Anda di halaman 1dari 13

Eritroblastosis fetalis

Posted on November 16, 2010 by inongaceh


I. PENDAHULUAN
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada
janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin.
Sindroma ini merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin
terutama pada sistem rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat
kompleks dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur
maupun interaksi antigeniknya. Pada tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty
melaporkan bahwa fetal anemia yang ditunjukkan dengan jumlah eritroblas yang
ada dalam sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.2,3
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan
antigen-D dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak
seperti pada sistem ABO dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan
mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus
pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi
atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila
dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus
positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang
mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti
Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.1,3
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya
endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain
dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun
antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin,
sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.1,2
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan
darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal
isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap
antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase
transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. 1,2,3,4,5,14
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin
yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam
patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan
bahwa eritroblas disebabkan oleh isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang
diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan
profilaksis maternal yang efektif. 1,2,3,8
II. INSIDEN DAN KLASIFIKASI
Secara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompabilitas yaitu: inkompabilitas
Rhesus dan inkompabilitas ABO. Keduanya mempunyai gejala yang sama, tetapi
penyakit Rh lebih berat karena antibodi anti Rh yang melewati plasenta lebih
menetap bila dibandingkan dengan antibodi anti-A atau anti-B. Insidens pasien yang
mengalami inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras
berkulit putih dan 5% berkulit hitam dan jarang pada bangsa asia. Rhesus negatif
pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing
yang bergolongan rhesus negatif. Selama 20 tahun, dari tahun 1972-1993, Hudono
(1993) menemukan di Jakarta hal-hal sebagai berikut: 8 kasus antagonismus Rhesus
dengan istri Rh negatif, semuanya bukan orang Asia; hanya pada 2 orang ibu (25%)
terjadi imunisasi.3 Selanjutnya dalam waktu yang sama dijumpai 2 kasus
eritroblastosis fetalis karena inkompabilitas ABO dan 2 kasus lainnya yang tidak
diketahui dengan pasti sebabnya, satu diantaranya mungkin karena inkompabilitas
ABO.2,3,7,8,10
1. Inkompatibilitas Rhesus (Rh)

Inkompatibiltas Rh dapat disebabkan oleh isoimmunisasi maternal ke antigen Rh


oleh transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal dari paparan ke antigen
Rh janin pada kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang. Pada
inkompatibilitas Rh, anak pertama lahir sehat karena ibu belum banyak memiliki
benda-banda penangkis terhadap antigen Rh, asalkan sebelumnya ibu tidak
menderita abortus atau mendapat transfusi darah dari Rh positif. Pasangan suami
istri hanya mempunyai 1 atau 2 anak, sedang anak-anak berikutnya semua
meninggal. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus
positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan insidens timbulnya
antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan
pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan
berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan
respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang
memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan terutama
trimester ketiga.7,10Kemungkinan terjadinya imunisasi Rh diperkirakan 1-2%
dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah. Untuk
inkompabilitas Rh, predominan seks adalah perempuan.5
Mayoritas inkompatibilitas Rh terjadi pada janin dengan Rh-positif dari ibu yang
mempunyai Rh- negatif.5,19 Faktor Rh adalah protein, suatu antigen dalam sel darah
merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel darah
yang tidak mempunyai antigen. Jika seseorang dengan Rh-positif, berarti dia
mempunyai faktor Rh di dalam darahnya. Jika seseorang dengan Rh-negatif, berarti
dia tidak mempunyai faktor Rh di dalam darahnya. Sekitar 85% orang-orang
mempunyai Rh-positif dan sekitar 15% dengan Rh-negatif. Faktor Rh bermasalah
ketika darah dengan Rh-negatif mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem
immun dari orang dengan Rh-negatif mengidentifikasi darah Rh-positif sebagai
penyerang yang berbahaya, suatu antigen, dan dapat memproduksi antibodi untuk
melawan darah tersebut. Antibodi adalah substansi protein yang dihasilkan oleh
tubuh dalam merespon suatu antigen. Antibodi ini yang mennyebabkan masalah
kehamilan.19
Gambar 1. Alur terjadinya Eritroblastosis fetalis

2. Inkompabilitas ABO17,18,24
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa
serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung
antigen respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit
hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh
kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai
anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang
serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar. Inkompabilitas ABO
tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan secara umum
dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.

Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut


Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.
Gambaran klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas
ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena
tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas
IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada
beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai
sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan
anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus
terutama pada neonatus preterm. Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan
meskipun transfusi tukar yang mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia.
Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama
antara laki-laki dan perempuan.4

III. GENETIK
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan
adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung
substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif
memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut
anti-D (anti-rhesus D).

Gambar 2. Keadaan janin dan plasenta pada Eritroblastosis fetalis berat.

IV. PATOFISIOLOGI
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu
hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah
ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel
eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi
hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara
memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak,
disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.1,8,9,11,12,13
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa
yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi
eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan
faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit,
tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri
pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis,
transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin
secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan
kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops
fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan
gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan
normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung
cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu
pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah
jantung.
Gambar 3. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3
Gambar 4. Reaksi hipersensitivitas

V. GEJALA KLINIS
Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:
A. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites
dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi,
tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke
dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung
lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis
ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan
pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia
akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat
mengganggu respirasi janin. 1,3,6,7,9
Gambar 5. Bayi hidrops fetalis
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup
keadaan: 4,10,14
1. gagal jantung akibat anemia.

2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia baerat

3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat kerusakan parenkim hati oleh proses
hematopoesis ekstrameduler.

4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan


oleh disfungsi hepar

Gambar 6. Gambaran USG hidrops fetalis

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan
lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie
menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

B. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia
basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek
dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.

Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah
kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau
tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan
tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan
selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan.1,3,7
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung
kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit
yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu
eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik
dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi
eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam
eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih
lanjut untuk menentukan antigen spesifik.

Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang
dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5
mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 11

VII. PENATALAKSANAAN 1,3,5,7,11


Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan
bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak
ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus
positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan
dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang
disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan
terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.

A. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :

1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah

2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan
eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin

4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu

Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :


a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari
kelebihan kalium

b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif
(D-)

c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells

d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak


tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh
positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali
dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.

e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells


f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan
lama pemberian transfusi 90 menit

g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila
tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah
ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.

h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C

i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor
sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor
ditransfusikan.

Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1


GOLONGAN DARAH IBU
O A B AB
GOLONGAN O O O O
A O A O A
DARAH
B O O B B
BAYI
AB A B AB
Gambar 7. Transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 3
B. Transfusi intra uterin :
Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk
kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih
belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus
(D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang
sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah
ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Namun harus menjadi perhatian bahwa risiko
transfusi intrauterin sangat besar sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para
ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis
(pungsi tali pusat perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan
minggu ke 2634 dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh
negatif sebanyak 50100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan
kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada
kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.
Gambar 8. Transfusi intra uterin

C. Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko
terjadinya overloadingsangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
D. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi
tunggal.
Gambar 9. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas. 3

VIII. PROGNOSIS 4,14


Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin
dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih
tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu
yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun
janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di
dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

A. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :

1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi
secara dini

2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar
bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah
umbilikus yang diarahkan secara USG

3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal
di dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau
intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu
Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian
besar proses isoimunisasi D.

B. Perkembangan anak selanjutnya.


Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami
tranfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika
berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal
dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang. 1
IX. PENCEGAHAN 1,3,4,7,14
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat
imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram
antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah
janin. 1,2,4,6,14
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin
dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk
membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan
berikutnya.

Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus. 7


Drug Name Human anti-D immune globulin (RhoGAM) Suppresses
immune response of nonsensitized Rh O (D) negative mothers
exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus as a result
of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma,
amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion
accident. Should be administered if the patient is Rh-negative,
unless the father also is Rh-negative.
Adult Dose <13 wk gestation: 50 mcg IM >13 wk gestation: 300 mcg IM
Pediatric Dose Administer as in adults
Documented hypersensitivity; patients who have received
Contraindications Rho(D)-positive blood within the last 3 mo
Interactions None reported
Pregnancy C Safety for use during pregnancy has not been established.
Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA
deficiency; when administered close to delivery, may interfere
Precautions with Rh typing of the newborn
Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami
sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan ternyata sangat protektif. Ibu
dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan
pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat
imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah
berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi. 1,4,6
Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G maka preparat
tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami
sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat
menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan
kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28
minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada
saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah
melahirkan. 1,4
Kegagalan pemberian anti D terjadi bila : 1
1. tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan bayi
Rh positif

2. tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah


pemeriksaan amniocentesis

3. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal macrotransfusion


jarang terjadi)
4. sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin

XI. KESIMPULAN

XII. RUJUKAN
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat Laboratorium
Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI; 2005.
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2 nd ed.
USA: WB. Saunders; 1999.
3. Salem L. Rh incompatibility. http:// www. Neonatology.org. 2001. Downloaded
on November, 30 th, 2009.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Obstetri Williams.
Edisi 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.
5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian
IKA FKUI; 1991.
6. Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William
Brooks Queensland; 1985.
7. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. http:// www. Neonatology.org. 2002.
Downloaded on November, 30 th, 2009
8. Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ.
Neonatal perinatal medicine diseases of the fetus and infant. 6 th ed. St. Louis:
Mosby Year Book; 1997. p.300-311.
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Edisi 4. Jakarta: Bagian
IKA FKUI; 1996.
10. Berman S. Ph. Isoimmunization. In: Berman. Obgyn secrets. 2nd ed. Colorado;
Book Promotion & Service Co; 1999. p.241-245.
11. Shaver DC. Isoimmunization. In: Shaver DC. St. Louis: Mosby Year Book; 1997.
p.300-311.
12. Moninja HE. Penyakit-penyakit dalam Masa Neonatal. Dalam: Winkjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadi T. Ilmu kebidanan. Ed.II. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1986. h.426-444.
13. Mochtar R. Sinopsis obstetri 1. Jakarta: EGC; 1995.
14. Fanaroff AA, Martin RJ Eds. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and
infant. 5th ed. St. Louis: Mosby-Year Book; 1995.
15. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Williams Obstetrics.
20th ed. Philadelphia: Prentice Hall international; 1997. p.706-721.
16. Abnormalities Of Pregnancy. USA: The Merc Manual, Section 18, Gynecology
And Obstetrics, Chapter 252; 1995-2004.
17. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Williams Obstetrics.
21thEd. USA: The McGraw-Hill Companies; 2001.
18. Wiknjosastro H. Penyakit Darah. Dalam: Winkjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadi T. Ilmu kebidanan., Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 1999. h.468-485
19. Medical Diagnosis. Erythroblastosis Fetalis. USA: MedFamily; 2001-2004.
20. Crosby WM, Block MF, Morgan MA. Rh (and other) isoimmunization. In: Dilts
PV, Sciarra JJ, eds. Gynecology and Obstetrics. Philadelphia: JB Lippincott Co;
1994. p.434-444.
21. Perkins JT. Hemolytic Disease of the newborn. In: Gleicher N. Principles and
Practice of Medical Therapy in Pregnancy. 2nd Ed. USA: Appleton & Lange; 1992.
p.320-327.
22. Socol ML. Management of Blood Group Isoimmunization. In: Gleicher N.
Principles and Practice of Medical Therapy in Pregnancy. 2nd Ed. USA: Appleton &
Lange; 1992. p.563-576.

Anda mungkin juga menyukai