Anda di halaman 1dari 2

Ekonomi kerakyatan tumbuh dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dan ekonomi

kerayaktan merupakan bentuk pengejawantahan nilai dasar negara republik Indonesia


berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dan UUD 1945 khususnya pasal 33.
Ekonomi kerakyatan atau ekonomi pancasila adalah sistem ekonomi yang dijiwai oleh
idiologi pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang
berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Artinya bahwa ekonomi kerakyatan
muncul dari kesadaran kultur masayarakat Indonesia sendiri yang telah
mengadaptasikan dirinya dalam menghadapi konteks sosial, ekonomi politik yang telah
ada.

Dalam sejarahnya ekonomi kerakyatan ini telah sukses membantu berdirinya


bangsa Indonesia, sejak perusahaan asing dinasionalisasikan maka masayarakat
dengan dukungan pemerintah membangun koperasi sebagai alat untuk mewujudkan
tujuan berdikari secara ekonomi. Ekonomi kerakyatan ini terbukti dapat meningkatkan
perekonomian negara melalui tumbuh dan berkembangnya koperasi dikala itu, misalnya
pada tahun 1953 terdapat 8.223 koperasi yang ada, koperasi kredit sebagai koperasi
terbanyak. Sedangkan sisanya koperasi produksi sebanyak 1.234 unit, terdiri dari 700
koperasi tani, 225 koperasi industri dan kerajinan, 93 koperasi perikanan, 20 koperasi
peternakan, dan sekitar 199 koperasi produksi lainnya.[3] Dan koperasi terus mengalami
pekembangan pesat dalam menyokong perekonomian, namun setelah konflik antara
kekuatan komunis dan kapitalis yang berujung pada penggulingan Soekarno oleh
Soeharto koperasi Indonesia merosot tajam. Pada tahun 1966, jumlah koperasi tercatat
73.400 unit, dengan jumlah anggota 11,7 juta orang, sedangkan pada tahun 1968
merosot menjadi 14.700 dengan jumlah anggota 3,5 dan itupun koperasinya hanya
dijadikan ajang politisasi kalangan ABRI.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa substansi pokok ekonomi kerakyatan adalah


pengamalan nilai-nilai pancasila dan undang-undang dasar 1945 terutama pasal 33.
Landasan konstitusi ekonomi kerakyatan adalah UUD 1945 pasal 33. Sebelum
diamandemen oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakya, pasal 33 UUD 1945 ini
terdiri dari tiga ayat dibatang tubuh dan empat paragraf dipenjelasan. Bunyi paragraf
pertama bagian penjelasan pasal 33 UUD 1945 adalah sebgai berikut: Dalam pasal 33
tercantu demokrasi ekonmi, produksi dikerjakan oleh semua orang dibawah
kepemimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang. Sebab perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas azas kekeluargaan. Bangunan perusahaan yang sesuai adalah
koperasi.

Dari penjelasan pasal 33 itu dapat ditarik tiga postulat pokok. Pertama, partisipasi seluruh
anggota masyarakat dalam proses produksi nasional menempati kedudukan yang sangat
penting dalam sistem ekonomi kerakyatan hal ini tidak hanya untuk menjamin
pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, melainkan juga keikut sertaan
seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi tersebut. Hal itu sejalan
dengan pasa 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Kedua, partisipasi anggota masyarakat dalam menikmati hasil-hasil produksi nasional.


Dalam artian masyarakat harus menikmati produksi nasional secara merata,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus


berlangsung dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya
bahwa masyarakat tidak boleh hanya diperlakukan sebagai objek saja, meskipun
mengundang para investor namun masyarakat tetap memiliki daya tawar sebagai subjek
pembangunan yan memiliki alat produksi, turut mengambil keputusan ekonomi, dan turu
mengambil akibat dari pelaksanaan segala keputusan-keputusan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai