Anda di halaman 1dari 42

REFERAT RADIOLOGI

MENINGITIS TB DAN ASPEK RADIOLOGINYA

Disusun oleh:
Paramita Adinda Putri
406152003

KEPANITERAAN RADIOLOGI
RUMAH SAKIT ROYAL TARUMA
PERIODE 28 Maret 2016 30 April 2016
UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan Referat yang berjudul Meningitis TB dan
Aspek-Aspek Radiologinya
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Herman W.H, Sp.Rad yang
telah membimbing penulis dalam menyusun referat ini.
Referat Meningitis TB dan Aspek-Aspek Radiologi ini disusun berdasarkan
sumber-sumber informasi yang up to date guna memaksimalkan pemeriksaan,
penatalaksanaan kasus dan mencegah komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menunjang informasi
kita tentang Meningitis TB dan Aspek-Aspek Radiologinya, terima kasih.

Paramita Adinda Putri


406152003

[Type text] [Type text] 2


LEMBAR PENGESAHAN

Nama/ NIM : Paramita Adinda Putri / 406152003


Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Tarumanagara
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Judul : Meningitis TB dan Aspek-Aspek Radiologinya
Bagian : Radiologi
Periode Kepaniteraan : 28 Maret 2016 30 April 2016
Diajukan : April 2016

Mengetahui dan Menyetujui


Jakarta, April 2016
Pembimbing

dr. Herman W. Hadiprojo, Sp.Rad

[Type text] [Type text] 3


DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar.............................................................................................................. 2

Lembar Pengesahan...................................................................................................... 3

Daftar Isi............................................................................................................... 4

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................... 5

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 5

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 5

1.3. Tujuan ...................................................................................................... 6

1.4. Manfaat .................................................................................................... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 7

2.1. Definisi .................................................................................................... 7

2.2. Anatomi dan Fisiologi...... 7


2.3. Epidemiologi........................................................................................... 10
2.4. Etiologi.................................................................................................... 12

2.5. Manifestasi Klinik................................................................... 12

2.6. Patofisiologis............................................... 13

2.7. Diagnosis............................................................. 14

2.8. Penatalaksanaan.. 17

BAB III. ASPEK-ASPEK RADIOLOGI................................................................... 21

KESIMPULAN.. 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN... 37

[Type text] [Type text] 4


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak
dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges. Inflamasi dari meningen dapat
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan penyebab paling
jarang adalah karena obat-obatan. Meningitis dapat mengancam jiwa dan merupakan
sebuah kondisi kegawatdaruratan. Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen
penyebabnya, yaitu meningitis bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis
parasitik dan meningitis non infeksius.
Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan
merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan menyebabkan
kerusakan otak dan bahkan kematian. Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai
infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling
sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis.

1.2. Rumusan masalah


Tingginya insidensi meningitis tuberkulosis di Indonesia mengharuskan tingginya
kontak pasien dengan tenaga medis sehingga diperlukan pembelajaran agar kasus seperti
ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana penanganan penyakit lainnya yang sering
ditemui. Dengan demikian, rumusan masalah pada tinjauan pustaka ini adalah:
1. Bagaimana penegakkan diagnosis meningitis tuberkulosis?
2. Bagaimana penatalaksanaan meningitis tuberkulosis yang tepat?

[Type text] [Type text] 5


1.3. Tujuan

Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan mengenai penegakkan dan


penatalaksanaan meningitis tuberkulosis.

1.4. Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kedokteran agar dapat menegakkan diagnosis dan
memberikan penanganan yang tepat pada kasus meningitis tuberkulosis.

[Type text] [Type text] 6


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan
hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari
infeksi primer pada paru.
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid
(CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta
dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan meningitis
serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis
meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan
tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan
selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis
dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang
begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum luas. World Health Organization
(WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus
komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer
pada paru.

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis di
bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.

[Type text] [Type text] 7


2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah
struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar
(periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan
juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis
ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.

Gambar 2.3.1 Struktur meningen dari luar

[Type text] [Type text] 8


Gambar 2.3.2 Struktur meningen dari luar

[Type text] [Type text] 9


Gambar 2.4.1 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

2.3. Epidemiologi
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan
di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana insidensi
tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Meningitis
tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan
tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB
memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat.
Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi
resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani.

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan


mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi
setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC)

[Type text] [Type text] 10


melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB
ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya
bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor
genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya
infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala,
infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang
ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia
dibawah 3 bulan.
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan
di negara endemis TB, dengan kasus tebanyak berupa meningitis tuberkulosa. Di
Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis
tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus tuberkulosis. Di Indonesia, tuberkulosis
masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi.
Penyakit ini bisa menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan
alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir
tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis tuberkulosa menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang
tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosa berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal
secara neurologis dan intelektual. Angka kejadian TB paru di Indonesia dilaporkan terus
meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara dengan urutan ketiga dengan kasus
TB paru terbanyak, pada tahun 2001, dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya,
penderita TB paru dari 21 orang menjadi 43 orang per 100.000 penduduk, dan pasien
BTA aktif didapatkan 83 orang per 100.000 penduduk.

Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan


kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari
seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi

[Type text] [Type text] 11


yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila meningitis tuberkulosis
tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya dalam kurun waktu tiga sampai
lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien
tuberkulosis dewasa.

2.4. Etiologi
Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
humanus, sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur yang berbeda meningitis
Tuberkulosis disebabkan oleh dua micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan
Mycobacterium bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada
manusia.
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang, berukuran
0,2-0,6mm x 1,0-10mm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mycobacterium
tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini menerangkan predileksinya pada jaringan yang
oksigenasinya tinggi seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak
dengan pewarnaan gram tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini
bersifat tahan asam, artinya tahan terhadap pewarnaan carbolfuchsin yang menggunakan
campuran asam klorida-etanol. Sifat tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang
tinggi pada dinding selnya. Lipid pada dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis
meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan merupakan hidrokarbon rantai panjang
yang disebut asam mikolat. Mycobacterium tuberculosa tumbuh lambat dengan double
time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya memerlukan waktu 8 minggu
sebelum dinyatakan negatif.

2.5. Manifestasi Klinik


Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat
riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat
batuk lama, berkeringat malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai
beberapa bulan sebelum gejala infeksi susunan saraf pusat muncul.

[Type text] [Type text] 12


Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya mirip dengan
infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum (malaise), demam yang tidak terlalu
tinggi, nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah. Setelah gejala awal berlangsung
selama sekitar 2 minggu timbul gejala nyeri kepala yang persisten dan nyeri tengkuk
yang berhubungan dengan rangsang meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan tekanan
intra kranial dan defisit neurulogik fokal (parese pada nervus kranial dan hemiparese).
Inflamasi arteri pada basis kranii disertai penyempitan dan pembentukan trombus pada
lumennya menimbulkan iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit neurologi
sebagai akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering mengalami kompresi
oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi gerakan involunter, hemiplegi,
kesadaran yang semakin menurun dan terjadi hidrosefalus.
Ensefalopati tuberkulosis secara klinis memberikan sindrom berupa kejang,
stupor atau koma, gerakan involunter, paralise, deserebrasi atau rigiditas dengan atau
tanpa tanda klinis meningitis atau kelainan cairan serebrospinalis.

2.6. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi tuberkulosis
primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru. Tuberkulosis secara
primer merupakan penyakit pada manusia. Reservoir infeksi utamanya adalah manusia,
dan penyakit ini ditularkan dari orang ke orang terutama melalui partikel droplet yang
dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-partikel yang
mengandung Mycobacterium tuberculosis ini dapat bertahan lama di udara atau pada
debu rumah dan terhirup masuk kedalam paru-paru orang sehat. Pintu masuk infeksi ini
adalah saluran nafas sehingga infeksi pertama biasanya terjadi pada paru-paru. Transmisi
melalui saluran cerna dan kulit jarang terjadi.
Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam ruang
alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi. Sejumlah kuman
menyebar terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer pada paru-paru berupa lesi
eksudatif parenkimal dan kelenjar limfenya disebut kompleks Ghon. Pada fase awal
kuman dari kelenjar getah bening masuk kedalam aliran darah sehingga terjadi
penyebaran hematogen.

[Type text] [Type text] 13


Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon imunitas selular
terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen basil ini untuk membentuk
limfokin, yang kemudian mengaktivasi sel fagosit mononuklear dalam aliran darah.
Dalam makrofag yang diaktivasi ini organisme dapat mati, tetapi sebaliknya banyak juga
makrofag yang mati. Kemudian terbentuklah tuberkel terdiri dari makrofag, limfosit dan
sel-sel lain mengelilingi jaringan nekrotik dan perkijuan sebagai pusatnya.
Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang sehat
lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan fibrotik. Pada
orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran hematogen akan menyebabkan
infeksi umum yang fatal, yang disebut sebagai tuberkulosis millier diseminata. Pada
keadaan dimana respon host masih cukup efektif tetapi kurang efisien akan timbul fokus
perkijuan yang besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan basil yang
dorman. Klien dengan infeksi laten memiliki resiko 10% untuk berkembang menjadi
tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari fokus perkijuan akan terjadi bila daya tahan tubuh host
menurun, maka akan terjadi pembesaran tuberkel, pusat perkijuan akan melunak dan
mengalami pencairan, basil mengalami proliferasi, lesi akan pecah lalu melepaskan
organisme dan produk-produk antigen ke jaringan disekitarnya. Apabila hal-hal yang
dijelaskan di atas terjadi pada susunan saraf pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut
meningitis tuberkulosis.
Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan dengan ruang
sub arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai Focus Rich. Reaktivasi dan
ruptur dari fokus rich akan menyebabkan pelepasan basil Tuberkulosis dan antigennya
kedalam ruang sub arakhnoid atau sistem ventrikel, sehingga terjadi meningitis
tuberkulosis.

2.7. Diagnosis
Dari anamnesis:
Adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit)
Adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik)

[Type text] [Type text] 14


Adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan
stadium meningitis tuberkulosis).
Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai
sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar
menonjol (pada 33,3% kasus)
Dari pemeriksaan fisik:
Tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku
kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang
paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji
tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux
lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein
Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke
dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan (Indurasi) : 04 mm uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak
ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 39 mm uji mantoux meragukan. Hal ini bisa
karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypic atau setelah
vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : 10 mm uji mantoux positif. Arti klinis : sedang
atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Gurin) terjadi reaksi
cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis .
Dari hasil pemeriksaan laboratorium:

[Type text] [Type text] 15


Darah: anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara
pungsi lumbal) : Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan
membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila
penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
- Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel
polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-
kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal
sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor
cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun. Pada
pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan
pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung
diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua
dan ketiga.
Dari pemeriksaan radiologi:
- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography): menunjukkan kelainan
kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
- Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada

[Type text] [Type text] 16


awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering
ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia
fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang
silent, biasanya di daerah korteks serebri atau thalamus.

2.8. Penatalaksanaan Meningitis TB


Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial.
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:
- Isoniazid Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada
kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction
yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari
dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap
paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu
yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih

[Type text] [Type text] 17


banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali
sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
- Rifampisin: Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel,
dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman
semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai
dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis
10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan
dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan
isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari
dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan
secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis
lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah
mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin
umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg
(Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
- Pirazinamid: Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid,
berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan
suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis
pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam.
Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat
baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah

[Type text] [Type text] 18


kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia
(jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
- Streptomisin: Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik
terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral,
sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis
tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml
dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak
yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas
utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa
telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan
dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
- Etambutol: Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat
bersifat bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi
intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari
dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

[Type text] [Type text] 19


Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya
dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.
- Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai
anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan
mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6
minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan
pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.

[Type text] [Type text] 20


BAB III

ASPEK-ASPEK RADIOLOGI

Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan
kondisi yang mengancam jiwa. Prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan jenis
pathogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan pengobatan
antibiotic yang efektif secepat mungkin. Oleh karena analisis LCS, biopsy, dan analisis
laboratorium merupakan Gold standard untuk mengidentifikasi pathogen penyebab
meningitis, neuroimaging merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk
menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla spinalis.
Gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan tatalaksana
terapi selanjutnya, khususnya, neuroimaging memiliki peran yang sangat penting pada
penyakit-penyakit oportunistik, bukan hanya untuk penegakan diagnosis, namun juga
untuk memantau respon terapi. makalah ini membahas penemuan terkini dalam bidang
neuroimaging pada infeksi system saraf pusat seperti meningoensefalitis bacterial,
ventrikulitis dan infeksi medulla spinalis, baik oleh virus maupun penyakit oportunistik
pada system saraf pusat.

MENINGITIS

Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan kesadaran,


pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk
menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Pada meningitis fase akut, Pemeriksaan
CT-Scan biasanya normal. Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran CT-
Scan, kecuali pada iskemik yang disebabkan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan
komplikasi pada lebih dari 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan penting dan cukup untuk
mengetahui kelainan pada basis cranii yang mungkin sebagai penyebab dan menentukan
penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan.

[Type text] [Type text] 21


Sumber infeksi yang potensial diantaranya adalah fraktur sinus paranasal dan os
petrosa maupun infeksi telinga bagian dalam dan mastoitis. CT venografi merupakan
pemeriksaan yang sangat baik untuk mendiagnosa komplikasi thrombosis sinus sagitalis
dan transversa, yang mengharuskan pemberian terapi antikoagulan heparin intra vena,
pada stadium lanjut, persistennya tanda-tanda rangsangan meningeal dipikirkan sebagai
indikasi untuk CT-Scan untuk menyingkirkan kemungkinan diserapnya hidrosefalus. Jika
drainase ventrikuler diperlukan, pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk menentukan
waktu operasi berikutnya. pada beberapa kasus, efusi subdural sering ditemukan yang
biasanya sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Gambaran parenkim yang
abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis dan akan memperburuk prognosis
nya.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin pada
kasus meningitis bakterialis tanpa komplikasi. Pemeriksaan MRI akan membantu
memberikan gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang, perbaikan
setelah pemberian godalinum (gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada
jaringan otak dan Medula spinalis, namun juga pada LCS, seperti yang pernah dilaporkan
pada kasus meningitis spirosetal. penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan
MRI sangat berguna pada kasus meningitis tuberculosis. Karena visibilitas gambaran
meningen pada T1-weighted lebih bagus terlihat,maka pada meningitis tuberculosis
sangat dianjurkan untuk diperiksa dengan cara ini. Hal ini sangat penting untuk memulai
pengobatan tuberculosis tersebut karena angka morbiditas dan mortilitasnya masih sangat
tinggi. Penelitian terbaru mengatakan bahwa dengan terapi adjuvan deksametason pada
kasus meningitis tuberculosis dewasa mampu menurunkan morbilitas.
Pada kasus komplikasi berupa kejang dan disertai dengan gejala-gejala fokal,
MRI lebih baik jika dibandingkan dengan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim
pada kasus meningoensefalitis atau komplikasi vaskulitis akibat rentetan FLAIR (Fluid
Attenuated Inversion Recovery). Pada penyakit Lyme, multifocal nonenhancing patchy
lesions dapat dilihat pada T2 W1. . informasi tambahan bisa dilakukan pada pemeriksaan
Diffusion Weighted Imaging (DWI). lesi inflamasi akut, termasuk ensefalitis, cerebritis
dan tuberculosis akan terlihat gambaran hiperintens.

[Type text] [Type text] 22


Neurocystecerosis
Neurocystecerosis akan terlihat hipointens pada DWI. diagnosis
Neurocystecerosis bisa ditegakkan dengan neuroimaging. operasi pembukaan jaringan
otak dan biopsy stereotaxic tidak diperlukan. lesi yang timbul akan menghilang dengan
pemberian praziquantel atau mebendazol. Gambaran toxoplasmosis bervariasi pada
pemeriksaan DWI. Pengobatan harus segera dilakukan, dan respon etradap pemberian
dilakukan dengan pemeriksaan ulang setelah 4 minggu.
Beberapa pathogen berpredileksi pada lekukan batang otak, dan akan Nampak
pada pemeriksaan MRI. khususnya, pada pasien rhombensefalitis akibat Listeria
monositogen, perlu pemberian antibiotik yang sesuai termasuk ampisilin.
Neurobrecellosis menunjukkan gambaran yang bervariasi, mulai dari normal hingga
inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau komplikasi vaskuler. pengobatan penyakit ini
berupa terapi empiris.
Komplikasi vascular harus di pikirkan pada pasien dengan perburukan kondisi,
walaupun telah diterapi. Pada kasus ini, pemeriksaan DWI lebih sensitive jika
dibandingkan dengan MRI standar dalam menentukan defisit yang minimal pada korteks,
atau infark pada substansia alba yang dalam akibat vaskulitis sepsis. Magnetic Resonsnce
Angiography (MRA) mampu menyingkirkan atau menegakkan diagnosis vaskulitis yang
akan membantu klinisi memutuskan pemberian steroid dosis tinggi. Penelitian terbaru
menyatakan bahwa pemberian steroid dosis tinggi sebelum pemberian antibiotik mampu
memberikan hasil yang lebih baik, tanpa meningkatkan efek perdarahan saluran cerna.

Ventrikulitis piogenik
Ventrikulitis piogenik merupakan kasus yang jarang ditemukan namun sangat
berakibat fatal sehingga perlu penegakan diagnosis dan terapi yang cepat. Neuroimaging
merupakan satu- satunya alat yang dipercaya untuk menegakkan penyakit yang
mengancam jiwa ini. MRI FLAIR lebih sensitif dengan menggambarkan periventrikuler,
kelainan ependimal dan pada beberapa kasus juga pada pial atau kelainan dura-arachnoid.
Debris yang ireguler pada intraventikuler merupakan gambaran yang spesifik. MRI
diperlukan untuk mengetahui ruptur intraventrikuler akibat abses piogenik. Terapi
antibiotik intravena dosis tinggi harus diberikan selama beberapa minggu. Pada kasus

[Type text] [Type text] 23


yang etrjadi perburukan kondisi pasien walaupun telah diberikan terapi antibiotic
intravena dosis tinggi, tindakan Ommaya harus dilakukan.

Empiema subdural dan epidural


Empiema bakterial ekstra axial paling baik jika menggunakan MRI. CT-Scan
sering menimbulkan keraguan pada lokasi lesi yang sebenarnya. gambaran cairan pus ini
dapat terklihat lebih cembung atau terlihat intrahemisfer. Gambaran ini akan terlihat
relative lebih hiperintens daripada LCS dan lebih hipointens dari substansia alba pada
pemeriksaan T1W1 dan relative lebih hiperintens dari LCS dan substansia nigra pada
pemeriksaan T2W1 yang dapat membedakan dengan efusi steril dan hematoma kronik.
Berbeda dengan empiema subdural, epidural empiema menunjukkan pinggiran
yang hipointens antara duramater dan parenkim otak. inflamasi sering menyebabkan
kelainan berupa edema, mass effect dan hiperintens korteks yang revesibel. DWI dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa kumpulan cairan ekstra axial tersebut adalah
empiema. Empiema subdural biasanya menunjukkan gambaran yang lebih intens,
sedangkan epidural empiema menunjukkan gambaran yang kurang intens atau gambaran
yang bervariasi. tindakan bedah saraf merupakan terapi pilihan pada kasus ini.

Abses piogenik
Diagnosis abses piogenik merupakan hal sulit ditentukan. terdsapat dilema oleh
para klinisi untuk mendiagnosis dan memberikan terapi pada temuan lesi ring-enhancing
tunggal pada pemeriksaan CT-Scan, dimana hal tersebut harus dibedakan dengan tumor
nekrosis (glioblastoma), atau suatu metastasis (Gambar 2). Pemeriksaan Gd-enhancing
MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi lesi kecil multiple yang merupakan tanda-
tanda suatu metastasis. Jika terdapat lesi tunggal pada temuan MRI, biopsy stereotaksik
merupakan langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Karena
pada abses harus segera dilakukan aspirasi dan pada tumor nekrosis harus dilakukan
biopsi, informasi lebih lanjut untuk mengoptimalkan perencanaaan bedah stereotaksik
harus dilakukan. Pemeriksaan DWI telah diusulkan sebagai metode pilihan. dalam
beberapa penelitian, hampir semua abses piogenik menunjukkan gambaran yang khas
yaitu hiperintens pada pemeriksaan DWI dan penurunan Apparent Diffusion Coefficient

[Type text] [Type text] 24


(ADC), menunjukkan pengurangan resapan abses yang berbeda dengan lesi nonpiogenik
yang menunjukkan gambaran hipointens atau gambaran yang bervariasi.
Hanya chordoma dan epidermoid menunjukkan peningkatan intensitas pada
pemeriksaan DWI. Beberapa peeneliti menyatakan bahwa pemeriksaan ADC saja tidak
boleh diandalkan karena sering terjadi overlapping diagnosis. Meskipun metode tersebut
sangat membantu, namun tidak bisa memecahkan dilemma diagnosis atau meniadakan
pemeriksaan biopsi. pada kasus yang belum begitu jelas, informasi tambahan dapat
diperoleh dengan pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (PMRS).
Pemeriksaan ini bukanlah hal yang rutin dilakukan, namun beberapa peneliti telah
menemukan hal yang menjanjikan dalam hal penegakan diagnosis pada pemeriksaan ini.
Adanya asam amino laktat sitosol dengan atau tanpa suksinat, asetat, alanin dan glisisn,
dapat dianggap sebagai penanda abses, dan laktat serta kolin sebagai penanda non abses.
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Meskipun beberapa
peneliti telah melaporkan temuan dalam hal membedakan abses aerobic, anaerobic
maupun abses steril, hal tersebut harus dipikirkan dengan sangat matang. kontribusi
teknik ini dan PET untuk membedakan infeksi dan tumor lebih lanjut dibahas dalam
artikel lain, yang membahas PMRS dan dengan pencitraan tumor otak.

Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering pada pasien
imunosupresi. Infeksi prenatal dapat menyebabkan peningkatan risiko bangkitan kejang,
sehingga makin meningkatkan penggunaan neuroimaging. Infeksi pasien dengan sindrom
defisiensi imun dapatan (AIDS) atau setelah transplantasi sumsum tulang menyebabkan
lesi yang biasanya ganda, dengan adanya tambahan gambaran cincin atau padat. MRI
memberikan gambaran yang sangat jelas pada keadaan ini yang terkadang juga
menunjukkan adanya perdarahan. Tidak jarang, neuroimaging menunjukkan lesi
toxoplasma ditandai dengan efek massa dan edema perifocal. Sayangnya, dalam kasus-
kasus imunosupresi berat, gambaran MRI sepenuhnya atipikal, sehingga menyesatkan
bagi dokter dan ahli radiologi Terutama pada varian ensefaloitis fulminant, lesi yang
tampak pada pemeriksaan T2WI adalah luas dan sama sekali tanpa adanya peningkatan
intensitas gambaran. Dalam kasus toxoplasma atipikal soliter besar, menunjukkan

[Type text] [Type text] 25


peningkatan intensitas yang ditandai dengan lesi menyerupai limfoma. Dalam kasus ini,
klinisi harus mencari sarana diagnostik lain, sementara pasien dirawat sebagai kasus
toksoplasmosis.

Infeksi Medula Spinalis


Penegakan diagnosis ingeksi medulla spinalis dengan menggunakan foto polos
sangat sulit dilakukan karena kurangnya spesifisitasnya. hanya gambaran erosi tulang dan
fraktur vertebra yang mampu dilihat. oleh karena itu, hanya diferensial diagnosti dari
mielopati kompresi dan atau fraktur vertebra yang bisa ditegakkan.
Meskipun CT tulang belakang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terutama
jika menggunakan kontras dan dapat menunjukkan spondilitis, itu tidak cukup untuk
deteksi dini discitis atau abses epidural. Dalam kasus bakteri dan spondilitis TB, CT-Scan
menunjukkan peningkatan erosi dan kerusakan badan vertebra dan dengan menggunakan
kontras ditandai dengan enhancement ruang disk dan gambaran inflamasi dalam daerah
paravertebral. Diagnosis abses epidural tulang belakang hanya bisa dilakukan dengan
menggunakan CT-Scan. CT myelografi setidaknya dapat menunjukkan daerah kompresi,
meskipun masih belum bias mengetahui etiologi pastinya. Singkatnya, pemeriksaan ini
hanya direkomendasikan dalam keadaan darurat dan tidak tersedianya MRI.
Semenjak ditemukan MRI, pemeriksaan kedokteran nuklir tidak lagi diterapkan
secara rutin. MRI merupakan metode pilihan dalam kasus kecurigaan spondylodiscitis.
T1- Weighted menunjukkan hilangnya vertebralis tubuh, penghancuran margin kortikal
dan gangguan kontinuitas kortikal. T2-Weighted menunjukkan intensitas yang tinggi pada
tulang yang terkena dan struktur disk. Aplikasi dari gadolinium adalah wajib dan
memfasilitasi diagnosis. Kontras perangkat tambahan dapat dilihat sebagai tanda awal di
fase akut dimana perubahan pada T1/T2WI sangat minimal.
Patogen yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, tapi lain bakteri
termasuk kasus langka Brucellar spondilitis telah dilaporkan. Beberapa fitur telah
diidentifikasi muncul membantu dalam diferensiasiTB dan spondylitis piogenik.
Berkenaan dengan penyakit spondylitis TB lebih sering menunjukkan gambaran
gambaran paraspinal abnormal, abses yang minimal, subligamentous menyebar ke tiga
atau lebih badan vertebral dan keterlibatan sebagian besar badan vertebra toraks. Hal ini

[Type text] [Type text] 26


penting untuk diingat pada kasus langka yaitu osteomielitis yang disebabkan oleh jamur,
terutama karena aspergillus dan jarang kriptokokus dapat menunjukkan temuan yang
sama MRI sebagai spondylitis bakteri. Mucormycosis Spinal telah dilaporkan pada
beberapa pasien dirawat karena leukemia.
MRI sangat penting untuk memantau klinis dan dalam tanpa peradangan sistemik,
peningkatan gadolinium dapat bertahan selama berbulan-bulan.

Abses Spinal Epidural

Abses spinal epidural membutuhkan kewaspadaan yang tinggi oleh para klinis .
Terutama pada pasien setelah injeksi paravertebral, scanning awal harus dipertimbangkan
bila ada rasa sakit punggung local yang makin hebat, sedimentasi tinggi tingkat dan
leukositosis.
MRI menggambarkan abses epidural sebagai gambaran massa hyperintense dan
disertai dengan peningkatan intensitas pada T1WE-Gd. Gambar pada MRI di aksial dan
sagital berguna dalam perencanaan pra operasi. Terapi dengan bedah dekompresi dan
drainase diperlukan dalam kasus-kasus dengan kompresi struktur saraf. Kasus tanpa
kompresi spinal dan tanpa abses tapi dangan tanda-tanda neurologis parah dapat menjadi
meragukan diagnostik. Dalam kasus-kasus iskemia saraf tulang belakang karena
trombosis dari pembuluh leptomeningeal atau kompresi arteri tulang belakang harus
dicurigai sebagai mekanisme yang mendasari.sehingga, neuroimaging digunakan untuk
menjelaskan etiologi dan mencegah tindakan bedah yang tidak perlu sebagai intervensi
terapeutik.

Keterlibatan Medula Spinalis dan Meningen


Foto polos dan CT- tidak membantu. Hanya MRI yang dapat menunjukkan
gambaran inflamasi pada medulla spinalis. Dalam infeksi akibat bakteri, inflamasi di
medulla spinalis sebagian besar disebabkan oleh perubahan sekunder dalam abses
intraspinal. MRI menunjukkan peningkatan intensitas yang berbanding lurus dengan
peradangan dan edema pada T2WI. Pada saat ini, infeksi spirochetal umumnya
disebabkan akibat penyakit LymeBorrelia burgdorferi.

[Type text] [Type text] 27


Mielitis
Mielitis dapat menjadi komplikasi yang sering pada infeksi virus. Dalam banyak
kasus, virus tetap dapat teridentifikasi.Pada kasus Herpesviridae seperti Varicella zoster
virus, cytomegalovirus, dan Epstein-Bar virus (EBV) serinng digambarkan pada pasien-
pasien dengan immunocompromised. Karena seringnya kasus-kasus tersebut dengan
ascending paraparesis, diferensiasi dari mflammatory polyradiculitis. MRI menunjukkan
tingginya perubahan sinyal pada medulla spinalis dengan variabel edema dan
peningkatan Gd juga di lumbosacral roots pada infeksi EBV. Coxsackie dan virus ECHO
dapat menyebabkan myelitis transversal.
MRI perubahan termasuk kelainan parenkimmedla spinalis dan cauda equine
enhancement. Pada tahap awal infeksi HIV, mielitis yang terjadi dapat menyerupai
autoimmune- mediated myelitis. Dalam tahap selanjutnya, gambaran khas MRI
memungkinkan cepatnya diagnosis melalui saluran yang pucat dan vacuolar myelopathy
menunjukkan lesi intramedullary, kadang ditandai dengan tampilan kistik, terkadang
peningkatan Gd dapat ditemui. Pengobatan dengan steroid biasanya tidak bermanfaat
dalam kasus ini. Sebaliknya, dalam kasus tropical spastic paraparesis pada HTLV-2
myelopathy gambaran MRI tampak normal dan jarang sekali menunjukkan atrofi.

Viral Meningoencephalitis

Herpes Simplex Virus (HSV)


Herpes simplex virus (HSV) merupakan penyebab paling umum encephalitis oleh
virus. MRI Kranial unggul dibanding CT untuk deteksi awal tanda-tanda necrotizing
encephalitis yang dapat muncul pada 48 jam pertama pada T2-weighted (T2WI) atau
flair images.(Gambar 3)
Pada bayi dan neonatus, DWI terlihat lebih sensitif dibandingkan T2WI atau flair
imaging dalam pendeteksian awal edem sitotoksik kortikal. Baru-baru ini, penemuan
tersebut dapat dikonfirmasikan terhadap pasien dewasa. Menariknya, dengan melakukan
MRI ulang pada studi yang sama menunjukkan bahwa kelainan difus imenghilang dalam

[Type text] [Type text] 28


waktu 14 hari setelah onset gejala muncul, sedangkan hyperintensities pada T2WI
bertahan. studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah resolusi dari perubahan-
perubahan pada DWI berhubungan dengan pengobatan dengan zat-zat antivirus dan
apakah persistennya dari perubahan ini mencerminkan kerusakan kortikal dan hasil yang
lebih buruk pada pasien dengan ensefalitis HSV.

Nipah Virus

Nipah virus merupakan paramyxovirus baru yang erat kaitannya dengan Hendra
virus (mobillivirus pada kuda) yang baru-baru ini terbukti menyebabkan ensefalitis akut
yang berat. Fitur radiologi biasanya terdiri dari beberapa lesi kecil hyperintense sampai
white matter pada T2WI. T2WI juga dapat menunjukkan lesi transient hyperintense
punctuate di batang otak dan korteks. Menariknya, T2WI pada individu seropositif
asimtomatik dapat menunjukkan lesi kecil hyperintense serupa dengan yang ditemukan
pada pasien ensefalitis menunjukkan bahwa adanya varian subklinis ringan pada
ensefalitis Nipah virus.

Enterovirus 71 (EV71)
Enterovirus 71 (EV71), suatu enterovirus dari famili Picornaviridae, dapat
menyebabkan seperti polio-like brainstem encephalitis dan acute flaccid paralysis. MRI
dari EV71 ensefalitis biasanya menunjukkan lesi hyperintense pada T2WI terletak di
dalam brainstem dan dentate nukleus dari cerebellum. Pada beberapa pasien, lesi dapat
diperluas hingga saraf tulang belakang, talamus, dan putamen. Pada beberapa pasien,
DWI mampu menunjukkan perubahan hyperintense dalam posterior medula tanpa
kelainan otak lainnya pada T1WI atau T2WI pada hari pertama dari kerusakan
neurologis, perlu di garis bawahi bahwa keunggulan DWI dalam deteksi dini infeksi SSP
dibandingkan dengan hasil dari T2WI ataupun dengan kontras yang ditingkatkan pada
T1WI.

[Type text] [Type text] 29


Japanese encephalitis (JE)
Japanese encephalitis (JE) menyerang sekitar 50.000 orang per tahun, di
antaranya sekitar 10.000 akan mati. Seperti infeksi SSP lainnya, MRI cranial lebih
sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi JE yang berhubungan dengan kelainan otak.
Fitur yang khas pada MRI terdiri dari lesi mixed intensiy maupun hypointense pada T1WI
dan lesi hyperintense atau mixed intensity pada T2WI terutama di thalami, tetapi juga di
ganglia basalis, branstem, cerebellum, dan area kortikal.

West Nile virus (WNV)


The West Nile virus (WNV) telah menyebabkan wabah ensefalitis di Eropa
Selatan, Rusia, dan Amerika, dengan wabah besar ensefalitis terakhir pada tahun 2002.
Klinis, laboratorium, dan fitur neuroimaging digambarkan dalam sebuah studi baru-baru
ini yang mengevaluasi WNV seropositif pasien. 5 pasien dengan meningitis, 8 dengan
ensefalitis dan 3 dengan polio-like acute flaccid paralysis. Hanya dua dari delapan pasien
encephalitic pada T2WI dan DWI menunjukkan fokus lesi hyperintense di ganglia
basalis, thalamus dan pons, sedangkan CT tetap normal pada semua pasien. Pada pasien
acute flaccid paralysis, pada MRI menunjukkan peningkatan dari cauda eqina dan
kumpulan akar saraf. Pada beberapa pasien, virus menyerang substantia nigra seperti
yang ditunjukkan dengan hyperintensities pada T2WI region tersebut. Serupa dengan
HSV dan EV71 ensefalitis, DWI tampaknya lebih sensitif dalam mendeteksi kelainan
terutama pada fase awal infeksi WNV pada otak.

Murray Valley Encephalitis (MVE)


Murray Valley Encephalitis (MVE) termasuk JE antigenik yang kompleks dan
merupakan endemik di Australia dan Papua Nugini. MRI menunjukkan kelainan yang
sangat mirip dengan JE. Seperti baru-baru ini melaporkan, T2WI menunjukkan
perubahan hyperintense dalam thalamus, red nucleus, substantia nigra, dan cervical
spinal cord. Dengan demikian, kesamaan dalam tampilan MRI dari Japanese
Encephalitis, West Nile Encephaliti, dan Murray Valley Encephalitis Nil Barat ensefalitis,

[Type text] [Type text] 30


dan Murray Valley Encephalitis tidak memberikan perbedaan dari infeksi SSP yang
hanya dilihat dari fitur imagingnya saja.

Acute measles virus encephalitis dan subacute sclerosing panencephalitis (SSPE)


Acute measles virus encephalitis dan subacute sclerosing panencephalitis (SSPE),
Infeksi pada SSP dengan measles virus (MV) dapat menyebabkan 1) acute postinfectious
encephalitis, 2) acute progressive encephalitis, dan 3) SSPE. Data tentang temuan
pencitraan dalam acute measles encephalitis jarang. T2WI dapat menunjukkan adanya
edema kortikal dan lesi yang simetris bilateral hyperintense dalam putamen dan nucleus
caudatus serta dalam centrum semiovale. Kadang-kadang pada pasien juga ditemukan
lesi bilateral thalamus dan kelainan sinyal dalam corpus callosum. Nilai DWI dalam
deteksi dini acute measles encephalitis belum dievaluasi.
Dengan penambahan Kontras dapat memunculkan di daerah kortikal dan
leptomeninges pada beberapa pasien. SSPE adalah penyakit progresif SSP yang jarang,
biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan awal remaja tetapi juga dapat muncul pada
dewasa tua. Perbedaan dalam tampilan pada tahap awal dan tahap akhir SSPE pada MRI
tidak didefinisikan dengan baik. Sebuah studi baru-baru ini dibandingkan MR
spektroskopi dan MRI konvensional pada anak- anak dengan tahap awal dan anak-anak
dengan tahap akhir SSPE.
MRI Konvensional tidak menunjukkan kelainan dalam tahap awal SSPE, tetapi
diungkapkan meluasnya perubahan periventricular hyperintense pada T2WI di SSPE
tahap akhir. Sebaliknya, MRI spektroskopi menunjukkan peningkatan
rasiokolin/kreatinin di bagian frontal dan parieto-oksipital white matter pada semua
pasien peradangan juga dalam tahap awal SSPE. Rasio N-acetylasparate / creatine
normal pada tahap awal mungkin mencerminkan tidak adanya kerusakan saraf, yang
dapat terdeteksi dalam tahap akhir SSPE.

Infeksi Jamur
Infeksi jamur SSP pada umumnya sangat jarang. Kecuali pada penderita diabetes
yang sudah menahun, paling sering ditemui pada keadaan immunocompromised seperti
pasien dengan AIDS atau setelah transplantasi organ. Karena kurangnya respon inflamasi,

[Type text] [Type text] 31


temuan neuroradiological sering tidak spesifik.
Meskipun hampir semua jamur dapat menyebabkan ensefalitis,
meningoencephalitis kriptokokus paling sering ditemui, diikuti oleh aspergillosis dan
yang lebih jarang lagi candidasis. candidasis Cerebral biasanya didahului oleh infeksi
kandida yang sistemik dan sering berhubungan dengan penggunaan kateter. Pada pasien
imunokompeten, dapat nyata sebagai lesi yang padat atau seperti abses dengan diferensial
diagnosis abses piogenik. Pasien dengan imunosupresif, temuan neuroradiological sering
sulit diinterpretasikan. MRI menunjukkan punctuate atau tanda hyperintensities yang
merata pada T2WI, peningkatan gadolinium sering tak tampak. Temuan ini saja tidak
memungkinkan diagnosis spesifik, sehingga keputusan pengobatan harus didasarkan pada
parameter klinis dan temuan CSF.

Jamur Criptococcus
Pada meningoencephalitis kriptokokus, peningkatan diffuse meningeal dan juga
ventriculitis dapat dilihat pada MRI. Temuan khas berupa lesi punctuate multiple, sering
di ganglia basalis. Hal ini merupakan karakteristik lesi cystic karena invasi kriptokokus di
ruang Virchow-Robin. Ini lah yang dikatakan les soap bubble lessins dan
memungkinkan diagnosis sementara untuk pengobatan antijamur secepatnya. Pada pasien
nonimmunodeficient atau pasien dengan AIDS di bawah pengobatan antiretroviral yang
sangat aktif, yang mengembangkan immune reconsituation syndrome lesi dapat meluas
menjadi cincin yang meningkat. Kematian tinggi pada pasien tersebut, dan diagnosis dini
adalah wajib jika ingin bertahan hidup.
Laboratorium tidak selalu pastikan diagnosis infeksi jamur sehingga
neuroimaging yang penting dalam menetapkan diagnosis. Temuan CT mungkin
nonspesifik dan diagnosis infeksi jamur sering dibuat secara retrospektif di otopsi.

[Type text] [Type text] 32


Aspergilus
Tampilan aspergillus pada infeksi SSP sangat bervariasi. penggunaan MRI,
beberapa pola cerebral aspergillosis telah dilaporkan: lesi edematous, lesi hemoragik,lesi
solid disebut sebagai aspergilloma atau "tumoral form" abscess-like ring-ike lesions
(Gambar. 4), dan infarction-like lesions. Dural enhancement biasanya dilihat pada lesi
terinfeksi yang berdekatan dengan sinus paranasal.
MRI, lesi dapat menunjukkan area isointense atau intensitas sinyal yang rendah
pada T2WI, yang dihubungkan dengan jamur hypercontaining yang mengandung unsur
paramagnetik seperti mangan, besi, dan magnesium, tetapi bisa juga berkaitan dengan
kerusakan produk darah. kortikal dan subkortikal infark dengan atau tanpa perdarahan
merupakan temuan umum pada infeksi aspergillus yang dijelaskan oleh infiltrasi jamur
pada dinding pembuluh darah dan thrombosis. Pasien dengan AIDS dan setelah BMT,
yang mengalami immunoincompetent, sering tidak menunjukkan peningkatan atau edema
perifocal.

[Type text] [Type text] 33


KESIMPULAN

Pemeriksaan Radiologi sangat banyak membantu dalam pemeriksaan Meningitis,


tidak hanya untuk membantu mendiagnosis dari gambaran otak tetapi juga untuk
menentukan asal infeksi meningitis , perkembangan komplikasi, membantu menentukan
perbaikan setelah terapi.
Foto X-Ray digunakan untuk melihat sumber infeksi seperti adanya trauma
fraktur yang menimbulkan infeksi yang menyebabkan meningitis atau adanya infeksi
pada paru yang menyebabkan meningitis.
CT scan biasa dilakukan untuk membantu diagnosis dari Meningitis dan sebelum
pungsi lumbal untuk mencegah adanya kontraindikasi dari pungsi lumbal seperti
peningkatan tekanan intracranial karena adanya obstruksi.dan juga dapat membantu
melihat sumber infeksi dari trauma lebih secara keseluruhan dari pada X-Ray.
MRI digunakan untuk lebih detail untuk melihat tetapi biasanya digunakan setelah
pengobatan karena pasien meningitis sering mengalami kejang .sehingga sulit untuk
dilakukan MRI yang membutuhkan waktu yang lebih lam dari ct scan untuk
pemeriksaannya dan pasien dalam keadaan tenang.

[Type text] [Type text] 34


DAFTAR PUSTAKA

1. Susana Chavez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial Meningitis in


Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric
Infectious Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of
Dallas. Pediatr Clin N Am 2005; 52: 795 810.

2. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,


Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 16-21

3. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004; 39: (9)
1267-84

4. T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L


Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an
investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro
Surveill. 2013; 18(12) 20436.

5. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,


Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Universit
Degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen

6. http://www.meningitis.org/. Diakses 27 Oktober 2014.

7. http://www.cdc.gov/meningitis/index.html . Centers for Disease Control and


Prevention (CDC). Diakses 27 Oktober 2014.

[Type text] [Type text] 35


8. http://www.med-ed.virginia.edu/courses/rad/headct/infection1.html . Diakses 27
Oktober 2014.

9. http://radiopaedia.org/articles/brain-abscess-1 Diakses 28 Oktober 2014 Rasad, S.


Radiologi Diagnostik, Edisi 2. FK UI. Jakarta. 2011.

10. Perfect JR, Dismukes WE, Dromer F et al. Clinical practice guidelines for the
management of cryptococcal disease: 2010 update by the infectious diseases society of
america. Clinical Infectious Diseases 50. 2010.

11. Bicanic T, Harrison TS. Cryptococcal meningitis. British Medical Bulletin 72 (1): 99
118. Doi:10.1093/bmb/ldh043. PMID 15838017. 2004.

12. Warrell DA, Farrar JJ, Crook DWM. "24.14.1 Bacterial meningitis". Oxford Textbook
of Medicine Volume 3 (ed. Fourth). Oxford University . 2003.

13. de Gans J, van de Beek D. Dexamethasone in adults with bacterial meningitis. The
New England Journal of Medicine Vol 347; No. 20. November 2002.

[Type text] [Type text] 36


LAMPIRAN

Gambar 1: CT-Scan seorang pasien dengan meningitis tuberculosis menunjukkan


perubahan inflamasi perivaskuler dan infark

[Type text] [Type text] 37


Gambar. 2 Axial post-gadolinium T11WI showing ring-enhancing lesion with mass effect
in a patient with pyogenic brain abscess

[Type text] [Type text] 38


Gambar. 4 Coronal T1WI after gadolinium enhancement. Patient after bone marrow
transplantation with aspergillus encephalitis. Ring-enhancing lesion with perifocal edema
and mass effect compressing the lateral ventricle

Gambar 4. In these sections from the same patient notice the enlagement of the ventricles
and cisterns that occurs with hydrocephalus.

[Type text] [Type text] 39


Gambar 5. In this post contrast CT scan, note the ring enhancing brain abscess
(arrowheads) and enhancement of the ependymal lining of the atrium by the left lateral
ventricle (arrow)

Gambar 6.The image on the left shows thrombosis of the superior sagittal sinus (arrow)
prior to the administration of contrast. The image on the right shows the thrombosis in the
same patient after contrast administration.

[Type text] [Type text] 40


Gambar 7.Epidural Abses :In the left image notice the rim enhancing epdural fluid
collection (arrowheads). In the right image, notice the opacification of the left frontal
sinus due to acute sinusitis (arrow).

Gambar 8. Subdural Abses.Notice the heterogeneous subdural fluid collection.

[Type text] [Type text] 41


Gambar 9 .Subdural abses .In the same patient, post contrast administration, notice the
patchy enhancement of the fluid collection.

Gambar 10.The arrow in the left CT indicates the dense basilar artery. Compare this to
the normal basilar artery (indicated by the arrow) from a different patient in the CT to the
right.

[Type text] [Type text] 42

Anda mungkin juga menyukai