Anda di halaman 1dari 3

Mungkin hari ini akan jadi hari terburukku.

Meski hari belum sepenuhnya


berjalan setengah hari tapi nasip sial sudah menghantui. Dimarahi dan
diumpat oleh wanita yang tidak kukenal , entahlah mungkin itu salahku
juga yang berniat jadi pahlawan tapi nyatanya malah jadi pahlawan
kesiangan. Dan dari semua kejadian yang kualami mengapa harus saat
siang hari, kenapa tidak diwaktu lain. Bukan karena alasan khusus atau
apapun, namun aku hanya merasa bahwa cap pahlawan kesiangan selalu
hadir disaat siang. Siang ini mungkin jadi siang terburuk, siang yang
memalukan, dan siang yang tak terlupakan dalam kehidupanku yang
malang ini. Mungkin juga bukan salahku, ini semua salah dari buku ini.
Pikirku ini bbuku yang luar biasa, buku yang bisa membuat hidupku paling
tidak sedikit berubah, buku yang awalnya kupikir bisa memotivasi diriki.
Tapi kenyataannya buku ini bukan apa-apa, seharusnya kusalahkan buku
ini.

Perkenalkan sebelumnya, namaku Hary Shum, mahasiswa teknik industri


semester 4. Sudah sekitar dua tahhun aku menetap dikota ini membuatku
sesikit banyak mengetahui seluk beluk kota. Selma ini aku hidup dikos
yang terbilang cukup nyaman dan tanpa hambatan yang berarti. Jarak kos
dan univeritasku tak terlalu jauh , karena itu aku sering memilih opsi jalan
kaki saat berangkat kuliah.

Entah mengapa aku jadi sekesal ini saat membaca buku itu tadi, aku
merasa buku itu sedang mengejekku sekarang ini. Sepanjang jalan kekos
aku terus mengumpat dalam hati sambil memegang buku keramat ini.
Rasa kesalku belum turun dari tadi ditambah dari buku yang kubawa hari
ini. Setiap melihat buku dengan judul 3 Steps of Self Esteem membuat
kepalaku mendidih, entah karena kerasukan apa sampai-sampai buku itu
kulempar ke tempat penampungan sampah trdekat. Aku sudah tak peduli
lagi dengan buku itu, masa bodohlah walaupun aku baru membeli buku itu
beberapa jam yang lalu. Setelah membuang buku itu aku terus berjalan
menyusuri jalanan menuju kos. Tapi entah mengapa ada sesuatu
yangmengganjal hari ini, di dada terasa sesak dan tak enak hati dan
kuharap ini bukan pertanda suatu penyakit kronis menyerangku. Entah
mengapa perasaan ini muncul begitu saja tadi, apa karena aku
membuang buku itu? Untuk berjaga-jaga, kuarahkan kakiku ke arah tadi,
mengambil jalan memutar, dan hendak mengambil kembali buku yang
kubuang tadi. Tdengan terburu-buru aku kembali ke tempat sampah tadi
dengan hati kalut berharap buku itu masih ada. Dan lagi-lagi ini memnag
hari sialku, buku itu sudah tak ada, sungguh menyebalkan. Karena aku
belum menyerah juga , aku berusaha menyusuri gang-gang disekitar sini
berharap bahwa aku menemukan buku itu tadi dan alhasil kutemukan
juga buku itu. Seharusnya saat ini aku pergi kesana dan segera
mengmabil buuku itu, tapi bukannya bergegas mengambil aku malah
mematung disini, melihat dan mencerna apa yang terjadi ddidepan
mataku saat ini. Aku mematung memang, bukan karena buku itu tapi
karena seorang anak berumur 12 tahunan yang membaca buku yang
sudah kubuang tadi. Anak tadi tampak berusaha membaca buku itu, aku
mulai mengerutkan dahiku, sepengelihatanku anak itu sudah cukup
dewasa untuk mampu membaca buku sederhana itu, ayolah itu bukuitu
berisikan teks bahas nasional kita, bukan bahasa asing atau apapun.
Entah mengapa seketika juga aku mengarahkan kaki-kaki ku mendekati
dia, kuberikan seulas senyum sebagai sapaan dengan balasan anggukan
kearahku. Aku tak tahu bahwa hal kecil ini akan membuka celah
kehidupanku membawa diriku menjadi orang yang sedikit dewasa. Cukup
lama rupanya aku berbincang-bincang dengan anak jalanan itu, rupanya
aku benar ia berumur 12 tahun. Pekerjaannya? Sudah jelas terlihat ia
adalah pemulung, sungguh anak ini telah berhenti sekolah sejak kelas 2
sekolah dasar, sumber masalah sudah cukup jelas, karena uang.
Sekelebat pertanyaan muncul dikepalaku satu persatu, berpacu untuk
dikeluarkan untuk bertanya. Dimulai dari dimana orang tua mereka?
Diaman rumah mereka? Dan yang terpenting bukankah ada sekolah wajib
9 tahun? Apa mereka tidak tahu itu?Ironi sekali bahwa selama ini yang
kutahu bahwa sekolah 9 tahun memnag gratis, tapi kurasa itu tidak
termasuk tunjangna buku dan baju baju sekolah. Orang bilang hidup itu
keras tapi bagaiman dengan anak jalanan ini? Kurasa ditahap mereka aku
akan bilang hidup itu tidak adil. Bukan hanya satu anak saja disini
ternyata ada sekitar semblan anak jalanan. Dan baru kuketahui mereka
hidup bersama tan pa orang tua apapun, mereka bersama meski berasal
dari orang tua yang berbeda. Aku benar-benar ingin menanyakan
keberadaan orang tua mereka, palng tidak dimana orang dewasa sebagai
wali kita. Sungguh, aku benar-benar ingin menanyakannya tapi
kuurungkan saat salah satu anak bilang Kami dibuang, dan talkk ada
seorangpun yang menginginkan kami. Tak perlu berpikir jauh-jauh
mengenai mereka bersekolah atau tidak bahkan mereka saja belum tentu
nyata dalam sensus kependudukan, mereka bahkan tidak pjunya kartu
keluarga ataupun kartu kelairan membuat mereka benar-benar bukan
warga negara ini, miris memang.

Aku tak tahu apa yang terjadi denganku hari ini, tapi yang kutahu, saat ini
aku sedang menghabiskan beberapa jam waktuku untuk mengajari
mereka membaca, menulis dan menghitung . Didalam kepalaku sudah
muncul-beribu-ribu ide untuk menyelamatkan anak-anak ini, ada berbagai
macam cara dan solusi yang sudah kusiapakan. Setelah beberapa jam
kuhabiskan bersama anak-anak itu segera kubuka hand phone milikku,
kuketikkan beberapa text yang cukup panjang, kutulis pengalamanku hari
ni kuebarkan kepada semua orang dengan harapan akan ada orang yang
membacanya dan berani bertindak untuk menyelamtkan anak-anak ini.
Kupandangi tempat itu sekali lagi, besok mungkin aku akan kembali lagi
ketempat ini sepulang kuliah dengan beberapa orang temanku tentunya,
yang kuyakin mereka pasti mau membantu. Kutinggalkan buku tadi
ketangan anak-anak itu, seperjalanan pulang senyum mengembang terus
terpaut diwajahku ini.

Sejenak kupikirkan kembali isi buku tadi, mungkin tindakan yang


kulakukan sat ini tidk sesuai dngan bayangna yang pernah ada
dikepalaku, tindakan heroin bak pahlawan. Mungkin aku tak perlu jadi
pahlawan untuk membuktikan aku percaya diri. Tindakanku membantu
anak-anak tadi adalah kepercayaan diriku yang terbesar. Mengembalikn
senyum anak-anak itu, mungkin tindakan yang paling menakjubkan dalam
hisupku. Dan akan kupastikan itu tak akan berhent sampai disini, aku
tersenyum sambil berbisil Ternata ini bukan hari terburukku.

Anda mungkin juga menyukai