Anda di halaman 1dari 8

STUDI KESTABILAN EMULSI DENGAN AGEN PENGEMULSI

JENIS ANIONIK SURFAKTAN


(VARIABEL KONSENTRASI SURFAKTAN)

Oleh:

KELOMPOK 2

Muhammad Riza S Azizi


Mukhtar Dzaki Ramadhan 21030114140153
Evan Eduard Susanto 21030114120039
Efraim Ginting
Naufal Rilanda 2130113120004

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

I. Pendahuluan
Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan terdispersi
sebagai droplet pada cairan yang lain karena adanya zat ke tiga sebagai penstabil. Pada
umumnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan interface, fase internal
atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara fase eksternal atau fase
kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam
jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang
disebut emulsifier/surfaktan (Shinoda and Friberg, 1986).
Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan
permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai
gugus hidrofobik dan hidrofilik, serta molekul yang cenderung terpartisi pada antar
permukaan fasa cairan yang berbeda tingkat kepolaran dan ikatan hidrogennya (Cooper
dan Zajic, 1980; Desai dan Banat, 1997; Suryani et. al., 2000). Gugus hidrofobik terdiri
dari rantai asam lemak yang panjang, sedangkan gugus hidrofilik terdiri dari karbohidrat,
asam amino, peptida siklik, fosfat, dan asam karboksil alkohol (Kosaric, 1993).

Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu atau bola raket mini yang
terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala yang bersifat hidrofilik
(suka air) merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik
(benci air) merupakan bagian nonpolar. Gugus polar dapat bermuatan negatif, positif,
ataupun tidak bermuatan (nonionik) dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap pelarut
polar. Gugus nonpolar pada surfaktan terdiri atas rantai hidrokarbon, linear ataupun
bercabang, serta mengandung lebih dari delapan atom karbon serta memiliki afinitas yang
rendah terhadap pelarut polar (Schueller dan Romanousky, 1996; Gervasio, 1996; Tadros,
1992). Swern (1979), menyatakan bahwa kemampuan surfaktan untuk meningkatkan
kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus nonpolar
(lipofilik).
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok yaitu
surfaktan kationik, amforterik, nonionik, dan anionik (Reiger, 1985; Rosen, 2004).
Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang pada bagian hidrofobiknya
berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Surfaktan ini memiliki gugus ionik yang
biasanya berupa golongan sulfat dan sulfonat, sehingga memiliki karakteristik hidrofilik,
dengan kation yang biasanya digunakan Na+, NH4+, dan triethanolamonium. Sebagian
besar surfaktan jenis ini digunakan sebagai emulsifier, pembersih dan pembentuk busa
sabun. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan ini merupakan kelompok surfaktan
terbesar yang diproduksi. Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan bahwa
surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 50%,
kemudian disusul non-ionik 45%, kationik 4%, dan amfoterik 1% (Watkins, 2001).
Setiap emulsi memiliki tingkat kestabilan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat
kestabilan suatu emulsi maka semakin lama waktu terjadinya pemecahan emulsi. Demikian
pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kestabilan suatu emulsi maka semakin cepat pula
waktu terjadinya pemecahan emulsi . Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi
antara lain perbedaan berat jenis antara kedua fase, kohesi fase terdispersi, persentase
padatan di dalam emulsi, ukuran butiran fase terdispersi, viskositas fase kontinyu, muatan
fase terdispersi, distribusi ukuran butiran fase terdispersi, dan tegangan interfasial antara
kedua fase. Waktu memiliki pengaruh kompleks pada proses emulsifikasi. Waktu optimum
yang diperlukan untuk emulsifikasi biasanya ditentukan secara empiris (Wardiyati dan
Takeuchi, 1992). Menurut Briggs (2004) pembentukan emulsi yang terbaik adalah dengan
menggunakan pengocokan pada waktu-waktu tertentu. Ia menemukan bahwa ia dapat
mengemulsikan 60% volume benzena dalam 1% natrium oleat dalam air dengan mengocok
secara mekanis 750 kali selama periode 4-5 menit. Tetapi campuran yang sama dapat
teremulsi secara sempurna hanya dengan 5 adukan tangan dalam waktu kira-kira 2 menit
jika emulsi tersebut dibiarkan diam selama 20-30 detik setelah tiap pengocokan secara
mekanis. Semakin kecil konsentrasi surfaktan pada suatu emulsi maka emulsi semakin
mudah untuk pecah dan waktu yang dimiliki agar emulsi tetap stabil juga semakin singkat
(Supriyo, 2007).
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan percobaan mengenai kestabilan
emulsi. Dengan melakukan percobaan ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh waktu
dan konsentrasi surfaktan terhadap kestabilan emulsi.
II. Metode Percobaan
a. Variabel percobaan
Variabel berubah
Konsentrasi Surfaktan (Sunlight) : 1000 ppm ; 2000 ppm ; 3000 ppm ; 4000
ppm
Variabel tetap : 1. Rasio air : minyak = 1:1
2. Kecepatan pengadukan = 8000 rpm
3. Lama Pengadukan = 1 menit
b. Prosedur penelitian
1. Pembuatan larutan emulsi sesuai dengan rasio air : minyak (5 ml air dan 5
ml minyak)
2. Kalibrasi volume dengan menggunakan gelas ukur. Kalibrasi volume
digunakan untuk mengetahui skala volume tabung reaksi yang akan
digunakan sebagai wadah emulsi.
3. Menambahkan surfaktan sesuai variabel pada campuran air dan minyak.
4. Melakukan pengadukan dengan homogenizer dengan kecepatan 8000 rpm
selama 1 menit
5. Masukan larutan yang sudah diaduk kedalam tabung reaksi sebanyak 10 ml
6. Lakukan proses 1 hingga 6 sekali lagi untuk mengetahui tingkat keakurat
data.
7. Kedelapan tabung reaksi dibawa pulang, diamati persentase air dan minyak
yang terpisah.
8. Pengamatan diawali pada menit pertama hingga 30 menit, selang waktu 30
menit, 1 jam atau 2 jam sesuai dengan perubahan pemisahan yang
signifikan.
9. Data yang diperoleh :
Volume air yang terpisah
Volume minyak yang terpisah
Waktu pengamatan

III. Hasil Percobaan


IV. Tabel 3.1 Volume air terpisah pada berbagai konsentrasi surfaktan selama waktu
tertentu
Waktu Volume air terpisah (ml)
(menit) 1000 ppm 2000 ppm 3000 ppm 4000 ppm
0 0,0 0,0 0,0 0,0
10 0,3 0,3 0,0 0,0
20 0,3 0,3 0,3 0,2
30 0,8 0,6 0,3 0,2
60 1,6 1,4 0,9 0,8
120 3 2,8 1,9 1,8
240 3,6 3,2 2,8 2,6
480 4,3 4,1 3,9 3,7
600 4,5 4,2 4,4 3,7
1080 4,7 4,5 4,4 3,9
1440 4,7 4,7 4,7 3,9
2160 4,7 4,7 4,7 4,2

V. Tabel 3.2 Persentase volume air terpisah


Waktu %volume air terpisah (basis 10 ml)
(menit) 1000 ppm 2000 ppm 3000 ppm 4000 ppm
0 0 0 0 0
10 6 6 0 0
20 6 6 6 4
30 16 12 6 4
60 32 28 18 16
120 60 56 38 36
240 72 64 56 52
480 86 82 78 74
600 90 84 88 74
1080 94 90 88 78
1440 94 94 94 78
2160 94 94 94 84

VI. Pembahasan
Gambar 4.1 Grafik pengaruh waktu dan jenis surfaktan terhadap kestabilan emulsi
Surfaktan yang digunakan dalam percobaan inia adalah sabun cuci Sunlight,
sunlight termasuk jenis surfaktan Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LAS). Surfaktan yang
biasa digunakan adalah Linear Alkyl Benzene Sulfonate, Etoksisulfat, Alkil Sulfat,
Etoksilat dan lain-lain. Surfaktan Linear Alkyl Benzene Sulfonate akan menjadi partikel
bermuatan negatif, memiliki daya bersih yang sangat baik, dan biasanya menghasilkan
busa yang banyak.
Dari gambar 4.1 diketahui bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan LAS dari
1000 ppm hingga 4000 ppm pada emulsi hexane dan air, % air yang terpisah dari emulsi
semakin kecil. Dengan meningkatnya kosentrasi surfaktan LAS pada emulsi misel yang
dibentuk akan semakin banyak dan misel yang terbentuk akan mengelilingi partikel-
partikel, sehingga emulsi yang terbentuk semakin stabil dan air yang terpisah semakin
rendah (Helmiyati. 2009). Tegangan antar muka merupakan tegangan yang terjadi antar
dua permukaan dua jenis cairan yang tidak dapat bercampur satu sama lain. Tegangan antar
muka akan menurun dengan adanya surfaktan LAS yang membentuk layer (lapisan),
semakin besar konsentrasi surfaktan LAS yang ditambahkan akan menurunkan tegangan
antar muka emulsi. Tegangan antar muka yang semakin kecil memungkinkan terbentuknya
sebuah emulsi dan meningkatkan kestabilan emulsi (Dridi et al, 2017).
Surfaktan membantu pembentukan emulsi dengan dua cara yaitu dengan
menurunkan tegangan permukaan salah satu zat cair dan mencegah penggabungan droplet-
droplet zat cair lainnya. Zat cair dengan tegangan permukaan lebih kecil akan cepat
menyebar dan menjadi fase kontinyu. Pada saat yang sama, molekul surfaktan akan
mengumpul di batas antar muka cairan untuk mencegah penggabungan kembali fase
terdispersi (Robaina, 2012).
Surfaktan anionik membantu meningkatkan stabilitas emulsi dengan memproduksi
lapisan antar muka yang memiliki elastisitas yang sangat tinggi. Elastisitas antar muka
yang tinggi dari suatu sistem emulsi memungkinkan tidak terjadinya penggabungan
droplet-droplet sebagai akibat tubrukan antar droplet emulsi.
Pada penelitian yang dilakukan Wang, Chen, Xin, & Wang (2015), seperti dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.
Gambar 4.1 Hasil penelitian (Wang, Chen, Xin, & Wang, 2015)
LAS dapat menurunkan tegangan permukaan mencapai kurang lebih 30mN/m,
hanya saja konsentrasi yang dibutuhkan juga cukup besar yaitu 1000mg/L, sehingga LAS
sendiri merupakan penstabil emulsi yang baik.

VII.Kesimpulan
Semakin besar konsentrasi surfaktan makan semakin tinggi kestabilan emulsi
tersebut. Setiap emulsi memiliki tingkat kestabilan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat
kestabilan suatu emulsi maka semakin lama waktu terjadinya pemecahan emulsi. Demikian
pula sebaliknya semakin rendah tingkat kestabilan suatu emulsi maka semakin cepat pula
waktu terjadinya pemecahan emulsi. Hal ini disebabkan banyaknya surfaktan yang
teradsorbsi di permukaan sehingga menurunkan tegangan permukaan dan mencegah
terjadinya flokulasi dan coalescence.

Daftar Pustaka

Cooper DG, dan JE Zajic. 1980. Surface Active Compound From Microorganism. Adv.
Appl. Microbiol. 26: 229-253.

Dridi, W., Toutain, J., Sommier, A., Essafi, W., Leal-Calderon, F., Cansell, M., 2017.
Technique for monitoring lipid oxidation in water-in-oil emulsions based on micro-
calorimetry, Food Chemistry. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2017.03.095

Hemilyati, Budiyanto, emil, & Arinda, Nitria. 2009. Polimerisasi emulsi etil akrilat:
Pengaruh konsentrasi surfaktan, inisiator dan teknik. Makara sains vol. 13 No.1.

Kosaric. 1993. Biosurfactant: Production, Properties and Applications. Marcell Dekker


Inc., New York.

Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In: Soap
Detergents: A Theoretical an Practical Review, Spitz, L. (Ed). AOAC Press,
Champaign, Illinois.

Polimerisasi terhadap distribusi ukuran partikel

Rieger MM dan LD Rhein. 1995. Surfactants in Cosmetics 2nd edition. Marcel Dekker,
Basel.
Robaini, F. Nicole, Brum, M. Daniel, Casella, J. Ricardo. 2012. Application of the
extraction induced by emulsion breaking for the determination of chromium and
manganese in edible oils by electrothermal atomic absorption spectrometry. Talanta
99, 104-112.

Schueller R dan P Romanousky. 1998. Cosmetics and Toiletries Magazine: Understanding


Emulsions. Allured Publishing Corp., Illinois.

Swern D. 1979. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Vol I, 4th Edition. John Willey
and Son, New York.

Wang, J., Chen, S., Xin, Y., & Wang, Y. (2015). The Research for APG-12 Emulsifying
Properties, (January), 1721.

Watkins C. 2001. Surfactants and Detergent: All Eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-
1159.

Anda mungkin juga menyukai