2. Inkompabilitas ABO17,18,24
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa
serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung
antigen respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit
hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh
kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai
anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang
serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar. Inkompabilitas ABO
tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan secara umum
dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.
III. GENETIK
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan
adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung
substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif
memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut
anti-D (anti-rhesus D).
IV. PATOFISIOLOGI
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu
hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah
ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel
eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi
hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara
memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak,
disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.1,8,9,11,12,13
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa
yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi
eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan
faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit,
tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri
pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis,
transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin
secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan
kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops
fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan
gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan
normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung
cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu
pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah
jantung.
Gambar 3. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3
Gambar 4. Reaksi hipersensitivitas
V. GEJALA KLINIS
Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:
A. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites
dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi,
tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke
dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung
lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis
ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan
pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia
akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat
mengganggu respirasi janin. 1,3,6,7,9
Gambar 5. Bayi hidrops fetalis
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup
keadaan: 4,10,14
1. gagal jantung akibat anemia.
3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat kerusakan parenkim hati oleh proses
hematopoesis ekstrameduler.
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan
lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie
menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.
B. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia
basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek
dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah
kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau
tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan
tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan
selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan.1,3,7
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung
kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit
yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu
eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik
dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi
eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam
eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih
lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang
dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5
mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 11
A. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan
eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif
(D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila
tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah
ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor
sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor
ditransfusikan.
C. Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko
terjadinya overloadingsangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
D. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi
tunggal.
Gambar 9. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas. 3
A. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi
secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar
bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah
umbilikus yang diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal
di dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau
intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu
Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian
besar proses isoimunisasi D.
XI. KESIMPULAN
XII. RUJUKAN
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat Laboratorium
Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI; 2005.
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2 nd ed.
USA: WB. Saunders; 1999.
3. Salem L. Rh incompatibility. http:// www. Neonatology.org. 2001. Downloaded
on November, 30 th, 2009.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Obstetri Williams.
Edisi 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.
5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian
IKA FKUI; 1991.
6. Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William
Brooks Queensland; 1985.
7. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. http:// www. Neonatology.org. 2002.
Downloaded on November, 30 th, 2009
8. Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ.
Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant. 6 th ed. St. Louis:
Mosby Year Book; 1997. p.300-311.
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Edisi 4. Jakarta: Bagian
IKA FKUI; 1996.
10. Berman S. Ph. Isoimmunization. In: Berman. Obgyn secrets. 2nd ed. Colorado;
Book Promotion & Service Co; 1999. p.241-245.
11. Shaver DC. Isoimmunization. In: Shaver DC. St. Louis: Mosby Year Book; 1997.
p.300-311.
12. Moninja HE. Penyakit-penyakit dalam Masa Neonatal. Dalam: Winkjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadi T. Ilmu kebidanan. Ed.II. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1986. h.426-444.
13. Mochtar R. Sinopsis obstetri 1. Jakarta: EGC; 1995.
14. Fanaroff AA, Martin RJ Eds. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and
infant. 5th ed. St. Louis: Mosby-Year Book; 1995.
15. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Williams Obstetrics.
20th ed. Philadelphia: Prentice Hall international; 1997. p.706-721.
16. Abnormalities Of Pregnancy. USA: The Merc Manual, Section 18, Gynecology
And Obstetrics, Chapter 252; 1995-2004.
17. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Williams Obstetrics.
21thEd. USA: The McGraw-Hill Companies; 2001.
18. Wiknjosastro H. Penyakit Darah. Dalam: Winkjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadi T. Ilmu kebidanan., Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 1999. h.468-485
19. Medical Diagnosis. Erythroblastosis Fetalis. USA: MedFamily; 2001-2004.
20. Crosby WM, Block MF, Morgan MA. Rh (and other) isoimmunization. In: Dilts
PV, Sciarra JJ, eds. Gynecology and Obstetrics. Philadelphia: JB Lippincott Co;
1994. p.434-444.
21. Perkins JT. Hemolytic Disease of the newborn. In: Gleicher N. Principles and
Practice of Medical Therapy in Pregnancy. 2nd Ed. USA: Appleton & Lange; 1992.
p.320-327.
22. Socol ML. Management of Blood Group Isoimmunization. In: Gleicher N.
Principles and Practice of Medical Therapy in Pregnancy. 2nd Ed. USA: Appleton &
Lange; 1992. p.563-576.