Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUT RESPIRATORY DISEASE SYNDROME (ARDS)

1. Konsep Penyakit ARDS


1.1 Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membrane alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai
kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam p arenkim paru yang
mengandung protein.

Sindrom distress pernapasan dewasa (adult respiratory distress syndrome,


ARDS) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan
atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar
pada sistem paru, kardiovaskuler, atau tubuh secara luas. (Elizabeth J. Corwin,
2009, hal. 552).

ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif


kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius.
(Brunner & Suddarth, 2001, hal : 615). ARDS adalah bentuk khusus gagal
napas yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi
dengan penanganan konvensional. (Sylvia A. price. 2005. Hal: 835).

Dasar definisi yang dipakai consensus Komite Konferensi ARDS Amerika-


Eropa tahun 1994 terdiri dari :
1.1.1 Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut.
1.1.2 Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2 / FiO2 ) <200 mmHg-hipoksemia berat
1.1.3 Radiografi dada; infiltrate alveolar bilateral yang sesuai dengan edema
paru.
1.1.4 Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) <
18 mmHg, tanpa tanda klinis (rontgen, dan lain-lain) adanya hipertensi
atrial kiri/ (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).

Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdpatnya factor resiko terjadinya ALI dan tidak
adanya penyakit paru kronik yang bermakna.
1.2 Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun,
karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas
pada salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi
akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi

1
peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi
yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.

Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan


terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida
untuk berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang
menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan
surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk
mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan
permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat
menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.

Destruksi alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan,


maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga
kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara
lain adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang
timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab
kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas
oksigen.

Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga


semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler
telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya
edema dan pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan
alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran
hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang
bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya
terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi
semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.
(Elisabeth J. Cowin, 2001, hal. 420-421)
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah :
1.2.1 Syok karena berbagai sebab (terutama hemorragik,pancreatitis acut
hemorragik, sepsis gram negatif)
1.2.2 Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata
(DIC).
1.2.3 Pneumonia virus yang berat.
1.2.4 Trauma yang berat (cedera kepala, cedera dada langsung, trauma pada
berbagai organ dengan syok hemorragik, fraktur majemuk dimana
emboli lemak terjadi berkaitan dengan fraktur femur)

2
1.2.5 Cedera aspirasi/inhalasi (aspirasi isi lambung, hampir tenggelam,
inhalasi asap, inhalasi gas iritan).
1.2.6 Toksik O2 overdosis narkotika.
1.2.7 Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar.

1.3 Tanda Dan Gejala


ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti
dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan
perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis
meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui
ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.

Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai


gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya
menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau
rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat
alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,
namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan
pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan
anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di
balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.

PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun


konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi
unit paru yang tidak terjadi ventilasi.

Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di
sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak
adekuat.

Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan


dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung
dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary
arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS
serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru
(keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil

3
sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya
dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan
diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.

1.4 Patofisiologi
ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak
langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi
dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih : insiasi, amplifikasi,
dan injury.

Pada fase insiasi, kondisi yang menjadi factor resiko akan menyebabkan sel-sel
imun dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-medulator
inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor
seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam
rongga target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan
dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses
inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury.

Kerusakan pada membrane alveolar- kapiler menyebabkan peningkatan


permeabilitas membrane, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang
alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus,
dan terjadi kerusakan lebih jauh. Terdapat 3 fase kerusakan alveolus :
1.4.1 Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel
pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membrane basalis,
pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction,
terbentuknya membrane hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,
dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan
berkurangnya compliance paru
1.4.2 Fase poliferatif paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai
poliferasi sel epitel pneumosit tipe II
1.4.3 Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena
fibrosis.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi
oksigen arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapa pun
jumlah oksigen yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat
penimbunan fibrin, edema, dan rusaknya kapiler dan alveolus.

4
1.5.2 Sinar x dada: tak terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit
normal, infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihiliar
paru. Pada tahap lanjut, interstisial bilateral difus dan alveolar infiltrate
menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru. Infiltrate ini
sering digambarkan sebagai kaca-tanah atau whiteouts. Ukuran jantung
normal (berbeda dari edema paru kardiogenik).
1.5.3 GDA : seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan
PaO2 meskipun konsentrasi oksigen inspirasi meningkat). Hipokabnia
(penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal sehubungan
dengan kompensasi hiperventilasi. Hiperkabnia (PaCO2 lebih besar dari
50) menunjukkan kegagalan ventilasi. Alkalosis respiratori (pH lebih
besar dari 7,45) dapat terjadi pada tahap dini, tetapi asidosis respiratori
terjadi pada tahap lanjut sehubungan dengan peningkatan area mati dan
penurunan kadar laktat darah, diakibatkan dari metabolic anaerob.
1.5.4 Tes fungsi paru : komplain paru dan volume paru menurun, khususnya
FCR. Peningkatan ruang mati (Vd/Vt) dihasilkan oleh area dimana
vasokontriksi dan mikroemboli telah terjadi.
1.5.5 Pengukuran pirau (Qs/Qt): mengukur aliran darah pulmonal versus
aliran darah sistemik, yang memberikan ukuran klinis pirau
intrapulmonal. Pirau kanan ke kiri meningkat.
1.5.6 Gradien alveolar-arterial (gradien A-a): memberikan perbandingan
tegangan oksigen dalam alveoli dan darah arteri.Gradien A-a meningkat.
Kadar asam laktat: meningkat.

1.6 Komplikasi
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan
individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi penurunan compliance paru.
Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan
asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan karbon dioksida di dalam darah.
Melambatnya pernapasan dan penurunan PH arteri adalah indikasi akan
datangnya kegagalan pernapasan dan mungkin kematian.

Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di


paru dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal
dan tukak saluran cerna karena stress (stress ulcers). Dapat timbul koaguiasi
intravaskular diseminata akibat banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS.
(Elizabeth J. Cowin, 2001, hal. 422)

1.7 Pentalaksanaan

5
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS tidak
pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit lain yang
parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah :
1.7.1 Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup
agar penimbungan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan
obat-obat jantung digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal
jantung kanan.
1.7.2 Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
1.7.3 Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi
efek merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih
dipertanyakan.

1.8 Pathway

Sumber : Lelly Agustina, 2012

2. Rencana asuhan klien dengan gangguan ARDS


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Pokok utama pengkajian adalah distress pernafasan, hipoksemia berat,
dan difusi bilateral infiltrasi alveolar pada rontgen toraks. Tanda utama
distress pernafasan dan hipoksemia berat berubah pada tingkat
kesadaran, takikardi, dan takipnea. Frekuensi pernafasan sering kali
meningkat secara bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi. Dispnea
dengan sesak nafas dan berhubungan dengan retraksi interkostal adalah
umum dan mungkin ditemukan sianosis.

6
Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal dan nyata
dari hipoksemia. Berdasarkan pada pemeriksaan auskultasi dada
didapatkan bunyi nafas. Ronkhi sekunder terhadap sekresi jalan nafas
besar, tidak terjadi. Pemeriksaan auskultasi jantung biasanya bunyi
jantung normal tanpa gallop atau murmur, kecuali bila ada penyakit
jantung atau mengalami trauma.

2.1.2 Pemeriksaan fisik : data fokus


2.1.2.1 Keadaan umum
Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit
termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang
dapat meliputi penilaian secara kualitas seperti compos mentis,
apatis, samnolen, spoor, koma dan delirium, dan status giinya,
GCS (Glasow Coma Scale).
2.1.2.2 Pola aktivitas dan istirahat
Gejala : kekurangan energy/kelelahan, insomnia
2.1.2.3 Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya trauma pada paru dan syok, fenomena
embolik (darah, udara, lemak)
Tanda :
a. TD: dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut
menjadi hipoksia): hipotensi terjadi pada tahap lanjut
(syok) atau dapat factor pencetus seperti pada eklampsia.
b. Frekuensi jantung : takikardia biasanya ada.
c. Bunyi jantung : normal pada tahap dini: S2 (komponen
paru) dapat terjadi.
d. Disritmia dapat terjadi, tetapi EKG sering normal.
e. Kulit dan membrane mukosa: pucat, dingin. Sianosis
biasanya terjadi (tahap lanjut).
2.1.2.4 Integritas EGO
Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut.
Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan
mental.
2.1.2.5 Nutrisi dan cairan
Gejala : kehilangan selera makan, mual/muntah
Tanda : edema, perubahan berat badan, berkurangnya bunyi
usus.
2.1.2.6 Neurosensori
Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban, disfungsi
motor.
2.1.2.7 Pernapasan
Gejala :
a. Adanya aspirasi, inhalasi asap/gas, infeksi disfus paru.
b. Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara.

7
Tanda :
a. Pernapasan: cepat, mendengkur, dangkal.
b. Peningkatan kerja napas; penggunaan otot aksesori
pernapasan, contoh retraksi interkostal atau substernal,
pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
c. Bunyi napas : pada awal normal. Krekels, ronki, dan dapat
terjadi bunyi napas bronchial.
d. Perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi.
e. Ekspansi dada menurun atau tak sama.
f. Peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada
dengan palpatasi).
g. Sputum sedikit, berbusa.
h. Pucat atau sianosis.
i. Penurunan mental, bingung.
2.1.2.8 Keamanan
Gejala : riwayat trauma ortopedik/fraktur, sepsis, transfuse
darah, episode anafilaktik.
2.1.2.9 Seksualitas
Gejala/tanda : kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia.

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


2.1.3.1 Chest X-Ray
2.1.3.2 ABGs/Analisa gas darah
2.1.3.3 Pulmonary Function Test
2.1.3.4 Shunt Measurement (Qs/Qt)
2.1.3.5 Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)
2.1.3.6 Lactic Acid Leve

2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas (NANDA NIC-NOC, 2011 : 99)
2.2.1 Definisi : Inspirasi dan / atau ekspirasi yang tidak member ventilasi
adekuat
2.2.2 Batasan karakteristik
2.2.2.1 Bradipnea
2.2.2.2 Dispnea
2.2.2.3 Fase ekspirasi memanjang
2.2.2.4 Ortopnea
2.2.2.5 Penggunaan otot bantu pernapasan
2.2.2.6 Penggunaan posisi tiga titik
2.2.2.7 Peningkatan diameter anterior-posterior
2.2.2.8 Penurunan kapasitas vital
2.2.2.9 Penurunan tekanan ekspirasi
2.2.2.10 Penurunan tekanan inspirsi
2.2.2.11 Penurunan ventilasi semenit
2.2.2.12 Pernapasan bibir
2.2.2.13 Pernapasan cuping hidung
2.2.2.14 Perubahan ekskursi dada
2.2.2.15 Pola naps abnormal (mis., irama, frekuensi, kedalaman)

8
2.2.2.16 Takipnea
2.2.2 Faktor yang berhubungan
2.2.2.1 Ansietas
2.2.2.2 Cedera medulla spinalis
2.2.2.3 Deformitas dinding dada
2.2.2.4 Deformitas tulang
2.2.2.5 Disfungsi neuromuskular
2.2.2.6 Gangguan musculoskeletal
2.2.2.7 Gangguan neurologis (mis., elektroensofalogram [EEG]
positif, trauma kepala, gangguan kejang)
2.2.2.8 Hiperventilasi
2.2.2.9 Imaturitas neurologis
2.2.2.10 Keletihan
2.2.2.11 Keletihan otot pernapasan
2.2.2.12 Nyeri
2.2.2.13 Obesitas
2.2.2.14 Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
2.2.2.15 Sindrom hipoventilasi

Diagnosa 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral (NANDA NIC-


NOC, 2011 : 806)
2.2.1 Definisi : penurunan oksigen yang mengakibatkan keggalan pengiriman
nutrisi ke jaringan pada tingkat kapiler
2.2.2 Batasan karaktersitik
2.2.2.1 Perubahan status mental
2.2.2.2 Perubahan perilaku
2.2.2.3 Perubahan respons motoric
2.2.2.4 Perubahan reaksi pupil
2.2.2.5 Kesulitan menelan
2.2.2.6 Kelemahan atau paralisis ekstremitas
2.2.2.7 Paralisis
2.2.2.8 Ketidaknormalan dalam berbicara
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Perubahan afinitas hemoglobin terhadap oksigen
2.2.3.2 Penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah
2.2.3.3 Keracunan enzim
2.2.3.4 Gangguan pertukaran
2.2.3.5 Hipervolemia
2.2.3.6 Hipoventilasi
2.2.3.7 Hipovolemia
2.2.3.8 Gangguan transport oksigen melalui alveoli dan membran
kapiler
2.2.3.9 Gangguan aliran arteri atau vena
2.2.3.10 Ketidaksesuaian antara ventilasi dan aliran darah
2.3 Perencanaan

Tujuan Dan
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi (NIC) Rasional
(NOC)
1. Ketidakefek Setelah dilakukan 1. Manajemen jalan 1. Memfasilitasi
tifan pola asuhan keperawatan nafas kepatenan jalan
nafas selama x 24 jam nafas

9
diharapkan pasien 2. Pengisapan jalan 2. Mengeluarkan secret
tidak mengalami nafas jalan nafas dengan
nyeri dengan kriteria cara memasukkan
hasil :
kateter pengisap ke
1. Mempunyai
kecepatan dan dalam jalan nafas
irama pernafasan oral atau trakea
dalam batas pasien
normal 3. Pemantauan 3. Mengumpulkan dan
2. Mempunyai pernafasan menganalisis data
fungsi paru dalam pasien untuk
batas normal
memastikan
untuk pasien
3. Meminta bantuan kepatenan jalan
pernafasan saat nafas dan pertukaran
dibutuhkan gas yang adekuat
4. Meningkatkan pola
4. Bantuan ventilasi pernafasan spontan
yang optimal
sehingga
memaksimalkan
pertukaran oksigen
dan karbon dioksida
di dalam paru
5. Pemantauan tanda 5. Mengumpulkan dan
vital menganalisis data
kardiovaskular,
pernafasan, dan suhu
tubuh pasien untuk
menentukan dan
mencegah
komplikasi

2. Ketidakefek Setelah dilakukan 1. Berikan penjelasan 1. Keluarga lebih


tifan perfusi asuhan keperawatan kepada keluarga berpartisipasi dalam
jaringan selama x 24 jam klien tentang sebab- proses penyembuhan
serebral diharapkan pasien sebab peningkatan 2. Untuk mencegah
tidak mengalami TIK dan akibatnya perdarahan ulang
gangguan perfusi 2. Anjurkan kepada 3. Mengetahui setiap
jaringan serebral klien untuk bed rest perubahan yang
dengan kriteria total terjadi pada klien
hasil : 3. Observasi dan catat secara dini dan untuk
1. Mempunyai tanda-tanda vital dan penetapan tindakan
sistem saraf pusat kelainan tekanan yang tepat
dan perifer yang intrakranial tiap 2 4. Mengurangi tekanan
utuh jam arteri dengan
2. Menunjukkan 4. Berikan posisi meningkatkan
fungsi kepala lebih tinggi drainage vena
sensorimotor 15-30 dengan letak dan memperbaiki
kranial yang utuh jantung ( beri bantal sirkulasi serebral
3. Menunjukkan tipis) 5. Batuk dan mengejan
fungsi otonom 5. Anjurkan klien dapat meningkatkan
yang utuh untuk menghindari tekanan intra kranial
4. Mempunyai pupil batuk dan mengejan dan potensial terjadi
yang sama besar berlebihan perdarahan ulang
dan reaktif 6. Ciptakan lingkungan 6. Rangsangan aktivitas
5. Terbebas dari yang tenang dan yang meningkat

10
aktivitas kejang batasi pengunjunng dapat meningkatkan
6. Tidak mengalami 7. Kolaborasi dengan kenaikan TIK.
sakit kepala tim dokter dalam Istirahat total dan
pemberian obat ketenangan mungkin
diperlukan untuk
pencegahan terhadap
perdarahan dalam
kasus stroke
hemoragik/perdaraha
n lainnya
7. Memperbaiki sel
yang masih viable

3. Daftar Pustaka
Anynomous, 2007.Asuhan Keperawatan KLIEN dengan ARDS (Adult Respiratory
DistressSyndrome) Pre Acut/ Post Acut
Care.http://rusari.com/askep_aspirasi_distress.html. (Diakses 09 Januari 2017)

Bunner, Suddath, dkk . (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 1. Jakarta :
EGC.

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.

Corwin J. Elizabeth. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Doenges, Marilyn. E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi : 3. Jakarta : EGC.

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :


Mediaesculapius

Price, Sylvia. A. (2004). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:


EGC.

Martapura, Januari 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(....) (....) 11
12

Anda mungkin juga menyukai