Anda di halaman 1dari 13

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis)

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis)


adalah golongan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria
yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Setelah tergigit nyamuk,
parasit (larva) akan menjalar dan ketika sampai pada jaringan sistem
lympa maka berkembanglah menjadi penyakit tersebut.

Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan


pengobatan, dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,
lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki
Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun demikian bagi
penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan
dapat mengganggu aktifitas sehari-hari.

Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak terdapat pada wilayah tropis.


Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita
mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan
Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi
di negara Thailan dan Indonesia (Asia Tenggara).

Penularan Penyakit Kaki Gajah


Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang
yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung
larva dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi
menggigit atau menghisap darah orang tersebut.

Tidak seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan


oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes &
Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.

Tanda dan Gejala Penyakit Kaki Gajah


Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia
kanak-kanak, dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun)
mulai dirasakan perkembangannya.
Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :

Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila


istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah


lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas
dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung
(retrograde lymphangitis)

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar


getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat


agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)

Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa


pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah
dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Pemeriksaan Diagnostik Penyakit Kaki Gajah


Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit
dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam
darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal
periodicity).

Selain itu, berbagai methode pemeriksaan juga dilakukan untuk


mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan system yang
dikenal sebagai Penjaringan membran, Metode konsentrasi Knott dan
Teknik pengendapan.

Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui


oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem "Tes kartu", Hal
ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit
(larva). Yaitu dengan cara mengambil sample darah sistem tusukan jari
droplets diwaktu kapanpun, tidak harus dimalam hari.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit Kaki Gajah


Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki
gajah adalah membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam
tubuh penderita, sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.

Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat


filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi,
bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah,
aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi
obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik dan lokal
yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.

Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan


diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai
konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air
kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2
tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau
dalam keadaan lemah.

Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah
membesar) karena tidak terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan
tentunya memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.

Pencegahan Penyakit Kaki Gajah


Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk
memeriksakan kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan
sehingga tidak menyebarkan penularan kepada masyarakat lainnya.
Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan pengenalan penyakit kepada
penderita dan warga sekitarnya.
Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting
untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan
lingkungan merupakan hal terpenting untuk mencegah terjadinya
perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Penyebab dan Penyebaran Penyakit Kaki Gajah

Pada musim penghujan biasanya nyamuk dapat berkembang biak dengan


sangat cepat. Banyak sekali penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kecil
yang satu ini. Salah satunya adalah penyakit kaki gajah (filariasis). Penyakit ini
disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti). Cacing ini dapat ditularkan
melalui berbagai gigitan nyamuk kecuali nyamuk mansoni. Penyakit ini bersifat
menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan dan alat kelamin baik pada
pria maupun wanita. Akibatnya penderita penyakit kaki gajah tidak dapat
bekerja secara optimal, bahkan hidupnya harus selalu tergantung pada orang
lain.

Di Indonesia, penyakit ini tersebar luas hampir diseluruh propinsi. Berdasarkan


hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa yang tersebar di 231
kabupaten dan 26 propinsi, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Untuk
menanggulangi penyebaran penyakit kaki gajah agar tidak semakin meluas,
maka melalui organisasi WHO menetapkan kesepakatan global yaitu
memberantas penyakit kaki gajah sampai tuntas. Di Indonesia sendiri pada
tahun 2002 sudah dimulai pelaksanaan pemberantasan penyakit kaki gajah
secara bertahap di 5 kabupaten percontohan. Program pemberantasan
dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendasol untuk
setahun sekali selama 5 tahun.

DEC (Diethil Carbamazine Citrate) Obat Kaki Gajah

Memang selama lebih dari 40 tahun untuk pengobatan penyakit kaki gajah, baik
secara perorangan maupun secara massal menggunakan DEC (Diethil
Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan makrofilaria
( cacing dewasa). Sampai saat ini DEC merupakan satu-satunya obat penyakit
kaki gajah yang efektif, aman dan relatif murah. Pada pengobatan perorangan
bertujuan untuk menghancurkan parasit dan mengeleminasi, guna mengurangi
atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang dianjurkan untuk 6 mg/kg berat
badan/hari selama 12 hari diminum sesudah makan, dalam sehari 3 kali. Pada
pengobatan massal, digunakan pemberian DEC dosis rendah dengan jangka
waktu pemberian yang lebih lama, misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2 % -
0,4 % selama 9-12 bulan. Untuk orang dewasa digunakan 100 mg/minggu
selama 40 hari.

Siklus Hidup Cacing Filaria

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk
tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis,
sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam
tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada
tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara
otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva
stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh
menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke
sepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga
tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak
larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke
rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.

Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka


mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif
ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran
darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke
pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian
kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV
dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh
limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi
pembengkakan.
Cacing filaria sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih


kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti
benang berwarna putih susu.

2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100 mm dan


ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makrofilaria yang jantan memiliki
panjang kurang lebih 40 mm dan ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria
memiliki panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.

3. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar
limfe. Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi
sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam
seperti paru-paru, jantung dan hati.

Waspadai Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Kita bisa mendiagnosa seseorang terserang penyakit kaki gajah berdasarkan


gejala-gejala klinis akut atau kronis melalui pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil sampel darah pada jari si
penderita. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada pada pukul 20.00 waktu
setempat. Karena pada saat malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi
penderita. Jika memang ditemukan mikrofilaria didalam darah si penderita, maka
orang tersebut telah dinyatakan terserang penyakit kaki gajah (filariasis). Jika
seseorang telah terserang filariasis akut, maka gejala-gejala klinis yang akan
tampak antara lain :

1. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila si


penderita beristirahat dan muncul lagi jika si penderita bekerja berat.

2. Pembengkakan kelenjar getah bening, sehingga terlihat bengkak didaerah


lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.

3. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan buah zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas.
Sedangkan untuk gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran
yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah
zakar (elephantiasis skroti).

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati, mungkin itu adalah ungkapan yang
sangat tepat untuk menghindari penyakit kaki gajah. Karena jika kita telah
terinfeksi oleh cacing filaria akan sangat sulit sekali untuk mengobatinya serta
memerlukan waktu yang lama. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk
mencegah serangan penyakit kaki gajah,misalnya:

1. Berusaha menghindarkan diri dari nyamuk vector dengan


caramenggunakan kelambu sewaktu tidur.

2. Menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk.

3. Menggunakan obat nyamuk semprot atau bakar.

4. Bisa juga dengan mengoleskan kulit dengan lotion anti nyamuk.

5. Memberantas jentik-jentik nyamuk dengan cara bak air dirumah.


6. Menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk.

7. Serta membersihkan pekarangan dan lingkungan disekitar rumah anda.

Dengan melakukan hal-hal tersebut setidaknya kita telah berusaha mengurangi


resiko terjangkitnya penyakit kaki gajah maupun penyakit-penyakit lain yang
juga bisa ditularkan oleh nyamuk. Karena membiasakan diri untuk hidup bersih
adalah kunci utama untuk menuju kesehatan jasmani maupun kesehatan
rohani.***

Filariasis Limfatik di Indonesia

RACIKAN UTAMA - Edisi Maret 2006 (Vol.5 No.8)

A beautiful tropical islands called Indonesia


A vast archipelago with thousands of living species of biodiversity
A unity in diversity

Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan


salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau
Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari
tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .
Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di
sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara
spesiesantropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia,
malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu,
menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar
FKUI/RSCM,Brugia dan Wuchereriamerupakan spesies terbanyak yang
ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat.
Selain itu,Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella
streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang
ditimbulkan tidak terlalu
parah.

Satu konsep mutakhir


yang menjadi target
pengobata ialah
terdapatnya endosimbion
yang terjadi di dalam
tubuh filaria. Para pakar
Tropical Medicine
menemukan terdapat
individu semacam
rickettsia yang hidup
intraseluler pada setiap
stadiumWuchereria,
Mansonella, dan Onchoce
rca yang
dinamakan Wolbachia. Ko
non, individu ini
berhubungan
endosimbiosis sangat
erat dengan filaria
sehingga dapat dijadikan
target kemoterapi
antifilarial.

Filariasis Limfatik

W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya


sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara
intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta
manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia,
Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan
periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di
Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar
lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex
fatigans dan Culex cuenquifasciatusdi Indonesia. Vektor Culex juga biasanya
ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedesdapat
ditemukan di daerah-daerah rural.

Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia,
dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas
Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip
dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk
periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal
ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia.
Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-
hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).

Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe


akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang
tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga
menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini
mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah
yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil,


serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah,
infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan
menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta
menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut.
Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit
di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.

Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa
yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh
penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh.
Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan
proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing
masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah
mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis
sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik
pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah),
namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

Tokoh Utama Filariasis

Seluruh parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan
transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus
hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh
serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi
cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata
pada Loa loa. Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang
sekitar 200 hingga 250 m serta lebar 5 hingga 7 m yang bersarung.
Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang
sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di
mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia,
terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti
jarak mulut, panjang tubuh.

Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh
nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya
larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa
berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali
tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga
ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu,
jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat
kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang
sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal
dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-
daerah perkampungan yang endemis filariasis.

Tanda dan Gejala Klinis

Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi


kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga
sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di
lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat
menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan
pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang
endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada
satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan
sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika
ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis
bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik,
pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok dideteksi dengan
flebografi- , serta limfangiektasis skrotum dideteksi dengan USG. Namun
tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa
dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman
desa.

ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan


limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini
bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral.
Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar
memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur
limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB
ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun
khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih
dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa
sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga
menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti.
Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga
menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria,
terutama waktu pagi.
Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut
yang dinamakandermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda
dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi,
menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan
membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini
juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat
ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat
pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port dentre dari
filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak
terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

Diagnosis Praktis

Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah
menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati.
Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin
ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam
dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan
penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel,


atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa
secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit
sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3
m). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru
kemudian dapat
dideteksi parasit
mikrofilaria secara
spesifik dan sensitif.

Yang tak boleh lupa


ketika mengamati
parasit ini, sediaan mesti
diambil menurut
perkiraan periodisitas
sesuai spesies dan
hospesnya. Biasanya
untuk W.bancrofti sediaa
n diambil dari darah
ketika malam hari, atau
lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang
yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan
mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat
pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium
parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing
dewasa.

Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan
darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik
imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu
mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi
sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96
hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk
spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk
mikrofilaria Brugia.

Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik,
penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing
dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80%
penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali
spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar
metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun
biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE
dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran
dan liku-liku pembuluh limfe.

Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis,


infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda
utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan
sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari
keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta
abnormalitas sistem limfe kongenital.

Pengobatan

Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan
efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang
sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6
mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan
pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia,
antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun
albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu
menunjukan efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta


abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis
dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik.
Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing
dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.

Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan


fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik
untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak
mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara
berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik
ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa
dikurangi hingga menjadi sangat minim.
Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72
mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara
dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama
sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh.
Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara
cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan
dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang
efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual,
hingga muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah
parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala
hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit
yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi
dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti
yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping
yang serupa dengan gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi
pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M,
sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa
tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke
dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun
yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia. (farid)

Anda mungkin juga menyukai