Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan


Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan, yaitu:
Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu
yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah (Notoatmodjo, 2003).
Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu
menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar (Notoatmodjo, 2003).
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya (Notoatmodjo, 2003).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. misalnya mengelompokkan dan membedakan
(Notoatmodjo, 2003).
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada
(Notoatmodjo, 2003).

2.2. Sikap
2.2.1 Definisi Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo,
2003).
Dalam bagian lain Allport (1954) yang dikutip kembali oleh Notoatmodjo
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave) (Notoatmodjo, 2003).

2.2.2. Tingkatan Sikap


Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat
dari kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah (Notoatmodjo, 2003).
Merespon yaitu memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide
tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai positif
terhadap objek atau stimulus. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga (Notoatmodjo, 2003).
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko adalah sikap yang paling tinggi (Notoadmodjo, 2003).

2.3. Tindakan atau Praktik (Practice)


2.3.1 Definisi Tindakan
Suatu sikap belum terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas (sarana dan
prasarana) (Notoatmodjo, 2003).

2.3.2. Tingkatan Tindakan


Tindakan atau praktik dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan, yaitu:
Persepsi, Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil adalah praktik tingkat pertama. Misalnya: seorang ibu
dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya (Notoatmodjo,
2003).
Respon Terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. Misalnya:
seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar mulai dari cara mencuci dan
memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).
Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan
benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang sudah biasa
mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu tanpa menunggu perintah
atau ajakan orang lain (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa
mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. Misalnya: ibu dapat memilih dan
memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan
sederhana (Notoatmodjo, 2003).

2.4. Diare
2.4.1. Defenisi Diare
Diare diartikan sebagai buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk
cairan atau setengah cair (setengah cair setengah padat), kandungan air pada tinja
lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24jam. Defenisi lain
memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari.
Buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa desertai lendir dan darah
(Simadibrata, 2006).
Reflex buang air besar dimulai dari pengembangan akut rectum di bawah
pusat supra spinal, dan kontraksi sigmoid akan meningkatkan tegangan rectum.
Bersamaan dengan kontraksi tersebut terjadi relaksasi otot spinkter ani eksterna
yang akan menyebabkan pengeluaran feses melalui anus. Pendorongan feses
keluar dari anus akan diperkuat oleh gerakan valsava (penutupan glottis, fiksasi
diafragma dan kontraksi otot dinding perut). Buang air besar secara sadar dapat
dicegah dengan melakukan kontraksi otot diafragma pelvis dan spinkter ani
eksterna (Tarigan, 1998). Frekuensi defekasi normal berkisar dari 3 kali seminggu
hingga 3 kali sehari. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat tinja, konsistensi dan
frekuensi defekasi mencakup kandungan serat dalam makanan, jenis kelamin
(berat tinja rata-rata per hari pada perempuan lebih kecil dibandingkan pada laki-
laki), obat-obat yang diminum dan kemungkinan pula latihan serta stress
(Friedman, 1999).
Diare harus dibedakan dengan pseudadiare atau hiperdefekasi yang
merupakan peningkatan frekuensi defekasi tanpa peningkatan berat tinja diatas
normal, sebagaimana terjadi pada pasien irritable bowel syndrome, proktitis,

Universitas Sumatera Utara


hipertiroidisme atau efek samping dari penggunaan obat (Tabel 2.1). Diare juga
harus dibedakan dengan inkontinensia fekal yang merupakan pelepasan isi rectum
tanpa disadari. Inkontinensia lebih sering terjadi kalau tinja berbentuk cair
daripada tinja padat dan mencerminkan fungsi anorektum atau otot pelvis yang
abnormal (Friedman, 1999).

Tabel 2.1 Obat-obat yang sering menimbulkan diare


Obat-obat gastrointestinal Preparat kemoterapeutik
Antasid yang mengandung Preparat hipolipidemik
magnesium Klofibrat
Laksania Gembifbrozil
Misoprostol Lovastatin
Olsalazin Probukol
Obat-obat jantung Obat-obat neuropsikiatrik
Digitalis Litium
Quinidin Fluoksetin (Prozac)
Prokainamid Alprazolam (Xanac)
Hidralazin Asam valproat
Penghambat beta Etosuksimid
Inhibitor enzim pengubah L-Dopa
angiotensin
Diuretik
Antibiotik Lain-lain
Klindamisin Teofilin
Ampisilin Hormon tiroid
Sefalosporin Kolkisin
Eritromisin Obat-obat anti inflamasi nonsteroid
(Sumber : Friedman, 1999)

Universitas Sumatera Utara


2.4.2. Etiologi Diare
Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain infeksi (bakteri,
parasit, virus), keracunan makanan, efek obat dan lain-lain. (Tabel 2.2). Menurut
World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, etiologi diare akut
dibagi atas empat penyebab: bakteri, virus, parasit dan non-infeksi (Simadibrata,
2006).

Tabel 2.2 Etiologi Diare Akut


Infeksi
1). Enteral
Bakteri: Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia
enterocolytica, Campylobacter jejuni, V.parahaemoliticus, Staphylococcus
aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus, dll.
Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus,
Cytomegalovirus (CMV), Echovirus, HIV.
Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum,
Balantidium coli.
Cacing: A. Lumbricoides, Cacing tambang, Trichuris trichiura, S.stercolaris,
Cestodiasis, dll.
Fungus: Kandida / Moniliasis

2). Parenteral: Otitis Media Akut (OMA), penumonia. Travellers diarrhea:


E.coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica dll.
Makanan :
Intoksikasi makanan : makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan
mengandung bakteri / toksin seperti Clostridium perfringens, B.cereus, S.aureus,
Streptococcus anhaemolyticus dll.

Alergi : susu sapi, makanan tertentu.


Malabsorpsi / maldigesti : Karbohidrat (monosakarida dan disakarida), lemak,
protein, vitamin dan mineral.

Imunodefisiensi : hipogamaglobulinemia, panhipogamaglobulinemia, penyakit


granulomatose kronik, defisiensi IgA, imunodefisiensi IgA heavycombination.
Terapi obat : antibiotik, kemoterapi, antasida.
Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi
radiasi.
Lain lain : Sindrom Zolinger Ellison, neuropati autonomik (neuropati
diabetik), gangguan psikis.
(Sumber : Simadibrata, 2006)

Universitas Sumatera Utara


2.4.3. Faktor Penyebab diare
Kesehatan lingkungan merupakan bagian dari dasar-dasar Kesehatan
Masyarakat modern yang meliputi semua aspek manusia dalam hubungannya
dengan lingkungan, yang terikat dalam bermacammacam ekosistem. Lingkungan
hidup manusia sangat erat kaitannya antara host, agent dan enviroment untuk
timbulnya suatu masalah kesehatan seperti halnya dengan penyakit diare
(Hiswani, 2003).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau parasit. Diare dapat
juga disebabkan oleh malabsorpsi makanan, keracunan makanan, alergi ataupun
karena defisiensi (Harianto, 2004).
Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh
banyak kehilangan air dan garam yang terlarut yang disebut dehidrasi. Kematian
lebih mudah terjadi pada anak yang bergizi buruk, karena gizi yang buruk
menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan orang tuanya tidak segera
memberi makanan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang (Harianto,
2004).
Higiene dan sanitasi yang buruk mempermudah penularan diare baik
melalui makanan, air minum yang tercemar kuman penyebab diare maupun air
sungai. Faktor sosial budaya yang berupa pendidikan, pekerjaan dan kepercayaan
masyarakat membentuk perilaku positif maupun negatif terhadap berkembangnya
diare. Perilaku masyarakat yang negatif misalnya membuang tinja di kebun,
sawah atau sungai, minum air yang tidak dimasak dan melakukan pengobatan
sendiri dengan cara yang tidak tepat (Harianto, 2004).
Kepadatan penduduk dan sosial ekonomi yang rendah serta lingkungan
yang kurang mendukung sering menimbulkan wabah diare. Dehidrasi yang terjadi
pada penderita diare karena usus bekerja tidak sempurna sehingga sebagian besar
air dan zat-zat yang terlarut didalamnya dibuang bersama tinja sampai akhirnya
tubuh kekurangan cairan. (Harianto, 2004)

Universitas Sumatera Utara


2.4.4. Klasifikasi Diare
2.4.4.1. Berdasarkan Lama waktu diare
2.4.4.1.1. Diare Akut
Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan
menurut World Gastroenterologi Organisation global guiedelines 2005, diare
akut didefenisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih
banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari (Simadibrata, 2006).

2.4.4.1.2. Diare Kronik


Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Sebenarnya
para pakar didunia telah mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan kronik
pada kasus diare tersebut, ada yang 15 hari, 3 minggu, 1 bulan dan 3 bulan, tetapi
di Indonesia dipilih waktu lebih 15 hari agar dokter tidak lengah, dapat lebih cepat
menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat (Simadibrata, 2006).

2.4.4.1.3. Diare Persisten


Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang
menyatakan diare yang berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari
diare akut (peralihan antara diare akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang
dianut yaitu yang berlangsung lebih dari 30 hari) (Simadibrata, 2006).

2.4.4.2.Berdasarkan Mekanisme Patofisiologik


2.4.4.2.1. Diare Osmotik
Diare osmotik dapat terjadi dalam beberapa hal sebagai berikut, yang
dapat dipandang pula sebagai penyebab diare osmotik:
a. Keadaan intoleransi makanan
Situasi ini timbul bila seseorang makan berbagai jenis makanan dalam
jumlah besar sekaligus. Misalnya, seseorang yang baru makan durian lalu minum
eskrim dan makan roti yang banyak disertai bistik. Sekaligus beberapa makanan
tersebut masuk ke usus kecil dalam keadaan osmotik yang sangat tinggi dimana
campur aduknya berbagai jenis makanan tersebut masuk ke usus kecil dalam

Universitas Sumatera Utara


keadaan osmotik yang sangat tinggi dimana campur aduknya berbagai jenis
makanan tidak menguntungkan untuk suatu proses pencernaan. Keadaan tersebut
diatas akan menimbulkan sekresi air yang berlebihan, sehingga menimbulkan
diare sementara, dikarenakan kondisi hipertonik akibat kandungan disakaridase
yang berlebihan (Daldiyono, 1997).
b. Waktu pengosongan lambung yang berlebihan
Dalam keadaan fisiologis, makanan yang masuk ke lambung selalu dalam
keadaan hipertonis, kemudian oleh lambung dicampur dengan cairan lambung dan
diaduk menjadi bahan yang isotonis atau hipotonis. Hal ini diatur oleh
osmoreseptor yang ada pada duodenum yang mengatur proses pengosongan
lambung. Pada pasien yang sudah mengalami gastrektomi atau piroplasti atau
gastroenterostomi, maka makanan yang masih hipertonik akan masuk ke usus
halus akibatnya akan timbul sekresi air dan elektrolit ke usus. Keadaan ini
mengakibatkan volume isi intestin yang bertambah dengan tiba-tiba sehingga
menimbulkan distensi usus. Yang kemudian mengakibatkan diare yang berat
disertai hipovolemi intravaskuler dan depresi. Jadi pada keadaan pengosongan
lambung yang cepat timbul distensi intestine, diare dan hipovolemi (Daldiyono,
1997).
c. Sindrom malabsorbsi atau kelainan proses absorbsi intestinal
Sebagai contoh keadaan ini adalah hal yang terjadi pada penyakit seliak
(gluten enterophaty). Akibat reaksi antigen antibodi terhadap protein gandum
(gluten), akan terdapaat kerusakan pada mukosa intestin sebagai akibat proses
absorbsi monosakarid dan oligosakarid yang terganggu yang akan menimbulkan
suasana hipertonik pada intestin lalu timbul diare (Daldiyono, 1997).
d. Defisiensi enzim
Suatu contoh yang terkenal adalah defisiensi enzim laktase. Laktase adalah
enzim yang disekresi oleh intestin untuk mencerna disakarida laktase menjadi
monosakarida glukose dan galaktose. Laktase diproduksi dan disekresi oleh sel
epitel intestin sejak dalam kandungan dan diproduksi maksimum pada waktu lahir
sampai umur masi anak-anak kemudian menurun sejalan dengan usia (Daldiyono,
1997).

Universitas Sumatera Utara


Pada orang Eropa dan Amerika, produksi enzim lactase tetap bertahan
sampai pada usia tua, sedang pada orang Asia, Jahudi, Indian, produksi enzim
lactase cepat menurun. Hal ini dapat menerangkan mengapa banyak orang Asia
tidak tahan susu. Sebaliknya orang Eropa sebang minum susu (Daldiyono, 1997).
e. Laksan osmotik
Berbagai laksan bila diminum dapat menarik air dari dinding usus ke
lumen. Yang memiliki sifat ini adalah magnesium sulfat (garam inggris).
Beberapa karakteristik klinik diare osmotik:
1. Ileum dan kolon masih mampu menyerap natrium karena natrium diserap
secara aktif. Kadar natrium dalam darah cendrung tinggi, karena itu bila
didapatkan pasien dehidrasi akibat laksan harus diperhatikan keadaan
hipernatremi tersebut dengan memberikan dekstrose 5 %.
2. pH tinja menjadi bersifat asam akibat fermentasi karbohidrat oleh bakteri.
3. Diare akan berhenti bila pasien puasa. Efek berlebihan suatu laksan
(intoksikasi laksan) dapat diatasi dengan puasa 24-27 jam dan hanya diberi
cairan intravena (Daldiyono, 1997).

2.4.4.2.2. Diare Sekretorik


Ada 2 kemungkinan timbulnya diare sekretorik, yaitu sekretorik pasif dan
diare sekretorik aktif. Diare sekretorik pasif disebabkan oleh tekanan hidrostatik
dalam jaringan, hal ini terjadi pada ekspansi air dari jaringan ke lumen usus. Hal
ini terjadi pada peninggian tekanan vena mesenterial, obstruksi sistem limfosik,
intestinal iskemia, bahkan pada proses peradangan (Daldiyono, 1997).
Diare sekretorik aktif terjadi bila terdapat gangguan (hambatan) aliran
(absorbsi) dari lumen ke plasma atau percepatan cairan air dari plasma atau
percepatan cairan air dari plasma ke lumen. Seperti diketahui dinding usus selain
mengabsorbsi air juga dalam keadaan fisiologis terdapat keseimbangan dimana
aliran absorbsi selau lebih banyak dari pada aliran sekresi. Diare sekretorik bisa
juga disebabkan oleh pengaruh hormon seperti pada gastrinoma atau sindrom
Zollinger Ellison, pada Vipoma (vasoaktif intestinal peptide) dan pada penyakit
menitriere (Daldiyono, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Karakteristik Klinik diare sekretorik
a. Diare jumlahnya sangat banyak, sehingga selalu menimbulkan gejala klinik
yang sangat jelas dengan dehidrasi sampai syok, asidosis dan lain-lain.
b. Kadar elektrolit pada tinja hampir sama dengan osmolaritas.
c. pH tinja normal.
d. Kehilangan natrium relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan kehilangan
kalium.
e. Diare tetap berjalan sampai cairan tubuh habis (tidak dapat berhenti sendiri
dengan puasa), ini bedanya dengan diare osmotik (Daldiyono, 1997).

2.4.4.3.Menurut Penyebab
2.4.4.3.1. Diare Infeksiosa
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab terbesar (tersering) dari pada
diare. Dipandang dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi 2 golongan
yaitu: Non-invasif (yang tidak merusak mukosa) dan Invasif (yang merusak
mukosa) (Daldiyono, 1997).
Bakteri non invasive menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh
bakteri tersebut, yang juga disebut diare toksigenik. Sebagai prototip diare
toksigenik adalah pada kolera. Vibrio cholerae/Eltor memproduksi enterotoksin
berupa suatu protein dengan berat molekul 84.000 gr.mol. protein tersebut
mempunyai bagian (gugus) yang aktif yang dapat menempel pada epitel usus 15-
30 menit sesudah diproduksi oleh vibrio. Atas pengaruh nikotinamid adenine
dinukleotide pada dinding sel usus, terbentuklah adenosine monofosfat siklik
(AMF siklik) yang makin lama makin banyak yang akibatnya terjadilah sekresi
aktif anion klorida yang diikuti oleh air, ion bikarbonat dan kation natrium dan
kalium. Namun demikian mekanisme absorbsi ion natrium melalui mekanisme
pompa kalium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diiringi oleh air,
ion kalium dan ion bikarbonat, klorida). Kompensasi ini dapat dicapai dengan
pemberian larutan glukosa yang di absorbsi secara aktif oleh dinding sel usus.
Glukosa tersebut diserap bersama air, sekaligus diiringi oleh ion natrium, kalium
dan klorida, ion bikarbonat (Daldiyono, 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.4.4.3.2. Diare akibat Neoplasma
Banyak proses neoplasma yang ada pada mukosa maupun neoplasma
diluar gastrointestinal yang menyebabkan diare. Beberapa jenis neoplasma
tersebut antara lain adalah gastrinoma yang tumornya biasanya ada pada pankreas,
menimbulkan sindrom Zollinger-Ellison dan hipergastrinoma pada penyakit
Menitriere. Kedua penyakit tersebut menyebabkan sekresi HCl dan air secara
sangat berlebihan sehingga menimbulkan diare (Daldiyono, 1997).
Karsinoma tiroid meduler mensekresi prostaglandin E yang merangsang
sekresi air melalui peninggian AMF siklik. Adenoma visola pada kolon
mensekresi mucus dan air yang bisa banyak sekali menimbulkan dehidrasi,
hipoalbuminemi, hipokalemia. Vasoaktif peptic intestinal (VIPoma) menyebabkan
diare hebat dengan akibat dehidrasi hipokalemia, hipokloremia. Proses neoplasma
biasanya ada di pankreas sehingga sering disebut sebagai kolera pankreatik.
Mekanisme diare karena VPI tersebut meninggikan kadar AMF siklik yang
merangsang sekresi klorida dan air sekaligus menutup (memblokir) proses
absorbsi natrium dan air. Ini bedanya dengan pada kolera dimana enterotoksin
kolera hanya merangsang sekresi klorida dan air tanpa mengganggu proses
absorbsi natrium dan air (Daldiyono, 1997).

2.4.5. Patofisiologi Diare


Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut :
1. Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik
2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik
3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal
6. Gangguan permeabilitas usus
7. Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik
8. Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (Simadibrata, 2006).
Diare osmotik: diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik
intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat obat atau zat kimia yang

Universitas Sumatera Utara


hiperosmotik, malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa usus seperti
pada defisiensi disararidase, malabsorpsi glukosa atau galaktosa (Simadibrata,
2006).
Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan meningkatnya sekresi air dan
elektrolit dari usus dan menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu
secara klinis ditemukan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap
berlangsung walaupun dilakukan puasa makan dan minum. Penyebab dari diare
tipe ini antara lain kerena efek dari enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau
Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum
(gangguan absorbsi garam empedu), dan efek obat laktasif (dioctyl sodium
sulfosuksinat dll) (Simadibrata, 2006).
Malabsorbsi asam empedu dan malabsorpsi lemak: diare tipe ini
didapatkan pada gangguan pembentukan micelle empedu dan penyakit penyakit
saluran bilier dan hati (Simadibrata, 2006).
Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit : diare
tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+ K+ ATP ase
di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal (Simadibrata, 2006).
Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi
yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes
mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Simadibrata, 2006).
Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus
yang abnormal akibat adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada
usus halus (Simadibrata, 2006).
Inflamasi dinding usus: diare tipe ini disebabkan adanya kerusakan
mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang
berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen serta gangguan
absorpsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi
(disenteri Shigella) dan noninfeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn)
(Simadibrata, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Diare infeksi disebabkan infeksi oleh bakteri dan merupakan penyebab
tersering diare. Dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non invasif
(tidak merusak mukosa) dan invasif ( merusak mukosa). Bakteri non invasive
menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut, yang
disebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik yaitu kolera (Eltor).
Enterotoksin yang dihasilkan kuman vibrio cholare/eltor merupaka protein yang
dapat menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosine monofosfat
siklik (AMF siklik) di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida
yang diikuti air, ion bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme
absorbsi ion natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena
itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat
dikompensasi oleh meningginya absorbsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium
dan ion bikarbonat, klorida). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian
larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus (Simadibrata,
2006).

2.4.6. Diagnosis Diare


Demi kepentingan pelayanan sehari-hari diagnosis kerja berdasarkan
gejala klinik seharusnya sudah memadai, dan sudah cukup untuk kepentingan
terapi. Hal ini sudah disebutkan dimuka bahwa diare karena infeksi dan karena
intoleransi makanan mencakup sebagian besar kasus diare. Namun demikian
diagnosis pasti/tetap perlu di upayakan, demi kepentingan penelitian, pendidikan
dan upaya pencegahan pada masyarakat. Langkah diagnosis sebagai berikut :
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium mencakup tinja, darah,
kultur tinja, serologi, juga dilakukan foto dan endoskopi (Daldiyono, 1997).
2.4.6.1.Anamnesis
Anamnesis pada penderita diare harus cermat dengan tujuan untuk
mengusahakan data yang mengarah pada penggolongan berdasarkan patofisiologi
maupun untuk mencari data penggolongan berdasarkan etiologi, serta derajat berat
ringannya penyakit secara rinci (Daldiyono, 1997).. Anamnesis yang perlu
diketahui adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


a. Umur
Umur pederita perlu diketahui untuk semua keadaan. Pada masalah diare
pasien geriatrik biasanya akibat tumor, divertikulitis, laksan berlebihan. Pada
pasien muda biasanya infeksi, sindrom kolon iritatif (iritabel), investasi parasit,
intoleransi laktase, dan di Eropa suatu penyakit seliak (Daldiyono, 1997).

b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin tidak banyak bersangkutan dengan diare (Daldiyono, 1997).
c. Frekuensi Diare
Frekuensi diare sangat penting untuk diketahui. Frekuensi diare harus
dipertanyakan setiap hari dari awal penyakit sampai pasien datang kedokter.
Misalnya hari pertama beberapa kali, hari kedua dan seterusnya. Perlu diketahui
apakah frekuensi diare tersebut yang misalnya 4-5 kali sehari terbagi rata dalam
sehari atau hanya pagi hari saja misalnya. Frekuensi diare oleh infeksi bakteri
biasanya dari hari kehari makin sering, berbeda dengan diare akibat minum laksan
misalnya, atau akibat salah makan (Daldiyono, 1997).
d. Lamanya diare
Diare akut biasanya berlangsung cepat sedang kronik misalnya pada colitis
ulserosa, sindrom kolon iritabel, intoleransi laktase, malabsorbsi biasanya
berlangsung lama (Daldiyono, 1997).
e. Perjalanan penyakit
Diare akut biasanya cepat sembuh sedangkan beberapa penyakit misalnya
sindrom iritabel, hipertiroid, kolitis ulserasi mengalami perode remisi dan
eksaserbasi (Daldiyono, 1997).
f. Informasi tentang tinja
Informasi tentang tinja justru yang terpenting. Dengan mengetahui secara
tepat seluk beluk tinja yang dikeluarkan dapat memimpin fikiran untuk menuju
diagnosis. Idealnya dokter melihat dan membau tinja penderita, tapi ini sering
sukar, bahkan pasien sendiri banyak yang segan melihat tinjanya sendiri. Sebelum
menganalisis tinja yang patologis, baik diterangkan karakteristik tinja normal.
Tinja ideal biasanya berwarna coklat hijau, kekuningan, panjang 15-39 cm pada

Universitas Sumatera Utara


dewasa dan bulat lonjong dengan diameter 2-4 cm. tinja berikut keluar sekaligus
secara berurutan tanpa mengejam, dengan berat sekitar 75-200 gr. Kandungan
tinja adalah bakteri, sisa makanan, air 70 %, sel-sel yang lepas, serat dan sisa
makanan lainnya. Bau tinja normal spesifik, akibat sterkobilin, indol dan skatol
serta gas lain yang banyak sekali (Daldiyono, 1997).

2.4.6.2.Pemeriksaan Fisik
Kelainan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat
berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare.
Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan
darah dan nadi, temperatur tubuh dan toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang
seksama merupakan hal yang penting. Kualitas bunyi usus dan ada atau tidaknya
distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan petunjuk penting bagi penentuan
etiologi (Simadibrata, 2006).

2.4.6.3.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan tinja selalu penting. Adanya parasit atau jamur hanya dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan kultur tinja haruslah
tertuju terhadap bakteri tertentu. Pemeriksaan serologi atau pemeriksaan
laboratorium lain banyak diperlukan bagi diare kronik atau berulang (Daldiyono,
1997). Pada pasien diare perlu dianalisis tinjanya sebagai berikut :
a. Volume
Frekuensi defekasi yang sering dengan tinja yang sedikit, berarti iritasi
kolon bagian distal atau rektum misalnya pada disentri, colitis ulserosa, tumor
rektum dan sigmoid dan pada sindrom usus irritable. Diare dengan tinja yang
banyak berarti berasal dari intestine misalnya pada kolera, atau diare bentuk
kolera (cholererform diarrhea), enteritis bacterial atau akibat laksan. Tinja pada
sindrom malabsorbsi biasanya banyak sekali seperti adonan roti pucat, lengket
dengan bau yang menyengat dan terapung pada air. Sedang pada keadaan lain
malabsorbsi tinja dengan air bercampur dengan sempurna. Tinja yang lunak

Universitas Sumatera Utara


semisolid bisa normal dan tinja cair yang keluar sesudah tinja padat juga bisa
normal (Daldiyono, 1997).
b. Warna
Warna tinja normal tergantung makanan yang dikonsumsi. Sesudah
banyak makan pisang atau minum susu tinja berwarna kuning, bila banyak makan
daging, warna tinja coklat, sayuran hijau membuat tinja berwarna hijau, sedang
pepaya, wortel, tomat membuat warna tinja kemerahan, sedang bila ada
peradangan saluran cerna tinja berwarna hitam (Daldiyono, 1997).
c. Bau
Bau tinja perlu diketahui, bau yang menyengat busuk terdapat karsinoma
kolon, sedang pada kolera baunya anyir (seperti sperma), bau sekali (menyengat)
pada malabsorbsi (Daldiyono, 1997).
d. Sisa Makanan
Sisa sayuran pada tinja bisa normal, bila sisa makanan jelas terlihat hal ini
bisa terjadi pada sindrom usus atau fistula (Daldiyono, 1997).
e. Lendir dan Nanah
Tinja berlendir biasa terjadi pada sindrom usus iritabel, karena itu disebut
colitis mukoid. Lender (mucus) bersama dengan nanah bisa terjadi pada colitis
ulserosa dan disentri. Bedanya lendir dan nanah adalah lendir terlihat bening
transparan sedang nanah berwarna kuning keruh (Daldiyono, 1997).
f. Darah
Darah pada tinja terjadi pada disentri, infeksi kampilobakter, tumor dan
colitis ulserasi, hemoroid. Adanya darah pada tinja yang cair menunjukkan situasi
yang harus diperhatikan dengan seksama oleh dokter (Daldiyono, 1997).

2.4.6.4.Foto Sinar-X (Rontgen)


Foto Sinar-X (Rontgen) tidak perlu dilakukan pada diare akut. Terhadap
kasus diare akut peranan roentgen sudah digantikan oleh endoskopi. Lain halnya
pada diare kronik dimana pemeriksaan Sinar-X (Rontgen) memegang peranan
yang sama dengan endoskopi (Daldiyono, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Anamnesis
Lama Karakteristik tinja Nyeri abdomen Penyakit lain
Epidemiologi Air Kolitis akut Obat - obat
Bepergian Berdarah Penyakit usus
Makanan inflamasi
Air

Pemeriksaan
fisik
Umum Abdomen Pemeriksaan
Keseimbangan Nyeri tekan Fecal occult blood test
Cairan Distensi
Panas
Nutrisi

Pemeriksaan awal
Toksik Nontoksik Terapi simtomatik
Penyakit berjalan Lama penyakit Cairan rehidrasi oral
terus sebentar Obat antidiare
Darah di tinja Tidak berdarah
Dehidrasi Tidak nyeri tekan Tidak respon respon

Replesi cairan /
elektrolit

Evaluasi
Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi Kimia darah Pemeriksaan tinja
lengkap Elektrolit Pemeriksaan telur dan
Hemokonsentrasi Ureum parasit
Diferensial leukosit Kretinin Antigen Giardia
Serologi ameba Toksin Clostridium
difficille
Sigmoidoskopi atau
kolonoskopi dengan
biopsi
Leukosit tinja
Positif Negatif

Terapi antibiotik empirik


Terapi spesifik Kultur tinja

Gambar 2.1. Algoritma untuk evaluasi pasien dengan diare akut


(Sumber : Simadibrata, 2006)

Universitas Sumatera Utara


2.4.7. Penatalaksanaan diare
2.4.7.1.Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g
Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g Kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak
mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin (Zein, 2004).
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai
cara :
a. BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma 1,025 x Berat badan (Kg) x 4 ml
0,001
b. Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x KgBB
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x KgBB
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x KgBB (Simadibrata, 2006).

Universitas Sumatera Utara


c. Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
(Tabel 2.3 )

Tabel 2.3. Skor penilaian klinis dehidrasi menurut Daldiyono

Klinis Skor
Rasa haus / muntah 1
Tekanan darah sistolik 60 90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi >120x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, sopor atau koma 2
Frekuensi nafas >30x/menit 1
Fasies kolerika 2
Vox Cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer womans hand 1
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50 60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2
(Sumber : Simadibrata, 2006)

Kebutuhan cairan = Skor x 10% x KgBB x 1 liter


15

2.4.7.2.Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang di indikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan
gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan
jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (Tabel 2.4), tetapi terapi
antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Zein,
2004).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.4. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri

Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua


Campylobacter, Ciprofloksasin 500mg Salmonella/Shigella
Shigella atau oral Ceftriaxon 1gr IM/IV
Salmonella spp 2x sehari, 3 5 hari sehari
TMP-SMX DS oral 2x
sehari, 3 hari
Campilobakter spp
Azithromycin, 500 mg
oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral
2x sehari, 5hr
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg oral Resisten Tetrasiklin
4x sehari, 3 hari Ciprofloksacin 1gr oral
Doksisiklin 300mg Oral, 1x
dosis tunggal Eritromisin 250 mg oral
4x sehari 3 hari

Traveler diarrhea Ciprofloksacin 500mg TMP-SMX DS oral 2x


sehari, 3 hari

Clostridium difficile Metronidazole 250-500 Vancomycin, 125 mg


mg oral 4x sehari
4x sehari, 7-14 hari, 7-14 hari
oral atau IV
(Sumber : Umar Zein, 2004)

2.4.8. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.
Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis,
sehingga syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat
timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi
organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak
adekuat sehingga tidak tercapai rehidrasi yang optimal (Zein, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.4.9. Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya
sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia
(Zein, 2004).

2.4.10. Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air merupakan
penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang
digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk
memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan
air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau
sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air (Zein, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai