Anda di halaman 1dari 2

Radityo M.

Harseno
11010113130759
D

Observasi Lapangan di Kabupaten Kendal


Mengenai Budaya Masyarakat Melanggar UU Lalu Lintas Angkutan Jalan
Dengan Menggunakan Metode Pendekatan Empiris

Banyak gejala atau fenomena-fenomena menarik yang timbul dewasa ini, dikatakan
menarik karena mungkin secara normatif dianggap tidak biasa. Namun tentunya fenomena
tersebut muncul bukan karena kebetulan semata. Bisa dikatakan segala sesuatu pasti ada unsur
kausanya, oleh sebab itulah observasi ini dilakukan secara empirik dan bersifat ilmiah serta
dapat dibuktikan kebenarannya.
Berbicara mengenai observasi, pengamatan atau identifikasi terhadap sesuatu dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, salah satunya pendekatan yang saya gunakan dalam
observasi kali ini adalah pendekatan empiris. Hal tersebut dipilih karena berkaitan dengan
anomali perilaku yang rutin terjadi sehingga sudah membudaya di kalangan masyarakat luas.
Karenanya perlu adanya pendekatan secara langsung untuk mengetahuinya.
Berkaitan dengan topik bahasan kali ini, ialah budaya masyarakat melanggar UU Lalu
Lintas Angkutan Jalan atau lebih sering dikenal di lingkungan akademik fakultas hukum
dengan sebutan UU LLAJ (UU No. 22 Tahun 2009), budaya yang melanggar ini muncul karena
terdapat unsur kausalitasnya (seba-akibat), sehingga perlu diketahui apa yang menjadi latar
belakang munculnya budaya melanggar lalu lintas tersebut apalagi dilakukan dengan jamak.
Masyarakat dewasa ini mulai berpikir apriori bahwa hukum dibuat hanya untuk
dilaggar, mereka berpikir demikian bukan semata-mata atas persepsi secara awam, namun hal
tersebut timbul karena adanya contoh dari para oknum penegak hukum yang senantiasa
melanggar dengan bebasnya tanpa sadar bahwasanya perilaku mereka itu diindentisir bahkan
ditiru oleh masyarakat. Sehingga secara tidak langsung ada bukti pembenar bahwa hukum
dibuat memang untuk dilanggar.
Padahal perlu diketahui cara berpikir demikian adalah jelas sangat salah, karena tidak
ada konsekuensi logis yang menyertai pernyataan tersebut, sehingga hanya sifat apriori semata
dan karena keteladanan yang bobrok dari para oknum penegak hukum itu sendiri-lah yang
menjadi jawaban atas anggapan bahwa hukum dibuat hanya untuk dilanggar. Implikasinya bila
hal tersebut sudah membudaya dan menjadi persepsi umum maka melanggar hukum bukan lagi
perbuatan yang tidak biasa.
Justru dengan melanggar hukum akan dianggap sebagai perbuatan biasa yang jamak
dilakukan masyarakat secara luas karena pada kenyataannya para oknum penegak hukum itu
sendiri juga melanggar hukum. Contoh konkret dari apa yang disampaikan di atas, di antaranya;
praktek membuat SIM (Surat Izin Mengemudi), banyak oknum Polisi yang memanfaatkan
prosedur pembuatan SIM tersebut sebagai komoditi untuk mendapatkan untung dengan
orientasi pikir mencari jalan yang instan.
Di sisi lain masyarakat-pun juga tergoda untuk melakukan perbuatan curang tersebut,
mereka berdalih hal tersebut ditempuh karena efisiensi waktu dan tenaga. Perlu diketahui pula
orang-orang yang membuat SIM hampir mayoritas adalah mereka yang tidak memenuhi
ketentuan syarat minimal usia seseorang dapat memperoleh SIM, hal tersebut tidak diindahkan
oleh oknum Polisi tersebut karena yang ada di otak mereka hanyalah Profit Oriented, sehingga
secara tak langsung dampak yang mungkin timbul adalah kecelakaan yang terjadi akibat
pengendara motor yang belum menguasai dan memahami betul bagaimana berkendara yang
baik dan benar, semua itu terjadi karena tidak diperhatikannya kualifikasi-kualifikasi seseorang
dapat memperoleh SIM.
Contoh lainnya, adalah budaya membayar tilang, ketika beberapa oknum Polisi sedang
melakukan operasi tilang di jalan raya, tak jarang sebenarnya mereka melakukan itu dengan
illegal atau tanpa surat tugas dari atasannya. Pernah suatu ketika saya menginvestigasi apa yang
melatar-belakangi mereka melakukan operasi tilang illegal tersebut salah satunya adalah untuk
mendapatkan tambahan uang makan pribadi. Di saat terjadi operasi tilang masyarakat yang
terjaring juga ternyata enggan memilih prosedur yang baik dan benar untuk bersidang, mereka
justru memilih alternatif yang tak seharusnya, dengan membayar oknum Polisi tersebut guna
memudahkan proses selanjutnya untuk dibebaskan tanpa harus sidang. Lagi-lagi dalih yang
mereka (masyarakat) gunakan adalah proses yang instan, menghemat waktu dan biaya. Justru
sesungguhnya di samping proses tersebut melanggar hukum dan prosedural, biaya yang
dikeluarkan-pun menjadi lebih banyak daripada untuk sidang. Inilah yang kemudian menjadi
bukti bahwa benar adanya oknum penegak hukum ternyata juga melanggar hukum, sehingga
tak salah cara pikir apriori dari masyarakat muncul terhadap masalah pelanggaran hukum.

Anda mungkin juga menyukai