Jual
Jual
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jual beli merupakan bentuk transaksi umum yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Biasanya, perjanjian jual beli dilakukan secara lesan atau tertulis atas dasar kesepakatan para
pihak (penjual dan pembeli).
Berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka jual beli termasuk perjanjian yang
bersifat konsensuil, dimana perjanjian lahir saat kedua belah pihak sepakat mengenai barang
dan harga, walaupun pada saat itu barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan
(1458 KUHPerdata). Unsur esensial dari perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Harga
haruslah diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan (diakui) sebagai alat pembayaran
yang sah sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang
ada adalah perjanjian tukar menukar.
Sedangkan barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli adalah haruslah barang
yang berada dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana diatur dalam pasal 1332
KUHPerdata. Berdasarkan BW barang, yang menjadi obyek perjanjian dapat diklasifikasikan
menjadi barang yang sudah ada dan barang yang akan ada (relative dan absolut). Dalam
pembahasan kali ini penulis bermaksud untuk membahas lebih mendalam mengenai
perjanjian jual beli.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan perjanjian jual beli ?
b. Apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian jual beli ?
c. Apa yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian jual beli ?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian jual beli.
b. Untuk mengetahui apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian jual beli.
c. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
Hak milik beralih dengan adanya penyerahan (levering). Penyerahan adalah suatu
pemindahan barang yang telah dijual ke dalam penguasaan dan kepunyaan si pembeli (pasal
1475). Jadi penyerahan dapat diartikan sebagai cara untuk mendapatkan hak milik karena
adanya pemindahan hak milik akibat dari perjanjian jual beli. Untuk perjanjian jual beli
dengan system indent penyerahan barang dilakukan dengan penyerahan kekuasaan atas
barang (kendaraan dianalogikan sebagai barang bergerak) sebagaimana diatur dalam pasal
612 KUHPerdata. Biasanya, penyerahan dilakukan langsung ditempat penjual atau ditempat
lain yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian
yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan,
mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut,
maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu
sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, perjanjian jual beli membebankan
duakewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara
penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual
beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang
harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal
1458 yang berbunyi jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain
yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak
terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur
esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,
klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-
ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut
unsur naturalia.
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum
tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering)
benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :
1. Benda Bergerak. Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci
atas benda tersebut.
2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh. Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak
bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda tidak bergerak. Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan
pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian
adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah
pihak.
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana
suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.
Setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Jadi, perikatan yang dilahirkan dari perjanjian jual beli dengan obyek barang yang
akan ada (kendaraan) adalah perikatan dengan ketepatan waktu, yaitu perikatan yang
pelaksanaannya ditanggungkan sampai pada suatu waktu yang ditentukan yang pasti akan
tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan
tiba, sebagaimana diatur dalam pasal 1268-1271 KUHPerdata.
C. Sebab-Sebab Berakhirnya Perjanjian Jual Beli
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam
perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnyaperjanjian, misalnya: habisnya jangkja waktu
yang telah disepakati dalam perjanjian. Selain itu KUHPerdata juga mengatur faktor-faktor
lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena :
a. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya
sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.
b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai dengan hal yang
telah diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut
dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan
prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian.
c. Pembaharuan utang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian
baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul
karena berubahnya pihak dalam perjanjian.
d. Perjumpaan utang atau kompensasi
Perjumpaan utang terjadi karena kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain,
sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.
e. Pencampuran utang
Berubahnya kedudukan pihakl atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya
pencampuran utang yang mengakhiri perjanjian
f. Pembebasan utang
Pembebasan utang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan
debitur dari kewajiban membayar utang, sehingga denganm terbebasnya debitur dari
kewajiban pemenuhan utang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat
sahnya perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
g. Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat
perjanjian karena barang sebagai hal ( objek ) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga
berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
h. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat mengakibatkan perjanjian berakhir misalnya
karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara
pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnyaa
perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat
terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diaturv dalam Pasal 1338 KUHPerdata
atau dengan putusan Pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh
karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
j. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu ( daluarsa ) perjanjian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual
merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.
2. Dalam mengadakan suatu perjanjian haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu: kesepakatan para
pihak, kecakapan, suatu sebab tertentu, dan clausa yang halal.
3. Dan perjanjian jual beli dapat berakhir apabila terjadi :Pembayaran, Penawaran pembayaran
diikuti dengan penitipan, Pembaharuan utang, Perjumpaan utang atau kompensasi,
Pencampuran utang, Pembebasan utang, Musnahnya barang yang terutang, Kebatalan atau
pembatalan, Berlakunya suatu syarat batal, dan Lewatnya waktu.
B. SARAN
Dalam melakukan perjanjian jual beli, para piha harus memahami bentuk dan isi
perjanjian.karena bentuk dan isi perjanjian berfungsi untuk menjamin kepentingan hukum
mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika
terjadisuatu wanprestasi.
Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam Keadilan ,
Apa kabar kumi ? semoga baik baik aja ya , udah lama nih gak posting disini . Oh ya ,
sekarang saya akan berbagi pengalaman dan penelitian kecil kecilan saya dan teman-teman
saya nih , mengenai perjanjian jual beli yang diatur didalam B.W dan diatur didalam Hukum
Adat . Kedua hukum ini merupakan bukti adanya pluralisme hukum negara kita tercinta .
Langsung aja ya kita ke pembahasan , cekidot .
A. Perjanjian Jual Beli Hukum B.W Vs Hukum Adat .
Didalam suatu perjanjian jual beli kita mengenal asas Pacta Sunt Servanda yang
memiliki arti setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang
melakukan perjanjian[1] " . Asas menjadi tumpuan perjanjian diseluruh dunia , termasuk
Indonesia . Negara Indonesia sendiri memiliki 2 sistem jual beli , yaitu .
1. Perjanjian Jual Beli Hukum B.W
Perjanjian jual beli hukum B.W diberlakukan di Indonesia karena menurut Pasal 1
aturan peralihan UUD. Didalam Perjanjian jual beli hukum B.W , memiliki ketentuan-
ketentuan / asas untuk melakukan perjanjian jual beli . Ketentuan yang pertama yaitu .
a. Pasal 1458 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika orang-orang itu telah
mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum
diserahkan dan harganya belum dibayar .
b. Pasal 1865 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah hak orang lain , menunjuk pada suatu
peristiwa , diwajibkan membuktikan adanya peristiwa tersebut . Pasal ini menjelaskan
bahwa setiap orang diwajibkan membuktikan sesuatu itu miliknya , biasanya hal ini terjadi
didalam peristiwa jual beli dan gadai ( pand ) . Didalam hal pembuktian , pasal 1867 B.W
menerangkah bahwa Pembuktian dengan tulisandilakukan dengan tulisan otentik atau
tulisan dibawah tangan , sehingga ketika kedua belah pihak ingin melakukan sebuah
perjanjian jual beli / gadai , harusdibuatkan suatu bukti dengan tulisan . Dan perlu kita
ketahui juga bahwa didalam hukum perdata ada asas yang menyatakan Kejujuran itu ada
pada setiap orang , sedangkan ketidakjujuran itu harus dibuktikan [2] !
2. Perjanjian Jual Beli Hukum Adat .
Perjanjian jual beli didalam masyarakat hukum adat biasanya dalam jual beli mempunyai
sifatKontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat . Kontan ( Tunai ) adalah suatu bentuk prestasi
yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga[3]. Lalu , sifat percaya yang
kuat yaitu saling percaya satu sama lain , antara pembeli dan penjual dalam proses jual beli ,
sehingga didalam proses tersebut , mereka tidak membuat bukti tertulis karena mereka
sudah saling percaya .
I tu dia perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat . Jadi ,kalau
dihukum B.W , memiliki ketentuan , jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap kata
sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar dan
dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat suatu bukti tertulis sebagai
ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah pembuktian .
Sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan yang memiliki
ketentuan jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu juga , sehingga walaupun
sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak itu belum terjadi jual beli . Adapun
didalam jual beli , masyarakat adat tidak mengenal namanya pembuktian tertulis , karena
masyarakat adat memiliki sifat percaya , saling percaya satu sama lain , jadi tidak perlu
namanya jual beli dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W.
Lalu bagaimana implementasinya ? terus hukum mana yang sering dipakai
dimasyarakat adat ? . Ketika saya dan teman-teman mengadakan penelitian kecil-kecilan
didaerah pasar kebon besar , purwokerto . Menurut penelitian kami dari 5 sempel masyarakat
adat , ada 4 masyarakat adat yang masih menggunakan sifat kontan didalam perjanjian jual
beli , dan 1 masyarakat adat yang menggunakan perjanjian jual beli didalam hukum B.W .
Saat kami mewawancarai masyarakat adat yang masih menggunakan perjanjian jual beli
didalam B.W , ia beranggapan bahwa ketika kita sudah sepakat , maka barang yang akan
dibeli tersebut saya simpan / tidak dijual , walaupun duid belum dikasih kepada saya .
Pernyataan tersebut merupakan bentuk tindakan yang diatur dalam pasal 1458 B.W .
Sedangkan , saat kami mewawancari masyarakat ada yang msh menggunakan
sifat kontan , ia beranggapan bahwa ada uang , ada barang dan siapa yang cepat , dia yang
dapat . , lalu ia menambahkan walaupun kita sudah sepakat sipembeli akan datang lagi
esok hari , tetap saja siapa cepat dia dapat . Ini merupakan bentuk tindakan yang timbul
dari adanya sifat kontandidalam masyarakat.
Jadi , dapat dikatakan bahwa , masyarakat adat masih menggunakan
sifat kontan didalam perjanjian jual beli hukum adat , meskipun tidak menutup
kemungkinan juga , ada yang memakai perjanjian jual beli hukum B.W .
Nah itu dia perbedaannya dan implementasinya yang saya dan teman-teman saya
dapatkan ketika melakukan penelitian kecil-kecilan . Oh ya kalau kumi didalam perjanjian
jual beli sering memakai yang mana ? kalau saya sih sifat kontan , ada uang , ada barang
bukan ada uang , abang sayang , gak ada uang abang tending bukan kaya gini ya , hehe .
[1] Drs. Sukarmi , Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam baying-bayang pelaku usaha ,( Bandung : Pustaka sutra , 2007 )
[2] Prof . Subhekti , S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata ( Jakarta : Intermasa , 2003
[3] Prof . Iman Sudiyat , S.H , Asas Asa Hukum Adat Bekal Penghantar , ( Yogyakarta : Liberty , 2010 )
JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT
Menurut hukum adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang
dimaksudkan dalam pasal 1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang
berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-
lamanya,pada saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan
dilakukannya jual beli tersebut maka hak milik atas tanah itu beralih kepada pembeli.Menurut
hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah yang di bayar bisa dianggap telah di
bayar penuh.
Jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut contoh atau
tunai. Pembayaran harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut
kenyataannya belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar
perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera
setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan
hukumnya dengan jual beli hak atas tanah.berarti bahwa jika kemudian pembeli tidak
membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual
beli.Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian
utang piutang.
Dalam Hukum Adat jual beli tanah bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang
disebut perjanjian obligatoir. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui bersama di
bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jual beli tanah itu dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai
kepala adat(Desa) menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang
berlaku.Dengan dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi terang bukan
perbuatan hukum yang gelap. Pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang
bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika
dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tersebut
tidak sah.
Di keputusan lain mahkamah agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala
adat pembuatan perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : suatu putusan rapat
Desa(rapat selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya UUPA
dinyatakan tetap berlaku.(Putusan Mahkamah Agung nomor 187/K/Sip/1975,tanggal 17
maret 1976).
Umumnya dari jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak
yang menjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut hukum
adat :di jual lepas)
Menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut
panjer.Panjer dapat berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada
pemilik tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum
Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.Jika pihak-pihak yang
bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu
adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang besangkutan tunduk pada Hukum Barat maka yang
berlaku adalah Hukum perjanjian yang terdapat dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu
bukan perjanjian jual beli yang dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon
pembeli tunduk pada hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan
menunjukkan hukum manakah yang berlaku.
Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimanapihak penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar
sejumlah uang sebagai imbalan.Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual,
akan berpindahtangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis
sesuaidengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dianggaptelah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang inimencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipunkebendaan itu belum diserahkan, maupun
harganya belum dibayar (Pasal1458 KUHPerdata).Barang dan harga inilah yang menjadi
unsur pokok dariperjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, jika pihak
pembelitidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasiyang
memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugiatau pembatalan
perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan1267 KUHPerdata.Harga tersebut
harus berupa sejumlah uang. Jikadalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal
tersebut (barang danuang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar,
ataukalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjiankerja, dan
begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termaktubpengertian bahwa disatu
pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.Tentang macamnya uang, dapat diterangkan
bahwa, meskipun jual beli ituterjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu
ditetapkan dalam matauang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk
menetapkannyadalam mata uang apa saja.
Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hokumBelanda, perjanjian jual beli
hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifatmengikat para pihak.Jual beli yang bersifat
obligator dalam Pasal 1459 KUHPerdatamenerangkan bahwa hak milik atas barang yang
dijual belum akanberpindah tangan kepada pembeli selama belum diadakan
penyerahanyuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata.Dari sifat obligator tersebut
dalam perjanjian jual beli, dapatdijabarkan menjadi beberapa hal yang pada intinya juga
termasuk dalamsifat obligatortersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja
yangmenjadi obyeknya), harga yang telah disepakati kedua belah pihak dalamperjanjian jual
beli, dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.
sebuah akta otentik atau dibawah tangan.Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut
KUHPerdatamaksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajibanbertimbal
balik pada para pihak. Yaitu saat meletakkan kepada penjualkewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijual,selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk menuntut
pembayaran atasharga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak
pembeliberkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untukmendapatkan
penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari
pihak penjual kepada pembeli setelahdiadakan penyerahan.
Maksud dari Pasal tersebut bahwa cacat yang membuat barangtersebut tidak dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksud dan cacattersebut tidak diketahui oleh pembeli secara normal
atau wajar padasaat ditutupnya perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual
beli.Mengapadikatakan sebagai cacat tersembunyi, karena cacat tersebut tidakmudah
kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti.Tetapiapabila cacat yang dimaksud sudah
terlihat sebelumnya, maka barangtersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi,
melainkandikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan.Menurut Yahya Harahap,
cacat tersembunyi ialah cacat yangmengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan
tujuanpemakaian yang semestinya.
Untuk itu siapa yang mengajukan suatu hak yang menunjuk padasuatu peristiwa, harus
memberikan pembuktian; sebaliknya barangsiapa yang membantah suatu hak, dia juga harus
membuktikansehingga tidak hanya menyatakan pihak lawan yang salah, tetapi jikadia benar
juga harus membuktikan kebenarannya.Dalam suatu perjanjian jual beli apabila pihak
pembeli menuntutberdasarkan cacat tersembunyi, maka pihak pembeli harus
dapatmembuktikan tentang adanya cacat tersebut kepada penjual, denganalasan karena hak
pihak pembeli adalah untuk mendapatkan barangtanpa cacat.Memang dalam kenyataannya,
pihak pembelilah yangdiberi beban untuk membuktikan. Mengenai apa saja yang
harusdibuktikan apabila barang tersebut ternyata mengandung cacattersembunyi, sekali lagi
bila mengacu pada Pasal 1504 KUHPerdata,hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cacat
yang dimaksud sudah adasebelum ditutupnya perjanjian, dan kedua belah pihak
tidakmengetahui adanya cacat yang terkandung pada barang tersebut.Apabila barang tersebut
tidak dapat digunakan sesuai dengantujuannya atau mengurangi pemakaiannya, maka sudah
sepatutnyapembeli memberikan tuntutan kepada pihak penjual untukmenanggung atas
keadaan barang yang dijualnya. Walaupun pihakpenjual tidak bersalah, namun ia tetap
diwajibkan untuk menanggungkerugian yang diderita oleh pihak pembeli.Kewajiban penjual
adalah untuk memelihara dan merawatkebendaan dan merupakan kewajiban yang dibebankan
berdasarkanketentuan umum mengenai perikatan untukmenyerahkan ataumemberikan
sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1235KUHPerdata;
Dalam tiap-tiap perikatan umtuk memberikan sesuatuadalah termaktub kewajiban untuk
menyerahkankebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnyasebagai seorang kepala
rumah tangga yang baik, sampai
sat penyerahan.Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebihluas terhadap
persetujuan-persetujuan tertentu, yangakibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk
dalambab-bab yang bersangkutan.
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa)
diluar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu
merupakan buntut dari persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja
dan tak dapat diduga. Mengenai resiko dalam jual beli dalam BW disebutkan ada tiga
peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu :
Jual beli tidak usah jual beli tunai (kontan), jadi jual beli kreditpun boleh.
Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari, jadi lebih lama dari jangka
waktu yang diperkenankan oleh pasal 1145 BW
Tuntutan reklame masih boleh dilancarkan meskipun barangnya sudah berada ditangan orang
lain.
Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaankewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya.
Apabila si berutang (debitur) disebutkan dan berada dalam keadaanwanprestasi, jika ia dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telahlalai sehingga terlambat dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalammelaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya atau
selayaknya .Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. Tidak melakukan apa yang disangggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimanadijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak bolehdilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagidebitur yang lalai ada empat macam, yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Si berhutang adalah lalai, bila ia denagn surat perintah dandengan sebuah akta sejenis itu
telah diakatakan lalai, atau demiperikatannya sendiri, menetapkan bahwa si berhutang
akanharus dianggap lalai dengan lewatnya waktuyang ditentukan.
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, seperti
yang diterangkan di atas, maka jika ia tetap tidakmelakukan prestasinya, ia berada dalam
keadaan lalai atau alpa dan terhadapdia dapatdiperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana
disebutkan di atas yaituganti rugi atau pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
Sebagaikesimpulan bila terjadi ingkar janji (wanprestasi) hak-hak dari kreditur adalahsebagai
berikut:
1. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen).
2. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik, menuntut pembatalan perikatan(ontbinding).
3. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding).
4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.
5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan denganganti rugi.
Menurut Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, anasiranasirdari ganti rugi
ialah biaya, rugi dan bunga. Apabila Undang-Undangmenyebutkan rugi maka yang dimaksud
adalah sebagai berikut kerugian nyatayang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan
itu diadakan, yangtimbul sebagai akibat ingkar janji (wanprestasi). Jumlahnya ditentukan
dengansuatu perbandingan di antara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janjidan
keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji..Dalam soalpenuntutan ganti rugi,
oleh Undang-Undang diberikan ketentuan-ketentuantentang apapun yang dapat dimasukkan
dalam ganti rugi tersebut. Bolehdikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan
dari apa yang bolehdituntut sebagai ganti rugi.Dengan demikian seorang debitur yang lalai
ataualpa, masih juga dilindungi oleh Undang-Undang terhadap kesewenangwenangansi
kreditur. Seperti juga ia sudah pernah dilindungi olehKUHPerdata (Pasal 1338 ayat 3) dalam
soal pelaksanaan perjanjian. Sekarangia dilindungi pula dalam soal ganti rugi dengan adanya
pembatasan ganti rugiitu.
Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti rugi jika kerugian itu mempunyai hubungan
langsung dengan wanprestasi, dengan perkataan lainantara ingkar janji dan kerugian harus
ada hubungan sebab akibat (kausal).Hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 KUHPerdata :
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkankarena tipu daya debitur,
penggantian biaya, rugi dan bungasekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur
dankeuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apayang merupakan akibat
langsung dari tidak dipenuhinyaperikatan.
Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang,oleh karena menurut
ahli-ahli Hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uangmerupakan alat yang paling praktis,
yang paling sedikit menimbulkan selisihdalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang,
masih ada bentuk-bentuklain yang diperlukan sebagai bentuk-bentuk lain yang diperlukan
sebagaibentuk ganti rugi, yaitu pemulihan ke keadaan semula dan larangan
untukmengulangi.Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uangpaksa.Jadi,
haruslah diingat bahwauang paksa bukan merupakan bentuk atauwujud ganti rugi.Untuk
menentukan besarnya jumlah ganti rugi, Undang-Undangmemberikan beberapa pedoman,
yaitu besarnya jumlah ganti rugi ituditentukan sendiri oleh UndangUndang, misalnya Pasal
1250 KUHPerdataantara lain mengatakan bahwa:
Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungandengan pembayaran sejumlah
uang, penggantian biaya, rugidan bunga sekedar disebabkan karena
terlambatnyapelaksanaan oleh Undang-Undang, dengan tidak mengurangiperaturan
Undang-Undang khusus .
Jika tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang dan para pihak sendirijuga tidak menentukan
apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukanberdasarkan kerugian yang benar-
benar telah terjadi, atau dapat didugasedemikian rupa sehingga keadaan, kekayaan dari si
berpiutang harus samaseperti seandainya si berhutang memenuhi kewajibannya.