Jump to Comments
Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena
merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan
berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut.
Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari
perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing
Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
1. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan
yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi
ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks
dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2
menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan
menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak
lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk
melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku
untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).
Pernikahan sedianya dilakukan saat usia pria dan wanita matang dan tidak di bawah umur.
Hal ini dimaksudkan dampak negatif dari pernikahan yang dijalani tak muncul berlebihan.
Terlepas dari harapan tersebut, realitanya saat ini ialah masih banyak anak yang melakukan
pernikahan di bawah umur, terutama mereka yang tinggal di daerah dan kurang memahami
dampak yang terjadi nantinya.
Hal ini tentu saja ini juga membawa keprihatinan bagi Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar.
Sangat prihatin. Kita bisa melihat nilai negatifnya dari tiga sisi, katanya saat ditemui
Okezone secara eksklusif di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Menurutnya, secara psikologi hal tersebut tentunya berpengaruh pada kondisi mental yang
masih labil serta belum adanya kedewasaan dari si anak. Dikhawatirkan, keputusan yang
diambil untuk menikah adalah keputusan remaja yang jiwa dan kondisi psikologisnya belum
stabil. Jadi, keputusannya bukan orang dewasa yang belum menyadari bahwa menikah adalah
suatu keputusan besar dimana akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan yang
dijalaninya.
Selain itu, Linda juga mengatakan kalau pernikahan di usia belia berbahaya bagi kesehatan.
Apalagi perempuanlah yang cukup banyak memiliki risiko seperti pada kandungan dan
kebidanannya. Sebab, secara medis menikah di usia tersebut dapat mengubah sel normal (sel
yang biasa tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang akhirnya dapat menyebabkan
infeksi kandungan dan kanker. Sedangkan untuk kebidanan, hamil di bawah usia 19 tahun
tentunya sangat beresiko pada kematian. Terlebih secara fisik remaja belum kuat yang pada
akhirnya bisa membahayakan proses persalinan.
Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat kita berupaya menekan angka kematian,
imbuhnya.
Sementara dari sisi ekonomi, Linda mengakui kalau perkawinan yang dilakukan di bawah
umur sering kali belum mapan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Sehingga ini pun
dikhawatirkan akan menjadi penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. (ind) (tty)
Hal ini tidak hanya berlaku untuk pihak wanita saja, namun pria pun juga harus melakukan
hal serupa. Apalagi, kehidupan pernikahan merupakan tanggung jawab yang harus diemban
bersama.
Kesiapan membina keluarga baru atau menikah adalah bukan hanya dititikberatkan pada
perempuan saja, tetapi juga terhadap laki-laki. Kedua-duanya harus mempersiapkan diri
terlebih dulu sebelum mengambil keputusan untuk melangsungkan perkawinan, ujar Linda
Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat
ditemui Okezone secara eksklusif di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat,
belum lama ini.
Lebih lanjut, Linda menuturkan bahwa saat memutuskan untuk menikah orang tersebut tidak
hanay dituntut kesiapan secara mental saja. Wanita ramah tersebut menyarankan agar
pasangan yang akan menjalani itu hendaknya bisa mempertimbangkangkan dari segala sisi.
Tentunya hal itu bermaksud untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan dari
kesiapan pernikahan yang tidak matang.
Kesiapan pemikiran, yang dilihat dari kesiapan dari cara berpikir dan tujuan dari pernikahan.
Kesiapan psikologis, artinya kesiapan dalam menghadapi permasalahan yang timbul setelah
pernikahan. Kesiapan fisik yang artinya seorang yang akan menikah tentu yang sudah cukup
umur.
(Ilustrasi)
Peneliti menegaskan jika prosentase angka pernikahan dini turun sebanyak 10 persen, maka
bisa dikaitkan dengan penurunan angka kematian ibu sebesar 70 persen.
Fenomena pernikahan dini pada dasarnya merupakan bagian dari budaya masyarakat
tertentu. Minimnya akses mendapatkan fasilitas kesehatan, tingkat pendidikan yang rendah,
dan asupan gizi yang kurang memadai adalah beberapa faktor risiko penyebab kematian ibu
dan anak akibat menikah di usia dini.
Kemiskinan dan konflik-konflik yang ada juga dapat mempertajam keinginan orang tua agar
anak gadisnya menikah di usia dini, tambah Raj.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi biasanya terjadi akibat komplikasi saat melahirkan,
tubuh kekurangan gizi, hingga bayi terlahir cacat.
Inilah sebabnya seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa banyak risiko yang harus
dihadapi jika menikah di usia dini.
(dat06/duniafitnes)
Kamis, 27 Juni 2013 | 15:45 WIB
Ilustrasi. sublimeburst.com
Follow
Berita Terkait
Topik
#Kesehatan Remaja
Julianto, yang juga dokter kandungan ini, beralasan tubuh ibu muda usia dibawah 20 tahun
belum siap untuk hamil. "Anak umur belasan tahun kan panggul, rahimnya belum siap, masih
kecil," kata Julianto usai menjadi pembicara Seminar Layanan KB di Universitas Haluoleo,
Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis, 27 Juni 2013.
Dalam masa pertumbuhan, anak kerdil ini bakal tampak terlambat ketimbang anak normal.
Bisa terlihat dari tinggi badan, berat badan, hingga ukuran tubuh. Paling bahaya, kata
Julianto, volume otak anak kerdil bakal lebih kecil ketimbang anak normal. Itu bisa
berdampak pada rendahnya kualitas intelegensia anak. "Ini harus diatasi, kalau tidak bisa
mengancam generasi Indonesia ke depan."
Selain itu, anak kerdil rawan menderita penyakit. Bahkan penyakit yang beresiko tinggi,
seperti jantung dan diabetes. "Ini juga buruk bagi jaminan kesehatan masyarakat Indonesia ke
depan, bakal mahal," ujarnya.
Untuk itu, BKKBN akan terus memperluas sosialisasi bahaya pernikahan dini. Termasuk
meminta peran media untuk menyebarluaskan informasi ini. Sebab, berdasar data hasil survei
BKKBN tahun 2012, angka perempuan menikah usia 10-14 di Indonesia sebesar 4,2 persen.
Sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8 persen. "Jadi total anak
perempuan menikah dibawah 20 tahun ada 45 persen, sangat tinggi," tutup dia.
3 Dampak Buruk Pernikahan Dini
Penulis : Wardah Fazriyati | Kamis, 6 Oktober 2011 | 15:33 WIB
|
Share:
SHUTTERSTOCK
Perkawinan anak tidak lebih dari sekadar pemerkosaan terhadap anak?
Artikel Terkait:
KOMPAS.com Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak
perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini,
juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan
anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen
anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun.
Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran
kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan
temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008
adalah perkawinan anak, ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, dalam siaran
persnya.
Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku
seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan
kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis,
serta lemahnya penegakan hukum.
1. Rentan KDRT
Menurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen
anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah.
2. Risiko meninggal
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak
perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima
kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia
20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki
kemungkinan dua kali lebih besar.
Editor :
wawa
Kerugian Akibat Pernikahan Dini bagi Wanita
Seiring pergaulan yang semakin bebas saat ini, terjadinya pernikahan dini seolah
tidak dapat dihindarkan. Meski masih cukup kontroversial, pernikahan dini telah
menjadi solusi instan untuk beberapa kasus. Sebenarnya mengapa banyak orang
yang tidak setuju pernikahan seperti ini? Karena pada realitanya, cukup banyak
kerugian akibat pernikahan dini bagi wanita.
Denagn kondisi keluarga yang kadang sangat emosional, wanita sering merasa
jenuh. Akibatnya, dia ingin mencari distrkasi dengan lingkungan lain, atau justru
terbelenggu dalam dunianya yang baru: keluarga. Selain itu, anak pun kadang
kurang diperhatikan.
Wanita sering memiliki mimpi yang beragam, baik untuk membahagiakan orang
tua, meraih prestasi setinggi-tingginya, maupun membangun keluarga yang
bahagia. Dengan pernikahan dini, persiapan yang kuranga justru sering
berujung pada hilangnya impian tersebut.
Dengan tingkat emosi laki-laki yang belum stabil, suami sering mengutamakan
kepentingan dan kebahagiaan diri. Hal ini membuat kehidupan keluarga akan
semakin berat dan pada beberapa kasus akan berujung pada perceraian. Jika hal
ini terjadi, pihak wanita lah yang akan banyak menanggung kerugian.
Itulah sekilas tentang kerugian akibat pernikahan dini bagi wanita. Nah, setelah
membaca artikel ini, tentu sista memiliki gambaran bahwa pernikahan dini dapat
saja membawa kerugian jika dilandasi oleh keterpaksaan. Jadi, jika sista
memutuskan untuk menikah secara dini, pastikan semua niat itu dilandaskan
karena kesiapan, bukan karena keterpaksaan.
Salah siapa?
Pernikahan hakekatnya adalah penyatuan 2 insan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang
suci, yang mengandung arti sakral dan janji di hadapan Tuhan dalam membina rumah tangga
yang baik dan harmonis. Namun terkadang orang masih mempertanyakan, Sebenarnya apa
sih yang dicari dalam pernikahan? Bukannya kalau menikah itu orang tambah susah karena
tambah banyak masalah?. Menikah atau tidak tentu orang hidup itu mempunyai masalah.
Namun bagaimana jika ada sanak saudara atau keluarga yang memutuskan untuk menikah di
usia muda atau menikah dini?
Pernikahan bukan hanya sekedar pesta atau kesenangan sesaat. Hendaknya apabila seseorang
sudah berani untuk memutuskan menikah, ia harus siap baik secara mental maupun material.
1. Ekonomi
Faktor ekonomi adalah faktor yang sering dijadikan untuk pernikahan dini. Orang tua yang
tak mampu membiayai hidup dan sekolah terkadang membuat sang anak memutuskan untuk
menikah dini. Sejuta harapan sudah terbayangkan apabila ia memutuskan untuk menikah
dini, maka hidupnya akan tercukupi secara materi.
Solusi: Jika memang harus putus sekolah dan membantu keadaan ekonomi keluarga,
mengapa tidak meminta anak untuk melakukan aktivitas ekonomi yang positif? Sesuaikan
dengan minat dan bakat anak.
2. Pendidikan
Tugas seorang anak adalah sekolah dengan baik. Namun faktor ekonomi sering terjadinya
putus sekolah. Karena tidak sekolah dan tidak ada kegiatan positif yang bisa ia lakukan, maka
ketika datang seseorang yang mau melamar akan langsung diterima tanpa memikirkan efek
yang akan terjadi ke depannya. Padahal dengan pendidikan, kehidupan anak akan menjadi
jauh lebih baik. Sudah menjadi kewajiban orang tua agar anak mendapatkan pendidikan yang
layak, seberat apapun masalah yang dihadapinya.
Seketat apapun orang tua melindungi anaknya dari dunia luar, tetap saja akan kena imbasnya
walau sedikit. Dengan perkembangan jaman yang cepat, internet atau sarana media yang lain
yang mudah diakses membuat anak terjatuh dalam pergaulan bebas. Terkadang orang tua
tidak mampu mengikuti perkembangan jaman dan akan terkaget-kaget melihat efeknya.
Adanya perasaan malu atau minder karena tidak memiliki seorang pacar akan membuat
seorang anak akan terlanjur bebas dan asyik menjalin hubungan dengan lawan jenis, sehingga
akan membuat sang anak menjadi lupa diri saat berpacaran. Hamil di luar nikah adalah akibat
yang sering terjadi karena pergaulan bebas. Karena malu dan dianggap aib, maka orang tua
akan menikahkan anaknya yang masih sekolah tersebut.
Solusi: Tidak ada solusi yang lebih baik selain memberi kesempatan si jabang bayi untuk
menikmati dunia, walaupun harus dengan resiko harus menanggung malu atau anak harus
cuti sekolah dahulu. Setelah melahirkan, si ibu bisa melanjutkan sekolahnya, dan untuk
sementara ibunya lah yang membantu mengasuh si jabang bayi tersebut.
Karena takut anaknya melakukan hubungan yang tidak seharusnya dengan lawan jenis, maka
orang tua memaksakan menikahkan anaknya. Alasan takut hamil di luar nikah atau zina
sering dipakai. Padahal, mungkin anaknya sedang menikmati masa-masa sekolahnya atau
masa mudanya.
Solusi: Bekali anak dari rumah dengan norma susila atau norma agama. Dengan penjelasan
yang efektif dan dari hati ke hati akan membuat anak memahani dampak negatif apabila
terlalu jauh bergaul.
Eksploitasi anak
Bunuh diri
Membuat sang anak memiliki semangat belajar. Tentu dengan catatan si suami tetap
mendukung pendidikan anaknya walaupun sudah menikah.
Anak merasa bahagia karena sudah mengangkat harkat hidup keluarga menjadi lebih
baik.
Bila sang suami seseorang yang mampu atau bahkan kaya, maka akan ada
kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tingg/kuliah.
sumber: http://www.anneahira.com/pernikahan-dini-16969.htm
Categories
pernikahan dini
Uncategorized
Archives
January 2010
Blog Roll
umm
WordPress.com
WordPress.org
Meta
Register
Log in
Entries RSS
Comments RSS
WordPress.org
My status
Calendar
September 2013
M T W T F S S
Jan
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30
30Jan
Byalfiyah23
Pernikahan dini merupakan fenomena social yang sering terjadi khususnya di Indonesia.
Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es,
sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat
luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan
anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi
bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang
kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW
dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang undangan yang belaku di Indonesia
dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada
alasan lagi pihak pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan
pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait
pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak pihak yang ingin melakukan pernikahan
dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain
itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang undang terkait pernikahan
anak di bawah umur beserta sanksi sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan
resiko resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada
masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan
anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan
pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut
serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar
mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini
untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di
harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak
anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
29Jan
Byalfiyah23
Dampak Pernikahan Dini (perkawinan di bawah umur)
Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena
merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan
berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut.
Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari
perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing
Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
1. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan
yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
3. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi
ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks
dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2
menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan
menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak
lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk
melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku
untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).
29Jan
Byalfiyah23
Dewasa ini banyak sekali remaja yang sudah terjerumus dalam jurang
kesesatan. Akan tetapi, mereka hampir tidak mempedulikanya. Memang benar, hal
yang paling menakutkan bagi remaja dalam pergaulan bebas mereka adalah masalah
kehamilan dan penyakit menular. Sehingga, saat pacaran mereka begitu selektif dan
ketat supaya tidak terjadi apa yang disebut dengan kehamilan atau tertular penyakit
seksual. Tapi teman remaja lupa, bahwa akar masalahnya justru aktivitas pacarannya
itu. Coba, dua insan berlainan jenis yang sedang dimabuk asmara, pasti menginginkan
untuk selalu bersama. Apabila rumahnya jauh, mereka hanya memencet angka di HP-
nya saja. Lalu tertawa melepas kerinduan, bahkan tak heran mereka membicarakan
hal-hal tentang pergaulan mereka. Dan bila ada kesempatan, langsung membuat janji
untuk bertemu. Pada akhirnya, jangan harap kamu bisa mengendalikan diri.
Dengan begitu, angka seks bebas di negara yang emang membiarkan terjadi
begitu terbukti tinggi. Sebagai contoh, dari data yang didapat PBB mengatakan bahwa
lebih dari 80% siswa SMU di Cina pernah melakukan hubungan seks bebas.
Celakanya lagi, mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang biasa. Malah ada
yang menyetujui hubungan itu. Menurut hasil survei PBB ada 30,4% yang setuju
dengan seks bebas dan 47,8% yang berpikir hal itu bisa dimaklumi.
Itu bisa terjadi bila hubungan antara dua lawan jenis ini begitu dekat dan
lengket. Sebab, tidak mungkin terjadi hal itu bila hubungannya terjaga dengan benar
dan baik. Sementara dalam pacaran, kamu tahu sendiri bagaimana aktivitasnya? Liar!
Begitulah gambaran perbuatan yang mendekati dengan perzinaan. Dan sudah jelas
bahwa aktivtas zina itu adalah haram. Firman Allah Swt:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS al-Isr [17]: 32
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).
Ini memang aneh, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul
bebas dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan
dipermudah aksesnya. Kalau dipikir secara logis ibadah yang ingin kita lakukan
dipersulit tapi, kalau mau mejalankan maksiat selalu dipermudah. Kalau untuk nikah
saja kita harus mengurus beragam administrasi. Selain itu kita masih dihadang dengan
peraturan pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan.
Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal,
yakni belum siap mental dan belum punya biaya. Inilah dilema bagi remaja. Maka
jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang
tidak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas. Sehingga, makin
menambah keyakinannya bahwa MBA adalah jalan terbaik bila saat pacaran mereka
kebablasan. Bukan tak mungkin pula bila kemudian ada remaja yang nekat
menghamili pacarnya bila hubungan mereka tak direstui oleh ortunya. Dan ini sebagai
bukti bahwa ternyata nikah dipersulit kecuali kalau kecelakaan.
Kendala internal insyaAllah masih bisa dicari jalan keluarnya. Tapi kalau
sudah kendala eksternal itu sulit. karena melibatkan komponen yang lebih rumit dan
sulit diajak kompromi.
Dalam ajaran agama kita telah diatur dengan jelas, bagaimana seharusnya kita
bersikap dan bertingkah laku. Tentu supaya kita selamat di dunia dan di akhirat. Jadi
sebetulnya, nikah dalam usia dini lebih baik dari pada MBA. Nikah ibadah, gaul bebas
maksiat. Namun, bila kita masih belum mampu ke arah sana. Lebih baik hindari
pacaran, seringlah berpuasa, dan fokus belajar
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda
adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik
bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya
begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita
yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
d. Media massa
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.
29Jan
Byalfiyah23
Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua
orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian
masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga
Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun
Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-
20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan
usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya
di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-
28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah
berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun
mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat,
hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional,
ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa
merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang
melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor
yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
29Jan
Pernikahan Dini
In Categorypernikahan dini
Byalfiyah23
Pernikahan dini
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang
sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau
Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks
pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di
bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun
perguruan tinggi.
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah?
Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu
sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan
di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena
kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca
jelas dalam senetron Pernikahan Dini yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun
televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi,
untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh
sinetron tersebut.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu
dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa
menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet
nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan
hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi
dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak
(Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M.
Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di
usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna
dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya,
menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang
sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada
gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian
yang mengesankan ibid).
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian
meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang
rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal
ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka
bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah.
Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga
kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya
adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap
aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan
mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas
tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan
tempat tidurnya (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah
isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju
kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad yang silam. Kini,
dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik)
yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering
terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah
dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Masud ra, selalu membangun orientasi menikah
kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi
isteri yang shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah
kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman. Bukankah
Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam
suratal-Nur ayat 32 yang artinya, dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya
kaya dengan karunia-Nya. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya,
Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.
28Jan
Byalfiyah23
Gurunya menjawab, Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan
tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan
ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.
Plato menjawab, Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur
kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak
tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut
Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting ranting yang
kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada
akhirnya
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, Apa itu perkawinan? Bagaimana saya
bisa menemukannya?
Gurunya pun menjawab Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh
mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah
jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa
itu perkawinan
Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.
Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah
kehampaan tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali.
Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia sialah waktumu dalam mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
Dalam hal ini Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai
pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal
Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah
pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam
kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh
orang yang belum baligh. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan
dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran
sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini
tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para
sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Dalam kamus haditsnya Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis
yang cukup menarik. Hadis pertama adalah Ada tiga perkara yang tidak
boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah,
dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara/kafaah. Hadis Nabi SAW kedua berbunyi, Dalam kitab taurat
tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun
dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya (Jalaluddin Suyuthi, Jami al Shaghir
hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut).
Pernikahan dini pada hakekatnya juga mempunyai sisi positif. Kita tahu,
dampak arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi saat ini
mempengaruhi cara pacaran muda mudi saat ini, pacaran yang dilakukan
oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma
agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan
itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat, pergaulan
bebas, hubungan suami istri dan hamil di luar nikah. Fakta ini
menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap
untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara
kenapa tidak ? Tentunya juga harus disertai dengan legalitas Negara yaitu
adanya Izin Dispensasi dari Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 7 ayat
2 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan sehingga
perkawinan yang dilakukan sah menurut hukum Islam dan sah menurut
Negara.
1. Faktor Pendidikan.
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang
anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan
bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa
mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam
kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-
hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan
jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.
Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak
masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati,
anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun
(syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya
dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka pernikahan dini.
Saya menyebutkan ini sebagai pemahaman agama, karena ini bukanlah sebagai
doktrin. Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak
menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan
sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera
menikahkan anak-anak tersebut.
Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: perzinahan. Oleh karena itu
sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan.
Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun
tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai
usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap
bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak
yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan zina. Dan sebagai
orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.
Ini saya pisahkan dari faktor penyebab di atas, karena jika kondisi anak
perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung
menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada
dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi
karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan
anak gadis tersebut.
Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai
calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa
mengajukan permohonan dispensasi kawin.
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang
tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-
jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan
sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di
hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias
goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan (baca;
kehamilan).
Dampak Akibat Dari Pernikahan Dini
Pusat Informasi HeQris, Senin, Juli 01, 2013 Relationship 8 comments
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau
kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di
sekolah menengah atas. Jadi, sebuah pernikahan disebut pernikahan dini jika
kedua atau salah satu pasangan berusia di bawah 18 tahun.
Banyak yang bilang bahwa pernikahan dini memiliki dampak negatif bagi
pasangan yang melakukan nikah dini. Hal ini jelas bisa dibenarkan. Berikut
adalah beberapa dampak negatif akibat pernikahan dini:
Secara Psikologi
Kondisi mental yang cenderung masih labil dikhawatirkan akan memberikan
dampak negatif bagi psikologi sang anak, apalagi bila belum memiliki
pengetahuan mendalam tentang perkawinan dan kehidupan berumah tangga,
termasuk semua hak dan kewajiban yang akan dijalani setelah pernikahan.
Pernikahan dini juga diklaim sebagai salah satu penyebab populer tindakan
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena cara berpikir yang belum
dewasa.
Secara medis, menikah di usia yang terlalu muda dapat mengubah sel normal
(sel yang biasa tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang akhirnya dapat
menyebabkan infeksi kandungan bahkan kanker. Sedangkan di dunia kebidanan,
hamil di bawah usia 19 tahun memiliki risiko kesehatan seperti mudah menderita
anemia, bahkan paling buruk bisa menyebabkan kematian. Fisik remaja pun
dinilai belum kuat dan mungkin akan membahayakan proses persalinan.
Tak hanya bagi sang calon ibu, calon bayi pun ikut dibahayakan, misalnya bayi
lahir dengan berat rendah, cedera saat lahir, ataupun komplikasi persalinan yang
berdampak pada tingginya mortalitas.
Perekonomian
Dari sisi ekonomi, pernikahan dini seringkali menyebabkan kesulitan ekonomi
yang dikarenakan pasangan terlalu muda yang belum mapan dalam memenuhi
kebutuhan sendiri.
Begitulah pernikahan dini dari sisi negatif. Lalu apakah ada sisi positif dari
pernikahan dini yang memberikan manfaat? tentu saja. Apa sajakah? Berikut
ulasannya.
Dan yang paling pasti adalah pernikahan dini memberikan lebih banyak
kesempatan untuk beribadah. Bagaimana tidak, di usia yang dini, pasangan
muda sudah menjalankan ibadah menikah, saling mengurusi satu sama lain, dan
mencari nafkah.
Dua sisi dampak akibat dari pernikahan dini ini memang tidak akan pernah
selesai dibahas, tinggal bagaimana seseorang menilainya, dari segi positif atau
dari sisi negatif.
Rabu, 04 Mei 2011
Faktor-faktor Pernikahan Dini
Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda :
Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan
anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat
kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih dibawah umur.
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.
Eksploitasi Anak dalam Pernikahan Dini
Kasus pernikahan Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa (12 tahun) dan mantan Bupati
Garut Aceng Fikri dengan Fani Oktara (17 tahun 9 bulan) adalah hanya sebagian
contoh kecil dari eksploitasi anak-anak melalui pernikahan dini yang telah
merenggut hak anak untuk hidup tumbuh dan berkembang secara wajar. Data
BKKBN pada tahun 2012 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki rangking 37
dunia dalam hal pernikahan dini dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Selain itu, anak perempuan lebih sering mendapatkan beban ganda sebagai
anak dan sebagai perempuan dalam pernikahan dini. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya prosentase anak perempuan yang menikah dini pada usia kurang dari
15 tahun sebanyak 0,2% dan pada usia 15-19 tahun sebanyak 11,7 % sedangkan
anak laki-laki sebanyak 1,6 %. Fenomena ini hanyalah gunung es dari fakta
sesungguhnya mengingat masih banyaknya pernikahan anak di bawah tangan
yang terjadi di Indonesia.
Pernikahan pada usia anak memiliki banyak kelemahan. Pertama, masa anak-
anak adalah masa bereksplorasi, bermain, berkreasi, dan belajar agar dapat
tumbuh dan berkembang secara baik sesuai usianya. Anak-anak yang menikah
pada usia dini akan kehilangan pondasi perkembangan sebagai anak-anak
karena harus berhadapan dengan dunia keluarga yang jauh dari usia
perkembangannya. Akibatnya, anak dengan pernikahan dini akan mengalami
tekanan psikis yang akan berakibat pada pernikahannya maupun kepada
anaknya jika kelak ia memiliki anak. Lebih jauh lagi, pernikahan anak akan
mempengaruhi kualitas keluarga dan berdampak langsung pada rendahnya
kesejahteraan keluarga. Kedua, secara fisik organ reproduksi anak-anak belum
siap untuk melakukan hubungan suami istri apalagi secara psikis. Belum
kuatnya fungsi rahim dan hormonal pada usia anak-anak serta kurang pahamnya
perawatan pada masa kehamilan berakibat pada rentannya kehamilan seperti
terjadinya tekanan darah tinggi, lahir prematur serta berat bayi lahir rendah,
serta tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Ketiga, pernikahan dunia juga berakibat pada terhentinya salah satu hak anak
yaitu mendapatkan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk
peningkatan kualitas hidup warga sementara pada sebagian besar kasus anak
dengan pernikahan dini terhenti pendidikannya. Selain itu, banyak pihak masih
berpikir ketika anak hamil tidak berhak mengikuti Ujian Akhir Nasional. Tentu kita
sepakat untuk tidak setuju pada kehamilan yang terjadi pada anak-anak, namun
membiarkan anak putus sekolah adalah bentuk pelanggaran hak anak untuk
mendapatkan pendidikan. Lebih jauh lagi, membiarkan anak dengan pernikahan
dini putus sekolah akan membuat kemiskinan berulang serta kemungkinan
kejadian pernikahan anak-anak pada generasi selanjutnya terus berlanjut.
Beberapa penyebab pernikahan dini antara lain budaya, dalih agama, putus
sekolah, ekonomi, serta modernisasi. Meskipun pengaruh budaya mulai luntur,
namun masih banyak keluarga yang berpikiran jika anaknya terlambat menikah
akan mempermalukan keluarga sehingga mereka mendorong anaknya segera
menikah walau masih belia. Ada pula keluarga yang memaksa anaknya menikah
walau masih berusia anak-anak dengan alasan daripada pacaran yang
mendekati zina, lebih baik dinikahkan. Sayang, alternatif yang diberikan hanya
dinikahkan dan tidak ada pilihan lain seperti berdialog dampak positif negatif
pacaran, mengenal pernikahan, serta alternatif mengisi waktu lainnya. Ada pula
keluarga yang beranggapan dengan dalih ajaran agama bahwa jika perempuan
telah dipinang maka tabu untuk menolaknya walaupun anaknya masih belia.
Penguatan peran orang tua untuk mendidik anak dan mencegah pernikahan dini
menjadi kunci utama. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak pasal 26 ayat
1c bahwa orang tua wajib dan bertanggung jawab mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak. Penghargaan terhadap pendapat anak sebagai
salah satu prinsip dasar Konvensi Hak Anak menjadi penting untuk diterapkan
apalagi menyangkut masa depan anak itu sendiri. Pada kasus pernikahan anak-
anak, orang tua lebih banyak dominan dan tidak melibatkan anak-anak sebagai
subjek untuk berpendapat. Pemenuhan wajib belajar 9 tahun juga akan menjadi
salah satu upaya preventif terjadinya pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan UU
Perlindungan Anak pasal 48 yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak.
Penelitian di berbagai dunia membuktikan pendidikan dapat mengurangi
terjadinya pernikahan dini. Begitu pula peran guru, aparat pemerintah dari desa,
kecamatan, KUA, hingga pengadilan agama untuk mencegah pernikahan dini
menjadi kunci keberhasilan pencegahan pernikahan anak-anak sebagai upaya
perlindungan hak anak di Indonesia masa yang akan datang.
BPS masih menggunakan kategorisasi usia 15-19 tahun tidak 15-18 sebagai batasa usia anak.
Laporkan
Tanggapi
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota
Kompasiana) yang
Keuntungan Menikah Sebelum Umur 30
Sarankan
506
Tweet
Cetak
Related Content
Lihat Foto
Ghiboo.com - Ada alasan mengapa perempuan harus menikah sebelum usia 30. Bukan
supaya Anda terlihat 'laku' tapi lebih berhubungan dengan nasib keluarga di masa depan.
Masa subur perempuan turun setelah usia 35 tahun. Dan Anda yang berusaha memiliki anak
setelah usia tersebut, menghadapi risiko kesehatan lebih besar dibandingkan para perempuan
muda.
Perempuan yang lebih tua lebih mungkin mengalami keguguran, komplikasi kehamilan dan
melahirkan bayi yang berat badannya kurang atau terlahir prematur.
Perempuan di atas 35 tahun juga cenderung memiliki bayi dengan kelainan genetik (autisme).
Pada usia 30, wanita memiliki 1:1.000 kesempatan melahirkan bayi kelainan genetik
dibandingkan saat berusia 35 tahun yang menjadi 1:400 dan usia 40 tahun meningkat menjadi
1:100.
Hal ini juga berlaku bagi perempuan menikah yang sengaja menunda kehamilan
demi mengejar karier.