Penulisan Hukum
(Skripsi)
Oleh :
WAHYU AGUS KURNIAWATI AS
E 0006288
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku tanggal 27
Juli 2003.
Hampir di seluruh daerah Indonesia memiliki kebudayaan batik yang
beragam dan memiliki khas sendiri-sendiri. Beragam suku bangsa kaya akan hasil
seni tradisional dengan nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional
Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Jambi, dll. Batik tulis Kota
Surakarta atau juga yang lebih dikenal dengan batik tulis Kota Solo merupakan
karya seni tradisional yang harus memperoleh perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual khususnya hak cipta. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia
yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi sehingga jangan
sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan yang
secara dapat menimbulkan suatu kerugian bagi penciptanya. Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta yang
pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka
Pasal 12 Ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta menetapkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi
adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di dalamnya
mencakup seni batik.
Perkembangan bentuk dan fungsi batik tidak semata-mata untuk
kepentingan busana saja, tetapi dapat juga dipergunakan untuk elemen interior,
produk cinderamata, media ekspresi, bahkan merambah ke barang-barang mebel.
ciptaan batik pada awalnya merupakan suatu ciptaan khas bangsa Indonesia yang
dibuat secara konvensional. Batik mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif
maupun gambarnya yang menjadi alasan karya-karya seperti ini memperoleh
perlindungan. Termasuk pula di dalamnya pengertian seni batik yaitu karya
tradisional yang ada di berbagai daerah, misalnya saja seni songket, tenun ikat,
dan lain-lain yang terus dikembangkan.
Upaya melestarikan budaya batik ini sebenarnya oleh pemerintah telah
digalakan melalui berbagai cara untuk menempuhnya, antara lain dengan
mengharuskan pemakaian seragam bermotif batik bagi anak-anak sekolah maupun
Pegawai Negeri pada hari-hari tertentu. Usaha yang dilakukan pemerintah
5
tidak segera mendapatkan perlindungan, dalam hal ini perlindungan hak cipta
terhadap ciptaan batik, ditakutkan ciptaan tersebut akan semakin musnah dan bisa
saja diklaim oleh daerah lain atau orang-orang asing yang lebih mengerti tentang
adanya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap batik. Berdasar uraian di
atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi
sebuah skripsi dengan judul STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK
CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar tepat mengenai
sasaran yang dikehendaki dan dapat pula memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian
ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik
di Kota Surakarta.
b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan
hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
7
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi secara jelas dan lengkap sebagai
bahan penyusunan skripsi sebagai prasyarat guna menyelesaikan studi
dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dibidang
Hukum Perdata terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya
dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta pada khususnya.
c. Memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang
Hukum Perdata pada masalah Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan
pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada
khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak
terkait dengan masalah penelitian ini pada umumnya dan para pencipta
seni batik agar semakin berkembang.
b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
c. Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah dan
lingkup yang dikaji dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
8
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat
teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2007 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan
mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh resonden secara tertulis
atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).
pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini,
peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses
pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah
pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen
analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya
(H. B. Soetopo, 2002 : 94-95)
Untuk lebih jelasnya, tehnik analisa data kualitatif dengan model
interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Penarikan
Kesimpulan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
2) Berbeda dalam rahasia dagang pada bidang HKI lain seperti halnya
paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus
menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan
terinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini
potensial menimbulkan resiko karena orang lain dapat belajar atau
melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak, oleh karena itu
sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus (ekslusif)
untuk dalam jangka waktu tertentu melakukan ekspoitasi atas
penemuannya, sehingga setiap pelanggaran atas hal itu dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana.
3) Bahwa HKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan bersifat
permulaan yang belum didaftarakan sebagai paten misalnya, membuka
kemungkinan kepada pihak lain untuk dapat mengetahui atau
mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu
tadi secara diam-diam. Oleh karenanya, penemuan-penemuan
mendasar yang belum terdaftar atau dipublikasikan itu pun harus
dilindungi, meskipun belum dapat memperoleh perlindungan di bawah
hukum paten, hak cipta dan desain, tetapi dapat dikategorikan sebagai
rahasia dagang
(Budi Agus Riwandi, 2009: 4-5).
Dasar pembenar seperti yang telah diuraikan di atas semakin
mempertegas akan arti penting terhadap perlindungna HKI. Dengan
adanya perlindungan terhadap HKI, maka ada jaminan kepada masyarakat
untuk menghargai hak inisiatif dan reaksi serta memberikan perlindungan
akan hasil karya ciptanya. Semakin tinggi penghargaan negara terhadap
HKI, maka masa depan suatu bangsa juga akan lebih baik (Dewi
Sulistyaningsih, 2008: 3-4).
a) Hak esklusif
Hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya
sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak
tersebut tanpa izin pemegangnya.
b) Pencipta, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC 2002
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-
sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau
keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi.
c) Pengumuman, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC
2002:
Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan
alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan
cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau
dilihat orang lain.
d) Perbanyakan, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUHC
2002:
Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik
secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau
temporer.
Berdasarkan pengertian di atas, maka hak cipta dapat
didefinisikan sebagai sebagai suatu hak monopoli untuk
26
adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemiliki
asli dari ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang
pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang
mempunyai hak cipta.
Fungsi pendafttaran hanya untuk memudahkan pembuktian
bahwa pihak yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai pencipta
sampai dapat dibuktikan bahwa yang mendaftarkan ciptaan itu bukan
pencipta yang sebenarnya. Pendaftaran bukan suatu keharusan dan
bukan jaminan kepastian hukum atas ciptaan Terdaftar karena masih
dapat digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya. Hal ini berbeda
dengan karya intelektual lain yang mempersyaratkan dalam perolehan
haknya melalui proses pendaftaran.
Pendaftaran hak cipta akan memberikan manfaat bagi si
pendaftar. Manfaatnya pendaftar tersebut dianggap sebagai pencipta,
sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di
pengadilan. Pendaftar menikmati perlindungan hukum sampai adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan
bahwa pihak lain (bukan pendaftar) yang menjadi pencipta. Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), atau melalui
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Ibu Kota
Propinsi. Adapun syarat-syarat yang perlu dilengkapi adalah sebagai
berikut:
a) Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan dengan cara mengisi
formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan
diketik rangkap 2.
b) Pemohon wajib melampirkan:
(1) Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui
kuasa;
(2) Contoh ciptaan dengan ketentuan yang telah ditentukan.
c) Salinan resmi akta pendirian badan hukum atau fotocopinya yang
dilegalisasi notaris, apabila pemohon badan hukum;
32
Hak cipta tidak dapat beralih atau dialihkan secara lisan, tetapi
harus dilakukan secara tertulis, baik dengan maupun tanpa akta
notaris. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan, misalnya pengalihan yang disebabkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hakim tetap.
Pengalihan hak cipta didasari oleh motif ekonomi, yaitu
keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi atau keuntungan
secara komersial. Pencipta mengalihkan hak cipta dengan tujuan
mendapatkan royalti, sedangkan penerima selaku pemegang hak cipta
bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan
yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Pengalihan hak cipta, menurut
ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUHC 2002, hak cipta suatu ciptaan telah
ada di tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak
diserahkan seluruh hak cipta dari pencipta itu. Ketentuan ini
menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta dengan
penciptanya.
Pengalihan hak apa pun dasarnya, apabila hak tersebut telah
didaftarkan, maka pengalihan hak tersebut dicatatkan dalam daftar
umum ciptaan. Pendaftaran dapat dimohonkan secara tertulis oleh
kedua belah pihak atau dari penerima hak. Pencatatan pengalihan hak
tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia (Muhamad Djumhana, 2003: 87).
1). Alasan Pertama, Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati
dan pengetahuan tradisional terkait, ternyata belum menikmatai secara
ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Indonesia
yang Notabene merupakan lumbung dari keanekaragaman hayati
yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan obat justru tidak
menikmati keuntungan ekonomi dari kekayaan hayati tersebut.
2). Alasan kedua, dalam perdagangan internasional, khususnya yang
berkenaan dengan aspek Hak Kekayaan intelektual (HKI), Indonesia
berada di bawah tekanan negara-negara maju karena harus
melaksanakan TRIPs agreement sebagai salah satu kesepakatan di
dalam rezim World Trade Organisasion (WTO). Di sisi lain negara-
negara maju enggan untuk mempertimbangkan kekayaan intelektual
masyarakat lokal dalam belum pengetahuan tradisional.
3). Alasan Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu memberikan perlindungan
bagi hak masyarakat lokal berkenaan dengan pengetahuan tradisional
mereka mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa
pengetahuan tradisional, antara lain di bidang obat-obatan memiliki
nilai ekonomis.
Pengetahuan tradisional memang penting untuk mendapatkan suatu
perlindungan hukum, namun dalam perkembangannya pengetahuan
tradisional ini juga membawa suatu yang dapat dibagi ke dalam dua
permasalahan utama yakni perlindungan yang mempertahankan
pengetahuan tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan
sukses diperoleh oleh HKI melalui ketentuan pengetahuan tradisional
yang konvensional dan perlindungan yang mempertahankan pengetahuan
tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum
tradisonal, dan HKI.
5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima
faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-
contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia (Soerjono
Soekanto, 1983: 6).
Faktor kebudayaan terkait dengan faktor masyarakat, di mana
faktor kebudayaan merupakan bagian atau sub sistem dari masyarakat.
Menurut Lawrence M. Friedman Sebagai suatu sistem maka hukum
mencakup struktur, subtansi, dan kebudayaan. Suatu sistem dalam
kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik
sehingga dianuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Adapun
nilai yang berperanan dalam hukum adalah nilai ketertiban dan nilai
ketentraman. Nilai inilah yang nantinya berpengaruh lebih pada penegakan
hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 45).
digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang
pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam lilin
batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra
dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang
yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam
hias khas batik (Santosa Doellah, 2002: 10).
Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan kain,
canthing dan malam sebangsa cairan lilin. Canthing biasanya berbentuk
seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau
bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu
untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang
bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan
berupa kumpulan titik-titik.
Kata batik berasal dari bahasa Jawa ambatik atau a-mba-tik
atau mbatik. Kata mbat disebut juga ngembat artinya melontarkan/
melempar, sedangkan tik berarti kecil, sehingga batik dapat diartikan
segala melontarkan titik berkali-kali pada sehelai kain. Keahlian tersebut
merupakan pengungkapan atau ekspresi ide-ide dan pemikiran estetika serta
penciptaan keindahan dalam menghias kain mori. Pengertian batik yaitu
gambaran atau hiasan pada kain yang pengerjaannya melalui proses
penutupan dengan bahan lilin atau malam yang kemudian dicelup atau
diberi warna (Moch Najib Imanullah dkk. 2005:1234). Sementara menurut
Hamzuri, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang
dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (Afrillyanna Purba,
2005: 45).
Pembuataannya batik dibutuhkan ketekunan, keuletan, kecermatan,
dan keahlian untuk menghasilkan sebuah motif batik yang beraneka ragam.
Motif yang dihasilkan tanpa corak khusus ragam hias batik yang sangat
dipengaruhi dan erat hubungannya dengan faktor-faktor seperti letak
geografis, alam sekitar, adat-istiadat, tradisis agama, kepercayaan, dan tata
44
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal
sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif
atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.
Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan,
yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih
pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan
sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni
dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang
ini (http://www. batikmarkets.com/batik.php> [20 Februari 2010 pukul
16.00]).
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia
zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja
dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh
karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat
dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah
tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya
hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang
digemari, baik wanita maupun pria. Bahkan kain putih yang dipergunakan
waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Batik Indonesia ternyata mampu mendorong semangat para seniman
batik untuk berkarya cipta sekaligus mampu menguatkan rasa ikut
memiliki warisan budaya leluhur tersebut bagi berbagai suku bangsa di
Indonesia karena ragam hias pakaian adat mereka juga ikut tampil dalam
pola batik Indonesia. Pola-pola baru bermunculan, masing-masing dengan
ciri, gaya, dan warna yang tiada duanya (Santosa Doellah, 2002: 212).
Dinamika perkembangan batik mengalihkan perhatian konsumen
batik, masyarakat beralih ke tekstil motif batik, sedang kaum borjuis
Indonesia memakai kain batik halus (batik tulis) untuk keperluan acara
resmi maupun pesta-pesta resmi. Dinamika tersebut akan membawa batik
tulis (batik canting) ke singgasananya yang eksklusif (Dharsono. 2009:1).
46
c. Jenis Batik
Seperti yang dikatakan diatas bahwa batik dibedakan menjadi batik
tradisional dan batik modern, pembagian dari ke dua jenis tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Batik tulis
Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik
menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu
kurang lebih 2-3 bulan. Pada batik tulis ini sukar sekali dijumpai pola
ulang yang dikerjakan persis sama, pasti ada selintas yang berbeda.
Hal ini bisa menjadi suatu kelebihan.
2) Batik Modern
a) Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik
yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). Proses
pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu yang singkat yakni
kurang lebih 2-3 hari. Kelemahan dari batik cap ini adalah motif
yang dibuat terbatas.
b) Batik Kombinasi, merupakan kombinasi antara tulis dan cap dibuat
dalam rangka mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat
pada produk cap. Proses pembuatannya memerlukan persiapan yang
rumit terutama dalam penggabungan motif yang ditulis dan motif
capnya.
c) Tekstil Motif Batik, Kain batik jenis ini tumbuh dalam rangka
memenuhi kebutuhan batik yang cukup besar dan tidak dapat
dipenuhi secara industri batik biasa, sehingga diproduksi oleh
industri tekstil dengan menggunakan motif batik sebagai desain
tekstilnya.
(Alfrillyanna Purba, 2005 : 50-51).
7). Mendel, adalah pewarnaan dengan zat warna alam yang terbuat dari
nila (indigo) yang biasanya dilakukan selama dua hari atau lebih untuk
menghasilkan warna yang lebih matang. Caranya ialah pohon tom
dipilah, diproses, dan diramu menjadi nila berupa cairan berwarna biru
tua. Teknik pencelupan dengan sistem ini mayoritas telah ditinggalkan
perajin dan beralih ke zat warna sintesis.
8). Ngerok, adalah mengelupas malam atau lilin yang menempel di kain
setelah mendel yang dilakukan dengan logam tipis tetapi tajam.
Tujuannya untuk pewarnaan selanjutnya pada bidang yang terkelupas
bisa terkena warna cokelat, sedangkan bidang biru akan menjadi hitam
karena percampuran warna cokelat dan biru.
9). Nyoga, adalah pewarnaan tradisional kedua setelah mendel dengan
menggunakan bahan baku beberapa kulit kayu yang menghasilkan
warna cokelat cemerlang. Kualitas warnanya dapat bertahan sampai
ratusan tahun. Perusahaan batik yang memakai soga sudah langka saat
ini.
10). Ngorod, adalah proses melepas malam yang telah digunakan untuk
membatik atau menutup permukaan kain supaya tidak terkena warna
dengan cara direbus. Tujuannya adalah selain kain cepat menjadi
bersih, ngorod juga digunakan sebagai proses finishing untuk
mematikan warna. Agar warna kain lebih matang dan tidak luntur,
perebusan saat nglorod diberi soda abu.
11). Angin-angin/pengeringan, meniriskan sisa zat warna yang berada di
dalam kain setelah dibilas dengan air dan kering tanpa terkena sinar
matahari. Biasanya dilakukan setelah pencelupan warna pertama dan
kedua untuk menghilangkan zat warna yang masih ada di dalam kain
basah
(Sultani. Batik, Warisan Tradisional yang Mendunia. Kompas, 20 Maret
2010).
c) Motif Satria Manah, yang dipakai oleh wali pengantin pria ketika
meminang, yang memiliki filosofi satria memanah sudah tentu
selalu mengenai sasarannya, dengan harapan agar keluarga sang
wanita dapat menerimanya.
d) Motif Semen Rante, yang bisa dipakai pihak keluarga wanita yang
akan menyambut lamaran. Filosofi dari motif ini adalah lambing
ikatan yang kokoh dan kuat.
e) Motif Madu Bronto, motif batik yang diberikan pada saat seserahan
yang dapat diartikan asmara yang manis bagaikan madu.
f) Motif Parang Kusuma, motif batik yang digunakan wanita pada saat
pertunangan yang berarti bunga yang telah mekar, bisa juga
menggunakan parang cantle.
g) Motif Pamiluto, yang digunakan ibu pada saat anak perempuannya
bertunangan. Makna dari motif ini adalah harapan Ibu agar
pasangan dara dan pria tersebut tidak terpisahkan. Bisa juga
menggunakan motif Sekar Jagad.
h) Serta motif-motif lain.
(Nian S. Djoemana, 1986: 11-15).
Batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam
kehidupan manusia Jawa sejak lahir hingga ajal tiba.
(http://www.javabatik.org/artikel_3.html> [21 Februari 2010 pukul
09.30]).
B. Kerangka Pemikiran
mendapatkan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan juga untuk memudahkan
pembuktian bila terjadi sengketa. Melihat dari studi yang peneliti lakukan, perlu
adanya suatu perlindungan terhadap pencipta seni batik.
Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap
karya seni batik tersebut dapat dilihat dari implementasi di Kota Surakarta itu
sendiri yang dapat dilihat dari dua sudut, yakni :
1. Bahwa pengusaha batik telah mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui
pengetahuan tradisional dan atau telah mendaftarkan karya cipta pribadinya.
2. Bahwa pengusaha batik belum mengetahui bahwa batik telah dilindungi
melalui pengetahuan tradisional dan belum mendaftarkan karya cipta
pribadinya.
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta di Kota Surakarta tersebut
belum tentu dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan. Pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta terhadap karya seni batik di Kota Surakarta
pastinya menemukan suatu kendala-kendala. Dari kendala itu, nantinya dapat
ditemukan suatu solusi sebagai masukan untuk mewujudkan tujuan dari hak cipta
itu sendiri. Adapun untuk bagan kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:
Implementasi di Kota
Surakarta
Belum Mengetahui
bahwa batik telah
dilindungi melalui
pengetahuan
tradisional
Belum mendaftarkan
karya cipta
pribadinya.
53
Industri batik di Kota Surakarta yang kian pesat tersebut batik menjadi
satu di antara sumber pemasukan daerah. Bahkan, di saat krisis ekonomi
ataupun saat Kota Surakarta tercabik-cabik kerusuhan Mei 1998, industri batik
menjadi pilar penyelamat ekonomi. Sejauh ini, uang yang didulang dari
produk batik mencapai Rp 8 miliar per bulan yang didapat dari 160 industri
batik di Surakarta dengan 70 persen pasar domestik dan 30 persen ekspor.
Sebelum krisis ekonomi, sekitar 40 persen industri batik masih memfokuskan
diri memproduksi batik tulis (http://www.batiklaksmi.com/artikel%20
batik%2032.htm> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
58
cokelat, merah, kuning dan hitam, kini mulai hadir beraneka warna, akhirnya
batik di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini akhirnya diperdagangkan
secara umum. Kawasan ini sebenarnya tidak berdeda jauh dengan kawasan
Laweyan, namun sedikit perbedaannya bahwa di Kampoeng Wisata Batik
Kaoeman ini cenderung lebih modern dibandingkan dengan Kampoeng
Wisata Batik Laweyan. Hal ini dapat pula dipengaruhi karena kawasan
Kampoeng Wisata Batik Koeman lebih dekat dengan pusat kota, dengan kata
lain bahwa letaknya lebih strategis karena lebih dekat dengan keramaian kota
(http://solobatik.athost.net/batik_kauman.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
Dua kawasan tersebut telah dijadikan sebagai Kampoeng Wisata Batik,
dan masing-masing terus dikembangakan salah satunya oleh Forum
Pengembang Kampoengnya masing-masing khususnya dan pada umumnya
dibina dan dikembangkan seperti kawasan lain yakni oleh Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kota Surakarta Sub Dinas Perindustrian. Banyaknya batik di
wilayah Kota Surakarta ini sudah selayaknya apabila mendapatkan upaya-
upaya perlidungan hukum.
1. Hasil Penelitian
Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota
Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta, maka penulis mendapatkan informasi mengenai perkembangan
batik di Kota Surakarta dan wilayah-wilayah yang menjadi pusat batik di
Kota Surakarta. Setelah mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, maka penulis
membatasi lokasi penelitian di wilayah pusat batik di Kota Surakarta dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta yang memiliki
kewenangan mengembangkan industri di Kota Surakarta. Hal tersebut
61
Kota Surakarta dan ini semua juga tidak terlepas dari respon positif dari
semua pihak yang terkait dalam hal perbatikan di Surakarta serta masyarakat
sendiri.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pengusaha batik
mengenai perlindungan hukum hak cipta. Para pengusaha batik
membutuhkan suatu perlindungan, bahkan dari semua responden yang
diwawancarai penulis menyatakan bahwa batik perlu sekali untuk dilindungi
melalui hak cipta, bahkan menurut salah satu responden yakni Gunawan
Setiawan, sebagai Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik
Kaoeman pada 4 Maret 2010 pukul 10.00 mengungkapan: Batik harus
dilindungi menurut hukum dan penting sekali perlindungan hukum tersebut
karena batik merupakan karya cipta. Namun sayangnya masih banyak yang
belum memaknai hak cipta itu sendiri, sekalipun mereka membutuhkan suatu
perlindungan tapi mereka senang apabila motif batik mereka ditiru oranglain,
yang mereka jadikan patokan pastinya orang lain dapat menilai membedakan
keaslinya dengan kualitas yang ada bukan karena ciptaannya. Sekalipun
mereka mengatakan tidak apa-apa dijiplak oleh oranglain, mereka tidak mau
dijiplak oleh negara lain. Menurut wawancara dengan Ibu Siti Aminah dari
Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30, mengungkapkan: Batik itu
perlu diberikan suatu perlindungan hukum agar tidak diakui oleh negara
lain. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang cenderung sosial.
Hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung
merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali
hasil karya individu (perorangan). Ini juga dikarenakan mereka cenderung
memegang teguh tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin
sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau
rasa manunggal. Berdasarkan hasil wawancara pun, semua pengusaha batik
mengaku tidak pernah ada sengketa mengenai motif-motif batik. Sadar
sendiri-sendiri, tutur Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010
pukul 11.30. Ada juga yang menyatakan bahwa: belum pernah ada sengketa
mengenai motif batik, karena semua punya pemasaran sendiri-sendiri, dan
65
juga menurut pilihan konsumen saja, tutur Bapak Adi dari Batik Yunani.
Responden mengetahui sekali bahwa batik merupakan karya seni turun-
temurun yang dilindungi pemerintah melalui pengetahuan tradisional.
Beberapa pengusaha batik ada yang memiliki motif yang dibuatnya
sendiri, namun karena beberapa pertimbangan-pertimbangan terkait dengan
pendaftaran, mereka tidak mau mendaftarkan ciptaanya yang disebabkan oleh
beberapa hal. Anehnya walaupun mereka enggan mendaftarkan tapi mereka
juga merasa kecewa apabila motifnya tersebut ditiru atau dijiplak oleh pihak
lain. Pengaturan perlindungan hak cipta pada umumnya dan khususnya batik
memang tidak ada suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya, tapi
alangkah lebih baik apabila didaftarkan untuk mempermudah proses
pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa di kemudian hari.
Dalam kenyataannya di tempat penelitian yakni di Kota Surakarta, belum ada
yang mendaftarkan karya seni batiknya melalui karya cipta pribadi.
Masyarakat menyadari bahwa batik yang bukan merupakan hasil
motif pribadinya atau dengan kata lain motif batik sebagai pengetahuan
tradisional telah dilindungi oleh Pemerintah, bahkan batik di Indonesia telah
diakui sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan PBB (UNESCO). Pengakuan ini secara tidak langsung juga
berdampak positif dalam perkembangan batik di Kota Surakarta.
2. Pembahasan
Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in
Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk
meningkatkan perlindungan di bidang HKI dari pembajakan atas suatu karya
kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni,
teknologi dan karya ilmiah. Perlindungan mengandung arti pada bentuk
perlindungan hukum yang tertuang di dalam hukum hak cipta. Perlindungan
66
hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari
unsur-unsur sistem, dan menurut penelitian kelima unsur tersebut telah
terpenuhi, yakni sebagai berikut:
a. Pertama, subyek perlindungan.
Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta,
aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum,
berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut: pemilik atau pemegang hak
cipta yakni pengusaha batik itu sendiri, adanya aparat penegak hukum dari
pihak kepolisian sebagai tempat pengaduan, adanya pejabat pendaftar
yakni Ditjen HKI yang dapat melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia wilayah propinsi bahkan di lokasi penelitian untuk
mempermudah pendaftaran pemerintah Kota Surakarta melakukan
pendaftaran secara kolektif
b. Kedua, obyek perlindungan.
Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam
undang-undang yakni dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002. Dalam kajian
yang diteliti penulis adalah seni batik, seni batik merupakan salah satu
obyek yang mendapatkan perlindungan hukum melalui hak cipta.
c. Ketiga, pendaftaran perlindungan.
Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula
dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang
mengatur lain. Berdasarkan penelitian ada motif-motif seni batik dapat
didaftarkan hak cipta nya.
d. Keempat, jangka waktu.
Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak
cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal
dunia. Dalam hal ini termasuk jangka waktu untuk obyek seni batik. Di
sisi lain seni batik yang masuk dalam pengetahuan tradisional juga
dilindungi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
e. Kelima, tindakan hukum perlindungan.
67
batik yang tidak mengetahui UUHC 2002, atau hanya pernah mendengar saja
yang nantinya mereka memberi definisi yang sangat sempit sekali. Hal ini
terjadi khususnya pada pengusaha batik di tingkat menengah ke bawah di
Kota Surakarta. Para Pengusaha Batik di Kota Surakarta ini kebanyakan
belum memahami betapa pentingnya hak cipta batik bagi mereka.
Pengaturan perlindungan terhadap seni batik tradisional baru
terdapat pada UUHC 2002. Di dalam ketentuan yang baru ini, meskipun tidak
disebutkan secara tegas, namun perlindungan diberikan terhadap seni batik
yang dibuat secara tradisional. Tidak ada ketentuan bahwa seni batik itu
harus tradisional dan bukan tradisional (Afrillyana Purba, 2005: 85-86).
Unsur yang ditekankan dalam UUHC 2002 adalah pembuatan seni batik
secara tradisional sehingga batik di sini dapat sebagai karya cipta pribadi
maupun batik sebagai pengetahuan tradisional.
Batik harus memperoleh perlindungan HKI dan khususnya melalui
Hak Cipta, karena batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang
memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi penemuan baru
pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama
dan biaya besar sehingga wajar jika hasil cipta tersebut harus dilindungi
jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk
pembajakan, yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi Penciptanya,
begitu pula seni batik di Kota Surakarta.
Hasil ciptaan batik merupakan hasil setiap karya pencipta dalam
bentuk khas yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi
seseorang atau kelompok orang yang menghasilkan ciptaan berdasarkan kerja
keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah
sewajarnya, hasil ciptaan batik harus dapat dilindungi hukum dari setiap
bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan
tidak terpuji dan tercela bahkan tidak bermoral oleh orang-orang tidak
bertanggungjawab yang melakukannya.
Prinsip perlindungan hak cipta sesuai dengan Pasal 2 UUHC 2002
yaitu menganut sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan
69
(http://www.detiknews.com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unesco-
akui-batik-milik-indonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]). Secara tidak
langsung hal ini hampir sama dengan bahwa batik sebagai pengetahuan
tradisional telah diakui dunia, pengakuan UNESCO ini dapat dijadikan bukti
apabila nantinya ada pengklaiman batik oleh negara lain.
Pertimbangan dalam memberikan kebebasan menggunakan hak
ciptanya kepada pencipta atau pemegang hak cipta, undang-undang
menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu.
Pembatasan ini dimaksudkan agar para pencipta dalam kegiatan kreatif dan
inovatifnya tidak melanggar norma-norrna atau asas kepatutan yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan dapat mewujudkan
keadilan dalam bermasyarakat. Untuk memperoleh keuntungan ekonomis
bagi para pencipta atau pemegang hak cipta guna dapat dinikmati oleh
masyarakat luas itu merupakan suatu kebebasan sehingga dibutuhkan suatu
pembatasan penggunaan hak cipta dapat dibagi dalam tiga hal yakni tidak
boleh melanggar kesusilaan dan ketertiban umum, tidak boleh melanggar
fungsi sosial hak cipta, dan pembatasan dalam hal pemberian lisensi yang
wajib.
Hakikatnya hak cipta batik ini sebenarnya memberikan perlindungan
bagi si pencipta untuk menikmati secara materiil jernih payahnya dari karya
cipta tersebut. Benda hasil karya cipta dianggap sebagai benda bergerak yang
dapat diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan. Batik yang termasuk
sebagai pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan agar karya cipta
seni batik milik Indonesia yang menjadi warisan budaya bangsa ini tidak
dimiliki/ditiru oleh negara lain. Seandainya negara lain ada yang ingin
meniru maka harus membayar royalti kepada pemerintah Negara Indonesia
yang nantinya dapat menjadi salah satu sumber devisa negara. Perlindungan
hukum hak cipta batik sebagai pengetahuan tradisional para pengusaha batik
di Kota Surakarta sudah mengetahuinya.
Bentuk perlindungan hukum melalui UUHC 2002 ini sendiri terdiri
dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan refresif.
72
Permasalahan atau sengketa Hak Cipta mengenai seni batik ini jarang
sekali terjadi kasus pelanggaran hak cipta pada seni batik tradisional, bahkan
di lokasi penelitian tidak ada sengketa mengenai batik pelanggaran hak cipta
itu sendiri. Hal tersebut sebenarnya dikarenakan pemahaman hak cipta yang
masih rendah sehingga tindakan peniruan atau penjiplakan motif tidak
dianggap sebagai suatu tindak pidana melainkan dianggap sebagai suatu hal
yang biasa dan bukan merupakan pelanggaran. Mereka hanya berfikir bahwa
masyarakat dapat menilai melalui kualitas yang dicipta.
Perlindungan hal ini tentunya merupakan perlindungan hukum yang
diberikan terhadap batik sebagai karya cipta pribadi sedangkan perlindungan
hukum terhadap batik sebagai pengetahuan tradisional adalah agar warisan
budaya kita tidak dapat diklaim oleh negara lain, selain itu juga untuk
mendokumentasikan warisan budaya tersebut agar memudahkan
pengidentifikasian komunitas mana yang berhak mengakuinya untuk
menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di
antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Lebih jauh, bahwa
perlindungan hak cipta pada umumnya dan batik pada khususnya tersebut
tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomis yaitu kesejahteraan
75
1. Hasil Penelitian
Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota
Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta dapat diketahui kendala-kendala yang timbul dalam penegakan
perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta. Hasil
wawancara dengan beberapa pengusaha batik yang merupakan salah satu
77
belum konsen ke pendaftaran hak cipta, karena saya masih mengandalkan sisi
provit terlebih dahulu dan pendaftaran hak cipta biayanya mahal.
Beberapa hal tersebut merupakan kendala dalam pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta. Kendala tersebut
dapat diidentifikasi sebagai faktor internal dan eksternal. Faktor eksternalnya
adalah pemahaman pengusaha batik yang lemah terhadap subtansi UUHC
2002 misalnya mengenai tarif pendaftaran, sehingga mereka tidak
mendaftarkan karya cipta seni batik nya dan juga ditemukannya sikap masa
bodoh para pengusaha batik apabila ada suatu penjiplakan, Sedangkan faktor
internalnya adalah dari pengaturan UUHC 2002 itu sendiri. Perlindungan
hukum batik sebagai penegetahuan tradisional tidak ada kendala, apalagi dapat
kita ketahui bahwa batik kini telah ada pengakuan batik, bahwa batik sebagai
pusaka dunia.
2. Pembahasan
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik
memiliki manfaat yang besar bagi penciptanya. Walaupun memang tidak ada
suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya namun alangkah baiknya jika
dilakukan suatu pendaftaran hak cipta atas seni batik agar memperoleh
perlindungan hukum yang pasti. Seperti kita contohkan jika terjadi suatu
sengketa, apabila telah didaftarkan maka pembuktian akan lebih mudah karena
pencipta dapat memberikan bukti otentik berupa tanda hak cipta itu sendiri.
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota
Surakarta khususnya, tidaklah mudah apalagi dalam bidang pendaftaran batik
sebagai karya cipta pribadi. Banyak sekali kendala-kendala yang dihadapi
dalam penegakan ini. Kendala-kendala tersebut dapat diidentifikasi dan atau
dilihat dari faktor internal maupun eksternal. Adapun faktor tersebut dapat
penulis jelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Internal
79
budaya hukum pengusaha batik di Kota Surakarta agar UUHC 2002 dapat
dilaksanakan pelaksanaan hukum yang lebih efektif. Baik langkah untuk
menghadapi faktor internal maupun eksternal tersebut. Adapun langkah-
langkah yang dapat dicapai menurut pemikiran penulis untuk mengatasi
hambatan tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor internal, dapat:
1). Memberikan sosialisasi kepada para pengusaha Batik di Kota Surakarta
untuk meningkatkan kesadaran hukum dan arti pentingnya hak cipta
yang menjadi hak mereka yang selama ini tidak mereka rasakan, yakni
dengan cara menjabarkan yang lebih tegas dan luas mengenai HKI pada
umumnya dan hak cipta pada khususnya sehingga dapat memacu tekad
pengusaha batik di Kota Surakarta untuk mempercayai perangkat
hukum di Indonesia sehingga para kalangan pengusaha batik
berkeinginan untuk mendaftarkan karya cipta seni batiknya melalui hak
cipta.
2). Memberdayakan pengusaha batik untuk menunjang/mendukung
kebeberadaan dalam pelaksanaan UUHC 2002, kondisi ini dapat dipacu
dengan adanya bentuk penyadaran-penyadaran mengenai arti penting
pendaftaran hak cipta terhadap karya seni batiknya, dalam arti
mengenai perlindungan hukum yang didapatkannya serta keuntungan
atas pendaftaran hak ciptanya dan memberikan pengertian-pengertian
apabila tidak didaftarkannya karya cipta seni batiknya. Apabila para
pengusaha batik menyadari hal ini, maka dapat memacu pengusaha
batik untuk mendukung keberadaan dari UUHC 2002 ini sendiri.
Memberdayagunakan pengusaha batik ini dapat melibatkan Pemerintah
Kota dan Perguruan Tinggi yang ada agar lebih maksimal.
b. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor eksternal, dapat:
Melakukan pembenahan-pembenahan di dalam pengaturan UUHC itu
sendiri, baik mengenai sifatnya maupun prosedur-prosedurnya, yang dapat
dilakukan dengan cara penyederhanaan birokrasi pendaftaran dengan
membuka kantor perwakilan di setiap kota dan instutisi peradilan niaga di
83
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
seni batik ini didapatkan langsung pada saat diumumkan pertama kali, namun
demikian pendaftaran ini penting yang nantinya dijadikan sebagai pembuktian
autentik atas karya seni batik tersebut.
2. Kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik
di Surakarta adalah: pertama, faktor Internal adalah faktor-faktor yang muncul
dari pihak pengusaha batik di Kota Surakarta sendiri, adapun faktor-faktor
tersebut adalah pemahaman yang lemah pengusaha batik di Kota Surakarta
terhadap substansi UUHC 2002 dan adanya sikap masa bodoh atau
membiarkan atas penjiplakan/peniruan motif yang dimiliki para pengusaha
batik itu sendiri dan sikap sosial kebudayaan masyarakat di Kota Surakarta.
Kemudian faktor kedua, faktor eksternal adalah faktor-faktor yang menjadi
kendala berasal dari luar pengusaha batik di Kota Surakarta itu sendiri.
Adapun faktor eksternal yang paling nampak adalah mengenai pengaturan
UUHC 2002 ini sendiri yakni mengenai sifat deklaratif yang digunakan, dan
juga mengenai prosedur-prosedur menganai pendaftaran hak cipta.
B. Saran
Pada bagian terakhir ini, beberapa saran dengan harapan saran ini dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait. Adapun saran tersebut
antara lain :
1. Dirjen HKI perlu lebih mendayagunakan tugas dan wewenangnya dengan cara
membuka kantor pelayanan di setiap perwakilan kota, untuk memudahkan
pendaftaran karena pendaftaran di Ibu Kota ataupun Ibu Kota Propinsi dirasa
masih terlalu jauh dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Apabila tidak
dilakukan pembukaan kantor perwakilan maka para pengusaha batik masih
tetap enggan untuk mendaftarkan karya cipta batiknya, dikarenakan tempat
pendaftaran yang jauh sehingga membutuhkan biaya akomodasi yang relatif
tinggi dan hal tersebut menyebabkan beban pendaftaran yang semakin tinggi
pula.
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Zen Umar Purba. 2002. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia.
Makalah Disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim
Agung, diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta 29
Januari 2002.
Budi Agus Riswandi. 2009. Hak Cipta Di Internet Aspek Hukum Dan
Permasalahannya Di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.
85
Dharsono. 2009. Batik Karya agung Bangsa Indonesia. Makalah. Disampaikan
pada Seminar Nasional Solo Membatik Dunia, pada tanggal 31 Oktober
2009 di Solo.
Kuswilono. 2009. Kurikulum Muatan Lokal Batik, Mengapa Tidak?. Pesta Buku
Solo 2009 Buku Untuk Semua, semua Butuh Buku. Surakarta: Ikatan
Penerbit Indonesia Jawa Tengah.
Moch Najib Imanullah dkk. 2005. Problematika Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
pada Kerajinan Batik Kayu. Majalah Hukum Yustisia. Nomor 68.
Surakarta: Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret.
Nian S. Djoemena. 1986. Ungkapan Sehelai Batik (Its Mystery and Meaning).
Jakarta: Djambatan.
Otto Hasibuan. 2008. Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: Alumni.
Rahmadi Usman. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni.
Santoso Doellah. 2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Solo: Danar
Hadi.
Suyud Margono dan Amir Angkasa. 2002. Komersialisasi Aset intelektual Aspek
Hukum Bisnis. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.