Anda di halaman 1dari 3

Sattabacin, 4-hydroxysattabacin, dan sattazolin adalah produk alami yang telah diisolasi

dari suatu spesies Basillus yang diidentifikasi sebagai Bacillus sp. B-60. Secara biologis,
komponen-komponen tersebut diketahui aktif melawan infeksi HSV1 dan HSV2. HSV3, yang
lebih dikenal sebagai VZV (virus varicella zoster), merupakan suatu virus yang diklasifikasikan
berdasarkan DNA sebagai sebuah alphaherpesvirus dalam family herpesviridae. Walaupun
secara genetic VZV mirip dengan alphaherpesvirus lainnya, seperti HSV1 dan HSV2, HSV1 dan
HSV2 tampaknya lebih erat kaitannya satu sama lain daripada dengan VZV. Sebagai tambahan,
VZV memiliki genome terkecil dari human herpes virus (129 kbp) dan mengkode sebanyak enam
gen yang tidak homolog dengan HSV1 dan HSV2.
Infeksi inisial pada anak-anak dengan VZV akan menyebabkan cacar air (varicella) dan
secara khas menyebabkan demam dan ruam. Setelah terjadi infeksi primer, VZV, yang mirip
dengan HSV1 dan HSV2 dapat menetap pada ganglia saraf. Reaktivasi virus ini bisa disebabkan
oleh karena penurunan imunitas yang dimediasi sel pada lansia atau orang dewasa dengan
immunocompromised, yang mengarah pada neuritis (zoster), yang bisa menyebabkan penyakit
yang lebih berat termasuk inflamasi paru dan penyakit neurologis.

Vaksin hidup yang dilemahkan saat ini telah tersedia untuk melawan VZV dan secara
signifikan dapat menurunkan jumlah total infeksi varisela pada anak-anak dan orang dewasa.
Meskipun begitu, rantai virus yang digunakan pada vaksin zoster telah diketahui berkaitan
dengan efek yang merugikan seperti reaktifasi virus dan infeksi varisela. Menurut Biro Sensus,
pada tahun 2050 sebanyak lebih dari 21 juta orang di Amerika yang akan berusia 85 tahun atau
lebih (pada tahun tersebut), dan populasi besar tersebut akan rentan mengalami shingles (ruam)
dan komplikasi lainnya meskipun saat ini sudah ada vaksin zoster. Kekurangan pada vaksin
zoster dan peningkatan populasi lansia telah menyebabkan meningkatnya minat para peneliti
dalam mengeksplorasi klasifikasi baru pengobatan dari infeksi VZV.

Analog nukleosida seperti acyclovir, masih menjadi terapi standar dalam mengobati
infeksi VZV, namun HSV resisten nukleosida dan infeksi VZV telah menjadi lebih sering
terutama pada individu dengan status immunocompromised. Ketika terfosforilasi oleh proses
pengkodean virus yang dibantu oleh enzim thymidine kinase, acyclovir dan analog nukleosida
lainnya seketika menghambat sintesis DNA virus melalui proses penghambatan eznim DNA
polymerase virus. Jadi, sangat dibutuhkan untuk mengembangkan dan menguji senyawa-
senyawa baru agar dapat menekan efek infeksi VZV serta sebagai efisiensi antivirus. Karena
aktivitas antivirus yang didemonstrasikan pada studi sebelumnya mengenai (+)-sattabcin dan
komponen-komponen yang berkaitan mampu melawan HSV1 dan 2, kami (penulis) bertanya-
tanya apakah sattabacin juga akan menunjukkan aktivitas antivirus yang serupa terhadap infeksi
VZV pada sel fibroblast manusia (sel MRC-5).

Sintesis sattabcin secara langsung dimulai dengan l-fenilalanin (lihat skema 1).
Diazotisasi dengan retensi konfigurasi diberikan asam fenilaktat 5, mengikuti prosedur pada
literatur sebelumnya yang terpercaya. Konversi asam hidroksi alfa kristalin menjadi amida 6
weinreb dilakukan melalui perlakuan pada N, dimetilhidroksilami, N metilmorfolin (NMM), dan
disikloheksilurea (DCC ). Sedangkan penambahan isobutil magnesium bromida sampai menjadi
3, baik THF maupun et2o keduanya sama sama rendah, perlakuan 3 dengan 2,5 ekivalen lithium
isobutil pada suhu kriogenik yang diberikan (+)- sattabacin (1) menghasilkan kualitas yang
bagus. Data spektral untuk sintetis 1 (1h dan 13c NMR) identik dengan yang dilaporkan
sebelumnya, dan rotasi optik sesuai dengan yang dilaporkan sebelumnya dalam literatur. Besaran
dan tanda yang cocok dari rotasi optik yang diukur memungkinkan dilakukannya penempatan
yang tidak ambigu dari hidroksil pembawa stereocenter (+)- sattabacin sebagai konfigurasi (S).
Sitotoksin sattabacin ditentukan melalui uji MTT. Sel fibroblas manusia dilapisi dan
dipapari sattabcin selama 24 jam. Sattabacin menunjukkan sitotoksin pada konsentrasi yang lebih
besar dari 1000 uM setelah 24 jam. Konsentrasi majemuk yang mengurangi viabilitas sel hingga
50% dan 90% masing-masing adalah 765 uM dan 3875 um. Kadar sitotoksin mirip dengan yang
sebelumnya di laporkan mengenai sattabacin pada sel Vero.
Sintesis dari (+)-sattabacin juga memungkinkan akses ke sejumlah produk alami yang
memadai untuk melakukan penelitian antivirus. Aktivitas antivirus dari sattabacin melawan
infesi VZV dihitung dengan uji reduksi plak virus. Sel fibroblas manusia dilapisi, di infeksi
dengan VZV (strain ellen) dan diinkubasi dengan konsentrasi sattabcin yang berbeda dalam
lapisan agarosa. Konsentrasi senyawa yang mengurangi replikasi virus sebesar 50% dan 90%
adalah 58uM dan 109 UM, masing-masing memberikan koefisien antiviral 13,2 dan 35,6.
Untuk menentukan kemungkinan mekanisme seluler sattabacin yang menghambat
replikasi VZV pada sel fibroblas manusia, ekspresi gen pada sel MRC-5 dihitung melalui analisis
microarray DNA pada 24 jam setelah terpapar 100 uM sattabacin . Gen yang diidentifikasi baik
meningkatkan transkripsi atau menghambat terhadap adanya sattabacin.. secara umum gen yang
transkripsi diatur dalam sel fibroblas manusia dengan adanya sattabcin dikaitkan dengan sinyal
saluran ion yang bergantung pada voltase, perubahan sitoskeletal dan regulasi transkripsi.
Dengan kata lain, gen yang dihambat oleh sattabcin dikaitkan dengan sintesis protein,
pensinyalan intaselular, dan asetilasi histon.
Kesimpulannya, total sintesis dari (+)-sattabacin itu rumit dan pada studi ini aktivitas
antivirus dari sattabacin yang melawan infeksi VZV pada sel fibroblast manusia untuk pertama
kalinya telah diukur. Konsentrasi media penghambat (ic50) dari acyclovir dan epncyclovir (dua
penghambat selektif dari infeksi VZV), telah terbukti masing-masing 3 dan 4 ug/ml. kadar ic50
dari sattabacin dilaporkan disini melawan infeksi VZV adalah 50 uM, atau 12 ug/ml, yang
menunjukkan bahwa sattabcin ini sama efektifnya seperti komponen antivirus lain dalam model
infeksi virus invitro. Penelitian lebih lanjut penting untuk menentukan apakan sattabacin efektif
untuk mencegah infeksi VZV pada model in vivo. Penelitian lebih lanjut juga sebaiknya akan
menentukan bagaimana cara kerja sattabacin dalam menghambat infeksi VZV. Data microarray
menunjukkan dua mekanisme potensial dimana sattabacin menghambat replikasi virus.
Sattabacin mungkin menghambat produksi protein virus karena banyak gen yang berkaitan
dengan fungsi translasi dan ribosom dihambat dengan adanya sattabcin. Kalau tidak, sattabacin
mungkin menghambat penyambungan RNA selama infeksi VZV, karena salah satu gen utama
diturunkan oleh sattabacin, SNRPB, sebelumnya telah dilaporkan meningkat dalam ekspresi
selama infeksi HSV berlangsung di sel Vero. Pemahaman yang lebih menyeluruh tentang
mekanisme dimana sattabacin menghambat pertumbuhan dan perkembangan VZV harus
mengarah pada pengobatan yang efektif dan poten untuk infeksi yang disebabkan oleh virus ini.
Upaya kedepan akan diarahkan untuk menjelaskan mekanisme potensial baru dimana sattabacin
menghambat replikasi VZV.

Anda mungkin juga menyukai