Anemia 2
Anemia 2
Pendahuluan
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebh parameter sel darah merah: konsentrasi
hb, ht, atau jumlah sel darah merah. Menurut WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah
13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Anemia merupakan tanda adanya penyakit
yang selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita
anemia.1
Anamnesis
Anemia bisa timbul dengan bermacam-macam gejala yang tersembunyi. Diantaranya adalah
mudah lelah, menurunnya toleransi olahraga, sesak napas, dan angina yang memburuk. Karena
itu perlu dilakukan anamnesis yang mendalam. Hal yang ditanyakan adalah keluhan utama
terlebih dahulu.2
Pasien wanita berusia 25 tahun ini datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3 minggu dan
wajahnya terlihat pucat. Tidak ada demam, mual, muntah, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang dapat ditanyakan antara lain mengenai gejala apa yang
dirasakan oleh pasien. Apakah pasien merasa lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa
gejala? Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap? Adakah petunjuk mengenai
penyebab anemia? Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang
konsisten dengan malabsorbsi? Adakah tanda-tanda kehilangan darah dari saluran cerna (tinja
gelap, darah per rektal, muntah butiran kopi)? Karena pasien seorang wanita, tanyakan adakah
kehilangan darah menstruasi berlebihan? Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan
penggunaan tampon serta pembalut. Adakah sumber kehilangan darah yang lain?2 Tidak ada
informasi yang lebih lengkap dari skenario. Anamnesis ini lebih menekankan pada apa kausa dari
gejala pasien tersebut.
Dapat ditanya pula mengenai riwayat penyakit dahulu. Adakah dugaan penyakit ginjal kronis
sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala yang
menunjukkan keganasan)? Adakah tanda-tanda kegagalan sumsum tulang (memar, perdarahan,
dan infeksi yang tak lazim atau rekuren)? Adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis
(misalnya ikterus, katup buatan yang diketahui bocor)? Adakah riwayat anemia sebelumnya atau
pemeriksaan penunjang seperti endoskopi gastrointestinal? Adakah disfagia (akibat lesi esofagus
yang menyebabkan anemia atau selaput pada esofagus akibat anemia defisiensi Fe)? 2 Pertanyaan-
pertanyaan mengenai riwayat penyakit dahulu ini juga mengarah pada kausa yang terjadi pada
pasien.
Selain itu, perlu untuk mengajukan pertanyaan mengenai riwayat keluarga, bepergian, dan obat-
obatan. Adakah riwayat anemia dalam keluarga? Khususnya pertimbangkan penyakit sel sabit,
talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan. Tanyakan riwayat bepergian dan
pertimbangkan kemungkinan infeksi parasit (misalnya cacing tambang dan malaria). Obat-
obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misalnya OAINS menyebabkan erosi
lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat sitotoksik). 2 Hasil dari anamnesis belum cukup
untuk menegakkan diagnosis, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran
pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang
terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah
36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36 oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC.
Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg.
Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang
normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah
16-24 kali per menit.3
Pemeriksaan selanjutnya adalah dengan melihat konjungtiva anemis dan telapak tangan apakah
pucat atau tidak. Dapat dilihat juga bagian kuku, apabila ditemukan koilonikia (kuku seperti
sendok) maka dapat dicurigai defisiensi Fe dalam waktu lama. Lihat pula keadaan pasien apakah
wajah pasien pucat atau tidak. Lihat pula apakah ada tanda-tanda 2
Lalu, dilakukan pemeriksaan fisik pada abdomen. Dilakukan pemeriksaan dimulai dari inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada inspeksi dapat dilihat apakah ada kelainan bentuk perut
seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut, striae, vena yang berdilatasi, kaput
medusa, peristaltik usus, distensi, dan hernia. Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya sikatriks
akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Pada palpasi abdomen, tanyakan
mengenai daerah yang nyeri tekan pada pasien, Kemudian cari apakah terdapat pembesaran
seperti massa atau tumor, hati, limpa, dan kandung empedu membesar atau teraba. Periksa
apakah ginjal, ballotement positif atau negatif. Kemudian dilakukan pemeriksaan perkusi pada
abdomen. Hal ini dilakukan salah satunya untuk menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar.
Auskultasi dilakukan untuk memeriksa bunyi usus dan bunyi-bunyi patologis lain.3
Pada pasien tersebut didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu konjungtiva anemis pada mata
kanan dan kiri, sklera ikterik, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan lien teraba SII. Konjungtiva
anemis menunjukkan ada tanda-tanda anemia pada pasien. Selain itu terdapat ikterus juga pada
pasien yang terlihat pada sklera. Lien normal tidak teraba. Dapat dicurigai bahwa pasien
mengalami anemia dikarenakan destruksi dari sel darah merah berlebih yang menghasilkan
bilirubin sehingga terdapat sklera ikterik. Tempat penghancuran sel darah merah yang berlebihan
tersebut di lien/limpa sehingga menyebabkan pembesaran. Oleh karena itu dapat dicurigai bahwa
pasien mengalami anemia hemolitik. Namun perlu pemeriksaan pasti apakah pasien benar
mengalami anemia atau tidak dengan melakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Penunjang
Apabila ditemukan gejala-gejala anemia, maka yang dapat diperiksa terlebih dahulu adalah kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Kadar Hb, eritrosit, dan Ht
berbeda tiap individu tergantung beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin, metoda
pemeriksaan, dan domisili. Berikut tabel nilai normal dari pemeriksaan tersebut:4
Pasien mengalami gejala ikterus. Dapat dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu jumlah
retikulosit, apusan darah, sumsum tulang, bilirubin, dan tes Coombs direk, pemeriksaan urin.
Nilai normal retikulosit adalah 0,5-2,5%. Pemeriksaan apusan darah dilakukan untuk
mengetahui kelainan morfologi dari eritrosit. Dalam pemeriksaan sumsum tulang, dilihat
aktivitas seri sel darah terutama eritrosit. Pemeriksaan bilirubin terbagi 3 yaitu bilirubin total
dengan nilai normal 0,2-1,2 mg/dL dan bilirubin direk 0-0,4 mg/dL (bilirubin indirek dihitung
dengan mengurangi jumlah bilirubin total dengan bilirubin direk. Coombs direk bertujuan
mendeteksi adanya antibodi tidak lengkap atau komplemen yang terdapat pada permukaan sel
darah merah. Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat kadar urobilinogen urin.4,5
Hasil pemeriksaan penunjang yang diketahui pada pasien adalah Hb: 9,5 g/dL yang
berarti rendah; Ht: 30% yang berarti rendah; indeks retikulosit 6% yang berarti meninggi;
Leukosit 8900/uL dalam batas normal; trombosit 230.000/uL dalam batas normal. Dalam hasil
ini didapatkan bahwa pasien mengalami anemia karena kadar Hb dan Ht yang menurun dan
indeks retikulosit yang meningkat. Karena dicurigai pasien mengalami anemia hemolitik,
pemeriksaan yang belum ada hasil yaitu bilirubin harus dilakukan. Untuk mengetahui penyebab
dari anemia itu sendiri perlu juga melihat kelainan morfologi dari apusan darah pasien sehingga
diagnosis dari pasien bisa lebih jelas terlihat. Pemeriksaan paling spesifik untuk menegakkan
diagnosis ini adalah tes Coombs, namun belum ada hasilnya.
Working Diagnosis
Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan suatu
kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek. 3
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
Diagnosis Banding
Anemia defisiensi G6PD
Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya, akan
tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik akut.
Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak
diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kern ikterus dan kerusakan saraf yang permanen.4
Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava beans,
infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise, kelemahan, dan
nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari, pasien
mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat
hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa
ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi
intravaskular. Oleh sebab itu,muncul hemoglobinuria,hemoglobinemia,LDH (Laktat
dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali.
Dari pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak
merata) dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang
merupakan ciri khas dari anemia hemolitik akut.4
Penyakit sel sabit (SCD) biasanya bermanifestasi awal di masa kecil. Untuk 6 bulan pertama
kehidupan, bayi dilindungi terutama oleh peningkatan kadar Hb F; segera setelah itu, manifestasi
klinis dapat muncul dengan jelas. Manifestasi klinis yang paling umum dari SCD adalah
krisis vaso- oklusif. Sebuah krisis vaso-oklusif terjadi ketika mikrosirkulasi terhambat oleh
eritrosit sel sabit, menyebabkan cedera iskemik pada organ dan menghasilkan rasa sakit yang.
Krisis nyeri merupakan gejala yang paling khas dari penyakit sel sabit dan merupakan penyebab
utama kunjungan gawat darurat dan rawat inap untuk pasien yang terkena. Sekitar setengah dari
individu yang mengalami krisi vaso-oklusif adalah pasien dengan HbS homozigot. Frekuensi
krisis sangat bervariasi. Beberapa memiliki sebanyak 6 atau lebih episode per tahun,
sedangkan yang lain mungkin memiliki episode hanya pada interval besar atau tidak sama sekali.
Setiap individu biasanya memiliki pola frekuensi krisis yang konsisten. Krisis nyeri mulai
dengan tiba-tiba. Krisis ini dapat berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dan
berakhir tiba-tiba pula. 3,4
Rasa sakit dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh. Nyeri ini sering melibatkan perut,
tulang, sendi, dan jaringan lunak, dan mungkin hadir sebagai dactylitis (tangan sakit dan bengkak
bilateral dan / atau kaki pada anak), nekrosis sendi akut atau nekrosis avaskular, atau akut
abdomen. Episode vaso-oklusif yang berulang dapat menyebabkan slpenomegali dan fibrosis
limpa sehingga mengancam sistim imunitas. Hepar juga dapat mengalami infark dan
berkembang menjadi serosis seiring berjalannya waktu. Nekrosis papiler ginjal adalah
manifestasi umum dari vaso-oklusi, menyebabkan isosthenuria (konsentrasi urin yang sama
sepanjang waktu. Normalnya kepekatan urin berubah seiring berubahnya asupan cairan). Rasa
sakit yang parah muncul di ekstremitas, yang melibatkan tulang panjang. Nyeri perut bisa
sangat berat, menyerupai akut abdomen, mungkin akibat dari nyeri alih dari tempat lain atau
intra-abdomen organ padat atau infark jaringan lunak.5
Wajah juga mungkin terlibat. Nyeri dapat disertai dengan demam, malaise, dan leukositosis.
Nyeri tulang ini sering disebabkan oleh infark tulang sumsum. Pola-pola tertentu dapat
diprediksi, karena rasa sakit cenderung untuk melibatkan tulang dengan sumsum tulang yang
produktif dan aktivitas sumsum tulang lokasinya berubah sesuai usia. Selama 18 bulan
pertama kehidupan, metatarsal dan metacarpals dapat terlibat, menyajikan sebagai dactylitis atau
hand-foot syndrome. 3-6
Seiring dengan pertumbuhan anak, sakit sering melibatkan tulang panjang ekstremitas, situs
yang mempertahankan aktivitas sumsum selama masa kanak- kanak. Kedekatan dengan
efusi sendi dan simpatik sesekali mengarah pada keyakinan bahwa rasa sakit melibatkan
sendi. Aktivitas sumsum surut lebih lanjut berubah selama masa remaja, sehingga nyeri lebih
melibatkan badan vertebra, terutama di daerah pinggang. 3-6
Sferositosis herediter
Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan ikterus. Ikterus dapat
terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat
peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu
empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak. 3-6
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui
perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis
ekstra meduler di para vertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto toraks. Kompensasi
sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang
dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus. Splenomegali merupakan hal yang umum
terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama terjadinya infeksi sistemik,
merangsang pembesaran limpa. 3-6
Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan
bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC
meningkat sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferodisitas dilakukan
pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. 3-6
Epidemiologi
Anemia hemolitik autoimun yang paling sering ditemukan adalah anemia hemolitik autoimun
tipe hangat (75% dari populasi anemia hemolitik autoimun). Anemia hemolitik autoimun ini juga
lebih banyak ditemukan pada wanita (65% dari kasus). Meskipun demikian, anemia hemolitik
adalah bentuk anemia yang jarang ditemukan. Jumlah kejadiannya adalah 1 kasus dari
100.000 individu. Prevalensinya meningkat pada populasi diatas 60 tahun, yaitu 10 kasus
per100.000 individu. 5
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual.2
Patofisiologi
AIHA disebabkan oleh autoantibodi langsung yang melawan antigen sel darah merah, molekul
pada permukaan sel darah merah. Autoantibodi mengikat sel darah merah. Saat sel darah merah
dikelilingi oleh antibodi, sel tersebut akan hancur dengan satu atau lebih mekanisme. Pada
kebanyakan kasus Fc portion dari antibodi akan dikenali oleh reseptor Fc makrofag, dan ini akan
menyebabkan eritrofagositosis. Jadi, destruksi sel darah merah akan berlangsung di tempat yang
makrofagnya banyak, seperti di limpa, hati, dan sumsum tulang. Karena anatomi khusus dari
limpa, yang efisien dalam menjebak sel darah merah yang dikelilingi antibodi, dan terkadang
menjadi tempat predominan untuk destruksi sel darah merah. Meskipun pada kasus berat dalam
sirkulasi monosit dapat mengambil bagian dalam proses. Kebanyakan mediator fagositosis dari
penghancuran sel darah merah mengambil tempat di organ yang disebutkan tadi, dan disebut
hemolisis ekstravaskular. Dalam kasus lain, antibodi alami (biasanya antibodi IgM) adalah
antigen-antibodi kompleks pada permukaan sel darah merah yang dapat mengaktifkan
komplemen. Hasilnya, banyak jumlah membran penyerang kompleks akan terbentuk, dan
banyak sel darah merah hancur secara langsung; dan diketahui sebagai hemolisis intravaskular.3-6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medikamentosa dan non-medikamentosa yang hanya memberi hasil yang
memuaskan pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat. Untuk anemia hemolitik autoimun tipe
dingin, belum ditemukan penatalaksanaan yang memberi hasil maksimal.
Pencegahan
Penyakit herediter, hindari pernikahan dengan keluarga dekat
Bagi penyakit yang disebabkan oleh mutasi, hindari dari keadaan yang boleh
menyebabkan mutasi seperti rokok
Transfusi darah dilakukan dengan penuh hati-hati agar tidak terjadi sembarang
inmkompatibilitas
Lakukan pemeriksaan darah bagi pembawa thalasemia dan penyakit herediter lain
sebelum menikah
Pencegahan sekunder
Prognosis
Se
telah kondisi autoimun teraktivasi, perjalanan penyakit akan menjadi kronis. Tetapi prognosis
4
masih baik dengan persentasi survival yang tinggi.
Kesimpulan
Pasien wanita berusia 25 tahun mengalami anemia hemolitik autoimun atau biasa disebut AIHA.
Hal ini dapat dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Saat
diagnosisnya tepat, penatalaksanaan dari penyakit tersebut dapat dilakukan dengan tepat pula
sehingga kondisi pasien dapat membaik.
Daftar Pustaka