Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

MENINGITIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepanitraan


Ilmu Penyakit Saraf

Disusun oleh :
Verita Dian Permatasari 4151141501
Kanya Monica Putri 4151141504
Aini Nurfadillah 4151141506

Pembimbing :
dr. Sandi Lesmana Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNJANIRUMKIT TK II DUSTIRA
CIMAHI
2016
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Meningitis

Meningitis adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang meningen yaitu

selaput lapisan yang berisi cairan serebrospinal yang menyelimuti otak, otak

kecil, dan sumsum tulang belakang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,

jamur, atau zat kimia yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis.

2. Epidemiologi Meningitis
Data WHO tahun 2014 memperkirakan jumlah kasus meningitis

mengenai 400 juta orang yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia. Paling

banyak terjadi di Senegal hingga Ethiopia (African meningitis belt). Dari

seluruh kasus, 10% diantaranya meninggal dan 10-20% lainnya mengalami

sekuele gangguan neurologis. Tingkat mortalitas akibat meningitis berkisar 3-

33%.

Meningitis tuberkulosa (TB) insidensinya meningkat seiring dengan

peningkatan angka penderita TB yang dipengaruhi oleh keadaan sosioekonomi

dan higienitas. Meningitis TB terjadi pada 7-12% penderita TB. Sedangkan

pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri lain seperti meningokokus

sering terjadi pada orang yang berpergian ke Arab Saudi untuk ibadah haji.

Meningitis viral merupakan infeksi susunan saraf pusat yang paling sering

terjadi pada populasi anak. Meningitis viral terjadi terutama pada bayi dan

anak kurang dari 1 tahun.


3. Etiologi dan Faktor Risiko Meningitis

3.1 Etiologi

Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus,

walaupun ada kemungkinan lain seperti infeksi jamur dengan jumlah kasus

yang sedikit. Berikut merupakan penyebab tersering dari meningitis:

1. Bakteri: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia, Mycobacterium

Tuberculosa, Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Pseudomonas

aeruginosa

2. Virus: Enterovirus, Arbovirus, Herpes Simplex Virus

3. Jamur: Cryptococcus, Histoplasma

4. Parasit: Angiostrongylus cantonensis

5. Non infeksi: kanker, systemic lupus erythematous, cedera kepala, operasi

kepala, obat (NSAID, metronidazole)

3.2 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya meningitis yaitu:

1. Riwayat bepergian ke tempat endemis meningitis

2. Usia <5 tahun atau >60 tahun

3. Sosio-ekonomi rendah

4. Lingkungan hidup yang tidak higienis

5. Malnutrisi

6. Infeksi HIV

7. Konsumsi alkohol dan sirosis hepatis

8. Endokarditis bakteri
9. Konsumsi kortikosteroid

10. Keganasan

11. Diabetes mellitus

12. Kontak dengan penderita TBC

4. Klasifikasi Meningitis

4.1 Berdasarkan Onset

Meningitis digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan onset

penyakitnya, yaitu sebagai berikut:

1. Akut:

Meningitis yang perjalanan klinisnya kurang dari 3 hari sejak awitan panas

badan hingga gejala penuh meningitis seperti kaku kuduk dan penurunan

kesadaran, contohnya adalah meningitis bakterialis dan viral.

2. Subakut/ kronis:

Meningitis yang perjalanan klinisnya dapat terjadi berminggu-minggu

sampai bulan, contohnya adalah meningitis tuberkulosa.

4.2 Berdasarkan Etiologi

1. Bakteri: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia, Mycobacterium

Tuberculosa, Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Pseudomonas

aeruginosa

2. Virus: Enterovirus, Arbovirus, Herpes Simplex Virus

3. Jamur: Cryptococcus, Histoplasma

4. Parasit: Angiostrongylus cantonensis


5. Non infeksi: kanker, systemic lupus erythematous, cedera kepala, operasi

kepala, obat (NSAID, metronidazole)

4.3 Berdasarkan Cairan Serebrospinal

Meningitis dapat diklasifikasikan berdasarkan hasil pengambilan cairan

serebrospinal, dibagi menjadi tiga yaitu meningitis viral, meningitis TB, dan

meningitis bakterialis. Hasil analisis cairan serebrospinal pada meningitis yaitu

sebagai berikut:

Meningitis Meningitis
Meningitis TB
Viral Bakterialis
Normal
Tekanan CSS (70-200 Meningkat Meningkat
mmH2O)
Warna Jernih Xantokrom Keruh
Nonne - -/+ ++/+++
Pandy - -/+ ++/+++

Sel <100/mm3 <500/mm3 >10.000/mm3

Hitung jenis MN > MN >> PMN >>


Glukosa normal <40 mg/dl 0-<40 mg/dl
Sangat Sangat
Protein Meningkat
Meningkat meningkat

4.3.1 Meningitis Bakterialis

Meningitis bakterialis seringkali digunakan bersamaan dengan meningitis

bakterialis akut atau meningitis purulenta, yaitu meningitis yang terjadi dalam

waktu kurang dari 3 hari. Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai

komplikasi dari suatu infeksi di tempat lain sebagai contoh otitis media, infeksi
nasofaring, dan septicemia. Penyebab paling sering adalah Neisseria meningitides,

Streptococcus pneumonia, dan Haemophilus influenza.

4.3.2 Meningitis Tuberkulosa

Meningitis TB, disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa, merupakan

meningitis subakut/kronis yang paling sering ditemui. Meningitis TB masih

banyak didapatkan di Indonesia karena morbiditas TB yang tinggi. Meningitis TB

terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya terjadi

di paru.

British Medical Research Council (BMRC) pada tahun 1948

mengklasifikasikan meningitis TB berdasarkan keadaan klinis, sebagai berikut:

Stadium I Gejala dan tanda meningitis tanpa penurunan kesadaran atau


defisit neurologi yang lain. Gejala yang sering didapatkan
adalah nyeri kepala, fotofobia dan kaku kuduk.
Stadium II Didapatkan penurunan kesadaran ringan dan/atau defisit
neurologi fokal.
Stadium III Stupor atau koma dengan hemiplegi atau paraplegi.

4.3.3 Meningitis Viral

Meningitis viral dapat disebut juga dengan meningitis aseptik, yang terjadi

sebagai akibat dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak,

mumps, dan herpes simpleks. Gejala meningitis viral tidak seberat meningitis

bakterialis. Meningitis viral banyak dijumpai pada anak-anak dan bayi.


5. Patofisiologi

Secara umum patofisiologi meningitis berasal dari agen penyebab yang

menginvasi susunan saraf pusat melalui aliran darah. Agen akan bermigrasi ke

lapisan subarachnoid dan menimbulkan respon inflamasi di piamater, arachnoid,

cairan cerebrospinal, dan ventrikuler. Eksudat sebagai hasil inflamasi akan

menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal sehingga menimbulkan

kerusakan neurologis.

Selain dari melalui hematogen, agen infeksi dapat masuk melalui trauma

tajam, prosedur operasi yang tidak steril, abses otak yang pecah, maupun penyakit

seperti rhinorhea, otorrhea yang memungkinkan kontak cairan serebrospinal

dengan lingkungan luar.

5.1 Meningitis Bakterialis

Meningitis bakterialis merupakan tipe meningitis yang sering terjadi

namun tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan

meningitis. Bakteri penyebab tersering S. pneumoni dan N. meningitides akan

menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di epitel nasofaring.

Bakteri tersebut akhirnya akan berpindah menyeberangi sel menuju ke ruang

intravascular dan memasuki aliran darah. Bakteri dapat menghindari proses

fagositosis oleh neutrophil dan komplemen akibat adanya kapsul polisakarida

yang melindunginya. Akhirnya bakteri yang telah bermultiplikasi dan dapat

melewati blood-brain barrier menginvasi meningen dan sistem saraf, mencapai

akses ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S.pneumoni dapat

menempel di sel endotel kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut
langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat

di cairan serebrospinal karena kurang efektifnya sistem imun di daerah tersebut.

Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bakterialis adalah reaksi

inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi neurologis yang terjadi dan

komplikasi merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap bakteri yang masuk

dibandingkan dengan kerusakan jaringan langsung oleh bakteri. Komponen

dinding sel bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS) menginduksi inflamasi meningen

dengan menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin oleh

mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leukosit cairan serebrospinal. Sel-sel

endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor

Necroting Factor (TNF) dan Interleukin-1 (IL-1) yang bekerja secara sinergis

meningkatkan permeabilitas blood-brain barrier mengakibatkan edema

vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarachnoid. Eksudat di ruang

subarachnoid mengganggu aliran cairan serebrospinal di sistem ventricular dan


mengurangi absorbsinya sehingga menyebabkan edema dan meningkatkan

tekanan intracranial.

5.2 Meningitis Tuberkulosa

Bakteri M.tuberculosa masuk melalui droplet yang terinhalasi, setelah 2-4

minggu infeksi belum menimbulkan respon imun menyebabkan penyebaran

hematogen ke seluruh tubuh termasuk ke organ yang tidak termasuk dalam sistem

RES seperti otak dan meningen. Tubuh akan menangkap organisme tersebut

sehingga terbentuk tuberkel yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel-sel lain

yang mengelilingi daerah kaseosa nekrotik. Pada host dengan gangguan imunitas

akan terjadi proliferasi infeksi primer tuberkuler sehingga tuberkel pecah dan

organisme menyebar ke jaringan. Fokus rich paling sering pecah di focus

subependima/subpial atau focus intraserebral yang terbentuk selama penyebaran

hematogen dan masuk ke rongga subarachnoid sehingga terjadi meningitis TB.


Eksudat dasar otak menyebabkan kelumpuhan saraf kranial, dapat juga

menyebabkan hidrosefalus obstruktif. Adanya tuberkuloma dan oklusi vascular

menyebabkan defisit neurologis dan kejang, sedangkan keterlibatan meningen di

spinal menyebabkan paraplegia (spastik atau flasid).

5.3 Meningitis Viral

Terdapat dua rute virus dapat menyerang sistem saraf pusat manusia yaitu

secara hematogen (infeksi enterovirus) dan limfogen (infeksi Herpes Simplex

Virus). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung dan bertahan terhadap asam

lambung lalu berlanjut pada sistem pencernaan bawah. Beberapa virus bereplikasi

di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke

reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan melakukan replikasi

di sel enterosit tersebut. Kemudian virus akan menuju plak peyeri dimana

replikasi lebih lanjut terjadi. Viremis enterovirus berkembang ke sistem saraf

pusat, hepar, jantung, dan RES. Virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat

tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki sistem saraf pusat diduga dengan cara

menembus blood-brain barrier dan memasuki cairan serebrospinal.

Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai sistem saraf pusat

dengan jalur neuronal. Pada HSV-1 virus masuk melalui jalur oral menuju nervus

trigeminal dan olfaktori, sedangkan HSV-2 virus menyebar dari lesi genital

menuju sacral nerve roots menuju meningen kemudian virus menjadi fase laten

dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik meningitis.


6. Diagnosis Meningitis

6.1 Anamnesis

Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,

letargi, muntah dan kejang. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh

Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh

pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada

meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,

muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam

makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan

ekstremitas.

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan pernafasan dan

gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan

gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan

berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella

yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab

Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh

Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan

dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas,

penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,

malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh

atau purulen.

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau

stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering

tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan

turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan

kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,

nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,

halusinasi, dan sangat gelisah.24 Stadium II atau stadium transisi berlangsung

selama 1 3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita

mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi

dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh

dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun

menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai

dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini

penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat

pengobatan sebagaimana mestinya.

6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik awal adalah status present yaitu gangguan kesadaraan

dapat berupa hanya rewel sampai penurunan kesadaran yang dapat diukur sesuai

dengan Glasgow Coma Scale (GCS) pediatri. Pemeriksaan lingkar kepala

dilakukan untuk menilai apakah ada hidrosefalus atau peningkatan tekanan intra

kranial. Anak kurang dari satu tahun sering didapatkan ubun ubun yang menonjol.

Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan papil edema pada pemeriksaan

mata. Strabismus akibat penekanan pada saraf abdusen dan dilatasi pupil yang
tidak berespon terhadap cahaya terjadi karena penekanan saraf okulomotorik.

Bradikardi dan hipertensi arteri dapat terjadi karena tekanan pada batang otak.

Tanda rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara

lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II.

Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity) dapat dilakukan dengan menekuk leher

secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk dikatakan positif bila terdapat tahanan

sehinggga dagu tidak dapat menempel pada dada. Tahanan juga terasa apabila

leher diposisikan hiperektensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kaku kuduk

dapat disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, disebut opistotonus. Tanda

Kernig diperiksa pada penderita dalam posisi telentang, dilakukan fleksi tungkai

atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.

Tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap tungkai

atas dalam keadaan normal. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah

umur enam bulan. Tanda Brudzinski I (Brudzinski's Neck Sign) diperiksa dengan

meletakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala penderita dan tangan lainnya

di dada penderita untuk mencegah agar badan tidak terangkat. Kemudian kepala

penderita difleksikan ke dada secara pasif (tidak dipaksa). Rangsang meningeal

dikatakan positif jika kedua tungkai bawah fleksi pada sendi panggul dan sendi

lutut. Brudzinski II (Brudzinski's Contralateral Leg Sign) diperiksa dengan cara

fleksi tungkai penderita pada sendi panggul secara pasif. Rangsang dikatakan

positif bila terjadi fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil

akan tampak lebih jelas bila pada waktu fleksi panggul dan sendi lutut tungkai lain

dalam keadaan ekstensi.


6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk menegakkan adanya

meningitis adalah pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS). Peningkatan jumlah

sel yang bersamaan dengan penurunan kadar glukosa dan peningkatan protein

dapat ditemukan pada CSS. Hal yang harus diperiksa pada analisis CSS, antara

lain tekanan likuor, warna likuor, kekeruhan likuor, pemeriksaan Nonne dan

Pandy, hitung jenis likuor, kadar glukosa, dan jumlah protein dalam likuor.

Perbedaan gambaran likuor dari ketiga agen penyebab meningitis dapat dilihat

pada tabel berikut.

Meningitis
Normal Meningitis Viral Meningitis TB
Bakterialis
70200
Tekanan CSS Normal meningkat Meningkat
mmH2O
Warna Jernih Jernih Xantokrom Keruh
Nonne - - -/+ ++/+++
Pandy - - -/+ ++/+++
1000
Sel 05/mm3 5100/mm3 100500/mm3
10000/mm3
Hitung jenis <5 MN MN>PMN MN>PMN MN<PMN
Glukosa >45 mg/dl >45 mg/dl <40 mg/dl 040 mg/dl
Protein <45 mg/dl <45 mg/dl >75 mg/dl 100500 mg/dl

7. Penatalaksanaan

7.1 Meningitis Bakterialis

Terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola resistensi

antibiotik. Sesuaikan terapi antibiotik segera setelah hasil kultur didapatkan.

Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama

antibiotik. Dosis yang dianjurkan 0,15 mg/kgBB (10 mg per pemberian pada

orang dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari.1


Terapi empirik pada meningitis bakterialis.1
Pasien Bakteri penyebab yang sering Antibiotika
Neonatus Streptokokus grup B Ampisilin + sefotaksim.
Listeria monocytogenes
E. coli
2 bulan-18 tahun Neisseria meningitidis Seftriakson atau
Streptococcus Sefotaksim, dapat
Pneumonia ditambah vankomisin
Hemophilus influenza
18-50 tahun S. pneumonia Seftriakson, dapat
N. meningitides ditambahkan
vankomisin
>50 tahun S. pneumonia Vankomisin, ditambah
L. Monocytogenes ampisilin ditambah
Bakteri gram negative seftriakson

Dosis yang digunakan pada pemakaian obat diatas adalah sebagai berikut:

Dosis terapi empirik pada meningitis bakterialis


Nama Obat Dosis Anak Dosis Dewasa Dosis maksimum
Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari 2 gram IV 12 gram/hari
IV
Sefotaksim 200 mg/kgBB/hari IV 2 gram/hari 12 gram/hari
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV 2 gram IV atau 2 gram/hari (anak),
atau IM IM 4 gram/hari
(dewasa)
Vankomisin 60 mg/kgBB/hari 1 gram IV

Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan

penyebabnya adalah H. influenza atau N. meningitides. Pada kecurigaan infeksi

N. meningitides berikan kemoprofilaksis kepada orang yang tinggal serumah,

orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan pasien, orang yang

menggunakan sarana umum bersama dengan pasien dalam 7 hari terakhir,

murid yang sekelas dengan pasien dan petugas kesehatan yang ada kontak

langsung dengan sekret mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir.
Regimen profilaksis pada infeksi N. meningitis.1
Nama obat Dosis sesuai umur
Rifampin 1 bulan: 5mg/kgBB p.o >1 bulan: 10mg/kgBB
q12h untuk 2 hari (maksimum 600mg),
p.o q12h untuk 2 hari
Seftriakson 12 tahun: 125mg IM >12 tahun: 250mg IM
dosis tunggal dosis tunggal
Siprofloksasin <18 tahun: tidak 18 tahun: 500mg p.o
direkomendasikan dosis tunggal

7.2 Meningitis TB

Pengobatan meningitis TB masih mengikuti pola pengobatan TB

ekstraparu lainnya, walaupun sebenarnya terapi meningitis TB memerlukan

obat yang dapat menembus sawar darah otak dengan lebih baik. Kortikosteroid

dianjurkan untuk diberikan pada setiap kecurigaan meningitis TB, tanpa

memperhatikan stadium penyakit. Pemberian steroid ini terbukti menurunkan

angka kematian, namun tidak mengurangi sekuele meningitis jika sudah sempat

terbentuk defisit neurologi pada perjalanan klinisnya.1

Nama Obat Dosis Catatan


Isoniazid (H) 2 bulan pertama: Berikan piridoksin 50
5mg/kg p.o (maksimum mg/hari
450mg) plus 7bulan:
450mg p.o
Rifampisin (R) 2 bulan pertama: 10 Paling sering menyebabkan
mg/kg p.o (maksimum hepatitis
600mg) plus 7bulan:
600mg p.o
Pirazinamid (Z) 2 bulan pertama:
25mg/kg p.o
(maksimum 2 g/hari)
Etambutol (E) 2 bulan pertama:
20mg/kg p.o
(maksimum 1,2 g/hari)
Streptomisin (S) 20 mg/kg i.m Hanya diberikan pada
(maksimum 1 g/hari) pasien yang mempunyai
riwayat pengobatan TB
sebelumnya.
7.3 Meningitis Viral

Meningitis viral seringkali sembuh dengan sendirinya, pengobatan hanya

ditujukan kepada pengobatan simtomatik. Manfaat obat antiviral tidak

diketahui secara pasti. Kenaikan tekanan intrakranial yang simtomatik dapat

diterapi dengan tindakan lumbal pungsi.1

8. Komplikasi

1. Komplikasi neurologis : edema otak, hidrosefalus, herniasi, vaskulitis,

thrombosis sinus otak, abses/efusi subdural, gangguan pendengaran, gangguan

pertumbuhan dan perkembangan pada pasien anak, epilepsi.

2. Komplikasi non neurologi : bronkopneumoni, ISK, dekubitus, kontraktur.

9. Prognosis

Prognosis meningitis tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:

Jenis infeksi, patogenitas mikroba spesifik

Kecepatan & ketepatan terapi

Meningitis virus memiliki prognosis baik dan biasanya tidak

meninggalkan sekuele. Sedangkan prognosis meningitis bakterial dapat

menyebabkan sekuele neurologi 30% pasien. Pemberian antibiotik yang tepat

dan adekuat pada meningitis bakterial turunkan kematian dari 50% menjadi 10% .

Prognosis pada pasien meningitis TB dapat meninggalkan gejala sisa neurologis

mencapai angka 80%.1


10. Pencegahan

a) Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko

meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan

melaksanakan hidup sehat.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada

bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti

Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),

Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine

(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine

(Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan

bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.Vaksinasi

Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%.

Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada

bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di

berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan

satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2

bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibody.

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian

kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah

dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C,

W135 dan Y. Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem

kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi
BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded

(luas lantai > 4,5 m/orang), ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan

yang cukup.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung

dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan

di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat

dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang

bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

b) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat

masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan

perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini

dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik

petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan

pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .

Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga

penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan

penderita secara dini. Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan

antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis.


c) Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan

lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat

pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat

meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap

kondisi- kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk

mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau

ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk

mencegah dan mengurangi cacat.

Dapfus
1. Ganiem A.R, Basuki A, Dian S. Neurology in Daily Practice. (3rd ed). Bandung:
Fakultas Kedokteran Unpad; 2012, hlm 16-24

Anda mungkin juga menyukai