Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jual beli merupakan bentuk transaksi umum yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Biasanya, perjanjian jual beli dilakukan secara lesan atau tertulis atas dasar kesepakatan para
pihak (penjual dan pembeli).
Berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka jual beli termasuk perjanjian yang
bersifat konsensuil, dimana perjanjian lahir saat kedua belah pihak sepakat mengenai barang
dan harga, walaupun pada saat itu barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan
(1458 KUHPerdata). Unsur esensial dari perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Harga
haruslah diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan (diakui) sebagai alat pembayaran
yang sah sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang
ada adalah perjanjian tukar menukar.
Sedangkan barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli adalah haruslah barang
yang berada dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana diatur dalam pasal 1332
KUHPerdata. Berdasarkan BW barang, yang menjadi obyek perjanjian dapat diklasifikasikan
menjadi barang yang sudah ada dan barang yang akan ada (relative dan absolut). Dalam
pembahasan kali ini penulis bermaksud untuk membahas lebih mendalam mengenai
perjanjian jual beli.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan perjanjian jual beli ?
b. Apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian jual beli ?
c. Apa yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian jual beli ?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian jual beli.
b. Untuk mengetahui apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian jual beli.
c. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian jual beli.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Jual Beli


Jual beli diatur dalam buku III KUHPerdata, bab ke lima tentang jual beli. Dalam
pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah
dijanjikan. Perjanjian jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya
undang - undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
khusus terhadap perjanjian ini.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa perjanjian jual
beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual merupakan hak
dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini,
penjual berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima
pembanyaran, sedang pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk
menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi
perikatan jual beli.
Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik atas barang
dari tangan penjual ke tanggan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Pada
hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua
belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat (Jual beli) dan
yang kedua, tahap penyerahan (levering) benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan
tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut.

Hak milik beralih dengan adanya penyerahan (levering). Penyerahan adalah suatu
pemindahan barang yang telah dijual ke dalam penguasaan dan kepunyaan si pembeli (pasal
1475). Jadi penyerahan dapat diartikan sebagai cara untuk mendapatkan hak milik karena
adanya pemindahan hak milik akibat dari perjanjian jual beli. Untuk perjanjian jual beli
dengan system indent penyerahan barang dilakukan dengan penyerahan kekuasaan atas
barang (kendaraan dianalogikan sebagai barang bergerak) sebagaimana diatur dalam pasal
612 KUHPerdata. Biasanya, penyerahan dilakukan langsung ditempat penjual atau ditempat
lain yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian
yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan,
mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut,
maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu
sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, perjanjian jual beli membebankan
duakewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara
penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual
beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang
harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal
1458 yang berbunyi jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain
yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak
terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur
esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,
klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-
ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut
unsur naturalia.

Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum
tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering)
benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :

1. Benda Bergerak. Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci
atas benda tersebut.
2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh. Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak
bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3. Benda tidak bergerak. Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan
pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.

Asas-Asas Perjanjian Jual Beli


Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam
perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum
asas perjanjian ada lima yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian
karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat
suatuperjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian
adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah
pihak.
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana
suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.
Setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas iktikad baik ( Goede Trouw )


Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad
baik ada dua yaitu :
a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.
5. Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.
Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
janji untuk pihak ketiga.

B. Syara Sah Perjanjian Jual Beli


Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual
beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau
konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak
antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan
kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. sepakat juga dinamakan suatu perizinan,
terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal pokok dari suatu
perjanjian yang akan diadakan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam
hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang
dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai
dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan
bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang dibawah pengampuan

3. Suatu hal tertentu


Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan
ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa
tidak berbuat sesuatu. Objek perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri
atas :
a. memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b. berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis
suatu lukisan yang dipesan.
c. tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan,
perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
4. Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian
sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek
perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan
objek perjanjian. Apabila syarat pertamadan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu
dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.
Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya
adalahperjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah
ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di
kemudian hari.

Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian


Hak dan Kewajiban Penjual
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan
menanggung cacat tersembunyi.
Hak dan Kewajiban Pembeli
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut
penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada waktu
dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Harga tersebut harus berupa uang. Meski
mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah
termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.
Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem Indent
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Indent diartikan sebagai
pembelian barang dengan cara memesan dan membayar terlebih dahulu. Atas dasar
pengertian tersebut, Indent dapat diartikan sebagai kondisi dimana calon pembeli menunggu
barang yang dipesan, yang mana penjual sedang mengusahakan untuk mendapatkan barang
tersebut. Hal ini diatikan bahwa barang yang dipesan pembeli pada saat itu belum ada
dan/atau barang tersebut sudah ada tetapi belum dalam penguasaan penjual. Oleh karena
itu, Indent dapat juga diartikan sebagai janji untuk terjadinya jual beli dikemudian hari.
System Indent biasanya banyak digunakan dalam perjanjian jual beli kendaraan,
khususnyamobil. Sistem Indent digunakan dengan alasan jumlah barang hanya tersedia
dalam stoknya terbatas, hal ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan dari pembeli atau
adanya perbedaan antara ketersediaan barang dengan permintaan pembeli. Oleh karenanya,
penjual kemudian mengunakan sistem Indent untuk memudahkan proses jual beli. Tahapan
dalam system Indent yaitu meliputi:
1. Adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual mengenai pemesanan barang (kendaraan),
yang diwujudkan dalam penandatanganan formulir pemesanan barang (kendaraan) oleh
kedua belah pihak (pra kontraktual).
Dalam tahap ini harga belum ditentukan (masih dalam negosiasi) dan bisa berubah sewaktu-
waktu, biasanya pembeli kemudian diwajibkan untuk membayar uang panjar atau uang muka
(done payment).
2. Penandatanganan formulir janji penyerahan barang (kendaraan) oleh para pihak, formulir ini
berisi janji penjual untuk menyerahkan barang (kendaraan) yang dipesan pembeli, meliputi
hari, tanggal dan tempat penyerahan. Pada tahap ini harga barang (kendaraan) telah
ditentukan secara pasti, sehingga baik pembeli dan penjual telah sepakat mengenai harga dan
barang (lahirnya perjanjian jual beli).
3. Barang sudah ada dibawah kekuasaan penjual dan siap untuk diserahkan kepada pembeli
sesuai dengan kesepakatan. Sebelum diserahkan pembeli diharuskan melunasi kekurangan
pembayaran barang (kendaraan) tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indent dianggap
sebagai tahap pra kontraktual yang nantinya akan melahirkan perjanjian jual beli, yaitu
setelah para pihak tentang barang dan harga. Penggunaan sistem Indent dalam perjanjian jual
beli merupakan modus baru dan belum diatur secara detil dalam KUHPerdata. Oleh karena
itu, dalam pembuatan perjanjian tersebut perlu dirumuskan dengan baik agar hak dan
kewajiban para pihak (penjual dan pembeli) terlindungi.
Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Jual Beli dengan Sistem Indent
Pasal 1253 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perikatan adalah bersyarat, apabila
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan
terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut (syarat
tanggung) maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa
itu (syarat batal). Menurut hartono berdasarkan ketentuan pasal 1253 KUHPerdata tersebut,
maka dapat diketahui bahwa ukuran dari pelaksanaan perikatan adalah adanya syarat
terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabila
peristiwa itu merupakan peristiwa yang pasti akan terjadi, maka perikatan tersebut bukanlah
merupakan perikatan bersyarat, melainkan perikatan dengan ketepatan waktu.

Jadi, perikatan yang dilahirkan dari perjanjian jual beli dengan obyek barang yang
akan ada (kendaraan) adalah perikatan dengan ketepatan waktu, yaitu perikatan yang
pelaksanaannya ditanggungkan sampai pada suatu waktu yang ditentukan yang pasti akan
tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan
tiba, sebagaimana diatur dalam pasal 1268-1271 KUHPerdata.
C. Sebab-Sebab Berakhirnya Perjanjian Jual Beli
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam
perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnyaperjanjian, misalnya: habisnya jangkja waktu
yang telah disepakati dalam perjanjian. Selain itu KUHPerdata juga mengatur faktor-faktor
lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena :
a. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya
sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.
b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai dengan hal yang
telah diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut
dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan
prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian.
c. Pembaharuan utang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian
baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul
karena berubahnya pihak dalam perjanjian.
d. Perjumpaan utang atau kompensasi
Perjumpaan utang terjadi karena kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain,
sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.
e. Pencampuran utang
Berubahnya kedudukan pihakl atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya
pencampuran utang yang mengakhiri perjanjian

f. Pembebasan utang
Pembebasan utang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan
debitur dari kewajiban membayar utang, sehingga denganm terbebasnya debitur dari
kewajiban pemenuhan utang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat
sahnya perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
g. Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat
perjanjian karena barang sebagai hal ( objek ) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga
berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
h. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat mengakibatkan perjanjian berakhir misalnya
karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara
pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnyaa
perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat
terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diaturv dalam Pasal 1338 KUHPerdata
atau dengan putusan Pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh
karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
j. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu ( daluarsa ) perjanjian.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual
merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.
2. Dalam mengadakan suatu perjanjian haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu: kesepakatan para
pihak, kecakapan, suatu sebab tertentu, dan clausa yang halal.
3. Dan perjanjian jual beli dapat berakhir apabila terjadi :Pembayaran, Penawaran pembayaran
diikuti dengan penitipan, Pembaharuan utang, Perjumpaan utang atau kompensasi,
Pencampuran utang, Pembebasan utang, Musnahnya barang yang terutang, Kebatalan atau
pembatalan, Berlakunya suatu syarat batal, dan Lewatnya waktu.

B. SARAN
Dalam melakukan perjanjian jual beli, para piha harus memahami bentuk dan isi
perjanjian.karena bentuk dan isi perjanjian berfungsi untuk menjamin kepentingan hukum
mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika
terjadisuatu wanprestasi.

Hukum B.W Vs Hukum Adat dalam Perjanjian Jual Beli


22.57 Ilmu Hukum No comments

Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam Keadilan ,
Apa kabar kumi ? semoga baik baik aja ya , udah lama nih gak posting disini . Oh ya ,
sekarang saya akan berbagi pengalaman dan penelitian kecil kecilan saya dan teman-teman
saya nih , mengenai perjanjian jual beli yang diatur didalam B.W dan diatur didalam Hukum
Adat . Kedua hukum ini merupakan bukti adanya pluralisme hukum negara kita tercinta .
Langsung aja ya kita ke pembahasan , cekidot .
A. Perjanjian Jual Beli Hukum B.W Vs Hukum Adat .
Didalam suatu perjanjian jual beli kita mengenal asas Pacta Sunt Servanda yang
memiliki arti setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang
melakukan perjanjian[1] " . Asas menjadi tumpuan perjanjian diseluruh dunia , termasuk
Indonesia . Negara Indonesia sendiri memiliki 2 sistem jual beli , yaitu .
1. Perjanjian Jual Beli Hukum B.W
Perjanjian jual beli hukum B.W diberlakukan di Indonesia karena menurut Pasal 1
aturan peralihan UUD. Didalam Perjanjian jual beli hukum B.W , memiliki ketentuan-
ketentuan / asas untuk melakukan perjanjian jual beli . Ketentuan yang pertama yaitu .
a. Pasal 1458 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika orang-orang itu telah
mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum
diserahkan dan harganya belum dibayar .
b. Pasal 1865 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah hak orang lain , menunjuk pada suatu
peristiwa , diwajibkan membuktikan adanya peristiwa tersebut . Pasal ini menjelaskan
bahwa setiap orang diwajibkan membuktikan sesuatu itu miliknya , biasanya hal ini terjadi
didalam peristiwa jual beli dan gadai ( pand ) . Didalam hal pembuktian , pasal 1867 B.W
menerangkah bahwa Pembuktian dengan tulisandilakukan dengan tulisan otentik atau
tulisan dibawah tangan , sehingga ketika kedua belah pihak ingin melakukan sebuah
perjanjian jual beli / gadai , harusdibuatkan suatu bukti dengan tulisan . Dan perlu kita
ketahui juga bahwa didalam hukum perdata ada asas yang menyatakan Kejujuran itu ada
pada setiap orang , sedangkan ketidakjujuran itu harus dibuktikan [2] !
2. Perjanjian Jual Beli Hukum Adat .
Perjanjian jual beli didalam masyarakat hukum adat biasanya dalam jual beli mempunyai
sifatKontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat . Kontan ( Tunai ) adalah suatu bentuk prestasi
yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga[3]. Lalu , sifat percaya yang
kuat yaitu saling percaya satu sama lain , antara pembeli dan penjual dalam proses jual beli ,
sehingga didalam proses tersebut , mereka tidak membuat bukti tertulis karena mereka
sudah saling percaya .
I tu dia perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat . Jadi ,kalau
dihukum B.W , memiliki ketentuan , jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap kata
sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar dan
dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat suatu bukti tertulis sebagai
ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah pembuktian .
Sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan yang memiliki
ketentuan jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu juga , sehingga walaupun
sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak itu belum terjadi jual beli . Adapun
didalam jual beli , masyarakat adat tidak mengenal namanya pembuktian tertulis , karena
masyarakat adat memiliki sifat percaya , saling percaya satu sama lain , jadi tidak perlu
namanya jual beli dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W.
Lalu bagaimana implementasinya ? terus hukum mana yang sering dipakai
dimasyarakat adat ? . Ketika saya dan teman-teman mengadakan penelitian kecil-kecilan
didaerah pasar kebon besar , purwokerto . Menurut penelitian kami dari 5 sempel masyarakat
adat , ada 4 masyarakat adat yang masih menggunakan sifat kontan didalam perjanjian jual
beli , dan 1 masyarakat adat yang menggunakan perjanjian jual beli didalam hukum B.W .
Saat kami mewawancarai masyarakat adat yang masih menggunakan perjanjian jual beli
didalam B.W , ia beranggapan bahwa ketika kita sudah sepakat , maka barang yang akan
dibeli tersebut saya simpan / tidak dijual , walaupun duid belum dikasih kepada saya .
Pernyataan tersebut merupakan bentuk tindakan yang diatur dalam pasal 1458 B.W .
Sedangkan , saat kami mewawancari masyarakat ada yang msh menggunakan
sifat kontan , ia beranggapan bahwa ada uang , ada barang dan siapa yang cepat , dia yang
dapat . , lalu ia menambahkan walaupun kita sudah sepakat sipembeli akan datang lagi
esok hari , tetap saja siapa cepat dia dapat . Ini merupakan bentuk tindakan yang timbul
dari adanya sifat kontandidalam masyarakat.
Jadi , dapat dikatakan bahwa , masyarakat adat masih menggunakan
sifat kontan didalam perjanjian jual beli hukum adat , meskipun tidak menutup
kemungkinan juga , ada yang memakai perjanjian jual beli hukum B.W .
Nah itu dia perbedaannya dan implementasinya yang saya dan teman-teman saya
dapatkan ketika melakukan penelitian kecil-kecilan . Oh ya kalau kumi didalam perjanjian
jual beli sering memakai yang mana ? kalau saya sih sifat kontan , ada uang , ada barang
bukan ada uang , abang sayang , gak ada uang abang tending bukan kaya gini ya , hehe .

*Foto penelitian empiris

[1] Drs. Sukarmi , Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam baying-bayang pelaku usaha ,( Bandung : Pustaka sutra , 2007 )
[2] Prof . Subhekti , S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata ( Jakarta : Intermasa , 2003
[3] Prof . Iman Sudiyat , S.H , Asas Asa Hukum Adat Bekal Penghantar , ( Yogyakarta : Liberty , 2010 )
JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT

Bahwa, ketentuan pasal 1458 KUHPerdata sebagai berikut :


Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, sgra stelah orang-orang
itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut bsrta harganya, meskipun barang
itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar
Bahwa, jual beli yang dimaksud adalah jual beli dengan objek sebidang tanah ulayat,
Dimana yang dimaksud dengan hak atas tanah ulayat tersebut harus dapat dibuktikan,
sebagaimana menurut Keputusan No.5 Tahun 1999 Menteri Negara Pertanian/Kepala
Badan Pertanahan Nasional, Pasal 1 ayat (2), sebagai berikut :
tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu
Bahwa, adapun yurisprudensi mengenai jual beli menurut hokum adat adalah sebagai
berikut :
Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 27 Mei 1975 Nomor : 952/K/Sip/1974, yang
menyatakan sebagai berikut:
Jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata dan
Hukum Adat, jual beli menurut hukum adat secara riil, dan tunai serta diketahui
Kepala Desa

Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 30 Juni 1989Nomor : 3339/Pdt/Sip/1987, yang


menyatakan sebagai berikut:
sahnya jual beli menurut hukum adat haruslah dipenuhi dua syarat yaitui tunai dan
terang
Demikian pula, menurut Maria S.W. Sumardjono(2001:119) untuk sahnya suatu jual
beli atas sebidang tanah dan atau bangunan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a) RIIl (Konkret) : dalam hal perbuatan jual beli maka hak atas tanah yang menjadi
objek perjanjian harus nyata-nyata sudah ada sehingga pada saat itu juga sudah dapat
diserahkan kepemilikannya kepada pembeli;
b) TUNAI : dalam hal terjadi perbuatan jual beli maka penyerahan barang yang dijual
dan penyerahan uang pembelian harus dilakukan pada saat yang sama, sehingga
prestasi dan kontra prestasi antara penjual dan pembeli dilakukan secara bersamaan;
dengan demikian Akta Jual beli yang dibuat oleh NOTARIS pembayaran harganya
dilakukan secara penuh atau lunas.
c) TERANG : pelaksanaan jual beli itu harus dilaksakan dihadapan pejabat yang
berwenang (PPAT)

Menurut hukum adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang
dimaksudkan dalam pasal 1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang
berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-
lamanya,pada saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan
dilakukannya jual beli tersebut maka hak milik atas tanah itu beralih kepada pembeli.Menurut
hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah yang di bayar bisa dianggap telah di
bayar penuh.
Jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut contoh atau
tunai. Pembayaran harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut
kenyataannya belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar
perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera
setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan
hukumnya dengan jual beli hak atas tanah.berarti bahwa jika kemudian pembeli tidak
membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual
beli.Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian
utang piutang.
Dalam Hukum Adat jual beli tanah bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang
disebut perjanjian obligatoir. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui bersama di
bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jual beli tanah itu dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai
kepala adat(Desa) menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang
berlaku.Dengan dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi terang bukan
perbuatan hukum yang gelap. Pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang
bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika
dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tersebut
tidak sah.
Di keputusan lain mahkamah agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala
adat pembuatan perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : suatu putusan rapat
Desa(rapat selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya UUPA
dinyatakan tetap berlaku.(Putusan Mahkamah Agung nomor 187/K/Sip/1975,tanggal 17
maret 1976).
Umumnya dari jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak
yang menjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut hukum
adat :di jual lepas)
Menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut
panjer.Panjer dapat berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada
pemilik tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum
Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.Jika pihak-pihak yang
bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu
adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang besangkutan tunduk pada Hukum Barat maka yang
berlaku adalah Hukum perjanjian yang terdapat dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu
bukan perjanjian jual beli yang dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon
pembeli tunduk pada hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan
menunjukkan hukum manakah yang berlaku.

Perjanjian Jual Beli menurut KUHPerdata


Konstruksi Hukum Perjanjian Jual-Beli

1. Pengertian Perjanjian Jual Beli


Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupamata uang sebagai alat
pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakansuatu perjanjian yang paling lazim
diadakan diantara para anggotamasyarakat.Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian
hak-hak dankewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu sipenjual
dan si pembeli.Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540
KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457KUHPerdata adalah;
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, danpihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimanapihak penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar
sejumlah uang sebagai imbalan.Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual,
akan berpindahtangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis
sesuaidengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dianggaptelah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang inimencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipunkebendaan itu belum diserahkan, maupun
harganya belum dibayar (Pasal1458 KUHPerdata).Barang dan harga inilah yang menjadi
unsur pokok dariperjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, jika pihak
pembelitidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasiyang
memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugiatau pembatalan
perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan1267 KUHPerdata.Harga tersebut
harus berupa sejumlah uang. Jikadalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal
tersebut (barang danuang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar,
ataukalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjiankerja, dan
begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termaktubpengertian bahwa disatu
pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.Tentang macamnya uang, dapat diterangkan
bahwa, meskipun jual beli ituterjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu
ditetapkan dalam matauang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk
menetapkannyadalam mata uang apa saja.

Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hokumBelanda, perjanjian jual beli
hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifatmengikat para pihak.Jual beli yang bersifat
obligator dalam Pasal 1459 KUHPerdatamenerangkan bahwa hak milik atas barang yang
dijual belum akanberpindah tangan kepada pembeli selama belum diadakan
penyerahanyuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata.Dari sifat obligator tersebut
dalam perjanjian jual beli, dapatdijabarkan menjadi beberapa hal yang pada intinya juga
termasuk dalamsifat obligatortersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja
yangmenjadi obyeknya), harga yang telah disepakati kedua belah pihak dalamperjanjian jual
beli, dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.

2. Timbulnya Perjanjian Jual Beli


Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejaktercapainya kata sepakat
mengenai jual beli atas barang dan harga walaupunbelum dilakukan penyerahan barang
ataupun pembayaran maka sejak saatitulah sudah lahir suatu perjanjian jual beli. Asas
konsensualitas itu sendirimenurut pasal 1458 KUHPer mengatur sebagai berikut :
Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata
sepakat tentang barang
dan harga meskipun barang belum diserahkan dan hargabelum dibayar.
Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa latin consensus yangartinya kesepakatan.
Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwadari para pihak yang bersangkutan telah
tercapai suatu persesuaiankehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh para pihak telah
tercapai suatukesamaan, kemudian dari persesuaian kehendak tersebut tercapai katasepakat.
Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal pertama inginmelepaskan hak milik atas suatu
barang sertelah mendapatkan sejumlahuang sebagai imbalannya.Begitu pula dipihak kedua
sebagai pihak pembeliyang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus
bersediamemberikan sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagaipemegang hak
milik sebelumnya.Jual beli yang bersifat obligator dalam KUHPerdata (Pasal 1359)bahwa
hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tanganpembeli selama belum
diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612yang menyebutkan bahwa penyerahan atas
benda bergerak dilakukan denganpenyerahan nyata, Pasal 613 bahwa penyerahan piutang atas
nama,dilakukan dengan membuat

sebuah akta otentik atau dibawah tangan.Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut
KUHPerdatamaksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajibanbertimbal
balik pada para pihak. Yaitu saat meletakkan kepada penjualkewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijual,selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk menuntut
pembayaran atasharga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak
pembeliberkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untukmendapatkan
penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari
pihak penjual kepada pembeli setelahdiadakan penyerahan.

SUBYEK HUKUM DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian timbuldisebabkan oleh


karena adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih.Pendukung Perjanjian sekurang-
kurangnya harus ada 2 (dua) orang tertentu.Masing-masing orang tersebut menduduki tempat
yang berbeda.Satu orang menjadi pihak kreditur, dan seorang lagi sebagai pihak
debitur.Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subyek perjanjian.Krediturmempunyai hak
atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaanprestasi. Maka sesuai dengan teori dan
praktek hukum, kreditur terdiridari:
1. Individu sebagai Persoon yang bersangkutan.
a. Manusia tertentu.
b. Badan Hukum.
Jika Badan hukum yang menjadi subyek, perjanjian yang diikat bernama perjanjian atas
nama atauveerbintenls op naam, dan kreditur yang bertindak sebagaipenuntut disebut
tuntutan atas nama.
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atauhak orang lain tertentu:
misalnya seorang bezitter atas kapal.Bezitter ini dapat bertindak sebagai kreditur dalam
suatuperjanjian. Kedudukannya sebagai subyek kreditur bukan atasnama pemilik kapal
inpersoon. Tapi atas nama persoon tadisebagai bezitter. Contoh lain,seorang menyewa rumah
A.Penyewa bertindak atas keadaan dan kedudukannya sebagaipenyewa rumah A, bukan atas
nama A inpersoon, tapi atas namaA sebagai pemilik sesuai dengan keadaannya sebagai
penyewa.Lebih nyata dapat dilihat pada Pasal 1576 KUHPerdata.
3. Persoon yang dapat diganti.
Mengenai persoon kreditur yang dapat diganti atauvervangbaar, berarti kreditur
yang menjadi subyek semula, telahditetapkan dalam perjanjian (sewaktu-waktu dapat
digantikankedudukannya dengan kreditur baru).Perjanjian yang dapatdiganti ini, dapat
dijumpai dalam bentuk perjanjian aan orderatau perjanjian atas perintah. Demikianjuga
dalam perjanjianaan toonder, perjanjian atas nama atau kepada pemegangatau
pembawa pada surat-surat tagihan hutang.Sedangkan menurut KUHPerdata, pihak-pihak
dalam perjanjiandiatur secara sporadis di dalam Pasal 1340, Pasal 1315, Pasal 1317,Pasal
1318, antara lain:
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya.
3. Pihak ketiga.
Sedangkan menurut Wiryono Prodjodikoro, dalam setiap perjanjianada dua macam
subyek. Yang pertama dapat berupa individu, yaitu: penjual dan pembeli, dan yang kedua
adalah seorang dapat berupa suatu badanhukum. Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu
perjanjian jual beli,masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.Jika subyek-subyek
tersebut (Usaha Dagang dan pembeli)mengandung larangan-larangan yang diatur dalam Pasal
1468, 1469, dan1470 KUHPerdata, maka mereka tidak dapat melaksanakan perjanjian
jualbeli. UD (Usaha Dagang) yang berperan sebagai penjual dalam melayanipembeli dapat
bertindak langsung tanpa keterikatan dengan perusahaansebagai pihak yang memproduksi
barang. Namun ada pula penjual yangberkedudukan sebagai penyalur resmi yang bertindak
dan bergerak atasnama perusahaan atau agen resmi, seperti dalam perjanjian jual beli
tersebutdisini. Agen itu sendiri diartikan sebagai pihak yang menjalankan tugassebagai
penyalur untuk melayani konsumen dalam memenuhikebutuhannya. Melihat dalam
menjalankan tugasnya, keberadaan penjual tersebutmemiliki persamaan dalam melayani
pembeli untuk mendapatkan apa yangdiinginkan, tetapi yang menyangkut masalah klaim dari
pembeli terhadapbarang yang megalami kesalahan produksi pabrik tentu tidak sama.Jika
subyek perjanjian jual beli adalah anasir , yang bertindak, yangaktif, maka obyek dalam suatu
perjanjian dapat diartikan sebagai hal yangdiperlakukan oleh subyek, berupa suatu hal yang
penting dalam tujuan untukmembentuk suatu perjanjian, yaitu berupa barang. Oleh karena
itu, obyek,dalam perhubungan hukum perihal
perjanjian ialah: hal yang diwajibkankepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana
pihak-berhak(kreditur) mempunyai hak.Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa hanya
benda yangberada dalam perdagangan saja yang dapat menjadi obyek suatu perjanjianjual
beli.Dengan demikian obyek dari perjanjian jual beli tidak hanya bendayang berupa hak milik
saja, tetapi benda yang menjadi kekuasaannya dandapat diperdagangkan, asalkan pada waktu
penyerahan dapat ditentukanjenis dan jumlahnya.

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI

Hak Dan Kewajiban Para Pihak


A. Hak dan Kewajiban Pihak Penjual
Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuanumum mengenai perikatan untuk
menyerahkan sesuatu (Pasal 1235KUHPerdata), dan ketentuan yang diatur secara khusus
dalamketentuan jual-beli (Pasal 1474), penjual memiliki 3 (tiga) kewajibanpokok mulai dari
sejak jual-beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458KUHPerdata. Menurut ketentuan
tersebut, secara prinsip penjualmemiliki kewajiban untuk:
a. Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkankepada
pembeli hingga saat penyerahannya.
b. Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telahditentukan,
atau jika tidak telah ditentukan saatnya, ataspermintaan pembeli.
c. Menanggung kebendaan yang dijual tersebut.Dalam Pasal 1474
KUHPerdata menjelaskan bahwa, sebagaipihak penjual memiliki dua kewajiban penting
dalam pelaksanaanperjanjian. Kewajiban tersebut adalah :menyerahkan suatu barang
danmenanggungnya.
Mengenai penyerahan atau levering dalam KUHPerdata,menganut sistem causal yaitu suatu
sistem yang menggantungkansahnya levering itu pada dua syarat :
1. Penyerahan atau levering telah dilaksanakan oleh yangberhak berbuat bebas
(beschikking sbevoegd) terhadaporang yang dilevering.
2. Sahnya titel dalam perjanjian jual beli yang menjadi dasarlevering
(penyerahan).Dari syarat tersebut diatas, khususnya sahnya titel yang menjadidasar levering,
dimaksudkan perjanjian obligator yang menjadi dasarleveringtersebut. Adapun orang yang
berhak berbuat bebas adalahpemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan
olehnya.Mengenai penanggungan terhadap suatu barang dan atau barangyang kondisinya
rusak (cacat produk) lebih lanjut diatur dalam Pasal1504 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa:
Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacattersembunyi pada barang yang
dijual, yang membuatbarang itu tidak sanggup untuk pemakaian yangdinaksudkan, atau
yang demikian mengurangi pemakaianitusehingga, seandainya si pembeli mengetahui
cacatcacatitu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya,atau tidak akan membelinya
selain dengan harga yangkurang .

Maksud dari Pasal tersebut bahwa cacat yang membuat barangtersebut tidak dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksud dan cacattersebut tidak diketahui oleh pembeli secara normal
atau wajar padasaat ditutupnya perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual
beli.Mengapadikatakan sebagai cacat tersembunyi, karena cacat tersebut tidakmudah
kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti.Tetapiapabila cacat yang dimaksud sudah
terlihat sebelumnya, maka barangtersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi,
melainkandikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan.Menurut Yahya Harahap,
cacat tersembunyi ialah cacat yangmengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan
tujuanpemakaian yang semestinya.

Pengertian cacat tersembunyi dapat dibedakan menjadi 2 (dua)pengertian, yaitu:


a. Cacat tersembunyi positif.
Maksudnya adalah apabila cacat barang itu tidakdiberitahukan oleh penjual kepada pembeli
atau pembelisendiri tidak melihat atau mengetahui bahwa barangtersebut cacat, maka
terhadap cacat tersebut penjualberkewajiban untuk menanggungnya.Tentang
cacattersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504sampai dengan Pasal 1510
KUHPerdata.Dalam hal ini menurut Pasal 1504 KUHPerdata biladikaitkan dengan Pasal
1506 KUHPerdata, dapat dikatakanbahwa penjual harus bertanggung jawab apabila barang20
M. Yahya Harahap, Segi Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.198.tersebut
mengandung cacat tersembunyi, lepas dari penjualmengetahui adanya cacat atau tidak
melihat, kecuali jikadalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjiakanbahwa ia tidak
diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

b. Cacat tersembunyi negatif.


Apabila cacat terhadap suatu barang sebelumnyasudah diberitahukan oleh penjual kepada
pembeli, dandalam masalah ini pembeli benar-benar sudah melihatadanya cacat terhadap
barang tersebut, maka pembelisendiri yang akan menanggungnya.Dalam hal ada tidaknya
cacat tersembunyi yang diderita olehsuatu barang sangat perlu diadakan suatu pembuktian.
Untuk itu perludilihat mengenai apa, bagaimana, serta siapa yang dibebani tugaspembuktian.
Pertama-tama diperingatkan, bahwa dalam pemeriksaandi depan hakim hanyalah hal-hal
yang dibantah saja oleh pihak lawanyang harus dibuktikan. Hal-hal yang diakui
kebenarannya, sehinggaantara keduapihak yang berperkara tidak ada perselisihan, tidak
usahdibuktikan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak tepat bila Undang-Undang menganggap
pengakuan juga sebagai suatu alatpembuktian. Sebab hal-hal yang diakui kebenarannya,
oleh hakimharus dianggap terang dan nyata, dengan membebaskan penggugatuntuk
mengadakan suatu pembuktian.Juga hal-hal yang dapatdikatakan sudah diketahui oleh setiap
orang atau hal-hal yang secarakebetulan sudah diketahui sendiri oleh hakim, tidak perlu
dibuktikan.Sebagai pedoman, diberikan oleh Pasal 1865 KitabUndangUndang Hukum
Perdata, bahwa;
Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas namaia mendasarkan suatu hak,
diwajibkan membuktikanperistiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapamengajukan
peristiwa-peristiwa guna pembantahan hakorang lain, diwajibkan pula membuktikan
peristiwa itu.

Untuk itu siapa yang mengajukan suatu hak yang menunjuk padasuatu peristiwa, harus
memberikan pembuktian; sebaliknya barangsiapa yang membantah suatu hak, dia juga harus
membuktikansehingga tidak hanya menyatakan pihak lawan yang salah, tetapi jikadia benar
juga harus membuktikan kebenarannya.Dalam suatu perjanjian jual beli apabila pihak
pembeli menuntutberdasarkan cacat tersembunyi, maka pihak pembeli harus
dapatmembuktikan tentang adanya cacat tersebut kepada penjual, denganalasan karena hak
pihak pembeli adalah untuk mendapatkan barangtanpa cacat.Memang dalam kenyataannya,
pihak pembelilah yangdiberi beban untuk membuktikan. Mengenai apa saja yang
harusdibuktikan apabila barang tersebut ternyata mengandung cacattersembunyi, sekali lagi
bila mengacu pada Pasal 1504 KUHPerdata,hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cacat
yang dimaksud sudah adasebelum ditutupnya perjanjian, dan kedua belah pihak
tidakmengetahui adanya cacat yang terkandung pada barang tersebut.Apabila barang tersebut
tidak dapat digunakan sesuai dengantujuannya atau mengurangi pemakaiannya, maka sudah
sepatutnyapembeli memberikan tuntutan kepada pihak penjual untukmenanggung atas
keadaan barang yang dijualnya. Walaupun pihakpenjual tidak bersalah, namun ia tetap
diwajibkan untuk menanggungkerugian yang diderita oleh pihak pembeli.Kewajiban penjual
adalah untuk memelihara dan merawatkebendaan dan merupakan kewajiban yang dibebankan
berdasarkanketentuan umum mengenai perikatan untukmenyerahkan ataumemberikan
sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1235KUHPerdata;
Dalam tiap-tiap perikatan umtuk memberikan sesuatuadalah termaktub kewajiban untuk
menyerahkankebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnyasebagai seorang kepala
rumah tangga yang baik, sampai
sat penyerahan.Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebihluas terhadap
persetujuan-persetujuan tertentu, yangakibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk
dalambab-bab yang bersangkutan.

B. Hak dan kewajiban Pihak Pembeli.


Kewajiban utama pihak pembeli menurut Pasal 1513KUHPerdata adalah membayar harga
pembelian pada waktu danditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.Jika pada
waktumembuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harusmembayar ditempat
dan pada waktu dimana penyerahan harusdilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Menurut
Pasal 1515KUHPerdata, meskipun pembeli tidak ada suatu janji yang tegas,diwajibkan
membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yangdijual dan diserahkan memberi hasil
atau lain pendapatan.Sedangkan yang menjadi hak pembeli adalah menuntutpenyerahan
barang yang telah dibelinya dari si penjual. Penyerahantersebut, oleh penjual kepada pembeli
menerut ketentuan Pasal 1459KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari
kebendaan yangdijual tersebut.

POTENSI SENGKETA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI


Resiko dalam perjanjian jual beli

Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa)
diluar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu
merupakan buntut dari persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja
dan tak dapat diduga. Mengenai resiko dalam jual beli dalam BW disebutkan ada tiga
peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu :

1. Mengenai barang tertentu (pasal 1460)


2. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461)
3. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462)
Namun perlu diingat bahwa selama belum dilever mengenai barang dari macam apa saja,
resikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat
barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.

Jual beli dengan hak membeli kembali


Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual (recht van wederinkoop, right to
repurchase) diterbitkan dari suatu perjanjian dimana si penjual diberikan hak untuk
mengambil kembali barangnya yang telah dijual, dengan mengembalikan harga pembelian
yang telah diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan (oleh si pembeli) untuk
menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk
pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual
bertambah harganya. (pasal 1519 dan 1532)

Jual beli piutang dan lain-lain hak takbertubuh


Dalam pasal 1533 disebutkan bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang
melekat padanya, seperti penangungan-penanggungan, hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik.
Kemudian dalam pasal 1534 disebutkan barangsiapa yang menjual suatu piutang atau suatu
hak takbertubuh lainnya, harus menanggung bahwa hak itu benar ada pada waktu
diserahkannya, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan.

Hak reklame (menuntut kembali)


Dalam hal jual beli diadakan tanpa suatu janji bahwa harga barang boleh diangsur atau dicicil
dan pembeli tidak membayar harga itu, maka selama barangnya masih berada ditangannya si
pembeli, penjual dapat menuntut kembali barangnya asal penuntutan kembali itu dalam
jangka waktu 30 hari. Dasar hukum pengaturan menganai hak reklame adalah terdapat dalam
pasal 1145 BW. Selain itu juga dapat dijumpai dalam pasal 230 KUHD, akan tetapi dalam
KUHD tersebut hanya berlaku dalam halnya si pembeli telah dinyatakan pailit. Syarat-syarat
untuk melancarkan reklame dalam KUHD adalah lebih longgar dibandingkan dengan syarat-
syarat yang ditetapkan dalam pasal 1145 BW, yaitu :

Jual beli tidak usah jual beli tunai (kontan), jadi jual beli kreditpun boleh.
Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari, jadi lebih lama dari jangka
waktu yang diperkenankan oleh pasal 1145 BW
Tuntutan reklame masih boleh dilancarkan meskipun barangnya sudah berada ditangan orang
lain.

Jual beli barang orang lain


Pasal 1471 BW menggariskan jual beli barang orang lain adalah batal dan dapat
memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah
mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain
Pasal 1234 KUHPerdata, menentukan setiap perjanjian adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.Perjanjian yang harus dilakukan itu disebut
prestasi.Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dalamsetiap
perjanjian.Pemenuhan perjanjian adalah hakekat dari suatu perjanjian.Agar suatu perjanjian
dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatprestasi tersebut, adalah:
1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan.
2. Harus mungkin.
3. Harus diperbolehkan (halal).
4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur.
5. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika salah satu perbuatan atau semua sifat tidak dipenuhi pada prestasiitu, maka perbuatan itu
menjadi tidak berarti, dan perjanjian itu dapat batalatau dibatalkan. Tidak dipenuhinya
kewajiban atau prestasi, ada duakemungkinan:
a. Karena kesalahan debitur, baik secara sengaja atau karena lalai(wanprestasi).
b. Karena keadaan memaksa (overmacht).

Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaankewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya.
Apabila si berutang (debitur) disebutkan dan berada dalam keadaanwanprestasi, jika ia dalam
melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telahlalai sehingga terlambat dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalammelaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya atau
selayaknya .Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. Tidak melakukan apa yang disangggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimanadijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak bolehdilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagidebitur yang lalai ada empat macam, yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang sangatpenting, maka


harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukanwanprestasi atau lalai. Kadang
tidak mudah untuk mengatakan bahwa seoranglalai atau alpa, karena seringkali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapansuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Dalam jual belibarang, misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus dikirim tempat
sipembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barangtersebut.Paling
mudah untuk menetapkan seorang itu melakukan wanprestasiialah dalam perjanjian yang
bertujuan untuk tidak melakukan suatuperbuatan. Apabila orang itu melakukannya, artinya ia
melanggar perjanjian.Ia melakukan wanprestasi. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan
suatubarang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidakditetapkan
batas waktunya tetapi si berhutang akan dianggap lalai denganlewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahuluditagih. Kepada debitur itu harus
diperingatkan bahwa kreditur menghendakipelaksanaan perjanjian.Jikalau prestasi dapat
seketika dilakukan, misalnyadalam jual beli suatu barang tertentu yang sudah di tangan si
penjual, makaprestasi tadi (dalam hal ini menyerahkan barang tersebut) tentunya juga
dapatdituntut seketika.Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka siberhutang
perlu diberikan waktu yang pantas.Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang
debitur, agar jikaia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk
olehPasal 1238 KUHPerdata. Pasal itu berbunyi sebagai berikut :

Si berhutang adalah lalai, bila ia denagn surat perintah dandengan sebuah akta sejenis itu
telah diakatakan lalai, atau demiperikatannya sendiri, menetapkan bahwa si berhutang
akanharus dianggap lalai dengan lewatnya waktuyang ditentukan.

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, seperti
yang diterangkan di atas, maka jika ia tetap tidakmelakukan prestasinya, ia berada dalam
keadaan lalai atau alpa dan terhadapdia dapatdiperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana
disebutkan di atas yaituganti rugi atau pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
Sebagaikesimpulan bila terjadi ingkar janji (wanprestasi) hak-hak dari kreditur adalahsebagai
berikut:
1. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen).
2. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik, menuntut pembatalan perikatan(ontbinding).
3. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding).
4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.
5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan denganganti rugi.
Menurut Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, anasiranasirdari ganti rugi
ialah biaya, rugi dan bunga. Apabila Undang-Undangmenyebutkan rugi maka yang dimaksud
adalah sebagai berikut kerugian nyatayang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan
itu diadakan, yangtimbul sebagai akibat ingkar janji (wanprestasi). Jumlahnya ditentukan
dengansuatu perbandingan di antara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janjidan
keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji..Dalam soalpenuntutan ganti rugi,
oleh Undang-Undang diberikan ketentuan-ketentuantentang apapun yang dapat dimasukkan
dalam ganti rugi tersebut. Bolehdikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan
dari apa yang bolehdituntut sebagai ganti rugi.Dengan demikian seorang debitur yang lalai
ataualpa, masih juga dilindungi oleh Undang-Undang terhadap kesewenangwenangansi
kreditur. Seperti juga ia sudah pernah dilindungi olehKUHPerdata (Pasal 1338 ayat 3) dalam
soal pelaksanaan perjanjian. Sekarangia dilindungi pula dalam soal ganti rugi dengan adanya
pembatasan ganti rugiitu.

Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti rugi jika kerugian itu mempunyai hubungan
langsung dengan wanprestasi, dengan perkataan lainantara ingkar janji dan kerugian harus
ada hubungan sebab akibat (kausal).Hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 KUHPerdata :
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkankarena tipu daya debitur,
penggantian biaya, rugi dan bungasekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur
dankeuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apayang merupakan akibat
langsung dari tidak dipenuhinyaperikatan.

Dari Pasal 1248 KUHPerdata ini muncul 2 (dua) pertanyaan, yaitu:


a. Apabila kerugian itu merupakan suatu akibat dari ingkar janji.
b. Apabila kerugian itu merupakan akibat langsung dari ingkar janji.
Undang-Undang tidak memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuranyang dipergunakan
untuk menentukan adanya hubungan sebab akibat.Dalam hal ini ajaran yang lazimnya dianut
ialah teori adequate dari VonKries.Ajaran inimengemukakan bahwa ukuran untuk
menentukan sebab didalam pengertian hukum adalah apabila suatu peristiwaitu secara
langsungmenurut pengalaman manusia yang normal dapat diharapkan menimbulkanakibat
tertentu.Undang-Undang juga tidak memberikan penjelasan tentang apa yangdisebutkan
akibat langsung dari ingkar janji. Pertanyaan ini juga dipecahkandengan ajaran adequate yang
dirumuskan sebagai berikut.Suatu peristiwaadalah merupakan akibat langsung dari suatu
peristiwa lainnya apabilamenurut pengalaman manusia yang normal dari peristiwa tadi
dapatdiharapkan timbul akibat tertentu.

Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang,oleh karena menurut
ahli-ahli Hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uangmerupakan alat yang paling praktis,
yang paling sedikit menimbulkan selisihdalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang,
masih ada bentuk-bentuklain yang diperlukan sebagai bentuk-bentuk lain yang diperlukan
sebagaibentuk ganti rugi, yaitu pemulihan ke keadaan semula dan larangan
untukmengulangi.Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uangpaksa.Jadi,
haruslah diingat bahwauang paksa bukan merupakan bentuk atauwujud ganti rugi.Untuk
menentukan besarnya jumlah ganti rugi, Undang-Undangmemberikan beberapa pedoman,
yaitu besarnya jumlah ganti rugi ituditentukan sendiri oleh UndangUndang, misalnya Pasal
1250 KUHPerdataantara lain mengatakan bahwa:
Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungandengan pembayaran sejumlah
uang, penggantian biaya, rugidan bunga sekedar disebabkan karena
terlambatnyapelaksanaan oleh Undang-Undang, dengan tidak mengurangiperaturan
Undang-Undang khusus .

Undang-Undang yang ditunjuk Pasal 1250 KUHPerdata ini adalahUndang-Undang yang


dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1948 Nomor 22yang menetapkan besarnya jumlah
bunga 6 % setahun. Oleh karena bungaadalah merupakan apa yang harus dibayar si berhutang
karena kelalainnya,maka bunga itu dinamakan bunga moratoir (bunga karena
kelalaian).Mengenai pihak-pihak sendiri yang menentukan besarnya jumlah gantirugi juga
dapat dilihat pada Pasal 1249 KUHPerdata, yang berbunyi sebagaiberikut:
Jika dalam suatu perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya sebagai ganti
rugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak
boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurangdaripada jumlah itu.

Jika tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang dan para pihak sendirijuga tidak menentukan
apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukanberdasarkan kerugian yang benar-
benar telah terjadi, atau dapat didugasedemikian rupa sehingga keadaan, kekayaan dari si
berpiutang harus samaseperti seandainya si berhutang memenuhi kewajibannya.

Anda mungkin juga menyukai