KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai
DRP, Jenis DRPs, Blanko DRPs.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kelemahan, baik dari segi
penulisan, tata bahasa maupun bentuk ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan kami. Oleh karena itu kami dengan senang hati menerima kritik
dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnan makalah ini.
Kami pun menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak mendapatkan
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga semua bantuan, dukungan dan doa yang telah
diberikan menjadi amal yang baik serta mendapat ridho dan balasan dari Allah SWT. Amin
Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. Semoga makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada khususnya bagi teman-teman.
Penyusun
Daftar isi
ii
Contents
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii
Pekanbaru , April 2017 ................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ................................................................................................................. 2
BAB II.............................................................................................................................................. i
PEMBAHASAN .............................................................................................................................. i
2.1 Drug Related Problems (DRPs) ............................................................................................. i
2.2 Kategori Drug Related Problems (DRPs) ............................................................................. ii
2.3 Komponen DRPs ............................................................................................................... viii
2.4 Cara Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) ............................................................. viii
2.5 Jenis jenis DRPs............................................................................................................ xviii
Bab III ........................................................................................................................................ xxiv
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... xxiv
3.2 Saran ................................................................................................................................ xxiv
iii
i
1
BAB I
PENDAHULUAN
DRPs terdiri dari tujuh kategori, empat kategori diantaranya adalah ketidaktepatan pemilihan
obat, dosis kurang, dosis lebih dan interaksi obat. Ketidaktepatan pemilihan obat dapat
menyebabkan obat tidak efektif, menimbulkan toksisitas atau efek samping obat, dan
membengkakan biaya pengobatan. Faktor pendukung yang menyebabkan pasien menerima dosis
lebih atau kurang, antara lain ialah obat diresepkan dengan metode fixed- model (hanya merujuk
pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan
kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan pada peresepan, adanya asumsi dari tenaga
kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik sampai
mengorbankan sisi efektivitas terapi (Strand et al., 1998).
Farmasis dalam kaitannya dengan Pharmaceutical care harus memastikan bahwa pasien
mendapatkan terapi obat yang tepat, efisien dan aman. Hal ini melibatkan tiga fungsi umum,
yaitu: mengidentifikasi DRPs yang terjadi dan potensial terjadi, mengatasi DRPs yang terjadi,
mencegah terjadinya DPRs yang potensial terjadi (Rovers et.al., 2003). Munculnya DRPs dapat
dipicu dengan semakin meningkatnya jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi pasien untuk
mengatasi berbagai penyakit yang diderita, seperti pada beberapa penyakit kronik (Rakhmawati
et al., 2007).
1
1.2 Rumusan masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
i
DRPs dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan
jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkatagorikan DRPs dan
penyebabnya.
Kunci utama untuk mengidentifikasi DRPs dan untuk menyusun rencana yang tepat
sebagai respon atas kebutuhan obat pasien secara individu adalah dengan pasien itu sendiri,
apabila pasien menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaian maka kemungkinan
terjadinya DRPs selama pengobatan dapat dihindari (Cipolle et.al., 1998 : 81).
ii
menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah
kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat
menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya,
penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara
pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam
tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara
lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa
mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit
pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga
kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik
terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang
menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor
ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak
paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga
hari pada penyakit ISFA Pneumonia.
5. Dosis Terlalu Besar
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya.
Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi
membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis
terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi
minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol
secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme
fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
6. Pasien Mengalami Efek Obat yang Tidak Diinginkan (Adverse Drug Reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat
tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari
frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis
yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
iii
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan
serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan
atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas
hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali
bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi
obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
b. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi
mencakup tipe berikut :
Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas)
Tipe II, sitotoksik
Tipe III, serum
Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
c. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
d. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
e. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
7. Terjadinya Interaksi Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat
termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui
interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan
secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya
iv
pada pasien. Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit.
Mekanisme interaksi obat, yakni :
a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat
yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian
menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang hasilnya
mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau
mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktifasi obat.
Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah interaksi antar
obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.
b. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi,
distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua
meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan
efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke
obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya
mirip, karena antara obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiko kimia yang
menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya. Misalnya, penggunaan
ketokonazol dan paracetamol secara bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme
paracetamol oleh ketokonazol sehingga kadar paracetamol meningkat.
c. Interaksi farmakodinami
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang
aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian
besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi
farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat
lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat
v
memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Misalnya, penggunaan
warfarin dan aspirin dapat meningkatkan terjadinya perdarahan.
8. Ketidakpatuhan Pasien (Pasien Mengalami Kondisi Keadaan Yang Tidak Diinginkan
Akibat TidakMinum Obat Secara Benar)
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis
atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama
pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah
diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab
ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang
telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan
pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat
sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien
enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan
beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti
ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan.
vi
Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak
patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis,
hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam
penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak
perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien
tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi
telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi,
sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi
antibiotik.
f. Takut akan efek samping
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri
lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat
rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
h. Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh
anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan
penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah
pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
i. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien
akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
j. Pasien lupa dalam pengobatan.
k. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk
penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat
dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran
sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi
vii
obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena
itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta
keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya
pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang
efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien
dapat berjalan dengan baik.
viii
a. Informasi tentang data demografi pasien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,
BB, alamat, agama, pekerjaan, dan lokasi ruangan.
b. Tanggal masuk dan ke luar rumah sakit.
c. Identitas dokter dan farmasis.
d. Riwayat penyakit pasien.
e. Riwayat pengobatan sebelumnya dan yang sekarang.
f. Riwayat keluarga dan status sosial.
g. Gaya hidup atau kebiasaan pasien sehari-hari (pola makan, pola tidur, dan
sebagainya).
h. Masalah medis yang bersifat kronis dan akut.
i. Data laboratorium dan hasil pemeriksaan lain.
j. Jadwal pemberian obat.
k. Riwayat alergi
2. Modul 2: Drug Therapy Assesment Worksheet (DTAW)
DTAW adalah form yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
mereview DRPs, untuk menilai kualitas dan efisiensi pengobatan yang dihubungkan
dengan profil penyakit, profil obat, dan profil pasien dengan mempertimbangkan efikasi,
keamanan, dan biaya. Semua DRPs yang ditemukan dicatat di dalam DTAW.
3. Modul 3: Drug Therapy Problem List (DTPL)
Pada lembar ini ditulis jenis DRPs yang ditemukan sesuai yang ada,di DTAW dan
rekomendasi yang diberikan kepada dokter atau perawat untuk tercapainya keberhasilan
terapi.
4. Modul 4: Pharmacist Care Plan (PCP)
PCP berisi ulasan lebih rinci tentang rencana yang akan dilakukan oleh farmasis
untuk mewujudkan kerasionalan penggunaan obat. Lembar ini memuat rencana kerja
yang harus dikerjakan oleh farmasis, parameter klinik yang dipantau untuk mencapai
tujuan terapi, frekuensi pemantauan kepada pasien dan waktu pemantauan.
ix
pencatatan efektivitas dari terapi, ataupun kemungkinan efek samping obat yang dialami
pasien.
Permasalahan
Kode
Domain Primer v6.2 Permasalahan
Terdapat (potensi)
P1.2
masalah karena efek Efek pengobatan tidak optimal.
farmakoterapi yang
buruk. P1.3 Efek yang tidak diinginkan dari
terapi.
x
P1.4
Indikasi tidak tertangani.
xi
Klasifikasi Penyebab Permasalahan Terkait Obat (DRP)
Penyebab
(satu masalah dapat disebabkan banyak hal)
Kode
Domain Primer v6.2 Penyebab
C1.4
Duplikasi yang tidak tepat
C1.8 sinergistik/pemcegahan
namun tidak diberikan
xii
C1.9 Indikasi baru bagi terapi obat
muncul
Memburuknya/membaiknya
C4.1
Durasi Terapi Durasi terapi terlalu singkat
xiii
Penyebab DRP berkaitan
dengan durasi terapi. C4.2
Durasi terapi terlalu lama
C5.5
Obat yang digunakan salah
C5.6
Penyalahgunaan obat
Persediaan/Logistik
C6.2 Kesalahan peresepan
Penyebab DRP berkaitan
(hilangnya informasi penting)
dengan ketersediaan obat
saat dispensing. C6.3
Kesalahan dispensing (salah
xiv
obat atau salah dosis)
C7.1
Pasien lupa minum obat
Pasien mengkonsumsi
Pasien makanan yang berinteraksi
C7.3
Penyebab DRP berkaitan dengan obat
dengan kepribadian atau
perilaku pasien. C7.4 Pasien tidak benar
menyimpan obat
C8.1
Penyebab lain
Berikut adalah Intervensi terhadap permasalahan terkait obat terbaru (versi 6.2) menurut PCNE
(Pharmaceutical Care Network Europe Foundation).
Intervensi
(satu masalah dapat mendorong lebih dari satu intervensi)
Kode
Domain Primer v6.2 Intervensi
I0.0
Tidak Ada Intervensi Tidak Ada Intervensi
xv
I1.1 Menginformasikan kepada
dokter
I1.2
Dokter meminta informasi
I3.2
Mengganti dosis
xvi
I3.4 Mengganti instruksi
penggunaan
I3.5
Menghentikan pengobatan
I3.6
Memulai pengobatan baru
I4.1
Intervensi lain
Berikut adalah klasifikasi efek dari intervensi terhadap permasalahan terkait obat terbaru
(versi 6.2) menurut PCNE (Pharmaceutical Care Network Europe Foundation).
Kode
Domain Primer v6.2 Efek Dari Intervensi
xvii
Masalah tidak O3.1 Masalah tidak terselesaikan,
terselesaikan pasien kurang kooperatif
xviii
Obat yang diberikan memberikan efek samping yang memberatkan kondisi pasien,
misalnya captopril menyebabkan batuk yang mengganggu (efek samping ini tidak selalu
terjadi, karena sensitifitas setiap orang berbeda-beda).
xix
3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat,
alkohol dan rokok
4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik
diobatidengan non drug therapy
5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi
dimana hanyasingle drug therapy dapat
digunakan
6. Pasiendengan terapi obat untuk penyembuhan
dapatmenghindari reaksi yang merugikan dengan
pengobatanlainnya
Obat tidak tepat 1. Pasien dimana obatnya tidak efektif
(Wrong drug) 2. Pasien alergi
3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif
untuk indikasi pengobatan
4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi
penggunaanobat
5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly
6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman
7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap
obat yang diberikan
Dosis terlalu 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi
rendah (Inadequate obat yang digunakan
dosage) 2. Pasien menerima kombinasi produk yag tidak
perlu dimana single drug dapat memberikan
pengobatan yang tepat
3. Pasien alergi
4. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
menimbulkanrespon
5. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah
rangeterapeutik yang diharapkan
6. Waktu prophylaksis (presurgikal) antibiotik
xx
diberikan terlalucepat
7. Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien
8. Terapi obat berubah sebelum terapetik percobaan
cukupuntuk pasien
9. Pemberian obat terlalu cepat
Reaksi obat yang 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila
Merugikan obatdigunakan
(Adverse drug 2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan
reaction) interaksi dengan obat lain atau makanan pasien
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi
makanan pasien
4. Efek dari obat diubah enzym inhibitor atau
induktor dari obatlain
5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat
dari bindingsite oleh obat lain
6. Hasil laboratorium dapat berubah karena
gangguan obat lain
Dosis telalu tinggi 1. Dosis terlalu tiggi
(Over dosage) 2. Konsentrasi obat dalam serum pasien di atas
therapeuticrange obat yang diharapkan
3. Dosis obat meningkat terlalu cepat
4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak
tepat
5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Ketidakpatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pemkaian obat
pasien yang tepat (penulisan, obat, pemberian,
(Uncompliance) pemakaian)
2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi
yang diberikan untuk pengobatan
3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan
karena harganya mahal
xxi
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang
diresepkankarena kurang mengerti
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang
diresepkansecara konsisten karena merasa sudah
sehat
(Cipolle et al., 1998)
xxii
xxiii
Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari
pengalaman pasien akibat terapi obat sehingga secara aktual maupun potensial dapat
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan
- Tipe DRP dibagi menjadi :
Reaksi tipe A, reaksi tipe B, reaksi tipe C, reaksi tipe D, reaksi tipe E
- Komponen DPRs
Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, Hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi
obat
-Cara identifikasi DPRs yaitu dengan modul 1-5
3.2 Saran
Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan
screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada
pasien tersebut agar masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti
tentang pengobatannya yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan
yang teratur
xxiv