trigeminofasial, merupakan reflex atas rasa nyeri. Nyeri diberikan


dengan penekanan secara keras tapi sejenak pada kondilus mandibula. Refleks ini
untuk menilai derajat kesadaran atau untuk menilai gerakan otot-otot fasial pada
bayi, anak-anak atau orang dewasa yang tidak dapat berkomunikasi dengan
bahasa atau tidak kooperatif.

Pemeriksaan Viserosensorik dan Viseromotorik

Secara khusus dipersarafi oleh saraf intermedius yang keluar bersama saraf fasialis,
oleh karena itu sering dikaburkan dengan fungsi saraf fasialis. (Sidharta, 1999)

1. Sensorik khusus, dengan memeriksa citarasa yaitu rasa manis, asin, asam dan
pahit dengan menggunakan 2/3 bagian depan lidah. Untuk menghindari salah
penilaian pasien diminta mengeluarkan lidahnya dan identifikasi citarasa dengan
menunjukan kata-kata ke empat rasa tersebut pada sehelai kertas. Bahan yang
digunakan gluklosa 5%, larutan NaCl 2,5%, larutan citric acid 1% dan larutan
HCl quinine 1.075%. Tes larutan kina harus yang terakhir dan setelah selesai satu
rasa, pasien diminta berkumur sampai rasa yang ada hilang.

2. Pemeriksaan fungsi viseromotorik dinilai dari keluhan dan observasi.


Hiperlakrimalis pada paralisis fasialis perifer dapat diceritakan oleh penderita
sendiri dan juga dapat dinilai oleh penderita. Hiperfungsi glandula
submandibularis dan sublingualis dapat dilihat dengan menggoreskan jari telunjuk
pasien pada lidahnya sendiri, jika lidah kering, jari telunjuk tidak basah.

Pemeriksaan penunjang lain terhadap gangguan fungsi saraf fasialis, dapat


dilakukan dengan tes Electrodiagnostic, yang berguna dalam penentuan letak lesi saraf
dan monitoring perbaikan fungsi saraf. Tes saraf ini umumnya digunakan 2-3 hari setelah
terjadinya cedera. Pemeriksaan lain dengan Electromyography (EMG) yang secara
terbatas digunakan untuk mengevaluasi paralisis fasialis akut. (LaBanc, 1997)

10
VII. Diagnosa banding
Diagnosa banding dari Paralisis fasialis (Bells palsy) adalah :
Sindroma Melkerson Rosenthal

Sindroma Ramsay Hunt

VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Bells Palsy masih kontroversial. Penatalaksanaannya masih
sulit untuk dievaluasi sebab duapertiga pasien bells Palsy sembuh spontan dan dapat
sembuh mendekati fungsi yang normal. Banyak pasien mulai perbaikan setelah hari ke
sepuluh setelah serangan, walaupun tanpa pengobatan. Penatalaksanaan Bells Palsy
meliputi:
1. Perlindungan terhadap mata
Mata yang tidak terlindung pada penderita bells palsy beresiko terjadinya
kekeringan pada kornea dan terkena benda asing. Penanganannya dengan pemberian
airmata artifisial, lubrikan dan proteksi terhadap mata. Airmata artifisial digunakan
selama pasien tidak tidur untuk menggantikan tidak adanya lakrimasi. Lubrikan
diberikan selama pasien tidur. Perlindungan mata dengan menggunakan kaca mata untuk
mencegah mata dari benda asing.
2. Penatalaksanaan dengan obat.
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja sebagai anti inflamasi dengan cara menghambat kerja
enzim fosfolipase sehingga pelepasan asam arakhidonat oleh fosfolipid membran sel
tidak terjadi. Dengan demikian prostaglandin yang akan menimbulkan vasodilatasi dan
oedema juga pelepasan leukotrein yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat dihambat, sehingga reaksi inflamasi lebih lanjut bisa
dihambat (Robbins, 1999).
Penatalaksanaan dengan obat yang terdiri dari pemberian kortikosteroid dengan
atau tanpa antivirus. Bila hanya dengan kortikosteroid diberikan prednison 1mg/kg
bb/hari (maksimal 80mg) secara oral selama 3-5 hari, lalu dilanjutkan dengan penurunan
dosis secara bertahap hingga total berhenti dalam 10 hari. Penggunaan steroid
bermanfaat bila diberikan dalam 2-3 minggu awitan, jika lebih dari 3 3 minggu terapi

11
steroid kurang bermanfaat karena sudah terjadi kerusakan saraf yang maksimal (Lee,
1997).
b. Antiviral
Penelitian terbaru menemukan peranan virus sebagai etiology Bell,s Palsy,
sehingga para ahli tertarik untuk menambahkan terapi antiviral seperti asiklovir sebagai
penatalaksanaan kombinasi dengan kortikosteroid. Kombinasi ini lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid saja (Ahmed, 2005).
Pemberian kortikosteroid dengan acyclovir, prednison 60 mg/ hari selama 5 hari
dilanjutkan dengan prednison 10 mg/ hari selama lima hari ditambah acyclovir sebanyak
400 mg secara oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Pemberian prednison ditambah dengan
acyclovir hasilnya lebih baik dibandingkan dengan pemberian prednison saja (Ahmed,
2005).
c. Metilkobalamin
Vitamin B12 dikenal sebagai kobalamin yang terdiri dari 3 bentuk yaitu
sianakobalamin, hidrokobalamin dan metilkobalamin. Metilkobalamin adalah bentuk
aktif dari vitamin B12 yang diperlukan sebagai nutrisi essensial untuk aktifitas esensial
untuk aktifitas normal sel-sel saraf.
Pemberian 500 g metilkobalamin secara intramuskuler 3 kali seminggu selama
paling sedikit 8 minggu secara bermakna mempercepat waktu penyembuhan sempurna
paralisis fasialis dibandingkan hanya pemberian yang hanya mendapatkan kortikosteroid
saja (Jalaludin, 1995).

3. Fisioterapi
Cara yang sering digunakan yaitu mengurut (massage) otot wajah selama 5 menit
pagi sore atau dengan faradisasi. Gerakan yang dapat dilakukan berupa tersenyum,
mengatupkan bibir, mengerutkan hidung, mengerutkan dahi, gunakan ibu jari dan
telunjuk untuk menarik sudut mulut secara manual, mengangkat alis secara manual
dengan keempat jari menutup mata. Terapi panas superficial digunakan untuk
menghilangkan pembengkakan pada jaringan. Stimulasi listrik/electrical merangsang otot
yang innervasinya terganggu, dapat dalam bentuk E-stimuli, dan akupuntur.

12
IX. Kesimpulan
Bells Palsy atau paralisis wajah yang idiopatik merupakan gambaran paralisis
otot wajah yang mendadak dan dapat sembuh sendiri yang disebabkan kerusakan nervus
VII (Fasialis). Trauma maksilofasial berpotensi untuk menyebabkan cedera saraf fasialis
oleh karena letaknya. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dengan pemberian
kortikosteroid, kortikosteroid dengan antivirus atau kortikosteroid dengan
Metilkobalamin dapat memberikan penyembuhan yang baik.

Daftar Pustaka

1. Adams, R.D and Victor M, 1989, Principles of Neurology, 4th ed, Singapore,
McGraw-Hill Book Co.
2. Ahmed A, 2005, When is Facial Paralysis Bell Palsy, Cleveland Clinic Journal of
Medicine, Volume 72
3. Greenberg, M.S and Glick, M, 2003, Burkets Oral Medicine Diagnosis and Therapy,
10th ed, New Jersey, BC Decker Inc.
4. Jalaudin MA, 1995, Methylcobalamin Treatment of Bells Palsy. Methods Find Exp
Clin Pharmacol
5. La Banc, J. P. 1997. Maxilofacial Nerves Injuries; Evaluation, Classification and
Management in Oral and Maxilofacial Trauma. 2nd edition. Fonseca, J.R. dkk. WB.
Saunders. Philadelphia.
6. Lee. E. Herman, 1997, Bells Palsy. Physical Exam. Vitals-T-98
7. Neville BW, et all. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders Company.
Philadelphia
8. Robbins, 1999, Phatologic Basis of Disease, 6th ed, WB Saunders Co.
9. Scully C, 2004, Oral and Maxillofacial Medicine, 1st ed, Elsevier Science Limited.
10. Sidharta, P. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat. Jakarta.

13
14

Anda mungkin juga menyukai