J Calcium Channel Blockers As Tocolytics Principles of Their Actions, Adverse Effects and Therapeutic Combinations
J Calcium Channel Blockers As Tocolytics Principles of Their Actions, Adverse Effects and Therapeutic Combinations
Abstrak: Ca2= channel blockers (CCB) dihidropiridin banyak digunakan dalam terapi
persalinan prematur. Mekanisme kerjanya sebagai tokolitik melibatkan blokade saluran Ca 2+
tipe L, dipengaruhi oleh saluran K yang diaktivasi oleh Ca 2+, reseptor beta adrenergik (Beta-
AR), dan hormon seksual. Pada praktik klinis, sebagian besar pengalaman didapat dari
penggunaan nifedinpine, yang efikasinya lebih superior dan sebanding dengan jenis beta-
agonis dan antagonis oksitosin. Selain itu, jenis ini memiliki efek samping yang lebih baik
dibandingkan dengan mayoritas tokolitik lain. Efek samping CCB yang paling sering ditemui
dan paling dapat ditoleransi adalah takikardi, sakit kepala, dan hipotensi. Usaha terapi
tokolitik kini dilakukan untuk menemukan kombinasi agen tokolitik yang memberikan kerja
terapi yang lebih baik. Penelitian manusia dan hewan yang terserdia menunjukkan bahwa
kombinasi CCB dengan agonis beta-AR adalah sesuatu yang menguntungkan, walaupun
kombinasi semcam ini dapat memberi risiko edema paru pada kehamilan non tunggal dan
penyakit jantung pembuluh pada ibu. Data praklinis mengindikasikan manfaat potensial dari
kombinasi CCB dan antagonis oksitosin. Walau demikian, kombinasi CCB dengan
progesterone atau inhibitor siklooksigenase dapat menekan efikasinya. CCB kemungkinan
masih menjadi salah satu kelompok obat paling penting dalam inhibisi segera untuk kontraksi
prematur uterus. Signifikansinya dapat diperkuat dengan penelitian klinis lebih lanjut dalam
penggunaan secara kombinasi sebagai agen tokolisis.
Kata kunci: nifedipine, persalinan prematur, tokolisis, kombinasi
1. Pendahuluan
Kelahiran prematur (pre-term birth/PTB) adalah salah satu masalah klinis pada praktik
obstetri. Insidensi PTB dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lain, angkanya sangat
bervariasi di penjuru dunia, antara 5-11%. Terlepas dari ketersediaan berbagai obat yang
menghambat kontraksi prematur (tokolisis), farmakoterapi untuk PTB masih belum tepat.
Selain itu, efek samping pada ibu dan janin yang disebabkan oleh dosis tinggi obat semacam
ini dapat memicu munculnya komplikasi lebih lanjut; maka dari itu terdapat kebutuhan tinggi
untuk obat yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik untuk melawn PTB. Ca 2+ channel
blocker (CCB), dan khususnya nifedipine dan nicardipine, adalah jenis yang sering dipakai
untuk keperluan tokolisis. Dua jenis obat ini dianggap semakin penting, dan semakin lebih
signifikan daripada tokolitik tradisional seperti bloker reseptor beta-adrenergik (beta-AR)
atau magnesium sulfat. Walaupun keduanya tak memenuhi kriteria sebagai tokolitik ideal,
CCB memiliki sifat tertentu yang membuatnya lebih baik dari tokolitik lain. Haas et al.
menyimpulkan bahwa CCB memiliki kemungkinan tinggi dalam menunda PTB dan
memperbaiki keluaran neonatal.
Tabel 1. Pengaruh beberapa faktor fisiologis pada saluran Ca tipe L pada miometrium hamil.
Faktor fisiologis Efek pada salraun Ca tipe Relevansi klinis yang
L mungkin ada
Aktivasi saluran BKCa Inhibisi Kemungkinan peningkatan
efek tokolitik CCB
Aktivasi -AR
Pembukaan Peningkatan efek tokolitik
CCB
Efek progesterone jangka
Ekspresi bentuk yang Kemungkinan penurunan
panjang
kurang sensitif efek tokolitik CCB
3. Efikasi CCB untuk Melawan PTB
Sejumlah obat digunakan untuk melawan ancaman PTB, walaupun hanya antagonis oksitosin
yang telah diarahkan secara spesifik sebagai pengobatan tokolitik (Tabel 2). Maka, CCB DHP
digunakan untuk tujuan ini, tapi mereka belum dilisensikan untuk digunakan sebagai
tokolisis. Banyak data menunjukkan efikasi nifedipine, di mana sedikit informasi yang
tersedia mengenai kerja nicardipine pada PTB.
Nifedipine digunakan per oral untuk tokolisis dan penyakit kardiovaskuler. Dosis nifedipine
yang sesuai untuk tokolisis masih dalam penelitian. Dalam perbandingan dua rejimen dosis
untuk nifedipine oral pada penelitian ancaman PTB pada usia kehamilan antara 24 dan 34
minggu, telah ditemukan bahwa obat dosis tinggi (20 mg dosis awal, dan 120-160 mg/hari
selama 48 jam, diikuti 80-120 mg per hari selama 36 minggu) tak memiliki keunggulan bila
dibandingkan dengan dosis rendah (10 mg dosis awal, 60-80 mg per hari selama 48 jam,
diikuti 60 mg per hari selama hingga 36 minggu) yang menghasilkan kepasifan uterus. Pada
penelitian kecil di Bulgaria, nifedipine (40 mg empat kali sehari) menunda mayoritas
kehamilan dengan kontraksi uterus dini (32 dari 41 pasien) tanpa efek samping yang
signifikan.
Telah terdapat laporan mengenai rendahnya kerja nifedipine pada kontraksi prematur.
Percobaan randomisasi dengan kontrol placebo menunjukkan bahwa nifedipine 20 mg yang
diberikan setiap 4-6 jam sekali tidak mempertahankan kehamilan atau menunda persalinan
bila dibandingkan dengan kelompok placebo. Pada percobaan terkini, tokolisis yang dikelola
dengan nifedipine (80 mg/hari peroral selama 12 hari) tak menghasilkan reduksi signifikan
terhadap ancaman PTB, walaupun angka keluaran perinatal yang buruk lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan
nifedipine tak secara signifikan menunda persalinan.
Pada kehamilan kembar dimana nifedipine diberikan untuk tokolisis sebagai pengganti
tarbutaline subkutan setelah rawat inap untuk gejala rekuren PTB memiliki dampak positif
untuk memperpanjang kehamilan dan perbaikan keluaran neonatal.
Pada penelitian lain, nifedipine ditemukan lebih efektif daripada indomethacin dalam
menginhibisi kontraksi uterus selama 2 jam pertama; walau demikian, tak ada perbedaan
antara indomethacin dan nifedipine dalam menunda persalinan hingga 7 hari.
Atosiban dan nifedipine telah menunjukkan tak ada perbedaan signifikan dalam menunda
persalinan. Bukti terbatas ini menunjukkan tak ada perbedaan esensial dalam efikasi tokolitik
dari kedua obat. Pemberian per oral, harga yang lebih murah dan kemungkinan morbiditas
neonatal yang lebih baik, mendorong penggunaan nifedipine.
Nicardipine memiliki fitur unggulan di atas nifedipine yakni dapat diberikan secara intravena,
dan ini adalah pilihan pertama untuk beberapa ahli obstetri pada pengelolaan PTB. Walau
demikian, nicardipine intravena tak meningkatkan durasi kehamilan bila dibandingkan
dengan nifedipine oral. Median durasi antara terapi untuk PTB dan persalinan secara
signifikan lebih panjang bila nifedipine digunakan pula. Nicardipine oral juga merupakan
obat tokolitik yang efektif dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini dapat menghentikan PTB
lebih cepat daripada magnesium sulfat parenteral.
Nicardipine lebih dahulu ditemukan efektif sebagaimana salbutamol dalam terapi PTB, dan
diperkirakan memiliki keunggulan pada kasus khusus kehamilan dengan hipertensi, diabetes,
atau kardiopati ibu. Suatu pembandingan kecil antara nicardipine dengan salbutamol pada
penelitian kecil di Tunisia menguak tak ada perbedaan signifikan pada efikasi kedua senyawa
dalam hal rerata waktu hingga hilangnya kontraksi uterus. Walau demikian, efek simpang
sekunder yang lebih sedikit ditemukan pada nicardipine, yang mana membuatnya menjadi
tokolitik lini pertama.
6. Kesimpulan
CCB semakin digunakan untuk tokolisis, walaupun resminya tak dilisensikan untuk tujuan
ini. Efikasinya setidaknya ekuivalen dengan obat yang digunakan secara tradisional, tapi efek
simpangnya terlihat lebih ringan dan ditoleransi lebih baik daripada agonis beta adrenergik
dan tak lebih parah dari pada antagonis oksitosin. Sayangnya, CCB dalam monoterapi tak
lebih baik daripada tokolitik lain dalam usaha tokolisis jangka panjang (mempertahankan
kehamilan).
Efek nifedipine dalam terapi tokolitik mungkin lebih diperkuat dengan kombinasi bersama
senyawa lain. Efikasinya dapat meningkat dengan Beta2-mimetik konsentrasi rendah. Walau
demikian, pemberian agonis Beta2-adrenergik tak dapat mendahului pemberian nifedipine.
Terdapat sejumlah temuan klinis yang memperingatkan kombinasi penggunaan dua golongan
obat ini dalam kehamilan multipel dan pada gangguan kardiovaskuler ibu hamil. Di sisi lain,
kombinasinya dapat diteliti dalam kehamilan tunggal yang memerlukan tokolisis. Dengan
memperhatikan terbatasnya informasi sifat yang tersedia dari penelitian preklinik, suatu
percobaan untuk mengevaluasi efek kombinasi tokolitik CCB dan atosiban mungkin dapat
dilakukan di masa depan.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa CCB DHP harus menjadi salah satu golongan paling
penting dari obat untuk inhibisi cepat segera kontraksi uterus prematur. Terdapat kebutuhan
penting untuk tinjauan sistematik yang lebih baru (misal menurut prinsip tinjauan Cochrane)
pada aplikasi klinis CCB pada persalinan prematur. Selain itu, penelitian klinis lebih lanjut
diperlukan untuk menginvestigasi bagaimana meningkatkan efikasi kombinasi dengan obat
lain.