Anda di halaman 1dari 41

BAB.

I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kanker serviks adalah kanker kedua yang paling umum pada wanita di seluruh

dunia, dengan sekitar 500.000 kasus baru dan 250.000 kematian setiap tahun.

Hampir 80% kasus terjadi di negara berpendapatan rendah, di mana kanker leher

rahim adalah kanker kedua yang paling umum pada wanita. Hampir semua kasus

kanker serviks (99%) terkait dengan infeksi genital dengan Human Papilloma

Virus (HPV), yang merupakan infeksi virus yang paling umum pada saluran

reproduksi (WHO, 2013). Di Indonesia, sampai saat ini kanker serviks masih

merupakan masalah kesehatan perempuan dengan angka kejadian dan angka

kematian yang tinggi dimana setiap hari ditemukan 41 kasus baru dan 20 kasus

kematian (Rasjidi, 2008).

Pengobatan bagi kanker serviks bervariasi mengikuti tingkat keparahan

penyakit. Untuk kanker yang terdeteksi awal, pilihan untuk terapinya adalah

pembedahan, namun dalam kasus berlanjut, kombinasi radiasi dan kemoterapi

merupakan standar pengobatan yang digunakan. Bagi pasien yang penyakit

kankernya sudah menyebar, terapi menggunakan kemoterapi atau radiasi dapat

mengurangi gejala yang terjadi (Boardman, 2013).

Kemoterapi merupakan jenis pengobatan kanker yang menggunakan obat

untuk menghancurkan sel-sel kanker. Kemoterapi bekerja dengan menghentikan

atau memperlambat pertumbuhan sel kanker, yang tumbuh dan membelah dengan

cepat. Kemoterapi juga dapat membahayakan sel-sel sehat yang membelah

dengan cepat, seperti pada garis mulut dan usus atau sel yang menpengaruhi

1
2

pertumbuhan rambut. Kerusakan sel-sel sehat dapat menyebabkan efek

samping. Seringkali, efek samping akan lebih baik atau hilang setelah kemoterapi

selesai (NCI, 2013a).

Kemoterapi diberikan dalam suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan

diselingi dengan periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan dan diselingi

dengan pemulihan begitu seterusnya. Pemberian kemoterapi dalam siklus ini

bertujuan untuk memberi kesempatan pada sel sehat untuk tumbuh dan

berkembang (NCI, 2013a). Pasien yang menjalani kemoterapi tidak semuanya

menjalani siklus kemoterapi dengan lengkap. Ada banyak faktor yang

menyebabkan ketidaklengkapan siklus yang diterima oleh pasien antara lain

biaya, kondisi pasien, serta efek samping pemberian kemoterapi yang dirasa

sangat mengganggu pasien (Zaenal, 2011).

Efek samping yang timbul akibat pemberian kemoterapi ini sangat

mengganggu pasien, oleh sebab itu pasien diberikan premedikasi untuk mencegah

rasa tidak nyaman tersebut muncul. Premedikasi yang umum diberikan pada

pasien kanker serviks yang mendapatkan kemoterapi adalah antiemetik dan

analgetik karena efek samping yang paling sering terjadi dan paling mengganggu

akibat pemberian agen kemoterapi adalah mual muntah dan rasa sakit (nyeri)

(Tobias & Hochhauser, 2010).

Tingginya angka mortalitas akibat kanker serviks maka perlu dilakukan

penanganan terapi yang rasional. Perlu dilakukan evaluasi terhadap pengobatan

agar mengetahui pengobatan yang sesuai pada pasien kanker serviks. Ketepatan

dalam suatu pelaksanaan terapi dipengaruhi proses diagnosis, pemilihan terapi,

2
3

pemberian terapi serta evaluasi pemberian obat merupakan suatu proses jaminan

mutu yang terstruktur, dilakukan terus menerus secara organisasi yang diakui dan

ditujukan untuk menjamin agar obat digunakan secara tepat, aman, dan efisien.

Berdasarkan hal hal tersebut, penting untuk mengetahui penggunaan obat

kemoterapi dan dilakukan peninjauan serta evaluasi yang lebih spesifik terhadap

penggunaan obat kemoterapi pada pasien kanker serviks. Penelitian ini

diharapkan agar dapat mengetahui seberapa besar tingkat ketepatan penggunaan

obat kemoterapi pada pasien kanker serviks di instalasi rawat inap RSUD Dr

Moewardi Surakarta.

A. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien berdasarkan status masuk pasien

ke rumah sakit, usia, dan stadium pada pasien kanker serviks di instalasi

rawat inap RSUD Dr Moewardi periode Juli September 2012.

2. Bagaimana gambaran karakteristik pengobatan meliputi variasi

premedikasi, variasi kemoterapi serta variasi siklus kemoterapi yang

diterima oleh pasien kanker serviks di instalasi rawat inap RSUD Dr

Moewardi periode Juli September 2012.

3. Bagaimana penggunaan regimen kemoterapi pada pasien kanker serviks di

instalasi rawat inap RSUD Dr Moewardi periode Juli - September 2012

dilihat dari sisi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis

berdasarkan guideline dari National Comprehensive Cancer Network

Clinical Practice Guideline in Oncology version 1.2011 dan Protokol

pemberian kemoterapi RSUD Dr Moewardi Surakarta.


4

B. Tujuan Penelitian:

1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien meliputi status masuk pasien ke

rumah sakit, usia, stadium pada pasien kanker serviks di instalasi rawat

inap RSUD Dr Moewardi pada periode Juli September 2012.

2. Mengetahui gambaran karakteristik pengobatan meliputi variasi

premedikasi, variasi kemoterapi serta variasi siklus kemoterapi yang

diterima oleh pasien kanker serviks di instalasi rawat inap RSUD Dr

Moewardi periode Juli - September 2012.

3. Mengetahui penggunaan regimen kemoterapi pada pasien kanker serviks

di instalasi rawat inap RSUD Dr Moewardi periode Juli - September 2012

dilihat dari sisi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis

berdasarkan guideline dari National Comprehensive Cancer Network

Clinical Practice Guideline in Oncology version 1.2011 dan Protokol

pemberian kemoterapi RSUD Dr Moewardi Surakarta.

C. Manfaat Penelitian:

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan memberikan manfaat

sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit :

a) Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan

dalam memberikan obat kemoterapi untuk pasien kanker serviks.

b) Dapat meningkatkan pengembangan standar penggunaan obat

kemoterapi.
5

2. Bagi peneliti, sebagai suatu sumber informasi mengenai pola

penggunaan obat serta memberikan pengalaman yang besar manfaatnya bagi

perkembangan profesionalisme yang akan ditempuh.

3. Sebagai dasar pertimbangan atau pembanding untuk penelitian lebih

lanjut.

2. Tinjauan Pustaka

Kanker adalah kelompok penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan sel yang

tidak terkendali dan penyebaran sel yang abnormal. Jika penyebaran tidak

terkendali dapat menyebabkan kematian. Kanker disebabkan oleh dua faktor yaitu

faktor eksternal meliputi merokok, zat kimia, radiasi, dan agen infeksi dan faktor

internal meliputi mutasi yang diturunkan, hormon, dan kondisi imunitas. Terdapat

rentang waktu sepuluh tahun atau lebih antara paparan faktor eksternal dan

munculnya kanker (ACS, 2007).

Karsinogenesis adalah proses multi-langkah yang meliputi inisiasi,

promosi, konversi, dan kemajuan. Pertumbuhan sel normal dan kanker secara

genetik dikendalikan oleh keseimbangan atau ketidakseimbangan onkogen,

protoonkogen, dan tumor supresor produk protein gen. Kelipatan mutasi genetik

yang diperlukan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Apoptosis dan

penuaan selular (penuaan) adalah mekanisme normal untuk kematian sel (DiPiro

et al, 2005).

Kanker dimulai ketika sel pada suatu bagian tubuh berkembang diluar kendali.

Pertumbuhan sel kanker berbeda dengan pertumbuhan sel normal. Ketika sel
6

normal mati, sel kanker terus tumbuh dan membentuk sel abnormal yang baru. Sel

kanker juga dapat menyerang atau tumbuh pada jaringan lain (ACS, 2012).

Serviks (leher rahim) terletak dibagian bawah uterus (rahim) yang memanjang

ke dalam vagina. Serviks sering disebut pangkal rahim. Terdapat suatu celah kecil

di dalam serviks, kanal servikal yang melalui serviks memasuki bagian utama

uterus. Serviks mempunyai beberapa fungsi yang penting yaitu menghasilkan

kelembaban yang membantu melicinkan vagina serta menghasilkan mukus yang

membantu sperma bergerak ke arah tuba falopi dalam usaha membuahi sel telur

dari ovari. Serviks juga menopang bayi yang sedang berkembang di dalam uterus

semasa kehamilan. Pada saat bersalin, serviks akan terbuka untuk proses kelahiran

bayi. Serviks terdiri dari dua jenis sel yang berlainan, yaitu sel skuamus yang

meliputi bagian luar dan sel endoservikal meliputi bagian dalam (NCI, 2008).

Gambar 1. Anatomi Alat Reproduksi Wanita (NCI, 2008)


7

Kanker serviks awalnya terjadi pada sel yang berada di permukaan serviks

seorang wanita. Dengan pertambahan waktu, kanker ini dapat menyebar ke dalam

serviks dan organ lain yang berdekatan. Sel kanker dapat menyebar dengan cara

membelah dan terpisah dari tumor primer. Sel ini masuk ke pembuluh darah dan

nodus limpa, yang seterusnya akan menyebar ke seluruh jaringan tubuh

membentuk tumor yang baru dan merusak organ tersebut. Penyebaran sel kanker

tersebut disebut metastasis (NCI, 2008).

A. Epidemiologi dan Etiologi

Berdasarkan data International Agency Research on Cancer (IARC)

Globocan 2002, kanker serviks menempati urutan kedua dengan rata rata

insidensi 16 per 100.000 perempuan, kasus baru yang ditemukan 9,7% dengan

jumlah kematian 9,3% per tahun dari seluruh kasus kanker pada perempuan di

dunia. Berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi

Indonesia (IAPI) tahun 1998 di 13 rumah sakit di Indonesia kanker leher rahim

menempati posisi pertama dari seluruh kasus kanker terbesar 17,2%. Sedangkan

dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia tahun 2007 diketahui

bahwa kanker rahim urutan kedua pada pasien rawat inap (11,78%) dan pasien

rawat jalan (17,00%) (Departemen Kesehatan RI, 2010).

Angka kejadian kanker serviks terbanyak dijumpai di negara negara

berkembang seperti Indonesia, India, Bangladesh, Thailand, Vietnam dan Filipina.

Di Amerika Latin dan Afrika Selatan angka kejadian kanker serviks juga

merupakan terbanyak dari penyakit berbahaya yang ada. Di Indonesia, kanker


8

serviks menduduki peringkat teratas dari urutan penyakit berbahaya yang ada

(Tambunan, 1995).

Perjalanan penyakit kanker serviks merupakan salah satu model

karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis

awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi

studi epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks dihubungkan

dengan jenis Human Papiloma Virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker

dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan

prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks

(Broadman, 2013).

Menurut American Cancer Society (2012), ada beberapa faktor risiko yang

meningkatkan kemungkinan untuk berkembangnya kanker serviks, antara lain:

1. Infeksi Human Papilloma Virus

Faktor risiko terpenting untuk kanker serviks adalah infeksi oleh

Human Papilloma Virus (HPV). HPV adalah sekelompok lebih dari

100 virus yang terkait, beberapa di antaranya menyebabkan jenis

pertumbuhan yang disebut papilloma, yang lebih sering dikenal

sebagai kutil. Infeksi HPV juga dapat menyebabkan beberapa jenis

kanker, termasuk kanker penis, leher rahim, vulva, vagina, anus, dan

tenggorokan. HPV terbagi atas dua kelompok besar yaitu tipe risiko

rendah (low risk type) yaitu jenis HPV 6 dan 11, jenis ini tidak

menyebabkan kanker tetapi dapat menyebabkan timbulnya kutil pada


9

daerah anogenital. Tipe risiko tinggi yaitu HPV 16 dan 18 jenis ini

yang menyebabkan kanker serviks (ACS, 2012).

2. Merokok

Wanita yang merokok mempunyai dua kali risiko lebih besar

terdiagnosis kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak merokok.

Merokok memaparkan banyak bahan kimia penyebab kanker pada

tubuh dan mempengaruhi organ-organ lain selain paru-paru. Zat-zat

berbahaya yang diserap melalui paru-paru dan dibawa dalam aliran

darah ke seluruh tubuh. Produk tembakau ditemukan dalam lendir

serviks perempuan yang merokok. Para peneliti percaya bahwa zat ini

yang merusak DNA dari sel-sel leher rahim dan dapat berkontribusi

terhadap perkembangan kanker serviks. Merokok juga membuat sistem

kekebalan tubuh kurang efektif dalam memerangi infeksi HPV (ACS,

2012).

3. Imunosupresan

Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus yang menyebabkan

AIDS, merusak sistem imun tubuh dan menempatkan wanita pada

risiko yang lebih tinggi terinfeksi HPV. Oleh karena itu dapat

dijelaskan bahwa terjadi peningkatan risiko kanker serviks pada wanita

yang mengidap AIDS. Sistem imun dapat menghancurkan sel sel

kanker, memperlambat pertumbuhan dan penyebarannya. Selain AIDS,

penderita penyakit autoimun yang mendapatkan obat imunosupresan

juga merupakan kelompok dengan faktor risiko tinggi. Selain dua


10

diatas, orang yang mendapat transplantasi organ juga memiliki risiko

karena penggunaan imunosupresan (ACS, 2012).

4. Infeksi klamidia

Klamidia relatif jenis bakteri umum yang dapat menginfeksi sistem

reproduksi dan disebarkan melalui hubungan seksual. Infeksi klamdia

dapat menyebabkan peradangan pelvis yang dapat meyebabkan

infertilitas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor risiko

kanker serviks lebih besar pada wanita yang hasil tes darahnya pernah

positif infeksi klamidia. Infeksi klamidia sering kali tidak

menimbulkan suatu gejala pada wanita (ACS, 2012).

5. Diet

Wanita yang kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran

mungkin akan terjadi peningkatan risiko untuk kanker serviks. Juga

wanita dengan kelebihan berat badan lebih memungkinkan kanker

serviks berkembang (ACS, 2012).

6. Kontrasepsi oral

Penggunaan kontrasepsi oral untuk waktu yang lama terbukti dapat

meningkatkan resiko kanker serviks. Risiko kanker serviks akan

menjadi dua kali pada wanita yang menggunakan pil kontrasepsi lebih

dari 5 tahun, tapi risiko akan kembali normal setelah penghentian

pemakaian selama 10 tahun. Sebelum memilih kontrasepsi yang akan

digunakan ada baiknya konsultasikan terlebih dahulu risiko dan

manfaatnya pada dokter atau bidan (ACS,2012).


11

7. Pemakaian IUD

Sebuah penelitian baru menemukan bahwa wanita yang pernah

menggunakan IUD (Intra-utery Device) memiliki penurunan risiko

kanker serviks. Efek terhadap risiko terlihat bahkan pada wanita yang

menggunakan IUD untuk kurang dari satu tahun, dan efek

perlindungan tetap setelah IUD dilepas. Menggunakan IUD juga dapat

menurunkan risiko kanker endometrium (rahim). Namun, IUD

memiliki beberapa risiko. Wanita yang ingin menggunakan IUD harus

terlebih dahulu mendiskusikan potensi risiko dan manfaat dengan

dokter (ACS, 2012).

8. Paritas

Wanita yang melahirkan 3 kali atau lebih memiliki peningkatan risiko

kanker serviks. Salah satu teori menjelaskan bahwa perempuan-

perempuan yang telah melahrkan lebih dari tiga kali telah melakukan

hubungan tanpa kondom agar hamil, sehingga mereka mungkin lebih

banyak terpapar HPV. Perubahan hormon selama kehamilan mungkin

membuat wanita lebih rentan terhadap infeksi HPV atau pertumbuhan

kanker. Pendapat lain yaitu sistem kekebalan tubuh ibu hamil mungkin

lebih lemah, memungkinkan untuk infeksi HPV dan pertumbuhan

kanker (ACS, 2012).


12

9. Usia yang sangat muda ketika pertama kali hamil

Wanita yang kurang dari 17 tahun ketika pertama kali hamil

mempunyai risiko kanker serviks 2 kali dibandingkan wanita yang

menunggu hingga usia 25 tahun atau lebih untuk hamil (ACS, 2012).

10. Kemiskinan

Kemiskinan juga merupakan faktor risiko kanker serviks. Banyak

wanita dengan pendapatan rendah tidak memiliki akses untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk screening dan terapi

untuk pre-kanker serviks (ACS, 2012).

11. Diethilstilbestrol (DES)

DES adalah obat hormonal yang diberikan pada beberapa wanita untuk

mencegah keguguran. Seorang wanita yang ibunya ketika

mengandungnya menggunakan DES, perkembangan clear-cell

adenocarcinoma pada vagina dan serviks lebih cepat dibandingkan

dengan wanita yang ibunya tidak menggunakan DES. DES daughter

(sebutan bagi seorang anak perempuan yang ketika ibunya

mengandungnya menggunakan DES) mempunyai risiko tinggi

mengalami pertumbuhan sel squamous kanker dan prekanker serviks

yang berhubungan dengan HPV (ACS, 2012).

12. Riwayat keluarga

Kanker serviks dapat menurun pada beberapa keluarga. Jika ibu dan

saudara perempuan mengalami kanker serviks, risiko yang dapat

terjadi 2 3 kali lebih besar daripada jika tidak ada anggota keluarga
13

yang terdiagnosis kanker serviks. Beberapa contoh kecenderungan

familial disebabkan oleh kondisi warisan yang membuat beberapa

wanita kurang mampu melawan infeksi HPV daripada yang lain.

Dalam kasus lain, perempuan dari keluarga yang sama sebagai pasien

yang sudah didiagnosis mungkin lebih cenderung memiliki satu atau

lebih faktor risiko non-genetik lain (ACS, 2012).

B. Patogenesis

Kanker serviks 95% terdiri dari karsinoma sel skuamos dan sisanya

merupakan adenokarsinoma dan jenis kanker lain. Hampir seluruh karsinoma

serviks diawali dengan derajat pertumbuhan prekarsinoma yaitu displasia dan

karsinoma in situ. Proses perubahan dimulai dari daerah Sambungan Skuamos

Kolumner (SSK) dari selaput lendir porsio. Perubahan awalnya ditandai dengan

epitel atipik dengan mitosis aktif, susunan sel tidak teratur meliputi sepertiga

bagian basal epidermis, dan bagian ini disebut displasia ringan. Bila proses

berlanjut, maka perubahan akan melibatkan separuh atau dua pertiga atau seluruh

lapisan epidermis. Masing masing disebut displasia sedang, berat, karsinoma in

situ yang sangat potensial menjadi karsinoma invasif. (Tambunan, 1995).

Secara patologi pertumbuhan sel karsinoma serviks diklasifikasikan ke dalam

empat stadium yaitu displasia, karsinoma in situ, karsinoma mikroinvasif, dan

karsinoma invasif. Displasia adalah pertumbuhan aktif disertai gangguan proses

pematangan epitel serviks yang dimulai pada bagian basal sampai ke bagian

superficial. Perubahan dimulai di inti sel dimana rasio inti sitoplasma bertambah,

warna lebih gelap, bentuk dan besar sel mulai bervariasi, susunan tidak teratur dan
14

mitosis aktif. Berdasarkan derajat perubahan sel individu dan lapisan sel epitel

yang jelas mengalami perubahan, displasia dibagi menjadi tiga derajat

pertumbuhan yaitu displasia ringan (perubahan terjadi pada sepertiga epidermis),

displasia sedang (perubahan terjadi pada setengah lapisan epidermis), displasia

berat (perubahan terjadi pada duapertiga epidermis). Displasia berat hampir tidak

dapat dibedakan dengan karsinoma in situ. Oleh karena itu, dalam pola tindakan

klinis biasanya sama seperti karsinoma in situ (Tambunan, 1995)

Pada karsinoma in situ perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan

epidermis menjadi karsinoma sel skuamos, namun membrane basalis dalam

keadaan utuh. Menurut Kos, karsinoma in situ yang tumbuh di daerah ektoserviks,

peralihan sel skuamos kolumnar dan sel cadangan endoserviks masing masing

disebut karsinoma in situ dengan keratin, karsinoma in situ tanpa keratin dan

karsinoma in situ kecil (Tambunan, 1995).

C. Gejala dan Tanda

Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat

terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa

sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika sudah terjadi

kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan penyakitnya, yaitu dapat lokal atau

tersebar (Boon & Suurmeijer, 1991).

Gejala yang sering ditemukan pada karsinoma serviks invasif adalah

pendarahan dan cairan vagina yang abnormal. Sekitar 80% - 90% pasien

mengalami perdarahan abnormal. Perdarahan itu dapat berupa perdarahan pasca


15

coitus, menstruasi yang abnormal atau munculnya bercak bercak antar haid.

Beberapa pasien dapat mengalami perdarahan pasca menopause (Hacker &

George, 2001).

D. Stadium Kanker Serviks

Stadium kanker merupakan faktor kunci yang menentukan pengobatan.

Pemeriksaan untuk menentukan stadium dapat berupa (Departemen Kesehatan RI,

2008a):

1. Gambaran Radiologi, berupa pemeriksaan X-Ray, CT Scan atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dapat membantu untuk menentukan

penyebaran kanker di sekitar seviks.

2. Pemeriksaan visual pada kandung kemih atau rectal, pemeriksaan ini dapat

menggunakan alat khusus untuk melihat kandung kemih secara langsung

(cystoscopy) dan rectum (proctoscopy).

Stadium kanker merupakan penentu bagi tenaga medis untuk merangkum

seberapa jauh kanker telah menyebar. Sistem yang biasa untuk memetakan

stadium kanker serviks yaitu sistem FIGO (Federation International Ginekologi

dan Obstetri) (NCCN, 2013).


16

Tabel I. Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Berdasar International Federation of


Gynecology and Obstetric (FIGO) (NCCN, 2013)

FIGO Deskripsi

Tumor primer tidak dapat diasses


Tidak ada bukti tumor primer
0 Karsinoma insitu (preinvasive carcinoma)
I Karsinoma terbatas pada serviks (penyebaran ke korpus
uteri dikesampingkan)
IA Karsinoma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopik

IA1 Invasi stroma dalamnya < 3mm dan lebarnya < 7mm pada
penyebaran secara horizontal
IA2 Invasi stroma dalamnya 3-5 mm dan lebarnya < 7mm pada
penyebaran secara horizontal
IB Secara klinis, tumor dapat diidentifikasi pada serviks atau
massa tumor lebih besar dari IA2
IB1 Secara klinis lesi ukuran <4cm
IB2 Secara klinis lesi ukuran >4cm
II Tumor telah menginvasi uterus tetapi tidak mencapai 1/3
distal vagina atau dinding panggul
IIA Tanpa invasi parametrium
IIB Dengan invasi parametrium
III Tumor menginvasi sampai dinding pelvis dan atau
menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina dan atau
menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal
IIIA Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina
IIIB Tumor sudah meninvasi dinding pinggul
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau rectum
dan atau menginvasi keluar dari true pelvis
IVB Metastasis jauh

E. Pencegahan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk dalam upaya pencegahan kanker

serviks antara lain: Vaksin HPV, Vaksin tersebut bekerja dengan cara melindungi

dari 4 tipe HPV yang paling sering menyebabkan penyakit, yaitu tipe 6, 11, 16,

dan 18, tipe yang menyebabkan 70% kanker leher rahim dan 90% kutil kelamin.

Vaksin tersebut dikeluarkan oleh U.S.Foods and Drugs Administration (FDA)

pada tahun 2006 dan sudah dinyatakan aman untuk wanita berusia 9 26 tahun.
17

Vaksin diberikan dalam 3 dosis dalam periode 6 bulan yaitu pemberian awal, 2,

dan 6 bulan berikutnya. Belum diketahui keefektifannya pada wanita yang hanya

menerima 1 atau 2 dosis saja. Karena ini sangat penting diberikan 3 dosis penuh

untuk para wanita. (CDC, 2012). Selain itu dengan melakukan Pap smear secara

rutin setahun sekali untuk melihat ada atau tidaknya abnormalitas pada serviks

dan menemukan cervical precancers (CDC, 2012). Konsultasikan dengan dokter

bila menemui hasil Pap smear test yang tidak normal (CDC, 2012). Pencegahan

lain adalah dengan tidak merokok (Rini, 2009). Gunakan kondom saat

berhubungan dan batasi jumlah pasangan seks dan tidak berganti ganti untuk

mencegah penularan virus (CDC, 2012).

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:

1. Anamnesis

Penderita kanker serviks sering mengeluh adanya perdarahan pada

vagina abnormal yang bervariasi antara lain: contact bleeding

(perdarahan yang terjadi sesudah berhubungan seksual), haid yang

berkepanjangan, perdarahan sesudah 2 tahun postmenopause,

perdarahan yang mirip dengan cairan cucian daging, berbau amis,

biasanya dijumpai pada stadium lanjut (Tambunan, 1995).

2. Pemeriksaan fisik

Sebelum pemeriksaan ginekologik, palpasi abdomen bagian bawah

perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya massa di

rongga abdomen. Palpasi fosa iliaka bertujuan untuk meraba


18

limfadenopati sebagi manifestasi metastasis karsinoma di kelenjar

getah bening iliaka. Pemeriksaan umum untuk survei kemungkinan

adanya metastasis pada beberapa organ seperti pembesaran

kelenjar getah bening inguinal, supraklavikular dan hepatomegali

(Tambunan, 1995).

3. Pap smear

Pap smear atau Papanicolaou smear dapat mendeteksi sampai 90%

kasus kanker serviks secara akurat dengan biaya yang tidak terlalu

mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun

menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif

secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya

menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/ tahun. Jika selama

3 kali berturut turut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear

bisa dilakukan 1 kali tiap 2-3 tahun. Pap smear adalah pemeriksaan

mikroskopis terhadap asupan pada serviks. Hasil pemeriksaan Pap

smear dapat menunjukkan keadaan serviks normal, dysplasia

ringan, dysplasia berat, karsinoma in situ, dan kanker serviks

invasif (Boon & Suurmeijer, 1991).

4. Biopsi

Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu

pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika Pap smear

menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker (Departemen

Kesehatan RI, 2008a).


19

5. Kolposkopi

Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan pembesaran untuk

melihat kelainan epitel serviks dan pembuluh darah setelah

diberikan asam asetat (Tracee, 2010).

6. Tes IVA dan Tes VILI

Pemeriksaan visual berupa inspeksi visual dengan asam asetat

(IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI). Metode ini

tidak memerlukan fasilitas laboratorium, sehingga dapat dijadikan

pilihan untuk masyarakat yang jauh dari fasilitas laboratorium dan

dapat dilakukan secara massal. Beberapa karakteristik metode ini

sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan

ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan.

Pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker

leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas

dilakukan sebagai salah satu masukan dalam pembuatan kebijakan

kesehatan nasional di Indonesia (Departemen Kesehatan RI,

2008b).

7. Tes HPV-DNA

Tes HPV sangat sensitif, meskipun kurang spesifik, dalam skrining

utama lesi prakanker serviks (CIN 2 dan CIN 3). Salah satu

keuntungan tes HPV-DNA adalah tingginya nilai prediktif negatif

(Bathla et al , 2009).
20

G. Tatalaksana terapi

Keputusan terapi untuk kanker serviks berdasarkan: ukuran tumor; stadium

atau tingkat keparahan kanker; faktor personal seperti usia, dan jika ingin

memiliki anak; dan keadaan kesehatan wanita pada keseluruhan (NCI, 2013).

Pilihan terapi untuk kanker serviks meliputi (NCI, 2013) :

1. Pembedahan

Kanker serviks yang terdeteksi dini umumnya diatasi dengan operasi. Jenis

operasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan dokter mengenai

stadium dan ukuran kanker.

2. Terapi radiasi

Terapi penyinaran (radiasi atau radioterapi) efektif untuk mengobati

kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi

digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel sel kanker dan

menghentikan pertumbuhannya. Efek samping dari radioterapi adalah

iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum serta

tidak berfungsinya ovarium.

3. Kemoterapi

Kemoterapi ditujukan untuk terapi kanker yang sudah metastasis atau

kambuhan di luar area radiasi (IB2, IIA, IIB, IIIB, dan IVA). Kemoterapi

terdiri atas Cisplatin sebagai agen tunggal dan kombinasi dengan agen

lainnya. Respon Cisplatin lebih tinggi ketika dalam bentuk kombinasi

dengan Ifosfamid dan Bleomisin akan tetapi toksisitasnya tinggi (NCCN,

2013).
21

Kemoterapi agen tunggal digunakan untuk menangani pasien dengan

metastasis ekstrapelvis sebagaimana juga digunakan pada tumor kambuhan yang

sebelumnya telah ditangani dengan operasi atau radiasi. Cisplatin telah menjadi

agen yang paling banyak diteliti dan telah memperlihatkan respon klinik yang

paling konsisten. Kombinasi paling aktif pada terapi kanker serviks semuanya

mengandung Cisplatin (NCCN, 2013).

Kemoterapi untuk kanker serviks biasanya diberikan secara intravena. Obat

terdistribusi melalui peredaran darah untuk mencapai semua bagian tubuh,

sehingga kemoterapi efektif untuk kanker serviks yang telah menyebar. Namun,

obat yang digunakan untuk membunuh sel kanker juga merusak sel sehat lainnya

sehingga menimbulkan efek samping. Untuk membatasi kerusakan sel sehat,

biasanya kemoterapi diberikan dalam siklus. Efek samping biasanya masih

muncul, namun dapat diatasi (Anonim, 2008).

Siklus sel sangat penting dalam kemoterapi sebab obat kemoterapi

mempunyai target dan efek merusak yang berbeda tergantung pada siklus selnya.

Obat kemoterapi aktif pada saat sel sedang berproliferasi, sehingga target utama

kemoterapi adalah sel tumor yang aktif (Rasjidi, 2008). Menurut American

Cancer Society (2013) siklus sel dibagi menjadi 5 tahap yaitu:

a) Fase G0, Sel belum mulai membelah. Sel menghabiskan banyak

hidup mereka di fase ini. Tergantung pada jenis sel, G0 dapat berlangsung

dari beberapa jam sampai beberapa tahun. Ketika sel mendapat sinyal

untuk mereproduksi, bergerak ke fase G1 (ACS, 2013).


22

b) Fase G1, Selama fase ini, sel mulai membuat lebih banyak protein dan

bertambah besar, sehingga sel-sel baru akan menjadi ukuran normal. Fase

ini berlangsung sekitar 18 sampai 30 jam (ACS, 2013).

c) Fase S, Pada fase S, kromosom yang berisi kode genetik (DNA) akan

disalin sehingga kedua sel-sel baru yang terbentuk akan ada pencocokan

untai DNA. Fase S berlangsung sekitar 18 sampai 20 jam (ACS, 2013).

d) Fase G2, sel memeriksa DNA dan bersiap-siap untuk memulai membelah

menjadi 2 sel. Fase ini berlangsung dari 2 hingga 10 jam (ACS, 2013).

e) Fase M. Pada fase ini, yang berlangsung hanya 30 sampai 60 menit, sel

sebenarnya terbagi menjadi 2 sel-sel baru (ACS, 2013).

Gambar 2. Siklus sel (Campbell et al, 1999)

Obat kemoterapi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan faktor

- faktor seperti bagaimana mereka bekerja, struktur kimianya, dan hubungan

mereka dengan obat lain. Karena beberapa obat bertindak dalam lebih dari satu

cara, mereka mungkin menjadi bagian lebih dari satu kelompok.


23

Kelompok kelompok tersebut antara lain (ACS, 2013) :

1. Golongan agen pengalkil

Agen pengalkil (alkylating agent) secara langsung merusak DNA untuk

mencegah sel kanker bereproduksi. Agen pengalkil tidak spesifik pada

fase, dengan kata lain agen pengalkil bekerja pada semua fase siklus sel.

Karena obat golongan ini merusak DNA, mereka dapat menyebabkan

kerusakan pada sumsum tulang belakang jika digunakan jangka panjang.

Contohnya: siklofosfamid (Cytoxan), Ifosfamid, klorambucil,

melphalan, lomustine, busulfan, dll (ACS, 2013).

Obat obat platinum (Cisplatin dan Carboplatin) sering kali dimasukkan

dalam golongan ini karena mereka membunuh sel dengan cara yang

hampir sama (ACS, 2013).

2. Golongan antimetabolit

Antimetabolit adalah kelas terapi yang mengganggu DNA dan

pertumbuhan RNA dengan mengganti blok normal RNA dan DNA. Agen

merusak sel-sel selama fase S.

Contohnya : 5-Fluorourasil, 6- Merkaptopurin, Capecitabine, Citarabin,

Gemcitabine, Hidroxyurea, Methotrexate, Pentostatin, dan Thioguanin

(ACS, 2013).

3. Golongan antitumor antibiotik

Anthracycline adalah antibiotik antitumor yang mengganggu enzim yang

terlibat dalam replikasi DNA. Obat ini bekerja di semua fase siklus sel.

Mereka banyak digunakan untuk berbagai jenis kanker.


24

Contohnya adalah Daunorubisin, Doksorubisin, Epirubisin, dan Idarubisin.

Antitumor antibiotik lain yang bukan golongan antrasiklin misalnya

Actinomisin-D, Bleomisin, dan Mitomisin-C (ACS, 2013).

4. Golongan inhibitor topoisomerase

Golongan ini bekerja dengan mengganggu enzim topoisomerase yang

membantu memisahkan untai DNA sehingga mereka dapat disalin.

Contoh obat inhibitor topoisomerase I yaitu Topotecan dan Irinotecan,

contoh obat inhibitor topoisomerse II yaitu Etoposide, Teniposide, dan

Mitoxantron (ACS, 2013).

5. Golongan inhibitor mitosis

Inhibitor mitosis kebanyakan adalah alkaloid tumbuhan dan komponen

lain yang merupakan derivat dari produk alam. Obat obat ini dapat

menghentikan mitosis dan menghambat enzim untuk membuat protein

yang dibutuhkan sel untuk bereproduksi. Obat obat golongan ini bekerja

pada fase M dari siklus sel. Contohnya : Paklitaksel, Docetaksel,

Ixabepilone, vinkristin, vinblastin, vinorelbin, dan estramustin (ACS,

2013).

6. Golongan kortikosteroid

Steroid adalah hormon alami dan obat yang menyerupai hormon yang

berguna untuk mengobati beberapa jenis kanker. Karena dapat digunakan

untuk membunuh sel kanker atau memperlambat pertumbuhan sel kanker,

maka obat golongan ini dapat dikategorikan sebagai obat kemoterapi.


25

Contohnya adalah Prednisolon, Metilprednisolon, dan Deksametason

(ACS, 2013).

7. Golongan lain

Obat golongan lain sering kali menimbulkan efek samping yang lebih

sedikit dibandingkan dengan obat kemoterapi yang biasa digunakan,

karena obat obat golongan ini diterget bekerja hanya pada sel kanker

dan tidak banyak berpengaruh pada sel normal. Antara lain:

a. Targeted therapy

Telah dilakukan banyak penelitian tentang kerja bagian sel kanker

untuk menciptakan obat baru yang menyerang sel-sel kanker lebih

spesifik dibandingkan obat kemoterapi konvensional. Sebagian besar

agen menyerang sel-sel dengan versi mutan dari gen tertentu, atau sel-

sel yang mengekspresikan terlalu banyak salinan gen tertentu. Obat ini

dapat digunakan sebagai bagian dari pengobatan utama, atau

digunakan setelah perawatan untuk mempertahankan remisi atau

mengurangi kemungkinan kambuh. Contohnya adalah Imatinib,

Gefitinib, Sunitinib, dan Bortezomib (ACS, 2013).

b. Imunoterapi

Beberapa obat yang diberikan pada pasien kanker untuk

meningkatkan sistem imunnya untuk menyerang sel kanker. Contoh

obat imunoterapi adalah monoklonal antibody terapi (Rituzimab dan

Alemtuzumab), imunoterapi yang tidak pesifik dan adjuvant (BCG,


26

IL-2 dan Interferon alfa), dan vaksin kanker (Provenge untuk kanker

prostat) (ACS, 2013).

Kemoterapi agen tunggal digunakan untuk menangani pasien dengan

metastasis ekstrapelvis sebagaimana juga digunakan pada tumor kambuhan yang

sebelumnya telah ditangani dengan operasi atau radiasi. Cisplatin telah menjadi

agen yang banyak diteliti dan telah memperlihatkan respon klinis yang paling

konsisten. Kombinasi paling aktif pada terapi kanker serviks semuanya

mengandung Cisplatin (NCCN, 2013).

Ada tiga kemungkinan tujuan penggunaan kemoterapi untuk treatment

menurut American Cancer Society (2013):

a) Sebagai penyembuhan (Kuratif)

Jika dimungkinkan, kemoterapi digunakan untuk penyembuhan, yang

artinya kanker dapat hilang dan tidak kembali lagi.

b) Sebagai Kontrol

Jika penyembuhan tidak mungkin, tujuannya dapat dengan mengontrol

pertumbuhan dan perkembangan penyakit dengan mengurangi sel

kanker atau menghentikan pertumbuhan dan penyebarannya sehingga

dapat membantu pasien kanker merasa lebih baik dan dapat hidup

lebih lama.

c) Palliatif

Ketika kanker berada pada advance stage , obat obat kemoterapi

dapat digunakan untuk menghilangkan gejala/ symptom yang


27

disebabkan oleh kanker. Tujuan dari kemoterapi paliatif adalah

meningkatkan quality of life namun tidak menyembuhkan penyakit itu

sendiri.

Terkadang kemoterapi diberikan bersama agen lain atau kombinasi dengan

terapi lain, yang sering disebut kemoterapi adjuvan dan kemoterapi neoadjuvan.

Kemoterapi adjuvan adalah obat kemoterapi yang diberikan setelah pembedahan

untuk menghilangkan sel kanker yang mungkin masih tertinggal dan tidak

Nampak. Kemoterapi neoadjuvan adalah obat kemoterapi yang diberikan

sebelum terapi kanker utama (misalnya pembedahan atau radiasi) dengan tujuan

untuk membunuh sel kanker besar sehingga mempermudah dihilangkan dengan

pembedahan atau radiasi. Kemoterapi neoadjuvan dapat juga membunuh sisa kecil

sel tumor yang tidak nampak pada scan atau X-rays (ACS, 2013).

Penatalaksanaan lesi prakanker serviks dapat dilakukan dengan observasi

saja, medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi

dilakukan pada tes Pap dengan hasil HPV, atipia, jika lesi termasuk dalam derajat

rendah. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi

destruksi tidak mengangkat lesi, tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang

diangkat (Departemen Kesehatan RI, 2008b).


28

Tabel II. Manajemen kanker serviks invasif awal menurut FIGO 2009
(Picorelli et al, 2009)

Stadium Terapi standar Pertimbangan Khusus

IA1 Histerektomi sederhana Konservatif - biopsi kerucut


(Cone biopsy) dengan margin
yang jelas
IA2 Histerektomi sederhana atau radikal dan Konservatif - Large cone atau
bilateral pelvic lymphadenectomy trachelectomy dan bilateral
tergantung pada guideline lokal atau pelvic lymphadenectomy
regional tergantung pada guideline
lokal atau regional.
IB1 Histerectomi radikal dan bilateral pelvic Sederhana untuk lesi kecil,
lymphadenectomy atau radioterapi trachelectomy dan bilateral
pelvic lymphadenectomy
IB2 Kemoradiasi atau histerectomi radical dan kemoterapi neoadjuvan
bilateral pelvic lymphadenectomy dengan kemudian pembedahan pada
atau tanpa adjuvant radioterapi atau pasien tertentu
kemoradiasi
IIA1 atau 2 Kemoradiasi atau histerektomi radikal dan kemoterapi neoadjuvan
bilateral pelvic lymphadenectomy pada kemudian pembedahan pada
pasien tertentu dengan atau tanpa adjuvant pasien tertentu
radioterapi atau kemoradiasi
IIB Kemoradiasi atau histerektomi radikal dan kemoterapi neoadjuvan
bilateral pelvic lymphadenectomy pada kemudian pembedahan pada
pasien tertentu dengan atau tanpa adjuvant pasien tertentu
radioterapi atau kemoradiasi
IIIA dan IIIB Kemoradiasi atau radiotherapy
IV A Kemoradiasi atau radiotherapy Pelvic exenterasi
IV B Radioterapi paliatif atau kemoterapi Perawatan hingga meninggal
khususnya kontrol nyeri yang
kuat dan penggunaan morfin

Tumor Stage IA

Pertama kali didiagnosa secara mikroskopi dengan biopsi kolposkopi

langsung dan selalu dikonfirmasi dengan cone biopsy. Karena tumor invasif dini

memiliki risiko nodal metastase rendah sehingga prognosisnya bagus. Terapi yang

direkomendasikan adalah histerektomi sederhana tanpa pemotongan pelvic

lymphnode (Canavan, 2000).


29

Tumor Stage IB dan IIA

Tumor stadium IB dan IIA didiagnosa secara klinik dan dapat dilakukan

pembedahan atau dengan radioterapi. Kedua terapi menghasilkan hasil yang

serupa, dengan 5 tahun kemampuan bertahan rata rata dari 80% 90%.

Pembedahan termasuk juga histerektomi radikal, yaitu dengan pengambilan

parametria, uterosacral ligamen dan cuff of vagina 2-3cm dan pemotongan pelvic

lymphnode. Tahap Ib tumor berukuran besar, yang 4 cm atau lebih dengan

diameter, membawa prognosis yang lebih buruk daripada tumor stage I yang lebih

kecil (Canavan, 2000).

Tumor Stage IIB, III dan IV

Setelah tumor meluas atau menyerang organ lokal, terapi radiasi menjadi

andalan pengobatan. Terapi ini memberikan tingkat kelangsungan hidup lima

tahun dari 65%, 40% dan kurang dari 20% untuk tahap masing - masing IIb, III

dan IV. Pasien dengan metastasis jauh (stadium IVb) juga memerlukan

kemoterapi untuk mengendalikan penyakit sistemik. Kemoterapi dengan cisplatin

sendiri atau bersamaan dengan fluorouracil secara signifikan meningkatkan rata

rata kelangsungan hidup dan perkembangan kelangsungan hidup bebas pada

wanita dengan kanker serviks stadium IIb hingga stadium IVa. Kemoterapi

meningkatkan toksisitas hematologi, tetapi efek ini adalah reversibel, dan efek

sampingnya hampir sama dengan radioterapi (Canavan, 2000).


30

Tabel III. Regimen Kemoterapi untuk kanker serviks kambuhan atau yang telah
bermetastase (NCCN, 2013)

Lini pertama terapi Lini pertama terapi Terapi lini kedua


kombinasi agen tunggal
1. Cisplatin/ Paclitaxel 1. Cisplatin (lebih baik 1. Bevacizumab
2. Carboplatin/Paclitaxel sebagai agen tunggal) 2. Docetaxel
3. Cisplatin/Topotecan 2. Carboplatin 3. 5-FU (5-
4. Cisplatin/Gemcitabine 3. Paclitaxel Fluorouracil)
(kategori 2B) 4. Gemcitabine
5. Ifosfamide
6. Irinotecan
7. Mitomycin
8. Topotecan
9. Pemetrexed
(kategori 3)
10. Vinorelbine
(kategori 3)

Terapi sitostatika untuk kanker serviks dapat berupa sitostatika sebagai agen

tunggal maupun sitostatika kombinasi, dibawah ini merupakan regimen sitostatika

yang digunakan untuk kanker serviks yang telah bermetastasis yaitu:

1. Kombinasi terapi pilihan pertama : Cisplatin / Paclitaxel (Kategori 1),

Cisplatin / Topotecan (kategori 1), Cisplatin / Gemcitabine (Kategori 2B),

Carboplatin / Paclitaxel (NCCN, 2013)

2. Terapi agen tunggal pilihan pertama : Cisplatin, Carboplatin, Paclitaxel,

Topotecan (kategori 2B) (NCCN, 2013). Diantara obat kemoterapi yang

digunakan pada kanker serviks, Cisplatin menunjukkan aktivitas yang

paling konsisten sebagai agen tunggal. Taksan dilaporkan mempunyai

aktivitas pada kanker serviks. Pada penelitian dari paclitaxel (taxol)

dengan dosis 170 mg/m2 selama 24 jam menunjukkan respon objektif


31

rata-rata 17% dan pada penelitian paclitaxel lain dengan dosis 250 mg/m2

selama 3 jam menunjukkan respon rata-rata 27% (NCCN, 2013).

3. Terapi pilihan kedua yaitu semua agen yang masuk dalam kategori 2B,

Docetaksel, Ifosfamid, Vinorelbin, Irinotekan, Mitomisin, 5-FU,

Epirubisin (NCCN, 2013).

Kemoterapi agen tunggal digunakan untuk menangani pasien dengan

metastasis ekstrapelvis sebagaimana juga digunakan pada tumor kambuhan yang

sebelumnya telah ditangani dengan operasi atau radiasi. Cisplatin telah menjadi

agen yang paling banyak diteliti dan telah memperlihatkan respon klinik yang

paling konsisten. Kombinasi paling aktif pada terapi kanker serviks semuanya

mengandung Cisplatin (NCCN, 2013).

H. Premedikasi

Pada pengobatan kanker serviks dengan kemoterapi, sebelumnya diberikan

obat sebagai premedikasi untuk menjaga kondisi pasien sehingga dapat menjalani

kemoterapi dengan baik tanpa mengalami efek samping.

Premedikasi yang paling umum diberikan antara lain:

1. Manajemen nyeri

Nyeri yang pada pasien yang menderita kanker pada umumnya

dapat terjadi karena beberapa aspek antara lain karena penyakitnya itu

sendiri (kanker) dan karena pemberian obat kemoterapi. Manajemen nyeri

sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan

kanker (Tobias & Hochhauser, 2010).


32

Langkah awal yang dapat dilakukan untuk manajemen nyeri yaitu

membuat penilaian klinis yang akurat (misalnya dengan visual analog

scale). Penatalaksanaan nyeri tergantung dari tingkat nyeri, frekuensi

timbulnya nyeri, lokasi nyeri dan durasi nyeri. Pemberian anti nyeri

(analgetik) dapat berupa obat obat analgetik ringan seperti aspirin,

parasetamol, derivat asam propionat (Ibuprofen), dan derivate indol

(indometasin); analgetik sedang seperti kodein dan dihidrokodein,

oksikodon, pentazosin, dipipanon dan tramadol; dan analgetik kuat

misalnya morfin sulfat, diamorfin, metadon, hidromorfon,

dextromoramide, dan petidin (Tobias & Hochhauser, 2010).

Tabel IV. Analgetik yang digunakan untuk premedikasi pada kanker


(Tobias & Hochhauser, 2010)
Obat Durasi aksi Ketoksikan
(jam)
Analgetik ringan
Aspirin 46 Pendarahan gastrointestinal dan nyeri abdominal
Parasetamol 24 Skin rash, kerusakan hati
Derivate asam propionate 26 Pendarahan gastrointestinal dan nyeri abdominal
(misalnya Ibuprofen)
Derivate indol (misalnya 8 Pendarahan gastrointestinal dan nyeri abdominal
indometacin)

Analgetik sedang
Kodein dan dihidrokodein 46 Konstipasi, eksitema
Oksikodon 8 10 Konstipasi, hipotensi, mual, dysphagia
Pentazocin 34 Mual, dizziness, palpasi, hipertensi, dysphagia
Dipipanon 6 Konstipasi, mental confusion, depresi pernapasan
Tramadol 6 Mual, muntah, berkeringat, konstipasi

Analgetik kuat
Morfin sulfat 46 Konstipasi, hipotensi, mual, kumulatif
Diamorfin 46 Konstipasi, hipotensi, mual, kumulatif
Methadon 15 30 Konstipasi, hipotensi, mual, kumulatif
Hidromorfon 46 Digunakan pada pasien yang intoleran terhadap
morfin
Dextromoramid 6 Pusing, berkeringat, konstipasi, depresi pernapasan
Petidin 3 Mual, mulut kering, depresi pernapasan
33

2. Manajemen mual dan muntah

Mual dan muntah pada pasien kanker serviks umumnya terjadi karena

efek samping pemberian kemoterapi. Mual dan muntah akibat kemoterapi

dapat diatasi dengan pemberian antiemetik sebelum atau sesudah

kemoterapi. Obat antiemetik yang digunakan untuk penanganan mual dan

muntah yang disebabkan oleh kemoterapi didasarkan pada tingkat

emetogenik dari regimen kemoterapi dan penggunaan kombinasi obat

antiemetik berdasarkan target reseptor yang bervariasi. Beberapa

golongan obat antiemetik diklasifikasikan menurut antagonis reseptor

neurotransmiter yang berpengaruh pada patofisiologi mual dan muntah

(NCCN, 2012).

Tabel V. Tingkat Emetogenisitas Agen Kemoterapi Intravena (NCCN, 2012)


Level Agen
Risiko emesis tinggi (High emetic risk) Cisplatin,Carmusin,
(frekuensi muntah > 90%) Cyclophopamide, Dacarbazine
Doxorubicin, Epirubicin
Ifofamide, Mechlorethamine
Risiko emesis sedang (moderate emetic risk) Aldeleukin, Bendamustine
(frekuensi muntah 30 90%) Busulfan, Carboplatin
Clofarabine, Daunorubicin
Dactinomicin, Idarubicin
Methotreksat
Risiko emesis rendah (Low emetic risk) Docetaxel, Etoposite,
(frekuensi muntah 10% - 30%) 5-Fluorourasil, Gemcitabine
Floxuridine, Mitomycin
Mitoxantrone, Paklitaksel
Topotecan
Risiko emesis minimal (Minimal emetic risk) Alemtuzumab, Bleomicin
(frekuensi muntah < 10%) Cetuximab, Rituximab
Vinblastin, Vinkristin

a. Patofisiologi muntah

Muntah merupakan hasil dari stimulasi beberapa tahap jalur reflek

yang dikontrol oleh otak. Muntah dipicu oleh implus aferen ke pusat
34

muntah (yang berlokasi di medulla) dari chemoreseptor trigger zone,

faring dan saluran pencernaan, dan korteks serebral.muntah terjadi

ketika impuls eferen dikirim dari pusat muntah menuju ke pusat

salivasi, otot abdominal, pusat pernapasan, dan saraf cranial (NCCN,

2012).

b. Tipe mual dan muntah

Mual dan muntah yang disebabkan karena pemberian kemoterapi

umumnya diklasifikasikan menjadi akut, tertunda, dan muntah yang

dapat diantisipasi (anticipatory), (NCCN, 2012).

Mual dan/atau muntah akut terjadi pada beberapa menit sampai

beberapa jam setelah pemberian obat kemoterapi dan umumnya

terjadi pada 24 jam pertama setelah pemberian (NCCN, 2012).

Mual muntah yang tertunda terjadi setelah lebih dari 24 jam

pemberian obat kemoterapi. Mual muntah tertunda terjadi karena

pemberian regimen kemoterapi cisplatin, carboplatin, siklopospamid,

dan doxorubisin. Untuk cisplatin, intensitas muntah mencapai puncak

pada 48 72 jam setelah pemberian dan dapat berakhir pada 6 7 hari

(NCCN, 2012).

Mual muntah yang dapat diantisipasi (anticipatory) adalah mual

dan muntah yang terjadi sebelum pasien mendapatkan kemoterapi

selanjutnya. Mual muntah tipe ini terjadi setelah adanya respon

negatif kemoterapi. Insidensi mual muntah ini adalah 18-57% dan

mual lebih sering terjadi dibandingkan muntah. Pada pasien yang


35

lebih muda (usia < 50 tahun) lebih sering mengalaminya karena secara

umum pasien yang lebih muda mendapatkan efek kemoterapi yang

lebih agresif dan mempunyai emesis kontrol yang lebih rendah

dibandingkan dengan pasien yang lebih tua (NCCN, 2012).

c. Antiemetik

Pemilihan obat antiemetik sebagai pencegah mual dan muntah akibat

efek pemberian kemoterapi tergantung pada jenis regimen obat

kemoterapi yang digunakan. Untuk mencegah mual dan muntah

karena pemberian kemoterapi, antiemetik diberikan sebelum

pemberian kemoterapi dan diberikan selama durasi muntah terjadi.

Penggunaan antiemetik sehari hari tidak direkomendasikan untuk

beberapa agen terapi (misalnya imatinib dan eriotinib) (NCCN, 2012).

Beberapa jenis antiemetik antara lain :

1) Antagonis reseptor serotonin (5-HT3)

Antiemetik golongan antagonis reseptor 5-HT3 bekerja dengan

menghambat reseptor presinaptik serotonin pada sensor saraf

vagus pada serabut dinding usus (DiPiro et al, 2005). Contoh obat

golongan ini antara lain ondansetron, mesilat, granisetron,

dolasetron, palonosetron. Semua obat pada golongan ini terbukti

efektif dalam mengontrol mual dan muntah yang disebabkan

karena pemberian kemoterapi (NCCN, 2012). Efek samping

ondansetron, granisetron dan dolasetron meliputi sakit kepala,

konstipasi dan elevasi kadar enzim hepatik. Penggunaan obat


36

obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 (ondansetron,

granisetron, dan dolansetron) efektif untuk mual dan muntah akut

namun kurang efektif untuk mual dan muntah tertunda (NCCN,

2012).

2) Kortikosteroid

Terapi premedikasi untuk mual dan muntah dengan obat

kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprednisolon,

dan deksametason sebagai kombinasi dengan obat obat golongan

antagonis reseptor 5-HT3 (NCCN, 2012). Mekanisme aksi

golongan ini sebagai antiemetik belum begitu jelas, namun

disebutkan bahwa mekanismenya kemungkinan melibatkan

menghambatan sentral dari prostaglandin yang merupakan pemicu

muntah (NCI, 2013b). Penggunaan deksametason bersama dengan

obat golongan antagonis reseptor 5-HT3 (misalnya ondansetron,

granisetron, dan dolansetron) efektif untuk mencegah mual

muntah akut karena pemberian agen kemoterapi cisplatin dan

mual muntah tertunda pada level risiko emesis sedang (moderate

emetic risk) (DiPiro et al, 2005).

3) Lorazepam

Lorazepam tidak menunjukkan aktivitas antiemetik intrinsik

sebagai agen tunggal, oleh karena itu penggunaan lorazepam

adalah sebagai tambahan untuk agen antiemetik lain. Pemberian

lorazepam 1 2 mg secara per oral pada malam sebelumnya dan


37

pada pagi hari sebelum pasien menerima kemoterapi dapat

mencegah muntah anticipatory (DiPiro et al, 2005). Mekanisme

aksi lorazepam yaitu bertindak pada sistem saraf pusat, batang

otak, dan sumsum tulang belakang yang terkait dengan

dopaminergik reseptor antiemetik antagonis (NCI, 2013b).

4) Antagonis reseptor neurokinin-1 (Antagonis substansi-P)

Antagonis substansi-P (Antagonis reseptor neurokinin-1) atau

yang sering disebut juga aprepitan, secara selektif memblok ikatan

substansi-P pada reseptor neurokinin-1 (NK-1) di sistem saraf

pusat. Penambahan aprepitan pada kombinasi antagonis reseptor

5-HT3 (ondansetron, granisetron dan dolansetron) dengan

kortikosteroid deksametason meningkatkan efektifitas antiemetik

untuk mencegah mual muntah akut dan tertunda karena pemberian

kemoterapi cisplatin walau dengan mekanisme yang berbeda

(NCCN, 2012).
38

Tabel VI. Rekomendasi Antiemetik Sesuai dengan Kategori Risiko Emesis (NCI, 2013b)

Kategori risiko emesis ASCO Guidelines NCCN Guidelines


Risiko tinggi ( > 90%) Kombinasi obat A5HT3, Sebelum kemoterapi, diberikan salah satu
deksametason, dan obat A5-HT3, deksametason, dan
aprepitan sebelum aprepitan, dengan/tanpa lorazepam
kemoterapi
Penggunaan kombinasi Untuk mencegah mual muntah tertunda,
obat deksametason dan pemberian deksametason pada hari ke 2 4
aprepitan untuk pasien ditambah aprepitan pada hari ke 2 3
yang menerima kemoterapi dengan/tanpa lorazepam
high emetic risk guna
mencegah mual muntah
tertunda
Risiko sedang (30% - 90%) Pasien yang menerima Pasien yang menerima antrasiklin dan
antrasiklin dan siklofosfamid, pemberian antagonis
siklofosfamid, diberikan reseptor 5HT3, deksametason, dan
kombinasi A5HT3, aprepitan, dengan/ tanpa lorazepam
deksametason dan sebelum pemberian kemoterapi. Untuk
aprepitan sebelum pasien lain, aprepitan kemungkinan tidak
kemoterapi. Penggunaan perlu diberikan
aprepitan sebagai agen
tunggal untuk mencegah
mual muntah tertunda pada
hari ke 2 4
Pasien yang menerima Untuk mencegah muntah tertunda,
agen kemoterapi lain, penggunaan deksametason atau A5HT3
diberikan kombinasi pada hari ke 2 4 atau jika perlu pada hari
A5HT3 dan deksametason pertama, aprepitan pada hari ke 2 dan 3,
sebelum kemoterapi, agen dengan atau tanpa deksametason pada hari
tunggal A5HT3 dan ke 2 4, dengan/tanpa lorazepam pada hari
deksametason pada hari ke ke 24
2 3 untuk mencegah
muntah tertunda
Risiko rendah (10% - 30%) Diberikan deksametason, Diberikan metoklopramid dengan/tanpa
dan tidak diberikan obat difenhidramin, deksametason,
secara rutin untuk proklorperazin, dengan/tanpa lorazepam
mencegah muntah tertunda
Risiko minimal ( <10%) Tidak ada antiemetik yang Tidak ada rekomedasi profilaksis rutin
rutin digunakan sebelum
atau sesudah kemoterapi
Keterangan :

ASCO = American Society of Clinical Oncology

NCCN = National Comprehensive Cancer Network

A 5-HT3 = Antagonis reseptor 5-HT3 (ondansetron, granisetron,


dolasetron, dan palonosetron)
39

I. Rasionalitas Pengobatan

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan

patologis dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia (Departemen

Kesehatan RI, 2009). Obat memainkan peranan penting dalam meningkatkan

kesehatan dan kesejahteraan manusia. Untuk menghasilkan efek yang diinginkan,

obat harus aman, berkhasiat, dan harus digunakan secara rasional (Sharma dkk.,

2006).

Definisi penggunaan obat rasional menurut WHO (1985) adalah apabila

pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis

yang sesuai dengan kebutuhan, untuk periode waktu yang cukup, dengan biaya

yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat (Chaturvedi dkk.,

2012). Kriteria penggunaan obat rasional:

1. Tepat diagnosis

Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan

dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

2. Tepat indikasi penyakit

Obat yang diberikan harus tepat bagi suatu penyakit.

3. Tepat pemilihan obat

Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
40

4. Tepat dosis

Dosis, jumlah, cara, waktu, dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila

salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi

tidak tercapai.

5. Tepat penilaian kondisi pasien

Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus

memperhatikan kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut

usia atau bayi.

6. Waspada terhadap efek samping

Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang

timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual,

muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya (Departemen kesehatan RI, 2008c).

Penggunaan obat pada kehamilan memerlukan perhatian khusus karena

ancaman efek teratogenik obat dan perubahan fisiologis pada ibu sebagai respon

terhadap kehamilan. Namun kelainan kongenital yang disebabkan efek teratogenik

obat hanya terjadi pada kurang dari 1% dari total kejadian kelainan kongenital.

Sekitar 8% wanita hamil membutuhkan terapi obat yang permanen karena

berbagai penyakit kronis dan komplikasi pada kehamilannya (Sharma dkk., 2006).
41

3. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan obat kemoterapi

pada pasien kanker serviks di instalasi rawat inap RSUP dr Moewardi Surakarta

pada periode Juli September 2012 dilihat dari tepat indikasi, tepat dosis, tepat

obat, tepat pasien, berdasarkan guideline dari Nasional Comprehensive Cancer

Network Clinical Practice Guideline in Oncology Cervical Cancer Versi 1. 2011

dan Protokol pemberian kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai