Anda di halaman 1dari 4

Pasal 69 Undang-undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dana

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menyatakan : "Untuk


dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya."

Sebelum membahas lebih lanjut perlu dipahami terlebih dahulu landasan maupun
ide dasar pembentukan undang-undang ini, berhubung naskah akademiknya tidak
dimiliki oleh penulis, maka penulis melihat di Bagian I UMUM penjelasan
undang-undang ini.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha untuk menyembunyikan atau


menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana
dengan berbagai cara agar sulit untuk ditelusuri. Sehingga dalam konsep anti
pencucian uang dilakukan penelusuran atas harta kekayaan sebagaimana
dimaksud yang merupakan diduga hasil tindak pidana untuk kemudian disita atau
dirampas untuk tujuan mengurangi serta mencegah kriminalitas. Penelelusuran ini
tidak terlepas dari peran lembaga-lembaga yang berhubungan dengan keuangan
(Lembaga Keuangan) dalam hal membantu aparatur. Dalam perkembangannya,
tindak pidana pencucian uang ini meliputi lintas batas internasional, yang
membuat semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasannya. Oleh karena itu
muncullah Undang-undang ini untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Memperhatikan undang-undang TPPU ini dapat dilihat 3 jenis sifat TPPU, yaitu
Pertama, Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI
No. 8 Tahun 2010).
Kedua, Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan
melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga, Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap
Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap
sama dengan melakukan pencucian uang.
Kembali lagi pada hubungan antara tindak pidana asal dan tindak pidana
pencucian uang, dimana menurut penulis pada dasarnya TPPU merupakan Tindak
Pidana lanjutan dari tindak pidana asal/awal (perbuatan berlanjut sebagaimana
dianut dalam KUHP) dan hal ini dapat ditafsirkan dari pasal 2 ayat (1) tentang
predicate crime atau tindak pidana asal. Hal ini merupakan salah satu
penyimpangan yang terjadi pada Undang-undang ini, yang mana pada dasarnya
antara perbuatan-perbuatan yang sifatnya berlanjut (memiliki hubungan yang
sedemikian rupa antara perbuatan yang satu dengan perbuatan berikutnya, dan
tiap perbuatan tersebut merupakan tindak pidana) berdasarkan KUHP merupakan
Delictum Continuantium / voortgezettehandeling (pasal 64 KUHP) adalah bagian
dari perbarengan tindak pidana (concursus) yang dalam pelaksanaannya dilakukan
pemeriksaan secara bersamaan dan penerapan pidananya sesuai KUHP atau pada
prinsipnya dilakukan sistem absorbsi. Beda halnya dengan TPPU berdasarkan
undang-undang ini dipisahkan secara mandiri dan penyelesaiannya dilakukan
secara sendiri-sendiri atau dibedakan dengan tindak pidana awal.
Menurut penulis ini merupakan suatu celah bagi aparatur bagi aparatur penegak
hukum yang melakukan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan dalam sidang
pengadilan ketika sulit untuk membuktikan tindak pidana asal atau dapat juga
karena sulitnya menemukan alat bukti serta barang bukti yang cukup terkait
tindak pidana asal atau tindak pidana asal dilakukan diluar yurisdiksi negara
Indonesia namun harta kekayaan tersebut masuk ke yurisdiksi Indonesia, dan
harta kekayaan tersebut diduga keras diperoleh dari salah satu predicate crime
atau merupakan hasil tindak pidana atau kejahatan.
Memperhatikan pasal 69 UU TPPU, dimana tindak pidana asal tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu dalam pemeriksaan TPPU, jika disandingkan dengan
pasal 2 ayat (1) mengenai harta kekayaan yang diperoleh dari predicate
crime (tindak pidana asal), seolah-olah menerapkan adanya hubungan yang
sedemikian rupa yang tidak terlepas antara TP asal dengan TPPU sebagai TP.
berlanjut yang mana menurut Undang-undang ini harus dipisahkan Tindak
pidananya (mandiri). Selain itu dalam setiap rumusan delik TPPU memuat
".....atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana....." yang mengadung adanya unsur kesengajaan dan kealpaan (pro
parte dolus pro parte culpa). Konsekuensi perumusan ini adalah harus dibuktikan
apakah harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana (TP asal) artinya
Tp asal juga harus dibuktikan apakah benar harta kekayaan merupakan hasil dari
TP asal, sementara pasal 69 menyatakan TP asal tidak perlu atau tidak wajib
dibuktikan (sifatnya mandiri). Sementara penyidik atau JPU belum memiliki
cukup bukti atas Tp. Asal. Melihat rumusan pasal 2 UU TPPU dan pasal 69,
menurut penulis terdapat ketidak paduan atau bertentangan satu sama lain dan
menyebabkan pasal 2 sebagai pasal mandul atau pasal yang tidak berguna.
Bahwa setiap unsur yang dirumuskan dalam TPPU selalu menyertakan bahwa
".....atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana....". Artinya bahwa pembuktian salah satunya harus memenuhi
unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam TPPU,
dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan
tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.
Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2, yang dalam pembuktian
nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus
dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil
tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang
menghasilkan harta kekayaan tersebut.

Namun menurut penulis, hal inilah yang menyebabkan pembuat Undang-undang


melakukan pembalikan beban pembuktian atau "Reserval Burden of Proof
(Omkering van het Bewijlast)" kepada terdakwa (sebagai konsekuensi)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 UU TPPU : "Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta
Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana". Artinya terdakwa
diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas harta kekayaan tersebut bersumber
dari mana. Beda halnya dengan pembalikan beban pembuktian dalam TIPIKOR
yang sifatnya terbatas dan berimbang (hanya merupakan sebatas hak, dapat
dilakukan atau tidak tergantung terdakwa bukan merupakan suatu kewajiban, dan
JPU tetap wajib membuktikan TP yang didakwakan).

Anda mungkin juga menyukai