LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M H
Umur : 4 bulan 25 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan :-
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Ngemplak Mranggen, Demak
Nama : Ny. M
Umur : 25 tahun
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Bangsal : ICU
No.CM : 281718
Masuk RS : 06-03-2014
Keluarga
Ayah Ibu
Anak II
(An. M H)
Anak I
sakit
Riwayat Persalinan
Bayi lahir dari ibu G2 P1 A0, hamil aterm. Bayi lahir secara spontan, ditolong oleh
bidan. Bayi lahir langsung menangis dan berwarna merah. Berat badan bayi saat lahir
3100 gram, panjang badan 52 cm, ibu lupa lingkar kepala dan lingkar dada saat os lahir.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan.
Riwayat Postnatal
Ibu mengaku membawa anaknya ke Posyandu secara rutin dan mendapat imunisasi
dasar lengkap.
Riwayat Imunisasi
a. BCG : pernah, umur 1bulan, scar + pada lengan kanan atas
b. Hepatitis B : pernah, 1x (saat lahir)
c. Polio : pernah, 3 kali (saat lahir, usia 2 dan 4 bulan).
d. DPT : pernah, 2 kali (usia 2 dan 4 bulan)
e. Campak : Belum
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai dengan jadwal imunisasi dari KMS
Riwayat perkembangan
Senyum : 1-2 bulan
Miring : 2 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Memegang mainan : 4 bulan
Gigi keluar : ibu lupa
Duduk : belum dapat
Merangkak : belum dapat
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan anak baik.
Data Perumahan
a. Kepemilikan rumah : Rumah milik sendiri
b. Keadaan rumah : Dinding rumah tembok, 2 kamar tidur, dengan 1
kamar mandi di dalam rumah terletak dekat dengan
dapur
c. Sumber air bersih : Sumber air dari sumur, limbah buangan dialirkan ke
selokan.
d. Keadaan lingkungan : Jarak antar rumah saling berdekatan dan cukup padat.
Status Internus
Status interna
- kepala : normosefal
- rambut : hitam, terdistribusi merata
- mata : konjungtiva anemis -/-
- hidung : sekret +/+, napas cuping hidung (-/-), epistaksis (-)
- telinga : discharge -/-
- mulut : bibir kering (-) , bibir sianosis (-) gusi berdarah (-)
- tenggorokan : tonsil T1/T1, mukosa faring hiperemis (-)
- leher : tidak ada pembesaran KGB
- thoraks :
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V 2 cm medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi :
o Batas kiri : ICS V, 2 cm medial midclavicula sinistra
o Batas atas : ICS II, linea parasternal sinistra
o Batas kanan : ICS V, linea parasternal kanan
- Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru - paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
- Palpasi : stem fremitus dextra dan sinistra tidak dapat dinilai
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler di seluruh lapang paru, rhonki -/-, wheezing-/-
Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh kuadran
- Palpasi : supel, turgor kembali cepat, hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae dan lien
tidak teraba
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data antropometri : anak laki-laki usia 4 bulan
Berat badan 7 kg, tinggi badan 64 cm
Pemeriksaan Status Gizi ( Z Score )
VI. RESUME
Telah diperiksa seorang anak laki-laki usia 4 bulan berat badan 7 kg dengan
keluhan demam seminggu sebelum masuk Rumah Sakit, pasien menderita demam
ringan yang naik turun baik dengan pemberian obat penurun demam dan kompres.
Selain itu pada anak juga terdapat batuk dan pilek sejak 2 minggu yang lalu, batuk
dahak warna putih kekuningan. Namun telah membaik setelah dibawa ke Puskemas
dan diberi puyer.
Pada pagi hari sebelum masuk rumah sakit, muncul bintik-bintik merah pada
seluruh badan anak baik pada wajah, tangan dan kaki. Pasien juga tampak lemas
namun nafsu makan masih ada. Mual muntah 1-2x pagi hari. Mimisan dan gusi
berdarah tidak ada. Tanda-tanda adanya perdarahan maupun riwayat trauma disangkal.
BAB dan BAK lancar seperti biasanya, tidak mengalami perubahan frekuensi, jumlah,
konsistensi, maupun warna. Riwayat mudah berdarah atau lebam setelah terbentur
disangkal. Riwayat kejang disangkal.
Riwayat alergi pada anak disangkal. Riwayat kelainan darah pada keluarga
disangkal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Trombositopenia ( 11.000/uL)
Leukositosis (17.000/uL)
V. DIAGNOSA SEMENTARA
1. ITP
2. ISPA
3. Status gizi cukup
THERAPI
- Infus RL 10 tpm
- Injeksi Cefotaxim 2 x200 mg
- Injeksi Ranitidin 3 x 5 mg
- Injeksi Metilprednisolon 3 x 7,5 mg
- Inj Vitamin C 1x 50 mg
- Diet
o BBI = 7 kg
o Kalori :700 kkal/hari
o Protein : 10,5 g/hari
VII. PROGNOSA
- Quo ad vitam : ad Bonam
- Quo ad fungtionam : ad Bonam
- Quo ad sanationam : ad Bonam
VIII. USULAN
- Cek darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit) dan sediaan hapus darah tepi
- Cek PT dan aPTT
-
IX. NASEHAT
- Edukasi mengenai penyakit Purpura Trombositopenia Idiopatik pada orang tua
bahwa penyakit ini dapat sembuh secara spontan tapi dapat juga berulang. Selalu
berikan support dan motivasi serta dukungan terutama pada pendidikan anak jika
anak memulai untuk sekolah.
- Edukasi kepada orang tua mengenai gejala-gejala seperti perdarahan gusi ataupun
mimisan dapat muncul mendadak dan jika memburuk ataupun tidak mengalami
perbaikan segera ke rumah sakit.
- Edukasi mengenai diet, konsumsi serat diperbanyak dan minum air juga
diperbanyak untuk mencegah konstipasi yang dapat memicu terjadinya perdarahan
saluran cerna
- Berikan sikat gigi yang lembut untuk mencegah terjadinya perdarahan gusi dan
juga dihimbau agar menyikat gigi dengan lembut dan perlahan
- Berikan pelembab kulit agar kulit anak tidak kering dan mencegah rasa gatal.
Karena anak cenderung menggaruk daerah yang gatal sehingga dapat
menyebabkan memar dan perdarahan.
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder.
Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan
6 bulan dan kronik bila lebih dari 6 bulan. Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus
per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak dengan usia
puncak 5 tahun, dimana jumlah kasus pada anak laki-laki dan perempuan sama
perbandingannya. Namun pada orang dewasa, ITP paling sering terjadi pada wanita muda: 72
persen pasien selama 10 tahun adalah perempuan, dan 70 persen wanita ini usianya kurang
dari 40 tahun. Pada anak-anak itu biasanya merupakan tipe akut, yang sering mengikuti suatu
infeksi, dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang dewasa umumnya terjadi
tipe kronis.
Trombosit, antithrombin III, dan d dimer memiliki fungsinya masing-masing dalam
pembekuan darah. Trombosit memiliki nama lain keping darah yang berfungsi dalam
pemdarah. Antithrombin adalah inhibitor yang potensial dari kaskade koagulasi. D dimer
merupakan hasil dari pemecahan fibrin. Gangguan salah satu dari ketiganya maupun salah
satunya akan mengakibatkan ketidakseimbangan hemostasis.
20
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI)
I. Definisi
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa. Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) yang terbanyak pada anak dengan manifestasi perdarahan
pada mucocutaneus dan jaringan akibat kurangnya sirkulasi platelet (trombosit) dan banyak
sel-sel megakariosit di dalam sumsum tulang.
II. Epidemiologi
Perkiraan insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar setengah
dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada anak antara 4,0-5,3 per
100.000, PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak
dengan PTI akut berkembang menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik
(PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai
PTI dewasa yang khas.
Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun.
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8- 6,6
per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura Trombositopenia
Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata
usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada pasien PTI akut
sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1.
Pasien PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi dengan
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka
trombosit di bawah normal atau ada perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-kira 25-
30 persen dari jumlah pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian
terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.
21
III. Patofisiologi
Sindrom PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklir melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama
mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang
dominan dengan mendemostrasikan bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI
berikatan dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan
ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima
transfuse plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti oleh
autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah
berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian
besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit.
Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis),
kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan kompleks glikoprotein
IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X,
Ia/ITa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang
berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia.
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien PTI
dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel
T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak dapat dikethui dengan pasti.
Kebanyakan pasien mempunyai antibody terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa
dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum
terbentuk pada tahap ini.
(1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen
(makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses intenalisasi
dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Ilb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen
yang teraktivasi (4)3mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan
kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang
berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD-4 positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-
cell clone I dan T cell clone II (5) Reseptor imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet
antigen tambahan (B-cell clone 2) (6) dengan demikian juga terdorong untuk berkembang
biak dan mensintesis antibodi antiglikoproteinIb / IX (hijau) Selain memperkuat produksi
anti-glikoprotein IIb / IIIA antibodi (oranye) oleh B-1 cell clone
Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara
langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitasi, klirens
dan produksi trombosit . Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat
terjadinya klirens anti bodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada
makrofag jaringan
(1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini namun
mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody
pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan
cara menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trobopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit (2).
Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat
sel T (3). Antibodi monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik,
merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag dan
interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibody dan pertukaran klas (4).
Immunoglobulin IV mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi
antibody. Antibody monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih
dalam penelitian (5). Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam
plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan (7).
Genetik
PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, serta telah
diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada anggota keluarga yang
sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 dihubungkan dengan
respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun
demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA kelas I dan II.
30.000/L terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka,
AT <10.000/l.
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah,
mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis sering
terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada
tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat.
Pada pemeriksaan, pasien tampak normal, dan tidak ada temuan abnormal selain yang
berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa harus mengarah pada mempertanyakan
diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang sering muncul seperti purpura, petechiae,
dan perdarahan bula di mulut.
PTI menahun ditemukan kebiruan atau perdarahan abnormal lain dengan remisi
spontan dan eksaserbasi. Remisi yang terjadi umumnya tidak sempurna. Hati-hati terhadap
kemungkinan PTI menahun sebagai gejala stadium praleukimia.
PTI akut PTI kronik
Awal penyakit <10 tahun (2-8 tahun) 20-40 tahun
Rasio L:P 1:1 1:2-3
Trombosit <20.000/mL 30.000-100.000/mL
Lama penyakit 2-6 minggu Beberapa tahun
Perdarahan Berulang Beberapa hari/ minggu
V. Diagnosis
Dengan manifestasi klinik klasik dari PTI pada anak adalah munculnya petechiae dan
purpura diseluruh tubuhnya. Orang tua sering menyatakan bahwa anak sehat kemarin dan
sekarang sudah dipenuhi dengan memar dan titik-titik kemerahan.
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta
tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat
menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena
trombosit yang rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain).
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati. Selain
trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit
sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh flow
sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak
sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah
satu diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak
megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit.
Dari pemeriksaan laboratorium yang khas adalah trombositopenia. Hitung trombosit
menurun sampai dibawah 20 x 109 /L. Ekimosis yang bertambah dan perdarahan yang lama
akibat trauma ringan ditemukan pada jumlah <50.000/mm3. Trombosit yang tampak pada
sediaan apus darah tepi berukuran besar (megakariosit)dan menggambarkan kenaikan
produksi di sumsum tulang. Uji fungsi trombosit seperti waktu perdarahan dan koagulasi,
menunjukan hasil abnormal. Hitung leukosit normal dan anemia tidak ada kecuali perdarahan
banyak. Aspirasi sumsum tulang jika terindikasi menunjukkan seri granulosit dan eritrosit
yang normal dan sering ada eosinofilia ringan.
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun,
pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien yang
tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri
hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi
kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan
dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%,
spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak
menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI.
pemeriksaan morfologi darah tepi dan jika dilakukan pemeriksaan D-Dimer makan hasilnya
akan positif.
d. Wiskott-Aldrich Syndrome
Merupakan kelainan platelet kualitatif yang diwariskan pada kromosom X sehingga
lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Akan disertai dengan eksema dan infeksi rekuren
karena adanya imunodefisiensi. Pada pemeriksaan morfologi darah tepi akan tampak
trombosit yang sangat kecil.
VII. Penatalaksanaan
Sebagian besar anak penderita PTI dapat pulih tanpa penangan medis, banyak dokter
yang merekomendasikan untuk melakukan observasi ketat dan sangat hati-hati terhadap
penderita serta penanganan terhadap gejala-gejala pendarahannya. Terapi PTI lebih ditujukan
untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya
perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk
mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi dengan transfusi trombosit dikontraindikasikan
karena autoantibodi dapat berikatan dengan trombosit tersebut kecuali pada kondisi-kondisi
dimana terjadi perdarahan yang mengancam nyawa.
Terapi Awal PTI (Standar)
Kortikosteroid
Prednison, terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1-5 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1
bulan , kemudian tapering.
Metilprednisolon IV : 10-30 mg/kgBB/ hari selama 3-5 hari
Terapi kortikosteroid telah lama digunakan sebagai terapi PTI akut dan kronik. Namun perlu
diwaspadai mengenai efek samping dari terapi kortikosteroid seperti kegagalan pertumbuhan,
diabetes melitus dan osteoporosis, glaukoma, katarak dan peningkatan resiko infeksi.
Heparin
Trombositopenia disebabkan DIC diberikan heparin intravena dengan antidotumnya protamin
sulfat. Dosis heparin 1 mg/kgBB perinfus tiap 4 jam sampai tercapai masa pembekuan >30
menit ( 1mg equivalen dengan 100 U). Dosis protamin sulfat sama dengan dosis heparin yang
diberikan.
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 0,8-1,0 g/kg/ hari selama 1-2 hari berturut-turut
digunakan bila terjadi perdarahan internal. IVIG dapat memicu peningkatan yang cepat ddari
trombosit dengan menurunkan fagositosis makrofag namun perlu pertimbangan biaya karena
mahal. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang
mempunyai defisiensi IgA Kongenital. Mekanisme kerja IglV pada PTI masih belum banyak
diketahui namun meliputi blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang
menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI.. Terapi prednison dosis
tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi. Splenektomi
diindikasikan jika pasien tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison
dosis tinggi yang tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai.
Pasien lain mungkin tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih memilih
terapi bedah alternatif . Splenektomi dapat dilakukan dengan aman bahkan dengan
menghitung trombosit kurang dari 10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari
splenektomi baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.
Terapi lainnya
Pemberian stimulasi produksi trombosit seperti romiplostim telah berhasil digunakan
sebagai terapi trombositopenia kronik yang disebabkan oleh autoimun.
Terapi lainnya berypa siklofosfamid, danazol, dapsone, interferon alfa, azathioprine,
alkaloid vinca, splenektomi aksesorius dan radiasi lien telah mulai diteliti. Namun data yang
ada masih belum mencukupi untuk menunjukkan adanya penurunan laju mortalitas atau
perdarahan.
VIII. Komplikasi
a. Hanya kurang dari 1 % pasien akan mengalami perdarahan intrakranial
b. Peradarahan masif
c. Efek samping dari terapi seperti infeksi pneumokokus pada splenektomi
IX. Prognosis
Pada PTI akut bergantung pada penyakit primernya, bila penyakit primernya ringan
90% akan sembuh secara spontan. PTI menahun prognosisnya kurang baik terutama pada
stadium praleukemia. PTI menahun yang bukan stadium praleukemia bila displenektomi pada
waktunya angka remisi sekitar 90%.
X. Pembahasan Kasus
Pasien ini didiagnosis dengan idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sejak 8
Maret 2014. Pada awalnya pasien datang dengan diagnosis awal DHF grade III.
Dari anamnesis didapatkan keluhan yang tidak terlalu mengarahkan diagnosis ke ITP.
Dalam mendiagnosis ITP, anamnesa tidak dapat dapat dijadikan data utama karena
kebanyakan keluhan hanya berupa petechiae dan purpura yang muncul tiba-tiba diseluruh
tubuh.
Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan pemeriksaan yang bermakan selain
daripada petechiae dan ekimosis yang ditemukan. Splenomegali dan limfadenopati juga tidak
akan ditemukan.
Pasien ini sendiri dirawat selain karena terdapat keluhan berupa demam sejak
seminggu SMRS dan batuk pilek diikuti dengan akral yang dingin namun nadi masih teraba
kuat, juga hasil pemeriksaan trombosit pasien juga hanya 11.000/uL. Dengan hasil
pemeriksaan trombosit tersebut ditakutkan dapat terjadi perdarahan spontan dan resiko terjadi
syok.
Pada pemeriksaan laboratorium lalu dapat ditemukan dari jumlah trombosit yang
tidak kunjung meningkat bahkan setelah gejala-gejala dari DHF mulai menghilang. Hitung
trombosit terbesar yang pernah dicapai pasien adalah 49.000/uL dan yang terkecil adalah
11.000/uL. Ketidakcocokan dari perjalan penyakit Dengue beserta gejala dan hasil
laboratoriumnya menyebabkan diagnosis DHF dapat disingkirkan dan kemudian didiagnosis
sebagai idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada tanggal 8 Maret 2014.
Sedangkan dalam terapinya pada pasien an. M H ini diberikan injeksi
Metilprednisolon 3 x 7,5 mg, Injeksi Cefotaxim 2 x200 mg, Inj Vitamin C 1x 50 mg, Injeksi
Ranitidin 3 x 5 mg dengan Infus RL 10 tpm. Dalam terapi ini kondisi anak semakin
membaik, petekie berkurang disertai dengan peningkatan trombosit tanpa adanya manifestasi
perdarahan. Keluarga pasien cukup diberikan edukasi mengenai penyakit dan pencegahannya
seperti yang telah terdapat dalam pembahasan kasus. Pasien juga harus kontrol kembali untuk
dilihat ada tidaknya tanda-tanda perdarahan hingga pasien mengalami remisi spontan.
Daftar Pustaka
1. Behrman, Kliegman, Arvin.. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol 1 Edisi 15 jilid 2, ECG
Jakarta, 2005; 1746-1748
2. Domenico dkk. Acute Childhood Idiopathic thrombocytopenic purpura: AIEOP
consensus guidelines for diagnosis and treatment. 2000. Available at :
http://www.aieop.org/files/files_htmlarea/ptilg.pdf.
3. Hoffbrand, A.V.2005. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC
4. Tarantino MD. Management of Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) in children.
5. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991