Anda di halaman 1dari 6

Pengojek Payung

Dinda menjulurkan lehernya keluar jendela. Hatinya senang melihat awan hitam bergulung
di langit kendari sore itu. Terdengar gemuruh guntur berkepanjangan di kejauhan, mirip suara
bergulirnya ban raksasa di jalan beton yang bergelombang dan berlubang.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, ia menarik keluar sebuah payung besar
warna-warni kebanggaannya. Besarnya hampir seperti payung yang setia bertengger di atas
gerobak penjual buah dipinggir jalan. Payung ini benda terbaru dan terbagus yang ia miliki saat
ini. Warna kainnya masih cemerlang, berbeda warna di setiap lengkungannya. Gagangnya
terbungkus karet yang berwarna-warni pula.

Payung itu ditemukan Bapak seminggu yang lalu di bak sampah milik sebuah rumah besar
di kompleks perumahan tempat Bapak dinda biasa mencari barang bekas. Waktu ditemukan,
jahitan yang melekat di tangkai-tangkai payung tersebut pada lepas semua sehingga tidak dapat
dikembangkan. Paying itu masih sangat bagus, rangkanya saja masih bagus dan berkilap.
Dengan bantuan pak alif, tetangga sebelah rumah yang mahir menjahit, sebentar saja payung
selesai dijahit. Ongkosnya gratis, begitu kata pak alif.
Kebetulan ada nenek asih, nenek yang tinggal di depan rumah, yang menjaga Diyon di rumah.
Sebentar lagi Bapak pulang. Sambil menenteng sandal jepit usangnya, Dinda berjalan
mengendap-endap melangkahi tubuh nenek asih dan Diyon yang sedang tidur pulas, melintang di
atas kasur tipis di tengah rumah. Pintu rumah ditutupnya denga sangat pelan agar tidak didengar
oleh nenek asih dan diyon.

Sejak payung itu jadi miliknya, hujan membawa gairah baru dalam hidup Dinda. Hujan
berarti kerja. Kerja berarti rezeki. Seperti Bapak, ia juga ingin membawa pulang sejumlah uang
ke rumah. Hari ini payungnya akan beraksi untuk kedua kalinya. Pengalaman pertamanya
sebagai pengojek payung seminggu yang lalu menghasilkan tiga belas ribu rupiah dalam waktu
dua jam, di tengah guyuran hujan yang tak seberapa deras. Harusnya bisa mencapai paling
sedikit enam belas ribu rupiah jika saja jijin tidak mendadak muncul dan merebut paksa tiga
calon pelanggan ojek payungnya.

Hari ini pasti akan lebih banyak, pikirnya. Sekarang adalah waktunya para karyawan yang
bekerja di gedung-gedung tinggi itu pulang kerja. Mereka yang tidak mendapat tumpangan
kendaraan akan membutuhkan payungnya untuk menuju halte bus, pangkalan taksi atau
angkutan umum lainnya.

Dinda berharap hujan sedikit lama hari ini. Semoga tidak bertemu jijin di hari yang baik ini.
Juga tidak bentrok dengan ilo, Bono, dan Ipung, yang rajin bekerja di musim hujan seperti
sekarang ini.

Mereka tidak seperti jijin yang suka merebut pelanggan. Tapi, Bono gesit luar biasa, karena
jam terbangnya yang lebih banyak dari yang lain. Dia pengojek payung senior di musim hujan.
Jika hari sedang cerah, Bono sering nongkrong di lorong tempat tinggalnya dengan kacamata
hitam kebanggaannya. Biasanya, rambut Bono berkilap seperti habis mandi dan disisir kaku
dengan gel hingga membentuk kerucut di ubun-ubun kepala.
Sambil menyusuri lorong, Dinda menimbang-nimbang, akan digunakan untuk apa uangnya
nanti. Uang hasil ojek payung yang lalu dipinjam nenek asih untuk membeli beras. Tak apalah,
musim hujan belum berakhir, pikirnya. Yang pasti, kali ini ia ingin membelikan Diyon biskuit
yang diputar-dijilat-dicelupin itu (oreo). Satu bungkus saja, untuk dicelupkan dalam segelas air
putih. Tidak perlu beli susu karena akan mengurangi pendapatannya hari ini. Tapi, boleh juga.
Jika pendapatannya lebih banyak lagi, Dinda ingin membeli sekotak susu rasa stroberi. Dinda
meneguk ludah waktu membayangkan dirinya memutar, menjilat, dan mencelupkan biskuit itu
ke dalam segelas susu berwarna semu merah muda.

Dinda sudah berencana akan menabung sebagian uangnya untuk membeli payung tambahan.
Ia sudah menyurvei harga payung di beberapa toko di pasar. Ada yang berharga dua puluh ribu
rupiah, tapi terlihat kecil dan rapuh. Yang kelihatan cukup besar dan lebih kekar kira-kira
berharga tiga puluh ribu rupiah. Ia tidak mau membeli yang rapuh, supaya tahan lama.

Payung tambahan pertama itu akan disewakannya pada anggi saat hujan. Bagi hasil
seperempatnya untuk pemilik payung. Jika anggi dapat sepuluh ribu, Dinda berhak atas setoran
dua ribu lima ratus. Kemudian ia akan menabung terus hingga payung tambahannya ada lima
buah dan Payung besarnya akan tetap ia gunakan sendiri. Selain Satrio, masih ada ali, jaro, Agus,
dan Caka, Mereka adalah anak-anak yang tinggal selorong dengan dinda, mereka pasti juga mau
jadi pengojek payung. Yang penting mereka jujur, tidak nakal seperti jijin. Jika hujan, mereka
berpencar mencari pelanggan. Payung-payung Dinda akan beredar di beberapa halte, rumah
sakit, ruko-ruko dan gedung-gedung perkantoran, melalui kelima temannya itu. Kemudian
setoran pada pemilik payung akan menambah jumlah tabungannya.

Dinda tidak dapat menahan senyum saat membayangkan teman-temannya menyetor hasil
ojek payung. Tapi, bagaimana jika mereka berlima membohonginya? Atau istilahnya, korupsi?
Mungkin saja, caka yang genit dan nakal itu ingin segera membeli gel rambut seperti punya
Bono dan tidak melaporkan uang hasil ojek payung dengan jujur. Senyum Dinda menghilang.
Dahinya berkerut. Lalu, aha! Ia berseru dalam hati. Sebelum menjadi mitranya, ia akan
meminta kelima temannya bersumpah di atas Al Quran, seperti pada pelantikan para pejabat
yang dilihatnya di televise pak alif. Sebaiknya, ia juga meminjam peci hitam Bapak supaya
sumpah itu terasa resmi.

Jika rezeki ojek payung baik, Dinda ingin membeli jas-jas hujan kecil yang dijual di warung.
Jas hujan warna-warni yang plastiknya tipis itu berharga paling sedikit sepuluh ribu rupiah. Ia
pikir, sebaiknya, anak buahnya itu jangan sampai jatuh sakit karena diguyur hujan. Jas hujan
bertopi itu akan melindungi teman-temannya. Seragam warnanya, semua berwarna biru. Maka
mereka akan menjadi Pasukan Biru, penyelamat dalam musim hujan. Tidak bisa gratis, pikirnya.
Ia akan menyewakan jas hujannya sebesar seribu rupiah untuk satu kali pakai, saat mereka
menyewa payung-payungnya.

Tapi, bagaimana jika Satrio, ali, jaro, agus, dan Caka lupa pada sumpahnya? Dahinya
kembali berkerut. Matanya menatap jalanan. Kakinya iseng menendang-nendang kerikil di depan
langkahnya. Sesaat kemudian, sebuah ide menyergap lamunannya. Baiklah, pikirnya, supaya
mereka tidak lupa, ia akan membeli spidol antiair. Akan ditulisnya di bagian dalam paying,
Tuhan ada di mana-mana.
Jujur saja, sebenarnya Dinda tidak terlalu paham pada kalimat itu. Ia hanya meniru apa yang
pernah dikatakan Pak Ustad padanya. Dengan malu-malu, setelah belajar mengaji, ia pernah
bertanya, Di mana Allah itu pak Ustad? Pak Ustad mengelus kepala Dinda, menatap lekat bola
matanya, sambil menjawab, Allah atau Tuhan ada di mana-mana, Nak. Di mana-mana, Saat
itu Dinda manggut-manggut. Tapi, sejujurnya, dia tetap tidak mengerti. Pak Ustad tidak bilang
bahwa Tuhan mengawasi mereka dari atas. Di mana-mana, harusnya berarti di semua tempat,
bahkan yang gelap dan tersembunyi. Pikirnya, Tuhan yang Maha Agung itu pasti sangatlah
penyayang jika Dia juga ada di sini, di tengah-tengah bau sampah yang menguar tertiup
hembusan angin dari sungai di belakang rumah.

Jika Tuhan mau berada di sini, apalagi di rumah megah yang dilihatnya di televisi semalam.
Tapi, herannya, pemilik rumah megah itu memilih minggat dari rumah dan sedang dicari polisi
karena korupsi. Begitulah kata si penyiar berita. Tuhan pasti tahu di mana orang itu, tapi Dia
tidak bilang. Karena Tuhan tidak bilang-bilang apa yang diketahuinya, mungkin saja Satrio, ali,
jaro, Agus, dan Caka juga tidak takut pada Tuhan. Tapi, Dinda berencana tetap membeli spidol
tahan air itu. Seandainya Satrio, alit, jaro, Agus, dan Caka tidak korupsi, tetap saja mereka juga
bisa berhenti jadi anak buahnya dan menyewakan payung milik mereka sendiri nantinya.

Biarlah, pikir Dinda. Terlalu jauh untuk dipikirkan. Payung tambahannya saja belum dibeli.
Wajah dinda kembali gembira karena membayangkan lembaran-lembaran rupiah di kantong
celananya.

Memikirkan lembaran-lembaran uang membuat khayalan Dinda buntu. Ia tidak dapat


membayangkan, berapa uang yang bisa ia tabung dengan modal enam buah payung. Bahkan, ia
tidak pernah membayangkan punya uang banyak. Yang dia tahu, uang adalah penyambung hidup
keluarganya sehari-hari. Jika mampu, mungkin ia ingin lebih sering membeli biskuit dan susu,
juga sepasang sandal baru untuk nenek asih. Mungkin juga, suatu hari dia bisa membeli sepasang
sepatu bola. Tapi, ia tidak yakin Karena ia tidak tahu harga sepatu itu.

Lamunannya terhenti saat tiba di depan lororng. Dinda menganggukkan kepalanya pada
Bang Joni, penjual buah dingin.

Hei, bocah! Bang Joni memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya pada
Dinda. Ia memang sering memanggil anak-anak dengan sembarangan. Dinda berhenti di depan
Bang Joni.

Jual aja payung kau itu. Buat ganti payung gerobakku ini.

Enggak dijual, Bang.

Kubayar dua puluh ribu rupiah.

Enggak mau, Bang.

Berapa?

Enggak dijual, Bang.

Bang Joni mendengus.


Payung itu terlalu besar buat kau. Lebih besar payung itu daripada badan kau yang macam ikan
asin itu, eJek.

Biarin, Bang.
Dinda mengeratkan pegangan pada payungnya dan berbelok ke jalanan di sisi tanah kosong
berpagar beton rendah. Masih didengarnya Bang Joni memaki-maki dirinya.

Dari kejauhan dilihatnya Satrio. Anak itu makin kurus saja. Ia pasti lebih mirip ikan asin, seperti
yang dikatakan Bang Joni, pikir Dinda.

Mau ke mana, din?

Biasa, Dinda menggerakkan sedikit payung yang dipeluknya.

Payung kamu masih satu?

Satu. Nanti kalau ada satu lagi, kamu ikut, Yo.

Satrio mengangguk sambil mengelap ingusnya dengan pinggiran baju. Lama ia menatap
punggung Dinda yang menjauh ke arah jalan raya.

Mobil-mobil masih bergerak lancar, tetapi sebentar lagi pasti akan semakin padat karena
mendekati jam tutup kantor-kantor. Banyak yang akan membutuhkan ojek payungnya. Seribu
rupiah diterimanya untuk satu kali menyewakan. Kadang-kadang ada yang berbaik hati memberi
dua ribu rupiah untuk jarak yang dekat.

Dinda melihat jijin di kejauhan. Lebih baik pura-pura tidak melihat dan melewati jalan lain.
Tapi sudah terlambat. jijin berjalan ke arahnya. Dinda heran, jijin tidak membawa payung di hari
semendung ini.

Hai, Jelek! Pinjam payungnya! Pantas jijin tidak membawa payung. Jantung Dinda berdegup
lebih kencang. Tidak sadar, ia mengeratkan pegangan pada payungnya.

Jangan, jin.

Sebenar saja, Sompret!

jijin melotot galak pada dinda. Sengaja dadanya dibusungkan, menggertak. Dinda memeluk
payung besarnya erat-erat. Bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan.

jijin mencibir. Enggak ada yang nolongin kamu sompret. Mau lari, ha?!
jijin mendesak Dinda mundur sampai merapat ke tembok beton.

Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam aku balikin payungnya.


tidak boleh. Aku belum kerja hari ini.
Sama donk, nyet . Bukan kamu saja yang butuh uang!
Bau nafas jijin terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dinda melengos,
menghindari bau yang menyerang hidungnya.
Memangnya kamu enggak punya payung?
kenapa kamu tanya-tanya?! bentak jijin sambil menyentuh payung. Sini payung kamu!
Jangaaaan!

Sini!

tidak!

jijin mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dinda yang tetap
memeluk payung. Jijin melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya
pada pipi Dinda. Plak! Plak!

Rasain kamu!
Aaaa.!

Buk! jijin mendorong Dinda sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dinda.
Punggung Dinda membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata
yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus.

Jijin tidak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya
adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran
seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat,
akan menuai lembaran rupiah terbanyak.

Dinda membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi
jijin mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tidak
memercayai jijin akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya
mungkin sobek atau patah, tidak akan selamat dari kejahilan jijin.

Mendadak Dinda teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung
tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit.

Bangsaaat.at! Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki.

Mendengar teriakan itu, jijin menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan
larinya.

Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis
di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena
Dinda yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya.

Jijin pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan
manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya.
Entah, karena dia mendadak takut pada Dinda yang mengamuk seperti kesurupan karena
memburu waktu, atau karena dia tidak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai
padat. Jijin pernah diciduk Satpol PP saat tawuran.
Ciiiitttt..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Jijin di
belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Jijn berhenti mendadak dan
hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari.

Mampus ! Si pengemudi berteriak membentak Jijin. Jijin tidak peduli. Ia terus berlari.
Keterkejutan menahan langkah Dinda. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya.
Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan
pertama jatuh di kening Dinda, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari
langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dinda menjadi kabur.
Semangatnya mendadak runtuh. Jijin menghilang.

Tidak ada gunanya berteduh. Dinda menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tidak ada Jijin
di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Caka, dengan
rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya.

Terduduk di median yang lengang. Dinda membenamkan wajah di antara kedua lututnya,
menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata.
Hanya air hujan yang terus menderas.

Dinda menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-
ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dinda merasa dirinya mandi di bawah pancuran air
bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti
dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam
tubuh yang menggigil.

Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.

Dari jauh Jijin melihat Dinda yang terduduk di tengah kerumunan kendaraan yang membunyikan
klaksonnya

Anda mungkin juga menyukai