Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS KECIL

ASMA

Disusun Oleh :
Lannida G4A015060
Dwi Bamas Aji G4A015121

Pembimbing :
dr. Mamun, Sp. PD

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL

ASMA

Disusun oleh :
Lannida G4A015060
Dwi Bamas Aji G4A015121

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Juni 2016

Purwokerto, Juni 2016


Pembimbing,

dr. Mamun, Sp. PD


BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun akibat tidak dapat bekerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan
kecacatan, sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan
kualitas hidup.
Prevalensi asma dipengaruhi banyak faktor antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa anak-
anak ditemukan prevalensi anak laki-laki dibandingkan perempuan 1,5 : 1 tetapi
menjelang dewasa perbandingannya kurang lebih sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak. Umumnya prevalensi pada anak lebih tinggi dari
dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak.
Angka ini berbeda antara satu kota dengan kota yang lain. Prevalensi asma di
Indonesia berkisar 5-7%.

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. TA
Umur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sokaraja Tengah RT 01/05
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Tgl. Masuk RS : 10 Juni 2016

Tgl. Periksa : 12 Juni 2016

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis)


1. Keluhan utama :
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Onset : 3 hari SMRS
b. Kualitas : Mengganggu aktivitas
c. Kuantitas : Dirasakan hilang timbul
d. Faktor Memperberat : Aktivitas
e. Faktor Memperingan : Istirahat
f. Gejala Penyerta : Batuk, leher cengeng, mual, muntah, BAK
semakin sedikit
3. Kronologis : Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam
RSMS dengan keluhan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 3 hari yang
lalu. Sesak dirasakan hilang timbul, memberat dengan aktivitas dan
membaik bila istirahat. Pasien juga mengeluhkan batuk kering, leher terasa
cengeng, mual dan muntah. Pasien baru menyadari sejak 1 minggu yang
lalu BAK dirasa semakin sedikit. Pasien menyangkal adanya serangan
sesak salam 1 bulan terakhir, sesak saat malam hari, maupun mengi.
Pasien pernah mengalami keluhan serupa namun diakui sangat jarang
dialami.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat stroke : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan serupa di keluarga : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit stroke : disangkal
g. Riwayat penyakit asma : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat social dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Rumah satu
dengan yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga
dan keluarga dekat baik. Pasien aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

b. Home
Pasien tinggal satu rumah bersama orang tuanya

c. Occupational
Pasien bekerja sebagai wiraswasta

d. Personal habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, pasien tidak minum
minuman beralkohol. Pasien setiap harinya makan secara teratur 3 kali
sehari dengan lauk dan sayur.

III. OBYEKTIF
a. Keadaan Umum : Tampak sakit.
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda Vital
1) Tekanan Darah : 160/100 mmHg
2) Nadi : 100x/menit
3) Pernapasan : 20x/menit
4) Suhu (Peraksiller) : 36.5 C

IV. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
2) Rambut : Distribusi merata
3) Venektasi temporal : tidak ada
b. Pemeriksaan mata
1) Konjungtiva : Anemis (+/+)
2) Sklera : Ikterik (-/-)
3) Palpebra : Oedem (-/-)
4) Reflek cahaya langsung/ tidak langsung : (+/+) / (+/+)
c. Pemeriksaan telinga
1) Simetris
2) Kelainan bentuk : (-)
3) Discharge : (-)
d. Pemeriksaan Hidung
1) Discharge : (-)
2) Nafas Cuping Hidung : (-)
e. Pemeriksaan mulut
1) Bibir sianosis : (-)
2) Lidah sianosis : (-)
3) Lidah kotor : (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-)
Palpasi : JVP 5+ 2cm H2O
c. PemeriksaanToraks
Pulmo
1) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-).
2) Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri.
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar di SIC V
linea midclavikula dekstra.
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) Suara tambahan wheezing
(-/-), RBH (-/-), RBK(-/-)
Jantung

1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS, pulsasi


epigastrium (-).
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra dan tidak kuat
angkat
3) Perkusi :
Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V, 2 jari medial LMCS
4) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-).
d. Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : Datar, jaringan parut (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal.
3) Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
4) Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Hepar/Lien : tidak teraba

e. Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Gerakan dan kekuatan Normal
Tonus Normal
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning (ikterik) - - - -
Akral Hangat Hangat Hangat hangat

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 10 Juni 2016
1) Darah lengkap
Hemoglobin : 7,4 g/dL (L)
Leukosit : 10930 U/L (H)
Hematorkit : 20 % (L)
Eritrosit : 2,5 juta/uL (L)
Trombosit : 192000/uL
SGOT : 24 U/L
SGPT : 20 U/L
Ureum : 236,3 mg/dL (H)
Kreatinin darah : 19,97 mg/dL (H)
GDS : 91 mg/dL
Natrium : 129 mmol/L (L)
Kalium : 4,4 mmol/L

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Asma
- Hipertensi
- CKD
- Anemia

VII. TERAPI
a. Non Farmakologis
1) Edukasi asma
2) Memonitor derajat asma secara berkala
3) Mengenali dan menghindari pencetus
4) Merencanakan pengobatan jangka panjang
b. Farmakologi
1) Infus NaCl 0,9% 10 tpm
2) Amlodipin 1x10 mg
3) Micardis 1x80 mg
4) Clonidin 2x1
5) Metil Prednisolon 3x16 mg
6) Salbutamol 3x4 mg (jika sesak)
7) Ranitidin 2x1
8) Nebul Ventolin/Flexotid /12 jam
9) Transfusi PRC 2 kolf

VIII. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad functionam : dubia ad bonam
c. Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
memiliki manifestasi obstruksi saluran udara yang bervariasi dan gejala batuk,
mengi, dan sesak nafas (Agbetile, 2011). Penyempitan saluran nafas pada
asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap
dengan pengobatan, tetapi dapat juga terjadi secara mendadak sehingga
menyebabkan kesulitan bernafas yang akut. Diduga baik obstruksi maupun
peningkatan respon terhadap rangsangan didasari oleh inflamasi saluran nafas
(Sundaru, 2009).

B. ETIOLOGI
Asma merupakan penyakit heterogen yang dipengaruhi baik faktor
genetik maupun lingkungan. Stimulus yang dapat memicu episode akut asma
dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori besar yaitu (Kasper, 2015) :
1. Alergen
Asma alergi bergantung pada respon IgE yang dikontrol oleh limfosit B
dan T serta diaktivasi dengan adanya interaksi antigen dengan sel mast
yang terikat dengan molekul IgE. Bahan alergen yang dapat memicu asma
diantaranya adalah bulu, serpihan kulit binatang, tungau, jamur, dan
antigen lingkungan lain yang terpapar terus menerus.
2. Farmakologi
Obat-obatan yang berhubungan dengan episode akut asma adalah aspirin,
agen pewarna seperti tartrazine, antagonis adrenergik, dan sulfiting agent
seperti potassium metabisulfite, potassium dan sodium bisulfite, sodium
sulfite dan sulfur dioksida yang digunakan secara luas pada industri
makanan dan farmasi.
3. Lingkungan
Asma yang berhubungan dengan lingkungan biasanya terkait kondisi
polusi udara. Polutan yang diketahui dapat menimbulkan gejala asma
adalah ozon, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida.
4. Pekerjaan
Secara umum, agen penyebab dapat dibagi menjadi komponen dengan
berat molekul besar yang menginduksi asma melalui mekanisme
imunologis dan komponen dengan berat molekul kecil yang dapat
menyebabkan lepasnya substansi bronkokonstriktor. Komponen dengan
berat molekul besar diantaranya adalah debu kayu dan sayuran, agen
farmasi (antibiotik, piperazine, simetidin), serta debu hewan dan serangga.
Sedangkan komponen dengan berat molekul kecil adalah garam metal
(platinum, kromium, vanadium, nikel) dan industri kimia serta plastik.
5. Infeksi
Adanya infeksi saluran nafas merupakan stimulus penyebab tersering yang
menimbulkan eksaserbasi akut asma. Etiologi mayor adalah infeksi virus
yang berhubungan dengan produksi sel T.
6. Aktivitas
Variabel yang menentukan keparahan dari obstruksi jalan nafas adalah
ventilasi serta temperatur dan kelembaban udara yang diinspirasi. Semakin
besar ventilasi dan kandungan panas yang rendah dalam udara, makan
semakin besar respon yang terjadi.
7. Stres Emosional
Perubahan kaliber saluran nafas dimediasi modifikasi dari aktivitas vagal
eferen dan peran endorfin.

C. EPIDEMIOLOGI
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian
Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%.
Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma
bronkial sebesar 515%.

D. PATOMEKANISME
Seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, dan antibodi ini menyebabkan
reaksi alergi bila orang tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang
memicu tebentuknya antibodi tersebut. Pada asma, antibodi ini melekaat pada
sel mast yang terdapat dalam interstisial paru yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seorang yang menderita asma menghirup
alergen yang sensitif baginya (telah terbentuk antibodi IgE terhadap antigen
pada orang tersebut) antigen bereaksi dengan antibodi yang terlekat pada sel
mast dan menyebabkan sel mast mengeluarkan berbagai macam zat
diantaranya adalah histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan campuran leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini terutama zat anafilaksis yang
bereaksi lambat akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil maupun sekresi mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot bronkiolus sehingga tahanan saluran nafas meningkat (Guyton,
2007)
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling (PDPI, 2006).

Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat


dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana
deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau
perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan
peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Konsekuensi klinis airway
remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktivitas
jalan napas, masalah distensibilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas (PDPI, 2006)
Adanya penyempitan jalan nafas akibat bronkokonstriksi, hipersekresi
mukus, dan edema jalan nafas akan menyebabkan kesulitan dalam
mengekspirasi. Hal ini akan menyebabkan suara wheezing yang terdengar
dalam auskultasi. Kemudian, obstruksi ini akan menyebabkan udara yang
berada di distal tractus respiratorius terjebak sehingga volume residu pasien
akan meningkat. Dengan demikian kapasitas residual fungsional juga akan
meningkat yang pada akhirnya akan menyebabkan hiperinflasi. Oleh karena
itu pasien harus menggunakan bantuan otot-otot pernafasan agar dapat
melakukan ekspirasi lebih maksimal (Kumar et al., 2007).
Daerah di paru dapat mengalami hipoksemia akibat ventilasi
berkurang dimana terjadi penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 sehingga
dimungkinkan terjadi hiperkapnia. Hal ini disebut sebagai asidosis
respiratorik. Namun apabila pasien melakukan kompensasi dengan
hiperventilasi, hal sebaliknya dapat terjadi. PaCO2 justru mengalami
penurunan sehingga terjadi alkalosis respiratorik (Kasper, 2015). Hipoksemia
yang berlangsung lama akan menyebabkan konstriksi vaskular pulmonalis,
asidosis metabolik, dan peredaran darah tanpa pertukaran gas yang baik
(shunting) sehingga akan memperparah kondisi hiperkapnia (Patel et al.,
2008).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi,
dan sesak nafas. Pada awal serangan sering tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin dijumpai pilek atau bersin.
Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangannya pasien akan mengeluarkan sekret baik mukoid, putih,
kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang batuk tanpa disertai
mengi yang dikenal sebagai cough variant asthma (Sundaru, 2009)
Gejala asma bersifat episodik yang reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala timbul dan memburuk terutama malam atau dini hari
dan diawali oleh faktor pencetus. Gejala berespon terhadap pemberian
bronkodilator. Hal lain yang perlu digali adalah riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi, penyakit lain yang memperberat, dan perkembangan
penyakit (PDPI, 2006)

2. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pemeriksaan fisik asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
penafasan cepat, penggunaan otot bantu nafas, sampai sianosis dapat
dijumpai pada pasien asma, namun dapat pula ditemukan pemeriksaan
yang normal (Sundaru, 2009).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (dijumpai eosinofilia >8%)
b. Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan ini akan dijumpai eosinofil. Namun jika
ditemukan neutrofil kita dapat mencurigai bronkitis sebagai salah satu
diagnosis banding. Dapat pula ditemukan kristal Churcot-leyden dan
spiral curschmann secara sitologis. Kemudian pada pasien akan
didapatkan nilai IgE (total dan spesifik) pada sputum yang mengalami
peningkatan sehingga mendukung riwayat atopik (Kasper, 2015).
c. Skin prick test
Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pasien hipersensitif terhadap
alergen tertentu yang distimulasi pada kulit sehingga mendukung
riwayat atopik (Kasper, 2015).
d. Foto thorax
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain obstruksi jalan nafas (misalnya pneumothorax,
atelektasis) (Kasper, 2015).
e. Spirometri
Spirometri merupakan sebuah metode pemeriksaan untuk
mengetahui dan mengukur fungsi fisiologis paru serta mengetahui ada
tidaknya kelainan. Dalam analisis hasil spirometri akan dijumpai
penurunan FEV1 <80% serta penurunan rasio FEV1/FVC <75%
sehingga dikategorikan sebagai kelainan obstruktif (Sherwood, 2010)
f. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika hasil spirometri normal.
Pasien akan dipaparkan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara
dingin, dan berbagai stimulus lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan jika
FEV1 20% dan saat melakukan kegiatan jasmani 6 menit nilai APE
10% (Kasper, 2015).

F. KLASIFIKASI
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma berdasarkan Gambaran Klinis

Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Serangan Asma Akut


G. TATALAKSANA
Tujuan jangka panjang manajemen asma adalah mengontrol gejala dan
mengurangi risiko. Hal ini dapat dicapai dengan medikasi (semua pasien
asma sebaiknya mendapatkan medikasi reliever dan dewasa serta remaja
dengan asma sebaiknya mendapat medikasi kontroler), mengobati faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan terapi non farmakologis (GINA, 2015).
1. Manajemen Asma Terkontrol
a. Medikasi
Medikasi asma terkontrol menggunakan strategi Step up dan Step down.
1) Step 1 : SABA jika perlu, tanpa kontroler (diindikasikan
hanya jika gejala jarang, tidak terbangun malam hari, tidak
ada eksaserbasi 1 tahun terakhir, dan FEV1 normal)
Alternatif : ICS dosis rendah reguler pada pasien dengan risiko
eksasrbasi (membutuhkan OCS untuk asma dalam 12 bulan
terakhir, FEV1 rendah, pernah dirawat ICU karena asma).
2) Step 2 : ICS dosis rendah reguler + SABA jika perlu
(untuk pasien dengan gejala asma >2x/bulan, terbangun
malam hari karena asma >1x/bulan, risiko eksaserbasi).
Alternatif : Leukotrien Receptor Antagonis, namun kurang efektif
dibandingkan ICS.
3) Step 3 : ICS dosis rendah/LABA + SABA jika perlu atau
ICS/formoterol (Untuk pasien dengan 1x eksaserbasi 1
tahun terakhir). Pada anak usia 6-11 tahun dapat
digunakan ICS dosis medium
Alternatif : ICS dosis medium, anak usia 6-11 tahun ICS/LABA
dosis rendah
4) Step 4 : ICS/formoterol dosis rendah atau ICS dosis
medium/LABA + SABA jika perlu
Alternatif : Tambahkan tiotropium inhaler untuk dewasa18 tahun
dengan riwayat eksaserbasi. Anak usia 6-11 tahun pertimbangkan
rujuk.
5) Step 5 : Rujuk untuk investigasi lebih lanjut dan
pemberian terapi tambahan termasuk anti-IgE
(omalizumab)
Asma merupakan kondisi yang bervariasi dan memerlukan
penyesuaian pengobatan kontroler. Apabila gejala dan atau eksaserbasi
menetap selama 2-3 bulan walaupun dalam pengobatan kontroler, sebelum
dilakukan Step-up periksa hal-hal seperti teknik inhalasi apakah sudah benar,
kepatuhan yang buruk, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, apakah ada
kondisi komorbid. Dapat dilakukan Step-up jangka pendek (1-2 minggu) pada
keadaan infeksi viral atau paparan alergen. Apabila hasil terapi baik selama 3
bulan, untuk mencari terapi minimal dalam mengontrol gejala dan eksaserbasi
dan meminimalisir efek samping dapat dilakukan Step-down (GINA, 2015).
b. Mengobati Faktor Risiko
1) Memonitor diri dan pemeriksaan medis teratur
2) Menggunakan regimen yang meminimalisir eksaserbasi
3) Menghindari paparan asap rokok
4) Mengkonfirmasi adanya alergi makanan
5) Pada pasien dengan asma berat rujuk ke spesials
c. Terapi Nonfarmakologis
1) Anjuran berhenti merokok
2) Aktivitas fisik
3) Pada asma okupasional, identifikasi dan hilangkan zat alergen
4) Selalu tanyakan tentang asma sebelum meresepkan obat
2. Manajemen Eksaserbasi Asma
Pada asma eksaserbasi, mulai terapi dengan SABA, kortikosteroid
oral, dan oksigen. Cek respon gejala dan saturasi oksigen secara frekuen
dan ukur fungsi paru setelah 1 jam. Titrasi oksigen untuk menjaga saturasu
93-95% pada dewasa, 94-98% pada anak 6-12 tahun. Untuk eksaserbasi
yang berat, tambahkan ipratropium bromida, dan pertimbangkan
pemberian SABA dengan nebulizer. Dapat dipertimbangkan pemberian
MgSO4 jika pasien tidak memberikan respon terhadap terapi awal. Rujuk
pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi apabila keadaan terus
memburuk (GINA, 2015).

H. PROGNOSIS
Prognosis dari asma bronkial ini sebenarnya bervariasi. Hampir 20%
penderita asma memiliki beberapa keterbatasan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Namun serangan asma ringan masih dapat diobati mudah dengan
dosis ekstra bronkodilator inhalasi. Kadang terjadi serangan asma parah
(sekunder) dapat mengakibatkan asma berkepanjangan, rawat inap, dan
beberapa komplikasi. Kunci untuk terapi asma adalah pemantauan, kepatuhan
ketat, dan menghindari pemicu asma (Bateman, 2008).
Penyakit asma pada anak dapat diatasi pada akhir masa remaja atau
awal masa dewasa dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Pasien
dengan asma tidak terkontrol akan mengalami remodeling saluran napas yang
akan menyebabkan gejala kronis dan ireversible. Penderita asma lanjut usia
cenderung menyebabkan gejala kronis lanjutan (Virtual, 2011).
Tingkat mortalitas asma dilaporkan 1 per 100.000 penduduk. Faktor
yang berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas adalah usia diatas 40
tahun, perokok lebih dari 20 bungkus per tahun, eosinofilia, FEV1 40-69%
prediksi, dan kegagalan manajemen terapi (Morris, 2013).

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita asma adalah
pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutis, atelektasis, gagal
nafas, bronkitis, dan aspergilosis bronkopulmoner alergik (Sundaru, 2009)

J. PENCEGAHAN
1. Edukasi asma
2. Memonitor derajat asma secara berkala
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri secara teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
DAFTAR PUSTAKA

Agbetile J, Green R. 2011. New Therapies and Management Stategies in the


Treatment of Asthma : Patient-Focused Development. Journal of Asthma
Allergy. 4 : 1-12

Bateman, ED., Hurd, SS., Barnes, PJ., et al. 2008. Global Strategy For Asthma
Management and Prevention. European Respiratory Journal 31 (1):143-
78.

Global Initiative for Asthma. 2015. Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention. Available at ginasthma.org/wp-content/uploads/2016/01/
GINA_Pocket_2015.pdf. Diakses pada 15 Juni 2016

Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. 2015.


Harrisons Principles of Internal Medicine. New York : McGraw-Hill

Kumar; Abbas; Fausto; Mitchell. 2007. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier.

Morris, M; et al. 2013. Asthma Treatment and Management. Medscape Feb 2013 :
296301.

Patel, H; Gwilt, C. 2008. Respiratory System. 3rd ed. Philadelphia: Mosby


Elsevier.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Avvavilable at :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. California:
Brooks/Cole Cengage Learning.

Sundaru H, Sukamto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing

Virtual. 2011. Bronchial Asthma, Etiology Pathogenesis, Clinical Features,


Diagnostic, Treatment, and Prophylactic. Available at :
http://dvirtualdoctor.hubpages.com/hub/Bronchial-asthma-Etiology
pathogenesis-clinical-features-diagnostics-treatment-and-prophylactic.

Anda mungkin juga menyukai