Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.
Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya
ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri.
Rinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi lamanya inflamasi mukosa hidung
dan sinus paranasal, yaitu akut jika kurang dari 4 minggu, subakut jika terjadi selama 4 sampai 12
minggu, dan dikatakan kronik jika terjadi lebih dari 12 minggu.
Gejala mayor dari rinosinusitis kronis adalah sumbatan atau penuhnya daerah fasialis,
nyeri tekan daerah fasialis, obstruksi atau sumbatan hidung, sekret hidung anterior atau posterior
(sekret bisa purulen atau nonpurulen), dan hiposmia atau anosmia. Diagnosis ditegakkan jika
terdapat dua atau lebih gejala mayor.
Rinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Berdasarkan data dari European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012
(EPOS 2012), prevalensi rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis.
Terdapat kaitan yang erat antara asma dengan rinosinusitis kronis pada semua umur.
Rinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16 % dari populasi penduduk Amerika Serikat.
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 memaparkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Menurut Soetjipto (2006) dalam
Multazar (2011), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300)
pasien adalah rinosinusitis kronis.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. A.S


Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Manglid Rt 04 / Rw 01, Kecamatan Bojong Picung, Cianjur.
Tanggal Pemeriksaan : 09 Mei 2017
No. Rekam Medis : 794514

2.2.Anamnesis

Keluhan Utama :
Hidung tersumbat di kedua hidung sejak + 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli THT RSUD Cianjur dengan keluhan hidung tersumbat di kedua
hidung sejak + 3 bulan SMRS. Keluhan disertai dengan cairan yang keluar dari hidung
berupa cairan warna jernih dan bau, hidung terasa gatal, sakit kepala, mata berair, kadang-
kadang demam, karena mampet jadi pasien sering bernafas dari mulut. Keluhan yang
dirasa hilang timbul, dan timbul ketika sehabis meminum minuman yang dingin. Bila
kambuh, telinga kanan dan kiri sakit, sakit kepala, mata berair, hidung gatal, nafas dari
mulut, dan nafsu makan menurun. Awalnya cairan yang keluar dari hidung berwarna
kuning dan kental tetapi akhir tahun ini cairan berwarna jernih dan bau. Batuk dan pilek
disangkal, mual dan muntah disangkal. Pasien tidak mempunyai hipertensi dan diabetes
melitus.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien sering mengalami keluhan seperti ini sejak + 15 tahun yang lalu, namun keluhan
hilang timbul. Riwayat operasi sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala seperti pasien.
- Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), asma (-), alergi (-).

Riwayat Alergi :

2
Alergi udara dingin, makanan dan obat disangkal. Pasien mempunyai alergi terhadap
debu.

Riwayat Pengobatan :
Pasien sering berobat ke puskesmas dan di kasih obat minum, namum pasien tidak
mengetahui nama obatnya. Setelah berobat pasien mengatakan keluhannya membaik,
namun bila obat habis beberapa hari kemudian keluhan timbul lagi.

2.3. PemeriksaanFisik
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Composmentis
- Berat Badan : 52 kg
- Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Pernafasan : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,8C

2.3.1. Status Generalis


Kepala : Normochepal
Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, refleks pupil (+/+)
Telinga : Lihat status lokalis
Hidung : Lihat status lokalis
Mulut : Lihat status lokalis
Tenggorok : Lihat status lokalis
Leher : Lihat status lokalis
Thorax
a. Inspeksi : Pergerakan dada simetris
b. Palpasi : Vocal fremitus kanan dengan kiri sama
c. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing-/-
Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis di ICS V midclavicula sinistra
c. Perkusi : Redup (+)
d. Auskultasi : BJ I & II murni , reguler , murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
a. Inpeksi : Supel
b. Palpasi : Nyeri tekan (-)

3
c. Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT< 2 dtk, sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT< 2 dtk, sianosis (-/-)

2.3.2. Status Lokalis THT

TELINGA

Tabel 2.1. Pemeriksaan Telinga


AD AS
Aurikula Normotia, atresia liang telinga
Normotia, atresia liang telinga
(-), perikondritis (-)
(-), perikondritis (-)

Peradangan (-), pus (-), fistula Preaurikula Peradangan (-), pus (-), fistula
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-), edema pembesaran KGB (-), edema
(-) (-)
.Peradangan (-), pus (-), fistula Retroaurikula Peradangan (-), pus (-), fistula
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-), edema pembesaran KGB (-), edema
(-) (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


secret (-), serumen (-), massa MAE secret (-), serumen (-), massa
(-), korpus alineum (-) (-), korpus alineum (-)

Hiperemis (-), edema (-),


Hiperemis (-), edema (-),
secret (-), serumen (-), massa
secret (-), serumen (-), massa KAE
(-), korpus alineum (-)
(-), korpus alineum (-)
Membran timpani
intak (+), refleks cahaya (+), intak (+), reflex cahaya (+),
perforasi (-), warna putih perforasi (-),warna putih
mengkilat seperti mutiara mengkilat seperti mutiara

(+) (+)
Uji Rinne

4
Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Uji Weber
Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Uji Schwabach

Interpretasi : Telinga kanan dan kiri Normal.

HIDUNG

a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2.2. Pemeriksaan Hidung

Dekstra Rinoskopi Anterior Sinistra

Hiperemis (-), tenang Mukosa Hiperemis (-), tenang

(-) Sekret (-)

Hipertrofi (+), hiperemis (+), Hipertrofi (+),hiperemis


Konka inferior
sekret (+) (+), sekret (+)

Deviasi (-) Septum Deviasi (-)

(-) Massa (-)

(+) Passase udara (+)

a. Sinus Paranasal
- Inspeksi : Pembengkakan pada pipi (-/-)
- Palpasi : Nyeri tekan pada pipi (-/-), nyeri tekan medial atap orbita (-/-),
nyeri tekan kantus medius (-/-)
b. Tes Penciuman
- Kanan : 10 cm dengan kopi, 4 cm dengan teh
- Kiri : 10 cm dengan kopi, 4 cm dengan teh
- Kesan : Hiposmia
c. Transiluminasi

5
- Sinus maksilaris : Tampak seperti bulan sabit di daerah pipi
- Sinus frontalis : Tampak seperti sarang tawon di daerah dahi

TENGGOROK

a. Nasofaring
Tabel 2.3. Pemeriksaan Nasofaring

Nasofaring (Rinoskopi Posterior)


Konka superior Tidak dilakukan
Torus tubarius Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan
Plika salfingofaringeal Tidak dilakukan

b. Orofaring
Tabe 2.4. Pemeriksaan Orofaring

Dekstra Pemeriksaan Orofaring Sinistra

Mulut

Tenang Mukosa mulut Tenang

Simetris, bersih Lidah Simetris, bersih

Simetris, bersih Palatum molle Simetris, bersih

Karies (-) Gigi geligi Karies (-)

Simetris Uvula Simetris

Tonsil

6
Tenang Mukosa Tenang

T1 T1

Melebar (-) Kripta Melebar (-)

(-) Detritus (-)

(-) Perlengketan (-)

Faring

Tenang Mukosa Tenang

(-) Granula (-)

(-) Post nasal drip (-)

Tes Pengecapan

Manis Normal
Asin Normal
Asam Normal
Pahit Normal

c. Laringofaring

Laringofaring (Laringoskopi Indirect)


Epiglotis Tidak dilakukan

7
Plika ariepiglotika Tidak dilakukan
Plika ventrikularis Tidak dilakukan
Plika vokalis Tidak dilakukan
Rima glotis Tidak dilakukan

MAKSILOFASIAL

Dekstra Nervus Sinistra

I. Olfaktorius
Hiposmia Penciuman Hiposmia
II. Optikus
6/6 Daya penglihatan 6/6
(+), isokor Refleks pupil (+), isokor
III. Okulomotorius
(+) Membuka kelopak mata (+)
Gerakan bola mata ke
(+) superior (+)
Gerakan bola mata ke
(+) inferior (+)
Gerakan bola mata ke
(+) (+)
medial
Gerakan bola mata
(+) (+)
ke laterosuperior
IV. Troklearis
(+) Gerakan bola mata ke (+)
lateroinferior
V. Trigeminal
Tes sensoris
(+) Cabang oftalmikus (+)
(V1)
(+) Cabang maksila (V2) (+)
(+) Cabang mandibula (+)
(V3)
VI. Abdusen
(+) Gerakan bola mata ke lateral (+)
VII. Fasial
(+) Mengangkat alis (+)
(+) Kerutan dahi (+)
(+) Menunjukkan gigi (+)
Normal Normal

8
Daya kecap lidah 2/3
anterior
VIII. Akustikus
Normal Tes garpu tala Normal
IX. Glossofaringeal
(+) Refleks muntah (+)
Normal Daya kecap lidah 1/3 Normal
posterior
X. Vagus
(+) Refleks muntah dan (+)
menelan
(-) Deviasi uvula (-)
(+) (+)
Pergerakan palatum
XI. Assesorius
(+) Memalingkan kepala (+)
(+) Kekuatan bahu (+)

XII. Hipoglossus
(-) Tremor lidah (-)
(-) Deviasi lidah (-)

LEHER
Dekstra Pemeriksaan Sinistra
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikular Pembesaran (-)

9
2.4. Resume
Pasien datang ke poli THT RSUD Cianjur dengan keluhan hidung tersumbat di kedua nasal
sejak + 3 bulan SMRS. Keluhan disertai dengan sekret yang keluar dari nasal berupa sekret
warna jernih dan bau, nasal terasa gatal, sakit kepala, mata berair, kadang-kadang demam,
karena mampet jadi pasien sering bernafas dari mulut. Keluhan yang dirasa hilang timbul,
dan timbul ketika sehabis meminum minuman yang dingin. Bila kambuh, auricula dextra
dan sinistra sakit, sakit kepala, mata berair, nasal gatal, nafas dari mulut, dan nafsu makan
menurun. Awalnya sekret yang keluar dari nasal berwarna kuning dan kental tetapi akhir
tahun ini sekret berwarna jernih dan bau.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


Konka inferior dextra dan sinistra: Hipertrofi (+), hiperemis (+), sekret (+).
Tes penciuman: Hiposmia.

2.5. Pemeriksaan Penunjang


- Darah lengkap: Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit.
- Endoskopi sinonasal.
- Foto kepala.
- CT-Scan kepala.

2.6. Diagnosis Banding


- Rhinosinusitis Kronis
- Rhinitis Kronis

2.7. DiagnosaKerja
Rhinosinusitis Kronis

2.8. Terapi
Medikamentosa
- Irigasi saline nasal; nasalin 3 dd 2 puf
- Antibiotik golongan clindamycin; clinex 3 dd 300 mg selama 5 hari
Non medikamentosa
- Hindari faktor pencetus atau alergen, seperti minuman yang dingin, ruangan ber-AC >
35C.
- Istirahat yang cukup.
- Hindari stress.
- Makan-makanan yang bergizi.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Hidung dan paranasal


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral
dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan
konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan
konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat
pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh
prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.

Gambar 1. Penampang Koronal Hidung


KOMPLEKS OSTEO-MEATAL

11
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara
konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Gambar 2. Kompleks osteo-meatal (KOM)

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior


sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di
posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding
medial dari infundibulum.
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang
terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga
menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi
oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian
posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi
terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior.
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior.
Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk
operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal.

12
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan
merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus
yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-
sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan
bermuara di meatus superior.

SINUS MAKSILA
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah
dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus
maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung
dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.

Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang
terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik
dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari
ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus
maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan
didekat fontanel posterior (Nizar, 2000). Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid
yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.

13
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan
hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid
anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang
dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan
tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat
pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat
masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal.
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu :
1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal.
2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi.
3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa
olfaktorius lebih dalam.

SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8- 10 tahun dan akan mencapai usia maksimal
sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal
dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.
SINUS SFENOID

14
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus
sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas
dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan
indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior
bersama dengan etmoid posterior.

II. Rhinosinusitis Kronis

DEFINISI
Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala
mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12
minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung),
hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala,
demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk.
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012),
rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan
adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau
pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/
hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret
mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan
atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau
sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu.
The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI)
mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung berlangsung selama lebih dari 12
minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan
hiposmia.

III. Patofisiologi Rinosinusitis Kronik


Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan
menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di
area kompleks osteomeatal. Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan
drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan
retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob
untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya
dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini
dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase
dan aerasi sinus.

15
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya: obstruksi mekanik seperti
septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip
serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi,
terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan
seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa
dan kerusakan silia.

IV. Etiologi Rinosinusitis Kronik


Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dandapat disebabkan oleh
kelainan struktur anatomi (variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab
Lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi.
Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik
adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella
kataralis.

V. Kekerapan
Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik
yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004. Prevalensi
rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-
2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5%- 4,6% dari seluruh kunjungan
poliklinik.
Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang
menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok
umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 20 penderita (57%) dan laki-laki sebanyak 15 penderita (43%).
Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita
rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak
47 penderita, yang terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki.
Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun
2008 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita
rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki
sebanyak 127 penderita (42,91%).

VI. Diagnosis Rinosinusitis Kronik


Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior,
pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan penunjang.

ANAMNESIS

16
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau
1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis
Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah
wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain:
sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk.
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada
sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus
dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan
badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan
oleh mata.
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada
peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena.
Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan
nyeri di daerah frontal.
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah
konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal
setelah proses infeksi hilang.

RINOSKOPI ANTERIOR
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa
hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat
adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.

PEMERIKSAAN NASOENDOSKOPI
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat
terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau
superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid,
konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal dripdan septum deviasi.

PEMERIKSAAN FOTO POLOS SINUS


Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi
rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus
paranasal posisi Waters.
Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks
osteomeataltidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai.

PEMERIKSAAN CT SCAN

17
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal, dimana
dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal.
CT-Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis
berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan
dipersiapkan untuk operasi. CT-Scan memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya
pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses
inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas.

VII. Komplikasi Rinosinusitis Kronik


Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut. Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan
antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio- ekonomi rendah yang kurang gizi dan
tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat
berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian.

Komplikasi yang terjadi dapat berupa :


1. Kelainan orbita
Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui system
vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita.
Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh
orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang
mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan
dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda
komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga
sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding
tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang.
Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering
menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai
kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis
tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.

3. Mukokel (kista)
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontal
meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi
pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi
besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit
kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.

18
VIII. Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti
bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik.
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum,
konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat
dan optimal, serta adanya obstruksi kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah.
Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini
menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan
fungsional.

BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL


Definisi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada sinus paranasal
dengan menggunakan endoskop yang bertujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan
mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah
kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan
drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.

Indikasi
Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya dilakukan untuk
penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang, yang seringkali disertai
adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukokel,
sinusitis alergi yang berkomplikasiatau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa,
dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.
Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan BSEF pada
periode Januari 2005 - Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33 kasus pada polip
hidung disertai sinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi
sinusitis dan septum deviasi.
Persiapan Pra-operasi
Persiapan kondisi pasien.
Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi
atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan
steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat
antikoagulansia juga harus diperhatikan.
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya.

19
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi
dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip
meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan
dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.
CT Scan
Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan
perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan
hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke
dalam orbita dan intrakranial.
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT Scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak
terjadi komplikasi operasi.

Tahapan Operasi
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan endoskop dan memulihkan
kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa
hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap
berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat
jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya
dengan sendirinya menjadi lebih rendah.
Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu
unsinektomi / infundibulektomi sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan
dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi.
Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik di RSUP H.
Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi
(77,1%) dan yang paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%).

Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila


Membuka akses ke meatus media
Pertama-tama perhatikan akses ke meatus media, jika sempit akibat deviasi septum, konka
bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus
dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur
endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa
masuk.
Membuka infundibulum
Tahap awal operasi adalah membuka rongga indundibulum dengan mengangkat prosesus
unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah
perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila
maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan

20
sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap
awal operasi ini sudah cukup.

ETMOIDEKTOMI RETROGRAD
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai
berikut, setelah tahap awal tadi, sebaiknya mempergunakan teleskop 0, dinding anterior bula
etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina
basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior.
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina
ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel
etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel
dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi.
Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan sel-sel etmoid anterior
sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior),
batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan
teleskop 0 atau 30. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograd ini lebih aman
dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi
intrakranial lebih besar.
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak
yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai
tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada
di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Identifikasi arteri etmoid anterior sangat
penting dan dihindari trauma pada arteri ini. Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada
dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus frontal.
Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior
yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini
adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri karotis interna di sisi
lateralnya.

Perawatan Paska Operasi


Perawatan paska operasi sangat penting, dimana pembersihan paska operasi dilakukan
untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang
bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan
operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas
jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit
iatrogenik.
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal
mungkin, tampon hidung dibuka 3 hari setelah operasi. Setelah itu hidung dibersihkan dengan
larutan salin.

21
Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau
lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna, diberikan 4-5 kali sehari.

Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para
ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi
akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan
penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk
mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi
bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah
sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BSEF dapat berupa
perdarahan, sinekia, stenosis sinus maksila, kerusakan duktus nasolakrimalis, edema kelopak
mata, kerusakan nervus optikus, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi dan sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar Z. A., Helmi, Restuti R. D. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: FK UI.

22
2. Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, Jones N, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology. 2012; 50
(23): 45:1-305.
3. Wang DY, Wardani RS, SinghK, Thanaviratananich S, Vicente G, Xu G, et al. A survey on
the management of acute rhinosinusitis among Asian physicians. Rhinology. 2011
Sep;49(3):264-71.
4. Soetjipto D, Wardhani RS. Guidline Penyakit THT di Indonesia. PP PERHATI-KL.2007.
5. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Dalam: Snow
JB and Ballenger JJ, penyunting. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-
16. Spanyol: BC Decker Inc. 2003; hal: 547-60.
6. Walsh WE and Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam: Bailey BJ and
Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1.
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; hal: 359-370.

23

Anda mungkin juga menyukai