Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul "Dokumentasi
Keperawatan Komunitas" mata kuliah Keperawatan Komunitas I di Politeknik
Kesehatan Denpasar tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, 11 Mei 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....3
B. Rumusan Masalah...4
C. Tujuan Penulisan.4
D. Manfaat Penulisan...4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bencana..5
B. Dampak Bencana Pada Sektor Pariwisata5
C. Pengertian Manajemen Risiko Bencana...6
D. Tujuan Manajemen Risiko Bencana Pariwisata...7
E. Proses Manajemen Risiko Bencana Pariwisata8
F. Mengenai Risiko Bencana...17
G. Langkah- Langkah Sertifikasi Kesiapsiagaan Bencana Dalam Industri
Pariwisata17

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan.... ..25
3.2 Saran.....25
DAFTARPUSTAKA..26

BAB I
PENDAHULUAN

2
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis serta demografis yang memungkinkan terjadinya
bencana, baik yang disebabkan faktor alam, non alam ulah tangan manusia
yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda serta dampak psycologis yang dalam keadaan tertentu
dapat menghambat pembangunan nasional.
Letak geografis Indonesia yang berada antara lempeng Euronesia
dan lempeng Euroasia menjadikan sebagian besar wilayah Indonesia rawan
terhadap bencana alam, kondisi ini merupakan ancaman yang sulit
diprediksi dengan perhitungan kapan, dimana, bencana apa yang terjadi,
berapa kekuatan bahkan kita tidak dapat memperkirakan estimasi korban
jiwa maupun harta benda.
Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard
potency) yang sangat tinggi, beberapa potensi tersebut antara lain adalah
gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, angin
ribut, kebakaran hutan dan lahan. Terdapat 2 (dua) kelompok utama potensi
bencana di wilayah Indonesia yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan
potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main
hazard) dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di
Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona
gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi
bencana letusan gunung api, peta potensi bencana banjir. Sedangkan peta
potensi bencana ikutan (collateral hazard potency) dapat dilihat dari
beberapa indikator antara lain bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan
bangunan dan kepadatan industri berbahaya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian bencana ?
2. Bagaimana dampak bencana pada sektor pariwisata?
3. Apakah pengertian manajemen risiko bencana?
4. Bagaimana tujuan manajemen risiko bencana pariwisata?
5. Bagaimana proses manajemen risiko bencana pariwisata?

3
6. Apa saja kebijakan mengenai risiko bencana ?
7. Bagaimana langkah- langkah sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam
industri pariwisata?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian bencana
2. Untuk memahami dampak bencana pada sektor pariwisata
3. Untuk mengetahui pengertian manajemen risiko bencana
4. Untuk mengetahui tujuan manajemen risiko bencana pariwisata
5. Untuk mengetahui proses manajemen risiko bencana pariwisata
6. Untuk memahami mengenai risiko bencana
7. Untuk memahami langkah- langkah sertifikasi kesiapsiagaan bencana
dalam industri pariwisata

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan, sistematika
penulisan, dan metode penulisan.
Bab II. Pembahasan, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang
manajemen risiko bencana.
Bab III. Penutup, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bencana


Bencana menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis

4
Rosyidie (2004) lebih lanjut mengungkapkan bahwa bencana dapat
terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Frekuensi dan seberapa
kuat atau besar bencana tersebut pun susah untuk diprediksi. Melihat sifat
dari bencana tersebut, maka sering kali terjadi banyak kerugian dan korban
meninggal dunia maupun luka-luka.
Berdasarkan definisi bencana menurut para ahli tersebut maka definisi
bencana dalam penelitian ini yaitu gangguan atau ancaman dari keadaan
normal hingga menyebabkan kerugian dari gangguan tersebut yang
bersumber dari alam, non alamdan sosial. Gangguan tersebut tidak dapat
diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa terjadinya.

2.2 Dampak Bencana Pada Sektor Pariwisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
1. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga
sebagai sumber dan bukti sejarah.
2. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda
bahkan nyawa.
3. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.

Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra


Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam
yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
1. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat
iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
2. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-
promo yang menarik.
4. Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki
jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan
wisata.

2.3 Pengertian Manajemen Risiko Bencana

5
Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan pengetahuan
yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan
persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan membangun kembali
masyarakat saatsetelahbencana terjadi. Lebih lanjut Krishna mengungkapkan
bahwa lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) terdiri dari
tigakegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event),
kedua yaitusaat bencana dan ketiga adalah setelah terjadinya bencana (post
event).
Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001),
Manajemen Risiko Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi
secara sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan
(measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi),
persiapan, respon darurat dan pemulihan. Manajemen dalam bantuan bencana
merupakan hal-hal yang penting bagi Manajemen puncak yang meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan
(directing), pengorganisasian (coordinating) dan pengendalian (controlling).
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan
seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan
bencana, pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal
sebagai siklus Manajemen Risiko Bencana.
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan segala
upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan, mitigasi,
kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan sebelum, pada saat dan setelah bencana.
Manajemen bencana yang dalam PP No 21 Tahun 2008 dijelaskan
sebagai penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.

2.4 Tujuan Manajemen Risiko Bencana Pariwisata

6
Penyebab Perlu Adanya Manajemen Risiko Bencana di Sektor
Pariwisata
1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah
destinasi terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga
sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan
kebutuhan yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses
dengan mudah di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara
keseluruhan.
3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak
dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana
berperilaku dalam penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti
garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya
yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi,
ke mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana
prosedur darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami
bencana.
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua
jenis perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.

2.5 Proses Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


Tahapan Proses Manajemen Risiko di Sektor Pariwisata
1. Pencegahan (Prevention)
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana di kawasan pariwisata.

7
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang
berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat terutama pada
pekerja di kawasan pariwisata.
d. Pemindahan wisatawan serta penduduk dari daerah yang rawan
bencana ke daerah yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat di sekitar
kawasan wisata.
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan di kawasan pariwisata yang terstruktur yang
berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi
pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

2. Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
a. Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1) Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta
data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta
Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua
unsur mitigasi lainnya;
2) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan
kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti
bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar
akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan
pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta

8
menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan
pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat
dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3) Persiapan (preparedness); kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya
kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat
dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada
tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu
jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha
keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap
bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
b. Mitigasi Bencana pada Sektor Pariwisata
Bencana yang datang silih berganti, bukan tidak mungkin untuk
diantisipasi. Ada upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan sedini
mungkin. Upaya mitigasi tersebut dapat dilaksanakan sebagai berikut.
1) Pertama, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,
khususnya lembaga terkait kebencanaan seperti BNPB, BPBD, dan
para pelaku pariwisata dalam upaya mitigasi bencana menjadi
suatu keharusan.
2) Selain itu, pembangunan infrastruktur terutama di destinasi
pariwisata prioritas yang rawan bencana. Misalnya dengan
membangun sistem peringatan dini (Early Warning System) di titik
rawan bencana dan mendirikan shelter evakuasi sementara di
tempat yang strategis dan aman dari bencana.

9
3) Selain itu, diperlukan juga pemasangan jalur atau rambu evakuasi
yang mengarahkan masyarakat dan wisatawan saat ada perintah
untuk melakukan evakuasi.
4) Infrastruktur penunjang juga perlu mendapat perhatian, seperti
pembangunan model hunian penduduk dan fasilitas kritis seperti
rumah sakit dan sekolah. Fasilitas pariwisata seperti pusat
informasi pariwisata (Tourism Information Center), hotel atau
penginapan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga tahan
terhadap ancaman gempa.
5) Hal penting lainnya adalah membangun dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dan wisatawan karena mereka merupakan
pihak yang pertama berhadapan dengan resiko bencana. Maka,
penting untuk memberikan edukasi mengenai segala hal yang
berkaitan dengan kebencanaan di kawasan wisata rawan bencana
tadi, seperti meningkatkan kesiapsiagaan, mengatasi kepanikan
ketika bencana datang, atau dengan mengadakan simulasi tanggap
bencana.
6) Terakhir, travel warning atau peringatan untuk tidak mengunjungi
destinasi yang sedang dalam siaga bencana penting untuk
disosialisasikan, baik melalui media cetak dan elektronik.

3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan
dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang.
Berikut beberapa indikator yang dapat menjadi tolak ukur untuk
menilai kesiapsiagaan dalam menanggapi bencana di kawasan pariwisata.
a. Indikator Kesiapsiagaan
1) Pengetahuan dan sikap terhadap bencana

10
Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang
untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan
yang ada (Sutton dan Tierney, 2006). Pengetahuan yang dimiliki
mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan
siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang
bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam.
Indikator pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan
pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi
pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun
apa yang harus dilakukan bila terjadi bencana (ISDR/UNESCO
2006). Individu atau masyarakat yang memiliki pengetahuan yang
lebih baik terkait dengan bencana yang terjadi cenderung memiliki
kesiapsiagaan yang lebih baik dibandingkan individu atau
masyarakat yang minim memiliki pengetahuan.
2) Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki oleh
individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat di
suatu wilayah akibat bencana alam (Sutton dan Tierney, 2006).
Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu
proses kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi,
pertolongan dan penyelamatan, agar korbanbencana dapat di
minimalkan (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat
sangat penting terutama pada hari pertama terjadi bencana atau
masa dimana bantuan dari pihak luar belum datang
(ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat ini adalah
situasi dimana masyarakat memastikan bagaimana pembagian
kerja sumber daya yang ada pada saat bencana.
3) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi
informasi jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini yang
baik dapat mengurangi kerusakan yang dialami oleh masyarakat
(Gissing, 2009). Sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat

11
juga mengerti informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan
dini tersebut atau tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat
tanda peringatan dini bencana berbunyi/menyala (Sutton dan
Tierney, 2006). Oleh karena itu, diperlukan juga adanya
latihan/simulasi untuk sistem peringatan bencana ini.
4) Sumber daya mendukung
Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator
kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai
sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan kondisi
darurat akibat bencana menjadi kondisi normal (ISDR/UNESCO,
2006). Indikator ini umumnya melihat berbagai sumber daya yang
dibutuhkan individu atau masyarakat dalam upaya pemulihan atau
bertahan dalam kondisi bencana atau keadaan darurat. Yang dapat
berasal dari internal maupun eksternal dari wilayah yang terkena
bencana. Sumber daya menurut Sutton dan Tierney dibagi menjadi
3 bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya
pendanaan/logistik, dan sumber daya bimbingan teknis dan
penyedian materi.
5) Modal sosial
Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau
kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok
lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial
yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah
dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial
yang baik diantara masyarakat di wilayah yang rentan terhadap
bencana akan mengurangi kerentanan itu sendiri (Martens, 2009).
Modal sosial yang solid antara penduduk akan mempermudah
masyarakat dalam melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan
dilakukan. Modal sosial juga dapat menjadi pengerak indikator
kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati tempat evakuasi
yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan bersama-sama

12
dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan lainnya (Sutton dan
Tierney 2006).
b. Upaya Kesiapsiagaan yang Dapat Dilakukan di Kawasan Pariwisata
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di tahap preparedness.
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsure
pendukungnya di kawasan pariwisata.
2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi masyarakat sekitar
daerah pariwisata beserta pekerja di kawasan tersebut.
3) Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
4) Penyiapan dukungan / stok logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan peringatan dini (early warning).
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.
9) Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.
c. Pembentukan Tim Bencana
Pembetukan tim bencana juga sangat dibutuhkankan. Tim bencana
merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki tanggung
jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya
digunakan di hotel biasanya adalah Emergency Responsible Team dan
Fire Brigade, sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis
tim bencana adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan
Bencana (BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis-
jenis tim bencana tersebut adalah sebagai berikut :
1) Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh
Georgetown University (2014) sebagai berikut,The Emergency
Responsible Team (ERT) is responsible team for coordinating the
response to crises affecting the safety and operation of some
disaster. They will be called to assist in the management of the

13
emergency situation. Tim ini merupakan tim khusus yang
menangani masalah bencana, tim ini selain dibentuk oleh
Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai organisasi
termasuk hotel.
2) Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut Fire Brigade is a
private or temporary organization of individual equipped to fight
fires. Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas
untuk menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan
dengan kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga
dibentuk oleh hotel-hotel.
3) Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community
merupakan petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan
kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh petugas khusus yang
dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di
setiap pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil
pemadam pada saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas
mengevakuasi korban kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
4) Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun
2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan,
Searh and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang
berfungsi melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan
pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan
SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan
hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau
penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan
peraturan SAR Nasional dan Internasional.
5) Barisan Relawan Bencana (BALANA)

14
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana
(BALANA) merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari
pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan
Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani
bencana.

4. Aksi Tanggap (Response)


Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Upaya yang dilakukan pada saat
kejadian bencana, meliputi :
a. Pengerahan unsur (TNI, Polri, Linmas dan masyarakat)
1) Pencarian/penyelamatan korban
2) Pelaksanaan evakuasi
3) Penyelamatan dokumen keperdataan
4) Penyiapan akses bantuan dan penyelamatan
5) Dengan mengutamakan penanggulangan kelompok rentan
(perempuan, ibu hamil, penyandang cacat, balita, dan lansia).
b. Pengkajian kebutuhan (initial need assessment)
c. Penampungan sementara
1) Pelayanan kesehatan (Pos kesehatan)
2) Penyediaan pangan dan gizi
3) Penyediaan air bersih
4) Penyediaan sanitasi
d. Penyediaan dan penyebaran informasi korban, fasilitas rusak dan lain-
lain.
e. Pemberantasan vektor untuk pencegahan penyakit menular.
f. Koordinasi dan pengelolaan bantuan.

5. Pemulihan (Recovery)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi

15
daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal
yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat
berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi :
a. Perbaikan sarana/prasarana sosial dan ekonomi.
b. Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress)
melalui penyuluhan, konseling, terapi kelompok (di sekolah) dan
perawatan.
c. Pemulihan gizi/kesehatan.
d. Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan
masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian modal
usaha, dll).

2.6 Kebijakan
Undang-Undang No: 24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana menyatakan bahwa Penanggulangan bencana bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana dan melibatkan unsur Pemerintah, unsur masyarakat dan
unsur swasta.
Khusus unsur swasta, BPBD Provinsi Bali memulai langkah
strategis dengan memberikan apresiasi kepada unsur swasta yang
telah melakukan kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas
kesiapsiagaan bencana.Terobosan ini menjadi sangat penting dan
efektif dalam rangka mengurangi risiko jika terjadi bencana.
Pengurangan risiko bencana sesungguhnya ada 3 hal yang mesti
dilakukan, yang pertama adalah mengurangi hazard, memperkecil
kerentanan dan yang terakhir adalah peningkatan kapasitas.
Selain Undang-Undang kebencanaan, dalam Rencana
Pennggulangan Bencana Provinsi Bali juga sangat jelas

16
mengisyaratkan bahwa peningkatan kapasitas menjadi prioritas
program yang harus dilaksanakan. Dilatar belakangi pemikiran
tersebut, Gubernur Provinsi Bali menurunkan Surat Keputusan
Nomor : 1849/04-1/HK/2013 yang isinya adalah pembentukan
dan susunan keanggotaan tim verifikasi kesiapsiagaan bencana.

2.7 Langkah- langkah sertifikasi kesiapsiagaan bencana dalam


Industri Pariwisata
Berikut adalah penilaian dan langkah-langkah apa yang harus
dilakukan oleh penyedia jasa industri pariwisata,bisnis dan penyedia
jasa lainnya untuk memperoleh sertifikasi kesiapsiagaan bencana
kepada Pemerintah Provinsi Bali melalui BPBD Provinsi Bali yang
akan dinilai oleh tim vrifikasi kesiapsiagaan bencana.

1. Parameter penilaian :
A. Pengetahuan bencana terdiri dari :
2. Pengetahuan umum
a. Perusahaan memiliki program pelatihan kebencanaan atau
yang berhubungan dengan kebencanaan yang melibatkan
semua komponen manajemen dan terdokumentasi.
b. Sudah pernah melakukan/berpartisipasi dalam pelatihan
singkat kebencanaan yang diberikan oleh dinas/instansi
yang relevan dan ada tanda bukti sertifikat/surat
keterangan secara individu atau kelembagaan,
c. Jika poin b diatas terpenuhi, apakah sudah disosialisasikan
dilingkungan perusahan .
d. Apakah daftar manajemen atau staff yang telah mengikuti
pelatihan kebencanaan disediakan
e. Tersedia referensi/dokumen tentang kebencanaan dan
pengurangan risiko bencana yang mudah diakses oleh
manajemen dan staff.

17
f. Pernah mendatangkan ahli/konsultan dalam upaya
pengurangan risiko bencana dan peningkatkan kapasitas
pengetahuan kebencanaan.
g. Memiliki pengetahuan tentang cuaca, iklim, kualitas
udara, gempa bumi dan tsunami sesuai hazard masing-
masing.
h. Mengetahui potensi risiko bencana yang terjadi
dilingkungan perusahaanya dan mengetahui cara
penanganannya
i. Tersedia dokumen kajian risiko yang disusun berdasarkan
potensi hazard dilingkungan perusahannya masing-masing

2. Partisipatif dalam kegiatan kebencanan

a. Perusahaan pernah mengikuti seminar/lokakarya atau


sejenisnya yang diselenggarakan oleh lembaga profesional
kebencanaan seperti BPBD, BMKG, SAR, PMI, Dinas
Kesehatan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi dll. Dibuktikan
dengan sertifikat/Surat Keterangan.
b. Perusahan pernah mengikuti drill/simulasi yang dilakukan
oleh Dinas/Lembaga yang menangani kebencanaan.
c. Perusahan pernah terlibat langsung dalam kegiatan-
kegiatan pengurangan risiko bencana yang
diselenggarakan oleh Dinas/Instansi kebencanaan minimal
dilakukan didaerah sekelilingnya.
d. Pernah terlibat langsung/berpartisipasi dalam kegiatan
tanggap darurat bencana.

B. Mitigasi

1. Mitigasi Struktural

18
a. Tersedia denah/peta bangunan yang terpasang disetiap sisi
gedung/kamar kerja/kamar istirahat dll.
b. Terdapat areal yang bisa digunakan sebagai titik kumpul
(assembly point) ketika terjadi emergency.
c. Jika point 3 diatas tersedia, apakah assembly point sudah sesuai
dengan kreteria standard persyaratan assembly point.
d. Apakah telah ditentukan daerah aman (safe area) untuk
beberapa hazard contohnya untuk gempabumi, tsunami,
kebakaran atau banjir.
e. Tersedianya sarana proteksi kebakaran aktif (Sistem deteksi
dan alarm, APAR, Hidrant, Springkler dll) yang dirancang
sesuai dengan standar tingkat bahayanya.
f. Jika point 5 diatas tersedia, apakah semua karyawan/staff
mampu mengoperasionalkan.
g. Apakah sarana proteksi dimaksud siap digunakan kapan saja ?
(Periksa kartu control)

h. Aapakah tersedia fasilitas dan aksesibilitas bangunan yang


diperuntukan kepada kelompok disable (cacat),
i. Sistem penanggulangan banjir sudah didesain sedemikian rupa
( drainase, biopori)
j. Dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah yang aman dari
pencemaran lingkungan
k. Dilengkapi dengan tangga darurat dan pintu keluar darurat
disetiap unit bangunan.
l. Penangkal petir telah terpasang sesuai dengan persyaratan
tinggi bangunan dan telah diperiksa dan diuji secara berkala.
m. Strukturruang telah memperhatikan aspek pengurangan resiko
bencana/kecelakaan yang menimbulkan bencana (antara kamar
kerja/kamar tamu dengan cooler, boiler, genset, limbah dll)
n. Apakah terpasang tanda-tanda peringatan bahaya pada area-
area bahaya disekitar bangunan

19
o. Membangun kemandirian semua komponen manajemen
perusahan , untuk meningkatkan kesadaraan membangun
kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana (Periksa
dokumen kajian risiko bencana).
p. Turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan
lingkungan untuk pengurangan resiko bencana baik yang
dilaksanakan sendiri atau patisipasi.
q. Apakah ada inisiatif bekerjasama dengan stakeholder lain
dalam kegiatan sosial fokus kepada pengelolaan lingkungan
terutama dengan masyarakat disekitar lokasi perusahaan/hotel.

2. Mitigasi Non Struktural


a. Adanya kebijakan perusahaan peduli terhadap pengelolaan
lingkungan demi keamanan dan keselamatan bila terjadi
ancaman bencana.
b. Apakah pernah mengadakan pelatihan pengurangan Risiko
Bencana
c. Memiliki MOU dengan Instansi terkait dalam rangka
membangun/meningkatkan kapasitas staff terhadap aksi-aksi
pengurangan risiko bencana.
d. Tersedia kebijakan perlindungan (santunan, asuransi dll.)
terhadap staff/karyawan, aset perusahaan dan pemakai jasa
perusahaan.

C. Kesiapsiagaan dan Kapasitas Respon

1. Kesiapsiagaan
a. Terbentuk tim yang terlatih khusus yang siap ditugaskan
ketika terjadi bencana dilingkungan perusahan
b. Tim tersebut diatas telah dilegalisasi oleh manajemen dan
memiliki pembagian tugas yang jelas.

20
c. Memiliki Standard Operating Prosedur (SOP) sesuai
dengan ancaman hazard didaerahnya.
d. Sosialisasi SOP atau kebijakan kepada karyawan, vendor
dan mitra kerja dilaksanakan terus menerus.
e. Uji coba SOP dalam bentuk drill/simulasi/table top wajib
dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali.
f. Sarana dan prasarana yang disiapkan untuk menghadapi
tanggap darurat bencana siap digunakan dan bekerja
dengan baik (Jejaring komunikasi, transportasi, sarana
kesehatan, perlengkapan kebakaran dll)

2. Sistem peringatan dini


a. Perusahaan telah menentukan cara untuk memperoleh
informasi peringatan dini dari instansi terkait seperti
PUSDALOPS, BMKG, PVMBG, BPBD Provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Kalau point 1 diatas tersedia, apakah ada terpasang atau
menggunakan jenis teknologi apa.
c. Memiliki mekanisme yang jelas dalam menerima
informasi peringatan (bagan/skema sistem peringatan dini)
d. Pembagian tugas yang jelas bagi para pejabat/staff ketika
menerima informasi peringatan dini dan reaksi yang harus
dilakukan.
e. Bagaimana dengan penyampaian peringatan dini
(warning) kepada para tamu dan pekerja perusahan,
adakah format arahan yang standard untuk reaksi yang
efektif dan efisien?
f. Rambu evakuasi terpasang atau rambu lainnya sesuai
dengan hazard diwilayahnya.
g. Tersedia peta rencana evakuasi sesuai dengan identifikasi
hazard (Gempa bumi, Tsunami. Kebakaran, banjir dll)
serta prosedur dan strategi yang digunakan.

21
3. Kapasitas Respon
a. Tersedia data potensi dan sumber dayaseperti, data
personil terlatih, peralatan dan perlengkapan dalam
mendukung penanggulangan bencana (data base)
b.Tersedia peralatan standard first responder seperti tandu,
kotak Pertolongan Pertama (dulu disebut kotak PPPK),
spalk/bidai, pembalut cepat/mitela, masker secukupnya.
c. Tim khusus yang dibentuk sudah dilengkapi dengan
peralatan standard Alat Pengaman Diri (APD)
d.Telah mengikuti pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dan
Medical First Responder (MFR)
e. Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan (Praktis) Search and Resque (SAR)
f. Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) dan
wabah penyakit
g.Regu pemadam kebakaran terbentuk dan terlatih
menggunakan peralatan yang tersedia di perusahaan.

D. Keamanan

1. Perusahaan memiliki prosedur yang jelas penanganan


keamanan ketika terjadi ancaman bencana.
2. Perusahaan memiliki peralatan penunjang untuk pemantauan
aktifitas keamanan dan kemungkinan terjadinya bencana
seperti CCTV
3. Petugas keamanan memiliki pengetahuan praktis kebencanaan

22
4. Memiliki jejaring komunikasi yang kuat dengan instansi
terkait Seperti dengan TNI, POLRI, Pecalang Desa adat dll.
5. Tersedia check list dinas/instansi pelaku kebencanaan, contact
person dan nomor telephon penting.

2. Persiapan Dan Pengorganisasian

A. Kelengkapan Administrasi

Kelengkapan administrasi menjadi hal yang paling pokok yang


harus dilengkapi oleh calon penerima sertifikasi, administrasi
merupakan bukti otentik sebagai sebuah perushaan yang bisa
dipertanggung jawabkan. Berbagai jenis kelengkapan administrasi
adalah sebagai berikut :
1. Perijinan usaha
2. Sertifikat/surat keterangan (First responder, rescue,
manajemen bencana dll) yang pernah diikuti
3. Seluruh SOP/PROTAP Kebencanaan yang telah dimiliki dan
masih berlaku.
4. Contoh material informasi seperti Room directory, brosur,
leaflet, poster atau booklet yang telah tersedia.
5. Dokumen kegiatan pelatihan kebencanaan yang pernah
dilaksanakan

B. Kelengkapan piranti keras (Hardware)

Kelengkapan piranti keras (hardware) kebencanaan merupakan


prioritas selanjutnya, piranti keras/peralatan standar kebencanaan
adalah sarana pendukung dalam melaksanakan kegiatan
kedaruratan. Tanpa peralatan yang standar, niscaya operasi
kedaruratan akan berjlan dengan baik.

23
Standar piranti keras yang dimaksud adalah :
1. Perlengkapan Pertolongan Pertama (PP) termasuk tandu dll
sesuai standard seorang first responder.
2. APAR (alat pemadam kebakaran ringan) dan alat pengaman
lainnya
3. Lampu senter
4. Masker
5. Rompi spotlight
6. Glove (sarung tangan)
7. Rambu evakuasi

BAB III
PENUTUP

4.1 Simpulan
Peran pemerintah lokal dalam menghadapi bencana telah menjadi
bahasan utama dalam tiap forum peduli kebencanaan. Peranan pemerintah
tidak hanya dipandang sebatas tahapan tanggap darurat ataupun pemulihan,
namun juga mitigasi dan meminimalisasi risiko. Peran pemerintah lokal
dalam menghadapi bencana tsunami yang dalam tulisan ini dijelaskan melalui
istilah risk governance, tidak hanya merujuk pada upaya pemerintah dalam
memitigasi atau meminimalisasi risiko bencana tetapi juga keseluruhan
interaksi aktor yang berperan dalam tata kelola pemerintahan, yaitu
pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat

1.2 Saran

24
Pemahaman penanggulangan terhadap bencana alam di Indonesia harus
terus menerus dan secara berkesinambungan di sosialisasikan kepada
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Hertanto, Heka. 2011. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. Jakarta : Media


Indonesia

Martens, T., Garrelts, Grunnenberg, H., and Lange, H. : Taking The Heterogeneity
Of Citizens Into Account: Flood Risk Communication In Coastal Cities
A Case Study Of Bremen. Natural Hazards and Earth System Sciences.

Sutton, J., and Tierney, K. 2006. Disaster Preparedness: Concepts, Guindance


and Research. Colorado: University of Colorado.

UN-ISDR. 2002. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction


Initiatives. Preapared as An Inter-Agency Effort Coordinated by the ISDR
Secretariat with special support from the Government of Japan, the World
Meteorological Organization and the Asian Disaster Reduction Center
(Kobe, Japan). Geneva: ISDR Secretariat.

25

Anda mungkin juga menyukai