Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PUSKESMAS KEPADANGAN KECAMATAN TAMAN

KABUPATEN SIDOARJO

BULAN MEI TAHUN 2017

Oleh:
KELOMPOK 11

I Nyoman Bayu W. 15710029


Citra Dewi W 15710092
Ni Luh Ketut Mey D. 15710052
Eisa Mayestika S. 15710101
Arum Trividiati 15710113
Septiani 15710046
M. Syafiqul U. 15710106
I Made Erda I 15710032

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PUSKESMAS TAMAN, KECAMATAN TAMAN,

KABUPATEN SIDOARJO

Disusun oleh :

KELOMPOK 11

I Nyoman Bayu W. 15710029

Citra Dewi W 15710092

Ni Luh Ketut Mey D. 15710052

Eisa Mayestika S. 15710101

Arum Trividiati 15710113

Septiani 15710046

M. Syafiqul U. 15710106

I Made Erda I 15710032

Sidoarjo, Mei 2017


Mengetahui,

Kepala Puskesmas Taman Pembimbing Puskesmas Taman

dr. Zuhaida M.Kes dr. Rachmad Sudarto

NIP: 19670502 200112 2 001 NIP. 196801102008011009

ii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah


memberikan kami kekuatan dan pertolongan sehingga kami mampu menyelesaikan tugas
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat ini.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami kami ucapkan terima kasih atas segala
bimbingan dan bantuannya yang tak ternilai kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Sri Harmadji, dr., Sp.THT - KL (K), selaku rektor Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
2. Prof. Soedarto, dr., DTM&H, Ph.D, Sp.Par (K), Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
3. Prof. Dr. Hj. Rika Subarniati Triyoga, dr., SKM, selaku Kepala Bagian
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
4. Sukma Sahadewa , dr M.Kes Selaku koordinator kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
5. Atik sri Wulandari, SKM,M.Kes. Selaku dosen pembimbing kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
6. Zuhaida, dr.M.Kes. selaku Kepala Puskesmas Taman Kecamatan Taman
Kabupaten Sidoarjo.
7. Rachmat, dr. selaku dokter pembimbing di Puskesmas Taman Kecamatan Taman
Kabupaten Sidoarjo.
8. Seluruh staf Puskesmas Taman yang telah membantu kami hingga terlaksananya
kegiatan ini.
9. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan penulisan laporan konsep penyelesaian masalah.

iii
Akhirnya, sebagai harapan dari kami semoga laporan konsep penyelesaian
masalah dalam rangka kegiatan kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan masyarakat ini
dapat memberikan manfaat bagi kami dan pembaca semua. Amin.

Surabaya, Mei 2017

Penulis

iv
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Definisi .................................................................................................. 3
B. Etiologi .................................................................................................. 3
C. Patofisiologi ........................................................................................... 4
D. Gejala..................................................................................................... 5
E. Pencegahan ............................................................................................ 6
F. Tatalaksana............................................................................................. 6
G. Pembahasan ........................................................................................... 8
BAB III RENCANA PROGRAM
A. Edukasi dan Pelatihan Tenaga Kesehatan ............................................. 11
B. Penyuluhan Pentingnya Mengenai Cara Menurunkun angka Kejadian
Difteri ......................................................................................................... 12
C. Pemberdayaan Keluarga ........................................................................ 12
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 15
B. Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 16
Lampiran .................................................................................................................... 17

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara berkembang menurut laporan World Health Organization


(WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia Region (SEARO)
selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India
merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus
(tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233
kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan
selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus,
tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan pada tahun 2012
sebanyak 1.194 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76 kasus. Dari 19
provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Provinsi
Jawa Timur sebanyak 955 kasus (79,5%), diikuti oleh Provinsi Kalimantan
Selatan dan Provinsi Sulawesi Selatan masing-masing sebanyak 61 kasus (5,6%)
dan 49 kasus (4,5%) (Kemenkes, 2013).
Dinas Kesehatan Jawa Timur (2013) menyebutkan difteri merupakan
kasus re-emerging disease karena kasus difteri tersebut sebenarnya sudah
menurun pada tahun 1985, namun kembali meningkat pada tahun 2005 saat
terjadi KLB di Kabupaten Bangkalan. Sejak itu penyebaran difteri semakin
meluas dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebanyak 955 kasus dengan 37
kematian. Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang kasus tertinggi kedua
di Provinsi Jawa Timur 2013, seperti tercatat dalam laporan tahunan Dinas
Kesehatan Kabupaten Bangkalan bahwa tahun 2013 mencapai 76 kasus.
Di Puskesmas Taman di Kecamatan Taman di desa Kalijaten terdapat
sebuah kasus difteri yang menyerang salah satu warganya. Penyakit menular
seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga
harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang menyebabkan terjadinya kejadian penyakit menular difteri di desa


Kalijaten, kecamatan Taman, Sidoarjo?
2. Program apa saja yang dapat direncanakan untuk mencegah penyebaran
penyakit menular difteri di desa Kalijaten, kecamatan Taman, Sidoarjo?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui yang menyebabkan terjadinya kejadian penyakit menular
difteri di desa Kalijaten, kecamatan Taman, Sidoarjo
2. Tujuan khusus :
Untuk mengetahui program apa saja yang dapat direncanakan untuk
mencegah penyebaran penyakit menular difteri di desa Kalijaten, kecamatan
Taman, Sidoarjo

2
BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Definisi

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-
kadang konjungtiva atau vagina (Chin, 2000). Bakteri Corynebacterium
diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram positif, tidak berspora, dan
bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type gravis, intermedius dan
mitis (Depkes RI, 2004).

B. Etiologi

Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri


gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007).
Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L
atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media
yang mengandung K-telluritatau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia
C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan bakteri diphteroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium
Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil,
glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo, 2006).
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang
biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang

3
sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada pemanasan
suhu 60C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam
es, air, susu dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).

C. Patogenesis

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit,


melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas
dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin
difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga
proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi
inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat
yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin maka
semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin, kemudian
membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman
tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI, 2008).
Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf
tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan
pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi
selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan
jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan
berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di
bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara

4
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran
inilah diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis
dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian
Kesehatan, 2013).

D. Gejala

a. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbs sangat
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama terdiagnosis.
b. Difteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari
berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat
menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka
akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin
dan luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring
primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari
tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif,
suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring berat terdapat retraksi
suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi peleasan membrane yang
menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak.
d. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa
tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan

5
cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva pelpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.

E. Pencegahan

a. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan
dengan selang penyuntikan satu dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam
waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi
perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu
DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun
setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster
(DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)

b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri


Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)

c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene


Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan.

F. Tatalaksana

a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu.
1. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
2. Pemberian cairan serta diet yang adekuat

6
3. Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein
dan kalori.
4. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antaralain
dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu.
5. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005)

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian


Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kominasi lokasi 80.000 Intravena
diatas
Difteria + penyulit, 80.000 100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat 80.000 100.000 Intravena
(>72jam)

2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan
organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen
in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin.
Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat
telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin.
Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri

7
nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh
sekurang kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang
diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).
3. Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri.
Dianjurkan kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai
bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5
mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari (Detending RR,
2007)

c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila
pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi (Maloney Dowel, 2011).
Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan istirahat total, tidak boleh ada
aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan
pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot
pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive
pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga. (Maloney Dowel, 2011).
G. Pembahasan
a. Lingkungan
Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular
dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan
lingkungan sekitar. Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita
konsumsi. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang
bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan
bagi yang lain.

b. Masukan

8
Salah satu faktor penyebab masih tingginya angka kejadian DHF yaitu dari
masukan yang ada. Faktor-faktor yang berperan antara lain yaitu kurangnya
tenaga kesehatan untuk memberikan pengarahan, social ekonomi keluarga
yang kurang sehingga bila mulai sakit tidak segera di bawa ke fasilitas
kesehatan.
c. Alternatif Penyelesaian Masalah dan Prioritas Pemecahan Masalah
Alternatif penyelesaian masalah antara lain :
1) Meningkatkan promosi kesehatan dan penyuluhan

2) Melakukan pencegahan difteri

3) Melakukan tatalaksana difteri

Anda mungkin juga menyukai