Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan gizi di Indonesia hingga kini masih menjadi permasalahan yang


serius, baik gizi makro maupun gizi mikro. Masalah gizi mikro utama di
Indonesia adalah Gangguan akibat Kekurangan Iodium (GAKI), kekurangan
vitamin A, serta Anemia Defisiensi Besi (ADB). Besi adalah salah satu zat gizi
mikro yang sangat penting bagi tubuh dan defisiensi terhadap zat ini sampai
sekarang masih belum berhasil penanggulangannya. Defisiensi besi dikenal
sebagai defisiensi nutrisi paling umum di seluruh dunia. Anemia defisiensi besi
akibat defisiensi nutrisi merupakan masalah utama nutrisi yang memiliki
prevalensi paling tinggi.
Penelitian IDAI pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia
menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 20-25% dan jumlah anak yang
mengalami defisiensi besi tanpa anemia jauh lebih banyak lagi. Penelitian Dee
Pee dkk. (2002), prevalensi anemia pada bayi 3-5 bulan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur adalah 37% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 10 g/dl
dan 71% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 11 g/dl dan bayi berat badan lahir
normal dari ibu anemia mempunyai kecenderungan hampir dua kali lipat menjadi
anemia dibanding dari ibu yang tidak anemia. Diperkirakan 25-35% penduduk
Indonesia menderita anemia defisiensi besi, dengan prevalensi terbesar pada ibu
hamil dan balita. Hasil SKRT tahun 1992 mendapatkan bahwa prevalensi anemia
defisiensi besi pada anak balita di Indonesia adalah 55,5% dan sampai sekarang
terus meningkat.
Defisiensi besi pada bayi dan anak mempunyai dampak yang sangat
berbahaya. Diantaranya adalah gangguan pertumbuhan dan kerentanan terserang
penyakit, bahkan dalam waktu lama dapat terjadi penurunan kualitas otak
manusia. Komplikasi yang paling berbahaya adalah mempercepat terjadinya
kematian. Dampak lain yang secara tidak langsung juga dapat terjadi yang
berakibat besar bagi bangsa yaitu dampak pada sumber daya manusia Indonesia
sehingga manusia Indonesia nantinya banyak yang memiliki kualitas yang rendah.

1
Maka dari itu, sangatlah penting untuk mengatasi masalah defisiensi besi
dan ADB ini terutama pada anak. Diperlukan strategi yang efektif, efisien serta
menyentuh semua lapisan masyarakat. Sejauh ini fokus penanggulangan ADB
pada bayi, Balita dan anak sekolah belumlah memadai, padahal dampak negatif
yang ditimbulkan pada kelompok ini sangatlah serius karena mereka sedang
berada pada tahap tumbuh kembang. Penanganan sedini mungkin sangatlah
berarti bagi kelangsungan pembangunan karena merekalah penentu kualitas
manusia dan bangsa Indonesia ke depannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zat Besi

2.1.1 Kompartmen/Komposisi Besi dalam Tubuh


Zat besi merupakan salah satu elemen atau zat gizi mikro yang
penting bagi tubuh. Besi terdapat dalam beberapa jaringan dalam
tubuh. Dibagi dalam tiga kelompok sesuai fungsinya antara lain:
senyawa besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh, senyawa besi transport yakni senyawa besi
yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk
mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya,
dan senyawa besi cadangan yang merupakan senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang.1,2
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam
bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi
bebas akan merusak jaringan, karena mempunyai sifat seperti radikal
bebas. Besi cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologis selain
daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan
untuk kompartemen fungsional. Nilai normal dari besi cadangan ini
adalah seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Besi
cadangan ini disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Jika
tubuh membutuhkan zat besi dalam jumlah yang lebih banyak
seperti pada bayi, anak dan remaja untuk pertumbuhan sedangkan
intakenya tetap, akan menyebabkan besi cadangan ini berkurang dan
bahkan habis. Pada keadaan ini dibutuhkan penambahan zat besi
yang digunakan lewat basal. 1,2
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:

3
Tabel 1. Kebutuhan Besi Anak Balita2

2.1.2 Metabolisme Zat Besi


Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk heme dan non-heme.
Besi non-heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanan.
Besi non-heme ini terdapat dalam sayuran hijau, kacang-kacangan,
kentang dan sebagian dalam makanan hewani. Sedangkan besi heme
hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara lain daging,
ikan, ayam, hati dan organ-organ lain. Zat besi dalam tubuh perlu
dijaga keseimbangannya agar tidak terjadi anemia.1
Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak
semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu
sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel-sel darah merah tua,
yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan lagi
oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah baru.
Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran sel-sel darah merah tua yang
dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air
kencing. Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai
kehilangan basal (iron basal losses). 1,2
Penyerapan besi dalam bentuk heme (90% dari makanan)
besinya harus diubah dulu dalam bentuk yang mudah diserap,
sedangkan bentuk non-heme (10% dari makanan) besinya dapat
langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh,
asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi.1,2,3
Dalam penyerapan besi ada faktor-faktor yang
memepengaruhinya. Faktor tersebut ada yang besifat menghambat

4
dan ada yang mempermudah penyerapan. Faktor yang
mempermudah penyerapan besi adalah meat factors, vitamin C,
dan asam klorida di lambung. Sedangkan faktor penghambat adalah
fosfat yang berlebih, tanat, fitat, serat (fibre) terganggunya fungsi
usus, dan infeksi. 1,2
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas
melalui proses yang kompleks.1 Tahapan penyerapan besi tersebut
yaitu besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk
Fe3+ atau mula-mula mengalami proses pencernaan. Di dalam
lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi
menjadi FE3+. Selanjutnya Fe3+ berikatan dengan apoferitin yang
kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+ ke
dalam plasma darah. Di dalam plasma, Fe 2+ dioksidasi menjadi Fe3+
dan berikatan dengan transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+ ke
dalam sumsum tulang untuk bergabung membentuk hemoglobin.
Besi dalam plasma berada dalam keseimbangan. Transferrin
mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam tubuh
(hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin
membentuk ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat
pada plasma seimbang dengan bentuk yang disimpan. 2
Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan
bertambah tuanya umur bayi. Perubahan ini terjadi lebih cepat pada
bayi yang lahir prematur dari pada bayi yang lahir cukup bulan.
Jumlah zat besi akan terus berkurang apabila susu diencerkan
dengan air untuk diberikan kepada bayi. 2
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi
absorbsinya paling tinggi. Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat
diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan susu sapi hanya dapat diabsorbsi
sebanyak 10-12% zat besi. Kebanyakan susu formula untuk bayi

5
yang terbuat dari susu sapi difortifikasikan dengan zat besi. Rata-rata
besi yang dapat diabsorbsi dari susu formula adalah 4%. 2
Pada waktu lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/kg
berat badan, dan cadangan zat besi kira-kira 25% dari jumlah ini.
Pada umur 6-8 tahun, terjadi penurunan kadar Hb dari yang tertinggi
pada waktu lahir menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena ada
perubahan besar pada sistem erotropoiesis sebagai respon terhadap
penghantaran oksigen yang bertambah banyak kepada jaringan.
Kadar Hb menurun sebagai akibat dari penggantian sel-sel darah
merah yang diproduksi sebelum lahir dengan sel-sel darah merah
baru yang diproduksi sendiri oleh bayi. Persentase zat besi yang
dapat diabsorbsi pada umur ini rendah karena masih banyaknya
cadangan zat besi dalam tubuh yang dibawa sejak lahir. Sesudah
umur tersebut sistem eritropoesis berjalan normal dan menjadi lebih
efektif. Kadar Hb naik dari terendah 11 mg/100 ml menjadi 12,5
g/100 ml, pada bulan-bulan terakhir masa kehidupan bayi. 1,2,3
Bayi yang lahir BBLR mempunyai cadangan zat besi yang
lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan
cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi
ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga cadangan
zat besi lebih cepat habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada
bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat
makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan
kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal. 2,3
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak umumnya disebabkan
karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara
yang sedang berkembang. Faktor budaya juga berperanan penting,
bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan
hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat kesempatan yang
belakangan. Selain itu zat lain yang biasanya terdapat dalam
makanannya turut pula menghambat absorbsi zat besi.2,3

6
2.1.3 Absorpsi Zat Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam
usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan
proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum
dan jejunum proximal karena struktur epitelnya yang memungkinkan
untuk hal itu.1,2,3 Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase, yaitu:

1. Fase luminal
Pada fase ini, besi dalam makanan (heme ataupun non-heme)
diolah dalam lambung, dan karena pengaruh asam lambung maka
besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain, kemudian
terjadi reduksi dari besi bentuk ferri ke ferro yang kemudian siap
diserap dalam duodenum.1,2

2. Fase mukosal
Fase penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu
proses aktif, yang terutama terjadi melalui mukosa duodenum dan
jejunum proximal. 1,2

3. Fase korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan (storage) besi
oleh tubuh. Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus),
melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus,
kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferrin. Transferrin akan melepaskan besi pada sel RES
melalui proses pinositosis. 1,2
Banyaknya absorpsi besi dalam tubuh tergantung pada beberapa hal
berikut:1
1. Jumlah kandungan besi dalam makanan.
2. Jenis besi dalam makanan (heme atau non-heme)
3. Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan.
4. Jumlah cadangan besi dalam tubuh.
5. Kecepatan eritropoiesis.

7
2.1.4 Siklus Besi dalam Tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan siklus yang tertutup yang
diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan
besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus tiap hari
berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama
melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferrin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam
sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan
eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang akan beredar
melalui sirkulasi memerlukan besi sebanyak 17 mg, sedangkan besi
sebesar 7 mg akan dikembalikan ke marofag terjadinya hemolysis
Intramedular. Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah
mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag
sumsum tulang sebesar 17 mg sehingga dapat dilihat sebagai suatu
closed circuit yang sangat efisien, seperti yang tampak pada gambar
1.1

Gambar 1. Siklus Besi dalam Tubuh4

2.2 Anemia Defisiensi Besi pada Anak

2.2.1 Batasan Anemia Defisiensi Besi

8
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang, yang pada akhirnya
menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini
ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum yang
menurun, TIBC (total iron binding capacity) yang meningkat,
penurunan saturasi transferrin, ferritin serum yang menurun,
pengecatan besi sumsum tulang yang negative dan adanya respon
pengobatan dengan preparat besi.1,2
Anemia sendiri secara umum didefinisikan sebagai suatu
keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah
daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. 1
Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang
terlihat di dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2. Batas normal Kadar Hb Menurut umur5

2.2.2 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada Anak


Anemia defisiensi besi sampai saat ini masih merupakan masalah
nutrisi di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan
diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari
setengah menderita ADB.5 WHO (1968) menyatakan ADB pada bayi
dan anak di negara sedang berkembang dihubungkan dengan
kemiskinan, malnutrisi, infeksi malaria, infestasi cacing tambang,
HIV, defisiensi vitamin A dan asam folat. 3,5 Penelitian pada 1984
mendapatkan prevalensi anemia didaerah miskin di Jakarta, pada
anak umur 6 bulan sampai 14 tahun adalah 77%, dengan insiden

9
tertinggi pada golongan umur 13 tahun dan semakin meningkat
dengan memburuknya keadaan gizi.4 Berdasarkan penelitian di
Indonesia (SKRT 1992), prevalensi ADB pada anak balita adalah
55.5%.5 Helen Keller International (HKI/GOI) Nutrition
Surveillance System (NSS) pada Jan-Maret 1999 dan AprilMei
1999 diperoleh prevalensi ADB di bawah lima tahun yang awalnya
40% (SKRT 1995) meningkat menjadi 5085%.5 Penelitian oleh
IDAI pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia
menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 2025% dan jumlah anak
yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia jauh lebih banyak
lagi.5 Penelitian Dee Pee dkk. pada 2002, mendapatkan prevalensi
anemia pada bayi 35 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur adalah 37% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 10 g/dl dan
71% pada bayi dengan kadar Hb di bawah 11 g/dl dan bayi berat
badan lahir normal dari ibu anemia mempunyai kecenderungan
hampir dua kali lipat menjadi anemia dibanding dari ibu yang tidak
anemia.5

2.2.3 Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Terjadinya anemia defisiensi besi ditentukan oleh kemampuan
absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang.1-5 Penyebab kekurangan besi,
antara lain:

1. Kebutuhan yang meningkat


a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun
pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat,
sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi
umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat di banding
saat lahir.2
b. Menstruasi2

10
2. Kurangnya besi yang diserap2,5
a. Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup, misalnya
pada:
- Bayi berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar.
- Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi
yang berat.
- Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum
persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan
retroplasesta.

b. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat1,2,3


Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat adalah salah
satu penyebab yang paling sering ditemukan. Seorang bayi
pada tahun 1 pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan
menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama
(0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI ekslusif jarang
menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini
disebabkan besi yang terkandung di dalam ASI lebih mudah
diserap dibandingkan besi yang terkandung dalam susu
formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi
bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat
diabsorbsi.
c. Malabsorbsi besi1,2,6
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang
mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan
fungsional (misalnya: diare menahun, sindrom malabsorpsi).
Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau
total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya
jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian

11
atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non-
heme. Disamping itu, pola konsumsi bahan makanan yang
banyak mengandung penghambat absorpsi zat besi seperti
menu makanan yang hanya terdiri dari sumber karbohidrat
seperti nasi, umbi-umbian atau kacang-kacangan seperti
kedelai dan teh yang mengandung tannin, jika dikonsumsi
bersama- sama pada saat makan akan mengurangi penyerapan
zat besi sampai 50%. Pada umumnya zat besi pada sayur--
sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan buah-buahan
penyerapan zat besinya termasuk rendah hanya 5%.
3.
Perdarahan1,2,6
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi
keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi)
dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan
dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enterophaty,
ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
indometasin, obat anti inflamasi non-steroid), polyposis rektum
maupun divertikel merkel dan infestasi cacing (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah
submukosa usus.
4.
Transfusi feto-maternal5,6
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan
meneybabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa
neonatus.

5.
Hemoglobinuria2

12
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup
jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria
(PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari
6.
Iatrogenic blood loss2
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB.
7.
Idiopathic pulmonary hemosiderosis2
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit yang ditandai perdarahan
paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru
yang hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb
menurun drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
8.
Latihan yang berlebihan2
Pada atlet yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam,
sekitar 40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar
feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak
tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus
selama latihan terjadi pada 50% pelari. 2,4

2.2.4 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi


Zat besi diperlukan untuk hemopoesis dan juga diperlukan oleh
berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat
dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektron (sitokrom)
untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi
zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asimptomatik)
sehingga anemia pada anak dan balita sukar untuk dideteksi.1,2,3
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan
negatif yang berlangsung lama. Bila menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang.1,2,3
Tahap defisiensi besi adalah sebagai berikut: 1,2,3

1. Tahap Pertama (Iron depleted state)

13
Tahap ini disebuta iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada
keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non-heme. Feritin
serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.

2. Tahap Kedua (iron deficiency erythropoietin)


Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficiency
erythropoietin atau iron limited erythropoeisis didapatkan suplai
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari
pemerikasaan laboratorium diperoleh nilai besi serum dan saturasi
transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.

3. Tahap Ketiga (iron deficiency anemia)


Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia.
Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang
tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari
gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik
yang progresif. Pada tahap ini terjadi perubahan epitel terutama
pada ADB yang lebih lanjut, yang dapat menimbulkan gejala pada
kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

Tabel 3. Urutan tahapan Defisiensi Besi3

2.2.5 Gejala Anemia Defisiensi Besi

14
Secara umum, gejala ADB dapat digolongkan menjadi 3 golongan
besar, yaitu:1
1. Gejala umum Anemia
Disebut juga sindrom anemia, biasanya terjadi bila kadar Hb
turun di bawah 7-8 g/dl. Gejalanya berupa: lemah, lesu, cepat
lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
ADB, penurunan Hb umumnya terjadi secara perlahan sehingga
sering kali gejala ini tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan
jenis anemia lain yang penurunan kadar Hbnya berlangsung
cepat.

2. Gejala khas akibat defisiensi besi


a. Koilonychia (kuku sendok), berupa kuku yang menjadi rapuh,
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip
dengan sendok.

Gambar 2. Koilonychia
b. Atrofi papil lidah, sehingga permukaan lidah menjadi licin dan
tampak mengkilap.
c. Stomatitis angularis, adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna keputihan

15
Gambar 2. Atrofi papil lidan dan Stomatitis angularispada pasien ADB

d. Dysphagia, nyeri menelan akibat kerusakan epitel hipofaring.


e. Atrofi mukosa gaster.
3. Gejala penyakit dasar
Beberapa gejala penyakit penyebab yang tampak pada ADB,
misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai
dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami.

2.2.6 Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Anak


1. Terhadap Kekebalan Tubuh
Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan
kerawanan terhadap penyakit infeksi. Seseorang yang menderita
defisiensi besi (terutama balita) lebih mudah terserang
mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat
dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme
kekebalan tubuh yang penting untuk menahan masuknya penyakit
infeksi. Meskipun telah banyak publikasi yang mengatakan
bahwa kekurangan besi menimbulkan konsekuensi fungsional
pada sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak semua peneliti
mencapai kesepakatan tentang kesimpulan terhadap abnormalitas
pada fungsi kekebalan spesifik. Laporan klinis yang pertama-tama
dilaporkan pada tahun 1928 oleh Mackay (dikutip oleh Arlinda)
mengatakan bahwa bayi-bayi dari keluarga-keluarga miskin di
London yang menderita bronchitis dan gastroenteritis menjadi

16
berkurang setelah mereka mendapat terapi zat besi. Lebih lanjut
di Alaska, penyakit diare dan saluran pernafasan lebih umum
ditemui pada orang-orang eskimo dan orang-orang asli yang
menderita defisiensi besi. Meningitis lebih sering berakibat fatal
pada anak-anak dengan kadar hemoglobin di atas 10,1 g/dl. 2,5

a. Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap
merupakan pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini
dapat didemonstrasikan pada manusia. Pada manusia
kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada orang-orang
yang menderita defisiensi besi. Nalder dkk mempelajari
pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa antibodi pada tikus-
tikus dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat besi dalam
diit. Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun
sesudah imunisasi dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini
secara proporsional sesuai dengan penurunan jumlah zat besi
dalam diit. Penurunan titer antibodi tampak lebih erat
hubungannya dengan indikator konsumsi zat besi, daripada
dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar besi dalam
serum atau feritin, atau berat badan. 2,5

b. Imunitas cell mediated


Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien
defisiensi besi terhadap berbagai mitogen dan antigen
merupakan topik hangat yang saling kontraversial. Bhaskaram
dan Reddy menemukan bahwa terdapat reduksi yang nyata
jumlah sel T pada 9 anak yang menderita defisiensi besi.
Sesudah pemberian Suplemen besi selama empat minggu,
jumlah sel T naik bermakna. Srikanti dkk membagi 88 anak
menjadi empat kelompok menurut kadar hemoglobin yaitu
defisiensi besi berat (Hb<8,0 g/dl). Pada anak yang defisiensi
besi sedang (Hb antara 8,0 - 10,0 g/dl), defisiensi ringan (Hb
antara 10,1 - 12,0 g/dl), dan normal (Hb > 12 g/dl). Pada anak

17
yang defisiensi berat dan sedang terjadi depresi respons
terhadap PHA oleh limfosit, sedangkan pada kelompok
defisiensi ringan dan normal tidak menunjukkan hal serupa.
Keadaan ini diperbaiki dengan terapi besi. 2,5

c. Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah
aktivitas fungsional sel fagositosis. Defisiensi besi dapat
mengganggu sintesa asam nukleat mekanisme seluler yang
membutuhkan metaloenzim yang mengandung Fe. Schrimshaw
melaporkan bahwa sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang
besi mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi
(3H) thymidin menjadi DNA menurun. Kerusakan ini dapat
dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai tambahan, kurang
tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan
kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun. Anak-anak yang
menderita defisiensi besi menyebabkan persentase limfosit T
menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi
besi. Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam
respons terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga
menurun. Semuanya ini dapat kembali normal setelah diberikan
suplemen besi. 2,5

2. Terhadap TumbuhKembang Otak


Pertumbuhan dan perkembangan sel otak sangat cepat dan sangat
sensitif terhadap perubahan status besi. Otak menyerap besi dari
plasma melalui reseptor transferin (Tf receptor) yang terdapat
pada sel endotel pembuluh darah otak. Sawar darah otak
merupakan titik regulasi efektif terhadap pergerakan besi dari
plasma ke cairan serebrospinal di samping pleksus khoroidalis
yang merupakan sumber pergerakan besi ke dalam dan keluar
otak. Perbedaan pengaturan dan pengambilan serta distribusi zat
besi tergantung pada jumlah reseptor transferin, divalent metal

18
transporter (DMT1), eksporter besi seluler (feroportin, MTP1). Di
dalam otak, besi ditemukan dalam bentuk ferritin dan distribusi
tidak merata sesuai pada fungsi masing-masing area otak.
Konsentrasi besi yang tinggi didapat di oligodendrosit, globus
pallidus, nucleus caudatus, putamen, substantia nigra.2,5 Terdapat
3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif pada
ADB yaitu: 2,5
1. Gangguan pembentukan myelin
Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat
berlangsung baik bila oligodendrosit mengalami kekurangan
besi. Oligodendrosit merupakan sel yang memproduksi myelin
dari kolesterol dan lipid. Mielinisasi mulai pada prenatal,
maksimum antara trimester 3 dan 2 tahun paska natal dan
selesai pada usia 10 tahun. Mielin ini penting untuk kecepatan
penghantaran rangsang.

2. Gangguan metabolisme neurotransmitter


Hal ini terjadi karena gangguan sintesa tryptophan hydroxylase
(serotonin), tyrosine hydroxylase (nor-epinephrine), Dopamine
(DA). Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan,
daya ingatan, motivasi, dan kontrol motorik.

3. Gangguan metabolisme energi protein


Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotide reductase yang penting untuk fungsi dan
metabolisme lemak dan energi otak. Defisiensi besi yang
terjadi pada masa kritis dalam perkembangan otak akan
mengakibatkan kerusakan yang menetap dan mengakibatkan
gejala sisa seperti perkembangan yang terlambat.

Gangguan pada pertumbuhan otak salah satu akibatnya


dapat mengganggu funsi kognitif. Kognitif dalam ilmu psikologi
didefinisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan
mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang

19
memperoleh pengertian. Kemampuan berkonsentrasi terhadap
suatu rangsang dari luar, memecahkan masalah, mengingat atau
memanggil kembali dari memorinya suatu kejadian yang telah
lalu, memahami lingkungan fisik dan sosial termasuk dirinya
sendiri.2,5
Proses belajar mengajar di sekolah pada dasarnya
berlangsung demi meningkatkan makna kehidupan manusia.
Bukti penelitian menyokong bahwa besi memegang peranan
penting dalam perkembangan sistem saraf pusat. Bila terjadi
deplesi besi selama proses perkembangan susunan saraf terutama
pada masa bayi akan mengakibatkan gangguan kognitif yaitu
kontrol motorik, memori, dan perhatian, rendahnya prestasi
sekolah, meningkatnya problem tingkah laku dan disiplin.2,5
Tamura dkk. menemukan bayi yang lahir dengan kadar
ferritin tali pusat rendah diperoleh test neurodevelopment, fungsi
mental, dan psikomotor pada usia 5 tahun hasilnya buruk.2,5
Lozoff (1991) pada penelitian kohort, menyatakan bahwa
defisiensi besi yang berat dan lama pada masa bayi menyebabkan
perkembangan kognitif dan motorik yang lambat pada usia 5
tahun. Dalam pemantauan selanjutnya pada anak ditemukan
fungsi kognitif yang buruk dan rendahnya prestasi sekolah, anak
cenderung merasa cemas, memiliki ganguan perhatian. Walaupun
anemia dapat dikoreksi dengan pemberian besi tetapi nilai tes
perkembangan motorik dan mental tidak dapat dikoreksi.2,5
Penelitian Halterman di Amerika Serikat, mendapatkan
nilai rata-rata matematika pada anak yang menderita anemia
defisiensi besi lebih rendah dibanding anak tanpa anemia
defisiensi besi. Penelitian Bidasari dkk., di daerah perkebunan
Aek Nabara bekerjasama dengan Fakultas Psikologi USU (2006)
pada anak usia 714 tahun yang menderita anemia defisiensi besi
diperoleh Full IQ tidak melebihi rata-rata dengan gangguan

20
pemusatan perhatian dan fungsi kognitif terutama dalam bidang
aritmatika. 2,5

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang pada Anemia Defisiensi Besi


Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai pada kasus anemia
defisiensi besi antara lain:1,3

1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit


Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan
kadar Hb ringan hingga berat. Penurunan MCV, MCHC, MCH.
Khusus pada ADB, MCV < 70. Anisositosis yang ditandai dengan
peningkatan RDW (red cell distribution width). Indeks eritrosit
mulai mengalami perubahan sebelum kadar Hb menurun. Apusan
darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil dan kadang sel target. Leukosit
dan trombosit normal, retikulosit rendah dibandingkan dengan
derajat anemia.

Gambar 3. Apusan darah tepi pasien ADB, tampak sel pensil (kepala anak
panah)7
2. Kadar besi menurun < 50mg/dl, TIBC meningkat > 350 mg/dl,
dan saturasi transferrin < 15%.
3. Kadar serum ferritin <20 g/dl. Jika terdapat inflamasi maka
ferritin serum sampai dengan 60 g/dl masih menunjukkan
adanya defisiensi besi.

21
Gambar 2. Indikator pemeriksaan untuk ADB3
4. Pada sarana dengan advance lab, dapat diperiksa reseptor
transferrin yang kadarnya meningkat pada ADB, tapi normal pada
anemia on chronic disease maupun thalassemia.
5. Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik dengan
mikronormoblast yang dominan.
6. Pengecatan besi sumsum tulang dengan perl`s stain menunjukkan
cadangan besi (butir hemosiderin) yang negatif.
7. Perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk mencari etiologi ADB,
antara lain: pemeriksaan feses untuk cacing tambang,
pemeriksaan darah samar dalam feses, barium intake atau inloop
maupun endoskopi sesuai dengan arah kecurigaan etiologi ADB
tersebut.

2.2.8 Diagnosis Anemia Defisiensi Besi


Untuk menegakkan diagnosis ADB harus dilakukan anamnesis yang
cermat terhadap kemungkinan etiologinya, dan juga pemeriksaan
fisik yang teliti guna mengetahui adanya gejala-gejala khas ADB
pada pasien, disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara
laboratorik, untuk menegakkan diagnosis ADB dapat dipakai
modifikasi dari kriteria Kerlin et al sebagai berikut: Anemia
hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl
dan MCHC < 31% dengan salah satu dari a, b, c atau d.1

a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:


Besi serum <50 mg/dl
TIBC > 350 mg/dl

22
Saturasi transferrin < 15%
b. Ferritin serum < 20 g/dl
c. Pengecatan sumsum tulang dengan pearl`s stain menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) yang negatif.
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 mg/kg/hari (atau preparat besi
lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar
hemoglobin lebih dari 2g/dl.

2.2.9 Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi


ADB perlu dibedakan dengan jenis anemia hipokromik lainnya,
seperti:1

1. Anemia akibat penyakit kronik (Anemia on chronic disease/ACD)


2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik.
Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat
secara lebih jelas pada tabel berikut.
Tabel 4. Diagnosis Banding ADB1

Parameter ADB ACD Thalassemia Anemia


sideroblastik
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun
Iron serum Menurun Menurun Normal Normal
TIBC Meningkat Menurun Normal Normal
Saturasi Menurun Menurun/N Meningkat Meningkat
transferrin < 15% 10-20% > 20% > 20%
Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat (+) dengan ring
tulang sideroblastik
Protophorphy Meningkat Meningkat Normal Normal
rin eritrosit
Ferritin serum Menurun Normal Meningkat Meningkat
level < 20 g/dl 20-200 g/dl
Elektroforesis Normal Normal Hb.A2 Normal
hemoglobin Meningkat

23
2.2.10 Terapi Anemia Defisiensi Besi
Preparat besi per oral yang dianjurkan adalah Sulfas ferous 4-6
mg/kgbb/hari. Hasil pengobatan terlihat dari kenaikan hitung
retikulosit dan kenaikan kadar Hb 2 g/dl atau lebih setelah 1 bulan.
Bila ditemukan respon terapi dilanjutkan 2-3 bulan. Disamping itu
dapat juga diberikan preparat besi parenteral yaitu iron dextran
(mengandung 50 mg Fe/ml) dapat diberikan setiap kali suntik 1ml
setiap 2-3 hari, diberikan bila pemberian peroral tidak tidak berhasil.
Tranfusi darah hanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 4 g % dan
disertai dengan keadaan umum yang berat seperti gagal jantung dan
bronkopneumonia.9

2.2.11 Respon Terapi Anemia Defisiensi Besi


Terapi besi (therapeutic trial): respon pemberian preparat besi
dengan dosis 3 mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah
retikulosit antara 5-10 hari diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1g/dl
atau hematokrit meningkat 3% setelah 1 bulan menyokong anemia
defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi hematokrit dinilai
kembali untuk menilai keberhasilan terapi.9

2.2.12 Pencegahan Anemia Defisiensi Besi pada Anak


Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi
sejak
awal kehidupan yaitu:1,2,5-7
1. Konseling pada ibu maupun keluarga terdekat, untuk membantu
memilih bahan makanan dengan kadar besi yang cukup secara
rutin sejak masa bayi hingga usia remaja.
2. Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif.
3. Bila ASI tidak ada, beri PASI yang sudah diberi fortifikasi besi.
Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan
dengan risiko terjadinya perdarahan saluran cerna yang tersamar
pada beberapa bayi.

24
4. Memberi makanan PASI mulai 6 bulan yang kaya zat besi atau
sudah difortifikasi.
5. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging,
ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang
mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk meningkatkan
absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh,
es teh, minuman ringan yang mengandung karbonat dan minum
susu pada saat makan.
6. Suplementasi besi. Merupakan cara menanggulangi ADB di
daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi
pada bayi cukup bulan mulai usia 6 bulan, dosis 1 mg/KgBB/hari,
pada bayi BBLR dimulai sejak usia 4 bulan, untuk BBL < 1000
gram diberi 4 mg/KbBB/hari, BBL 10001500 gram memerlukan
3 mg/KgBB/hari, BBL 15002000 gram memerlukan 2
mg/KgBB/hari. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya
suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, minuman
ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang
mengandung phosphate dan kalsium.
7. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih
merupakan pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi. Skrining
anemia pada bayi normal dan cukup bulan dimulai pada usia
antara 912, dilanjut 6 bulan kemudian dan setiap tahun antara
usia 2 sampai 5 tahun. Untuk bayi BBLR atau bayi kurang bulan
skrining dimulai sebelum usia 6 bulan.

25
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 . Identitas Pasien


Nama : PJKP
Tanggal Lahir : 23 Januari 2014
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sanur, Denpasar
Agama : Hindu
Suku : Bali
Pendidikan : Belum Sekolah
Tanggal MRS : 25 Februari 2015 (pukul 13.20 wita)
Tanggal Pemeriksaan : 28 Februari 2015
No RM : 14.07.23.78

3.2. Heteroanamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama : Pucat
Pasien merupakan rujukan dari RSU Dharma Yadnya dengan diagnosis
observasi hemoptoe + anemia gravis. Pasien diantar oleh kedua orang tuanya.
Pucat dikeluhkan orang tua dan tetangga sejak satu bulan sebelum masuk rumah
sakit dan dikeluhkan sering sakit terutama batuk sejak 3 bulan terakhir. Pucat
dikatakan baru disadari setelah tetangga pasien melihat warna kulit pasien yang
nampak pucat. Pasien dikeluhkan pucat terutama di bagian wajah dan telapak
tangannya. Batuk yang pasien alami kadang disertai bercak darah saat batuk yang
cukup keras namun dengan jumlah sedikit. Saat dibawa ke rumah sakit, pasien
sudah tidak batuk lagi.
Pasien juga dikatakan lemas, rewel, dan mudah marah sejak kurang lebih 1
bulan yang lalu. Lemas dikatakan membuat pasien lebih banyak diam. Pasien
menjadi malas bermain maupun bercanda seperti biasanya. Keluhan dikatakan
tidak membaik walaupun pasien telah makan maupun istirahat.

26
Nafsu makan pasien juga dikatakan menurun sejak kurang lebih 2 bulan
yang lalu. Pasien dalam kesehariannya minum ASI kurang lebih 12x/hari dengan
bubur beras. Pasien jarang memakan daging, telur, sayur-sayuran hijau dan buah-
buahan. Pasien juga dikatakan sejak sebulan terakhir makan tanah dan sabun.
Keluhan demam, batuk, serta pilek disangkal. Riwayat kuning disangkal
oleh orang tua pasien. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan normal. BAK
pasien dikatakan berwarna jernih kekuningan. BAB pasien dikatakan dengan
konsistensi padat berwarna kekuningan. Riwayat BAB kehitaman dan keluar
cacing disangkal orang tua pasien.

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien sering
sakit semenjak 3 bulan lalu, keluhan berupa demam dengan suhu 390C namun
turun dengan penurun panas. Riwayat alergi, penyakit jantung, kelainan darah,
dan asma disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien sempat diperiksa dan dilakukan pengecekan darah lengkap serta foto
rontgen thoraks di RSU Dharma Yadnya. Di sana pasien disarankan untuk
mendapatkan transfusi darah karena anemia sehingga dirujuk ke RSUP Sanglah.

Riwayat Keluarga
Dikatakan tidak ada keluarga yang menderita penyakit atau gejala-gejala yang
sama dengan penderita, baik itu dari pihak bapak ataupun dari pihak ibu. Ini
merupakan kejadian yang pertama kali ditemukan dalam keluarga tersebut.
Riwayat sakit jantung, kencing manis, asma, dan tekanan darah tinggi ataupun
sakit lainnya disangkal oleh keluarga.

Riwayat selama hamil


Selama mengandung penderita, orangtuanya mengatakan tidak pernah ada
masalah dengan kandungannya. Orang tua penderita secara rutin sering
memeriksakan kandungannya di rumah sakit. Usia kehamilan sampai 39-40

27
minggu. Selama mengandung ibu tidak pernah mengkonsumsi jamu-jamuan
ataupun obat-obatan secara sembarangan.

Riwayat kelahiran
Penderita merupakan anak pertama. Penderita lahir secara normal dibantu bidan.
Berat badan lahir 3200 gram dan panjang badan saat lahir yaitu 52 cm. Pada saat
lahir dikatakan tidak ada komplikasi apapun.

Riwayat nutrisi
ASI : 0 12 bulan
Bubur Susu : 6 bulan 8 bulan
Bubur nasi : 6 bulan -12 bulan

Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
DPT : 3x
Polio : 4x
Hepatitis B : 4x
Campak 1x

Riwayat tumbuh kembang


Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalik badan : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 11 bulan
Kesan normal

Riwayat Sosial
Pasien adalah anak pertama. Pasien merupakan anak yang aktif.

28
3.3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 140 x/menit, reguler
Respirasi : 40 x/menit, reguler.
Temperatur Axial : 36,50C
Berat Badan : 8,3 kg
Panjang Badan : 72 cm
Berat Badan Ideal : 8,8 kg
Lingkar Kepala : 41 cm
Status gizi
Waterlow : 94 % (gizi baik)

Status General :
Kepala : Normocephali (LK=41), rambut hitam tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva pucat +/+, ikterus -/-, refleks Pupil +/+ isokor, cowong
-/-, edema palpebra -/-.
THT : Nafas cuping hidung (-), sianosis (-), epistaksis (-), perdarahan gusi
(-), mukosa bibir pucat (+),
Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar (-).
Thorak :
I : Simetris saat statis maupun dinamis (+/+), retraksi (-), besar (kesan
Normal).
P : Vokal fremitus normal.
P : Sonor/sonor
A : Cor : S1 S2 N regular murmur (-)
Po : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-.
Abdomen :
I : cembung
A : Bisisng usus (+) menurun.
P : Timpani (+)

29
P : hepar just palpable dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), turgor
kembali cepat
Extremitas :
Akral hangat ++/++
Edema --/--
Capillary refill time 2 detik
Refleks Patologis : refleks babinski -/-, kernig -/-, brudzinki I -/-, brudzinki
II -/-

3.4 . Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Hematologi rutin
Parameter 25/2/2015 Remark Nilai Normal
3
WBC (x 10 /uL) 13,95 6,0 14,0
Neutrophil (%) 43,10 18,5 47,5
Limfosit (%) 47,6 30,0 64,3
Monosit (%) 3,20 0,00 7,10
Eosinofil (%) 1,40 0,00 5,00
Basophil (%) 0,10 0,00 1,50
Neutrofil (#) 6,01 1,10 6,80
Limfosit (#) 6,63 1,80 9,00
Monosit (#) 0,44 0,00 1,20
Eosinofil (#) 0,20 0.00 0,70
Basofil (#) 0,01 0,00 0,15
RBC (x 103/uL) 2,33 Rendah 4,10 5,30
HGB (g/dl) 3,30 Rendah 12,0 16,0
HCT (%) 15,40 Rendah 36,0 49,0
MCV (fl) 66,10 Rendah 78,0 102,0

30
MCH (pg) 14,30 Rendah 25,0 35,0
MCHC (g/dl) 21,60 Rendah 31,0 36,0
RDW (%) 15,70 11,6 18,7
PLT (x 103/uL) 479 Tinggi 140 440
RETIC (%) 2,00 0,50 2,50
RETIC (x 109/L) 46,50 22 139

Hapusan Darah Tepi (25/2/2012)


Eritrosit : hipokromik mikrositer, anisopoikilositosis (sel
ovalosit, sel target).
Leukosit : kesan jumlah normal, diferensiasi normal, sel muda
(-).
- Thrombosit : kesan jumlah sedikit meningkat, giant trombosit
(-).
Kesan : anemia hipokromik, reaktif trombositosis.

Kimia Klinik
Parameter 26/02/2015 Remark Nilai Normal
Serum Iron 11,90 Rendah 40-100
(g/dL)
TIBC (g/dL) 533 Tinggi 100-400

Imunologi
Parameter 27/02/2015 Remark Nilai Normal
Feritin (ng/mL) 11,82 Rendah 13-150

31
Radiologi (25/2/2015)
Thorax foto

Foto Thorax AP
Cor : besar dan ukuran normal (CTR : 54%)
Pulmo : Corakan bronkovaskuler normal
Sinus pleura kanan dan kiri tajam
Diafragma kanan dan kiri normal
Tulang-tulang tidak tampak kelainan
Kesan : Cor dan Pulmo dalam keadaan normal.

3.5. Diagnosis Klinis


Anemia Hipokromik Mikrositer et causa Suspek Anemia Defisiensi Besi dd/
Penyakit Kronis + Gizi Baik

3.6 Penatalaksanaan Saat Masuk Rumah Sakit

32
Kebutuhan cairan 830 cc/hari
Pasien mampu minum ASI on demand
Kebutuhan kalori 830 kkal/hari
Kebutuhan protein 16,6 gram/hari
Persiapan transfusi PRC dengan Hb target 10 g/dl

3.7 Planning Monitoring :


Vital Sign
Keluhan

3.8 Laporan Perkembangan Penderita


Tanggal Perkembangan Harian Terapi

26/02/2015 S : Demam (-), batuk (-), pucat (+), gerak aktif (+), Tx
BAB/BAK (+). Kebutuhan
O : cairan
St. present 830cc/hari ~
mampu
Kesadaran : Compos Mentis minum
seluruhnya
Nadi : 124x/menit, isi cukup, reguler (ASI on
demand)
RR: 32x/menit Kebutuhan
kalori 830
Tax: 36,5 0C kkal/hari
Kebutuhan
St. general protein 16,6
gram/hari
Kepala : Normocephali Transfusi PRC
dengan Hb
Mata : An (+/+),ikt (-/-), edema palpebra (-), target 10 g/dl
cowong (-/-) (profilaksis
furosemid 5
THT : NCH (-), sekret (-), faring hiperemis (-) mg iv
sebelum
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) transfusi)
I = 25 cc
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) (selang 24
jam)
Po : broncovesikuler +/+, wh -/-, rh-/- II = 45 cc
III= 60 cc
Abd : Distensi (-), NT (-), BU (+) normal IV = 80 cc
Mx
Ext : Hangat (++/++), edema (--/--) Vital sign
Ass Pdx
: - DL post
Anemia Berat Hipokromik Mikrositer ec Suspek

33
Anemia Defisiensi Besi, DD/ Anemia Penyakit transfusi
Kronis + Gizi Baik
27/02/2015 S : Demam (-), batuk (-), pucat (+), gerak aktif (+), Tx
BAB/BAK (+). Kebutuhan
cairan
St. present 830cc/hari ~
O : mampu
Kesadaran : Compos Mentis minum
seluruhnya
Nadi : 124x/menit, isi cukup, reguler (ASI on
demand)
RR: 30x/menit Kebutuhan
kalori 830
Tax: 36,5 0C kkal/hari
Kebutuhan
St. general protein 16,6
gram/hari
Kepala : Normocephali Transfusi PRC
dengan Hb
Mata : An (+/+),ikt (-/-), edema palpebra (-), target 10 g/dl
cowong (-/-) (profilaksis
furosemid 5
THT : NCH (-), sekret (-), faring hiperemis (-) mg iv
sebelum
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) transfusi)
II = 45 cc
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) III= 60 cc
IV = 80 cc
Po : broncovesikuler +/+, wh -/-, rh-/- Mx
Vital sign
Abd : Distensi (-), NT (-), BU (+) normal
Pdx
Ext : Hangat (++/++), edema (--/--) DL post transfusi
Ass
:
Anemia Berat Hipokromik Mikrositer ec Suspek
Anemia Defisiensi Besi, DD/ Anemia Penyakit
Kronis + Gizi Baik

28/02/2015 S : Demam (-), batuk (-), pucat (+), gerak aktif (+), Tx
BAB/BAK (+). Kebutuhan
cairan
O: St. present 830cc/hari ~
mampu
Kesadaran : Compos Mentis minum
seluruhnya
Nadi : 124x/menit, isi cukup, reguler (ASI on
demand)
RR: 32x/menit Kebutuhan
kalori 830
Tax: 36,7 0C kkal/hari
Kebutuhan
St. general protein 16,6
gram/hari
Kepala : Normocephali Transfusi PRC
dengan Hb

34
Mata : An (+/+),ikt (-/-), edema palpebra (-), target 10 g/dl
cowong (-/-) (profilaksis
furosemid 5
THT : NCH (-), sekret (-), faring hiperemis (-) mg iv
sebelum
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) transfusi)
III= 60 cc
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) IV = 80 cc
- Suplemen
Po : broncovesikuler +/+, wh -/-, rh-/- iron 5 mg/kg
BB/hari ~40
Abd : Distensi (-), NT (-), BU (+) normal mg~4 ml @
24 jam (oral
Ext : Hangat (++/++), edema (--/--) Ferlin syrup)

Mx
Vital sign
Anemia Berat Hipokromik Mikrositer ec Suspek
Ass Anemia Defisiensi Besi, DD/ Anemia Penyakit Pdx
: DL post transfusi
Kronis + Gizi Baik
Evaluasi SI, TIBC,
Ferritin setelah 2
minggu (tanggal
14/03/2015)

1/03/2013 S : Demam (-), batuk (-), pucat (+), gerak aktif (+), Tx
BAB/BAK (+). Kebutuhan
cairan
St. present 830cc/hari ~
O : mampu
Kesadaran : Compos Mentis minum
seluruhnya
Nadi : 110x/menit, isi cukup, reguler (ASI on
demand)
RR: 24x/menit Kebutuhan
kalori 830
Tax: 36,6 0C kkal/hari
Kebutuhan
St. general protein 16,6
gram/hari
Kepala : Normocephali Transfusi PRC
dengan Hb
Mata : An (+/+),ikt (-/-), edema palpebra (-), target 10 g/dl
cowong (-/-) (profilaksis
furosemid 5
THT : NCH (-), sekret (-), faring hiperemis (-) mg iv
sebelum
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) transfusi)
IV = 80 cc
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) - Suplemen
iron 5 mg/kg
Po : broncovesikuler +/+, wh -/-, rh-/- BB/hari ~40
mg~4 ml @
Abd : Distensi (-), NT (-), BU (+) normal 24 jam (oral
Ferlin syrup)

35
Ext : Hangat (++/++), edema (--/--) Mx
Vital sign
Ass Anemia Berat Hipokromik Mikrositer ec Suspek
: Anemia Defisiensi Besi, DD/ Anemia Penyakit Pdx :
Kronis + Gizi Baik DL post transfusi
Evaluasi SI, TIBC,
Ferritin setelah 2
minggu (tanggal
14/03/2015)

2/03/2013 S : Demam (-), batuk (-), pucat (+), lemas (-), makan dan Tx
minum biasa, BAB/BAK (+). Kebutuhan
cairan
St. present 830cc/hari ~
O : mampu
Kesadaran : Compos Mentis minum
seluruhnya
Nadi : 110x/menit, isi cukup, reguler (ASI on
demand)
RR: 28x/menit Kebutuhan
kalori 830
Tax: 36,7 0C kkal/hari
Kebutuhan
St. general protein 16,6
gram/hari
Kepala : Normocephali Transfusi PRC
dengan Hb
Mata : An (-/-),ikt (-/-), edema palpebra (-), target 10 g/dl
cowong (-/-) (profilaksis
furosemid 5
THT : NCH (-), sekret (-), faring hiperemis (-) mg iv
sebelum
Thorax : Simetris (+), retraksi (-) transfusi)
IV = 80 cc
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-) - Suplemen
iron 5 mg/kg
Po : broncovesikuler +/+, wh -/-, rh-/- BB/hari ~40
mg~4 ml @
Abd : Distensi (-), NT (-), BU (+) normal 24 jam (oral
Ferlin syrup)
Ext : Hangat (++/++), edema (--/--)
Mx
Ass Anemia Berat Hipokromik Mikrositer ec Suspek Vital sign
: Anemia Defisiensi Besi + gizi baik
Pdx :
DL post transfusi
Evaluasi SI, TIBC,
Ferritin setelah 2
minggu (tanggal
14/03/2015)

36
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien didiagnosis mengalami anemia defisiensi besi karena adanya


kesesuaian antara klinis pasien dengan teori yang terdapat di kepustakaan. Dari

37
hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien dikeluhkan mengalami pucat yang
mulai dikeluhkan muncul sejak 1 bulan yang lalu SMRS. Pucat juga dikatakan
disertai dengan adanya lemas badan dan pasien tampak lebih rewel sejak kurang
lebih 1 bulan yang lalu. Pasien dikeluhkan pucat terutama di bagian wajah dan
telapak tangannya. Lemas dikatakan menggaggu aktifitas keseharian pasien, yang
menyebabkan menurunnya aktifitas sehari-hari pasien seperti bermain dengan
teman sebayanya. Pasien menjadi malas beraktivitas, rewel, cepat marah, dan
cepat merasa lelah. Pasien juga dikeluhkan mengalami penurunan nafsu makan
sejak 2 bulan lalu. Pasien masih diberikan ASI dan biasanya makan bubur beras
dan jarang mengkonsumsi daging, telur, buah, maupun sayur. Sejak sebulan
terakhir dikatakan makan tanah dan sabun. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa gejala anemia defisiensi besi diantaranya berupa: pucat,
lemah, lesu, cepat lelah, makan makanan yang tidak biasa (pica) yaitu tanah dan
sabun, serta nafsu makan menurun dengan kebiasaan mengkonsumsi bubur beras
dengan jarang mengkonsumsi makan yang mengandung zat besi. Dari hasil
pemeriksaan fisik pada penderita anemia defisiensi besi biasanya didapatkan
bahwa konjungtiva palpebra tampak pucat/anemis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang (darah lengkap) didapatkan adanya
kadar Hb, HCT, MCV, MCH, dan MCHC yang lebih rendah dari batas normal.
Dari hasil pemeriksaan didapat bahwa kadar Hb (3,3), MCV (66,10), MCH
(14,30), dan MCHC (21,60). Hal ini juga sesuai dengan gambaran anemia
defisiensi besi yang termasuk dalam anemia hipokromik mikrositer, dimana pada
anemia hipokromik mikrositer akan didapatkan kadar MCV < 80 fl, MCH <27 pg.
Selain itu juga terjadi penurunan serum Fe menjadi 11,90 mg/dl, TIBC 533 mg/dl,
dan penurunan serum feritin menjadi 11,82 ng/mL. Hal ini juga sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa pada anemia defisiensi besi kadar besi
menurun menjadi <50mg/dl, TIBC meningkat menjadi >350 mg/dl, dan saturasi
transferrin menjadi < 15%. Ferritin serum juga menurun menjadi < 20 g/dl
Untuk mengobati anemia defisiensi besi pada pasien, pasien diberikan
Ferlin Syrup yang mengandung Fe elemental 10 mg/mL sebanyak 1 x 4 ml
perhari. Ini juga sesuai dengan teori dimana pemberian parenteral dilakukan bila
pemberian oral gagal. Pada pasien ini tidak diberikan terapi parenteral karena

38
dengan oral sudah dianggap cukup berhasil. Pemberian transfusi PRC karena Hb
pasien <4 g/dl yaitu 3,3 g/dl. Target Hb yang ingin dicapai sebesar 10 g/dl.

BAB V

KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya


cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang,

39
yang pada akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan
ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum yang menurun, TIBC
yang meningkat, penurunan saturasi transferrin, ferritin serum yang menurun,
pengecatan besi sumsum tulang yang negatif dan adanya respon pengobatan
dengan preparat besi.

Untuk menegakkan diagnosis ADB harus dilakukan anamnesis yang


cermat terhadap kemungkinan etiologinya, dan juga pemeriksaan fisik yang teliti
guna mengetahui adanya gejala-gejala khas ADB pada pasien, disertai
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Diagnosis banding dari anemia defisiensi
besi adalah anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik.
Terapi anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi per oral yang
dianjurkan yaitu sulfas ferous 4-6 mg/kgbb/hari. Hasil pengobatan terlihat dari
kenaikan hitung retikulosit dan kenaikan kadar Hb 2 g/dl atau lebih setelah 1
bulan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, IM. Anemia Hipokromik Mikrositer Dengan Gangguan


Metabolisme Besi. Dalam: Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2006. hal. 26-39.
2. Rosana, E. Srategi Fortifikasi Zat Besi dengan Teknologi Mikroenkapulasi
dalam Upaya Pencegahan Anemia Defisiensi Besi pada Anak. Padang:
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2009. hal. 7-13.
3. Adang M, Sianipar O. Determination of iron deficiency in chronic disease
anemia by the role of sTfR-F index. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12.1: 9-15.
4. Nancy, CA. Disorders of Iron Metabolism. N Eng J Med. 2013; 341: 1986-
7
5. Lubis, Bidasari. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi Sejak Bayi Sebagai
Salah Satu Upaya Optimalisasi Fungsi Kognitif Anak pada Usia Sekolah.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008. hal. 5-11.
6. Hoffman R, Benz EJ, et al. Haematology: Basic Principles and Practices.
3rd ed. New York: Churchill and Livingstone, 2000.
7. Dreweke, J., et al. (2011, Augusts-last update). Peripheral Blood Smear of
Nutritional Anemia. Available:
http://www.guttmacher.org/media/nr/2006/08/16/index.html
8. Permono, B., Ugrasena, IDG., Ritawata, MA. (2011, Augusts-last update)
Anemia Defisiensi Besi. Available: http://www.pediatrik.com
9. Bagian/SMF Anak FK UNUD.. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman
Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Denpasar: Bagian/SMF Anak FK
UNUD/RSUP Sanglah. 2011. hal. 154-8

41

Anda mungkin juga menyukai