PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.
Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya
ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri.
Rinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi lamanya inflamasi mukosa hidung
dan sinus paranasal, yaitu akut jika kurang dari 4 minggu, subakut jika terjadi selama 4 sampai 12
minggu, dan dikatakan kronik jika terjadi lebih dari 12 minggu.
Gejala mayor dari rinosinusitis kronis adalah sumbatan atau penuhnya daerah fasialis,
nyeri tekan daerah fasialis, obstruksi atau sumbatan hidung, sekret hidung anterior atau posterior
(sekret bisa purulen atau nonpurulen), dan hiposmia atau anosmia. Diagnosis ditegakkan jika
terdapat dua atau lebih gejala mayor.
Rinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Berdasarkan data dari European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012
(EPOS 2012), prevalensi rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis.
Terdapat kaitan yang erat antara asma dengan rinosinusitis kronis pada semua umur.
Rinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16 % dari populasi penduduk Amerika Serikat.
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 memaparkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Menurut Soetjipto (2006) dalam
Multazar (2011), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300)
pasien adalah rinosinusitis kronis.
1
BAB II
STATUS PASIEN
2.2.Anamnesis
Keluhan Utama :
Hidung tersumbat di kedua hidung sejak + 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Alergi :
2
Alergi udara dingin, makanan dan obat disangkal. Pasien mempunyai alergi terhadap
debu.
Riwayat Pengobatan :
Pasien sering berobat ke puskesmas dan di kasih obat minum, namum pasien tidak
mengetahui nama obatnya. Setelah berobat pasien mengatakan keluhannya membaik,
namun bila obat habis beberapa hari kemudian keluhan timbul lagi.
2.3. PemeriksaanFisik
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Composmentis
- Berat Badan : 52 kg
- Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Pernafasan : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,8C
3
c. Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT< 2 dtk, sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT< 2 dtk, sianosis (-/-)
TELINGA
Peradangan (-), pus (-), fistula Preaurikula Peradangan (-), pus (-), fistula
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-), edema pembesaran KGB (-), edema
(-) (-)
.Peradangan (-), pus (-), fistula Retroaurikula Peradangan (-), pus (-), fistula
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-), edema pembesaran KGB (-), edema
(-) (-)
(+) (+)
Uji Rinne
4
Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Uji Weber
Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Uji Schwabach
HIDUNG
a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2.2. Pemeriksaan Hidung
a. Sinus Paranasal
- Inspeksi : Pembengkakan pada pipi (-/-)
- Palpasi : Nyeri tekan pada pipi (-/-), nyeri tekan medial atap orbita (-/-),
nyeri tekan kantus medius (-/-)
b. Tes Penciuman
- Kanan : 10 cm dengan kopi, 4 cm dengan teh
- Kiri : 10 cm dengan kopi, 4 cm dengan teh
- Kesan : Hiposmia
c. Transiluminasi
5
- Sinus maksilaris : Tampak seperti bulan sabit di daerah pipi
- Sinus frontalis : Tampak seperti sarang tawon di daerah dahi
TENGGOROK
a. Nasofaring
Tabel 2.3. Pemeriksaan Nasofaring
b. Orofaring
Tabe 2.4. Pemeriksaan Orofaring
Mulut
Tonsil
6
Tenang Mukosa Tenang
T1 T1
Faring
Tes Pengecapan
Manis Normal
Asin Normal
Asam Normal
Pahit Normal
c. Laringofaring
7
Plika ariepiglotika Tidak dilakukan
Plika ventrikularis Tidak dilakukan
Plika vokalis Tidak dilakukan
Rima glotis Tidak dilakukan
MAKSILOFASIAL
I. Olfaktorius
Hiposmia Penciuman Hiposmia
II. Optikus
6/6 Daya penglihatan 6/6
(+), isokor Refleks pupil (+), isokor
III. Okulomotorius
(+) Membuka kelopak mata (+)
Gerakan bola mata ke
(+) superior (+)
Gerakan bola mata ke
(+) inferior (+)
Gerakan bola mata ke
(+) (+)
medial
Gerakan bola mata
(+) (+)
ke laterosuperior
IV. Troklearis
(+) Gerakan bola mata ke (+)
lateroinferior
V. Trigeminal
Tes sensoris
(+) Cabang oftalmikus (+)
(V1)
(+) Cabang maksila (V2) (+)
(+) Cabang mandibula (+)
(V3)
VI. Abdusen
(+) Gerakan bola mata ke lateral (+)
VII. Fasial
(+) Mengangkat alis (+)
(+) Kerutan dahi (+)
(+) Menunjukkan gigi (+)
Normal Normal
8
Daya kecap lidah 2/3
anterior
VIII. Akustikus
Normal Tes garpu tala Normal
IX. Glossofaringeal
(+) Refleks muntah (+)
Normal Daya kecap lidah 1/3 Normal
posterior
X. Vagus
(+) Refleks muntah dan (+)
menelan
(-) Deviasi uvula (-)
(+) (+)
Pergerakan palatum
XI. Assesorius
(+) Memalingkan kepala (+)
(+) Kekuatan bahu (+)
XII. Hipoglossus
(-) Tremor lidah (-)
(-) Deviasi lidah (-)
LEHER
Dekstra Pemeriksaan Sinistra
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikular Pembesaran (-)
9
2.4. Resume
Pasien datang ke poli THT RSUD Cianjur dengan keluhan hidung tersumbat di kedua nasal
sejak + 3 bulan SMRS. Keluhan disertai dengan sekret yang keluar dari nasal berupa sekret
warna jernih dan bau, nasal terasa gatal, sakit kepala, mata berair, kadang-kadang demam,
karena mampet jadi pasien sering bernafas dari mulut. Keluhan yang dirasa hilang timbul,
dan timbul ketika sehabis meminum minuman yang dingin. Bila kambuh, auricula dextra
dan sinistra sakit, sakit kepala, mata berair, nasal gatal, nafas dari mulut, dan nafsu makan
menurun. Awalnya sekret yang keluar dari nasal berwarna kuning dan kental tetapi akhir
tahun ini sekret berwarna jernih dan bau.
2.7. DiagnosaKerja
Rhinosinusitis Kronis
2.8. Terapi
Medikamentosa
- Irigasi saline nasal; nasalin 3 dd 2 puf
- Antibiotik golongan clindamycin; clinex 3 dd 300 mg selama 5 hari
Non medikamentosa
- Hindari faktor pencetus atau alergen, seperti minuman yang dingin, ruangan ber-AC >
35C.
- Istirahat yang cukup.
- Hindari stress.
- Makan-makanan yang bergizi.
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara
konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
12
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan
merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus
yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-
sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan
bermuara di meatus superior.
SINUS MAKSILA
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah
dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus
maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung
dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang
terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik
dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari
ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus
maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan
didekat fontanel posterior (Nizar, 2000). Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid
yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
13
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan
hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid
anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang
dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan
tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat
pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat
masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal.
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu :
1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal.
2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi.
3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa
olfaktorius lebih dalam.
SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8- 10 tahun dan akan mencapai usia maksimal
sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal
dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.
SINUS SFENOID
14
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus
sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas
dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan
indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior
bersama dengan etmoid posterior.
DEFINISI
Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala
mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12
minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung),
hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala,
demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk.
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012),
rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan
adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau
pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/
hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret
mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan
atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau
sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu.
The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI)
mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung berlangsung selama lebih dari 12
minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan
hiposmia.
15
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya: obstruksi mekanik seperti
septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip
serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi,
terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan
seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa
dan kerusakan silia.
V. Kekerapan
Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik
yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004. Prevalensi
rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-
2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5%- 4,6% dari seluruh kunjungan
poliklinik.
Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang
menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok
umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 20 penderita (57%) dan laki-laki sebanyak 15 penderita (43%).
Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita
rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak
47 penderita, yang terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki.
Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun
2008 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita
rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki
sebanyak 127 penderita (42,91%).
ANAMNESIS
16
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau
1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis
Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah
wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain:
sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk.
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada
sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus
dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan
badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan
oleh mata.
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada
peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena.
Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan
nyeri di daerah frontal.
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah
konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal
setelah proses infeksi hilang.
RINOSKOPI ANTERIOR
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa
hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat
adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
PEMERIKSAAN NASOENDOSKOPI
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat
terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau
superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid,
konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal dripdan septum deviasi.
PEMERIKSAAN CT SCAN
17
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal, dimana
dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal.
CT-Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis
berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan
dipersiapkan untuk operasi. CT-Scan memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya
pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses
inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas.
3. Mukokel (kista)
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontal
meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi
pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi
besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit
kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.
18
VIII. Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti
bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik.
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum,
konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat
dan optimal, serta adanya obstruksi kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah.
Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini
menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan
fungsional.
Indikasi
Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya dilakukan untuk
penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang, yang seringkali disertai
adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukokel,
sinusitis alergi yang berkomplikasiatau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa,
dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.
Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan BSEF pada
periode Januari 2005 - Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33 kasus pada polip
hidung disertai sinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi
sinusitis dan septum deviasi.
Persiapan Pra-operasi
Persiapan kondisi pasien.
Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi
atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan
steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat
antikoagulansia juga harus diperhatikan.
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya.
19
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi
dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip
meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan
dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.
CT Scan
Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan
perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan
hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke
dalam orbita dan intrakranial.
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT Scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak
terjadi komplikasi operasi.
Tahapan Operasi
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan endoskop dan memulihkan
kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa
hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap
berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat
jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya
dengan sendirinya menjadi lebih rendah.
Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu
unsinektomi / infundibulektomi sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan
dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi.
Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik di RSUP H.
Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi
(77,1%) dan yang paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%).
20
sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap
awal operasi ini sudah cukup.
ETMOIDEKTOMI RETROGRAD
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai
berikut, setelah tahap awal tadi, sebaiknya mempergunakan teleskop 0, dinding anterior bula
etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina
basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior.
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina
ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel
etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel
dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi.
Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan sel-sel etmoid anterior
sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior),
batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan
teleskop 0 atau 30. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograd ini lebih aman
dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi
intrakranial lebih besar.
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak
yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai
tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada
di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Identifikasi arteri etmoid anterior sangat
penting dan dihindari trauma pada arteri ini. Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada
dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus frontal.
Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior
yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini
adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri karotis interna di sisi
lateralnya.
21
Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau
lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna, diberikan 4-5 kali sehari.
Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para
ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi
akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan
penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk
mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi
bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah
sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BSEF dapat berupa
perdarahan, sinekia, stenosis sinus maksila, kerusakan duktus nasolakrimalis, edema kelopak
mata, kerusakan nervus optikus, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi dan sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar Z. A., Helmi, Restuti R. D. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: FK UI.
22
2. Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, Jones N, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology. 2012; 50
(23): 45:1-305.
3. Wang DY, Wardani RS, SinghK, Thanaviratananich S, Vicente G, Xu G, et al. A survey on
the management of acute rhinosinusitis among Asian physicians. Rhinology. 2011
Sep;49(3):264-71.
4. Soetjipto D, Wardhani RS. Guidline Penyakit THT di Indonesia. PP PERHATI-KL.2007.
5. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Dalam: Snow
JB and Ballenger JJ, penyunting. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-
16. Spanyol: BC Decker Inc. 2003; hal: 547-60.
6. Walsh WE and Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam: Bailey BJ and
Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1.
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; hal: 359-370.
23