Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2 1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan ata abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks. 1

Abses hati merupakan bentuk kavitas supuratif di hati yang disebabkan


oleh invasi dan multiplikasi mikroorganisme yang masuk secara langsung dari
trauma dan melalui pembuluh darah atau melalui sistem bilier. Abses hati
umumnya terbagi menjadi piogenik, amoebik dan infeksi campuran, namun dapat
pula disebabkan oleh jamur. Abses hati amebik (AHA) merupakan komplikasi
amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah trpoik/subtropik,
termasuk Indonesia, sedangkan abses hati piogenik (AHP) adalah kasus yang
relatif jarang. 1,2

Di negara berkembang AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih


sering dibanding AHP. AHP tersebar diseluruh dunia dan paling sering di daerah
tropis dengan sanitasi yang kurang baik. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkaan perempuan, pada usia lebih dari 40 tahun. Data dari Amerika
Serikat, Abses hati piogenik sebanyak 80% dari seluruh abses hati, 10 %
disebabkan oleh infeksi Entamoeba hystolitica, dan 10% disebabkan oleh candida.
Menurut Meddings et al (2009), pasien dengan AHP yang di rawat di rumah sakit
sebanyak 5,6% meninggal. Angka mortalitas pasien AHP di Amerika Serikat dari
tahun 1994-2005 cenderung stabil, berkisar antara 0,17-0,24% per 100.000
populasi. Pasein dengan bakterimia dan septikemia memiliki resiko tinggi untuk
meninggal. Sedangkan mortalitas pasien dengan AHA berkisar antara 0,2-2,0%
1,2,3,10,13
pada orang dewasa dan meningkat hingga 26% pada anak-anak.
Apabila terjadi keterlambatan dalam diagnosis dan dan pengobatan maka
prognosis terhadap abses hati semakin buruk dan akan meningkatan angka
mortalitas. Maka dari itu dibutuhkan pengetahuan yang baik untuk
mengidentifikasi dan mendiagnosis abses hati secara tepat serta menentukan
tindakan dan pengobatan yang efektif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hati 1,5

Hepar menempati bagian terbesar ruangan dalam kuadran kanan atas


perut. Permukaan superior, posterior dan anterior berhubungan dengan
bagian bawah dari diafragma. Permukaan inferior hati tertutup oleh lapisan
viseral peritoneum. Hati mempunyai 4 lobus, yaitu lobus kanan adalah lobus
yang terbesar, lobus caudatus, lobus quadratus, dan lobus kiri. Daerah-
daerah ini dibatasi oleh porta hepatis, yang mengandung vena porta, arteri
hepatika dan saluran empedu. Lobus caudatus terletak disebelah anterior
dari porta hepatis, dan lobus kuadratus disebelah posterior dari porta
hepatis.
Hepar memiliki facies diafragmatica dan facies visceralis
(dorsokaudal) yang dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diafragmatica
bersifat licin dan berbentuk kubah sesuai dengan cekungan permukaan
kaudal diafragma, tetapi untuk sebagian besar terpisah dari diafragma
karena recessus subphrenicus cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh
peritoneum, kecuali disebelah dorsal pada area nuda, tempat hepar
bersentuhan langsung dengan difragma.
Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister
(lobus caudatus dan lobus quadratus berada di lobus hepatis sinister) yang
masing masing berfungsi secara mandiri. Masing masing lobus memiliki
perdarahan sendiri dari arteri hepatica dan vena portae hepatis, dan juga
penyaluran darah venosa dan empedu bersifat serupa.
Lobus hepatis dexter dibatasi terhadap lobus hepatis sinister oleh fossa
vessicae biliaris dan sulcus venae cavae pada facies visceralis hepatis, dan
oleh sebuah garis khayal pada permukaan diafragmatik yang melintas dari
fundus vesica biliaris (fellea) ke arah vena cava inferior.
Lobus hepatis sinister mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh
lobus quadratus. Lobus hepatis sinister terpisah dari lobus caudatus dan
lobus quadratus oleh fissura ligamenti teratis dan fissura ligamenti venosi
pada facies visceralis, dan oleh perlekatan ligamentum teres hepatis pada
facies diafragmatica.
Ligamentum teres hepatis adalah sisa vena umbilicalis yang
mengalami obliterasi, dan semula mengantar darah yang kaya oksigen dari
plasenta ke janin. Ligamentum venosum adalah sisa ductus venosus fetal
yang menjadi jaringan ikat, dan semula memintaskan darah dari vena
umbilikalis ke vena cava inferior tanpa melalui hepar.

Gambar 2.1. Anatomi hepar bagian anterior

Omentum minus yang meliputi trias portal (vena portae hepatis, ductus
choledochus (biliaris), dan arteri hepatica propia di porta hepatis) melintas ke
curvatura gastrica (ventricularis) minor dan bagian pertama duodenum sepanjang
2 cm. Bagian duodenum minus antara hepar dan gaster (ventricularis) disebut
Ligamentum hepatogastricum, dan bagian antara hepar dan duodenum
ligamentum hepatoduodenale. Sisi bebas omentum minus meliputi trias portal,
beberapa kelenjar limfe dan pembuluh limfe, dan pleksus saraf hepatik.
Gambar 2.2. Anatomi hepar bagian posterior

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang
berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino,
monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika,
cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut
masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta
dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus kanan.
Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari perifer
lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini
terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua
lobulus hati menyatu untuk membentuk vena hepatika.
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi
bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler
empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel
hati.
Hati memiliki fungsi yang sangat banyak. Sirkulasi vena potra yang
menyuplai 75% dari suplai asinus memegang peranan penting dalam fisiologi
hati, terutama dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan asam lemak. Fungsi
utama hati dalah pembentukan dan eksresi empedu. Hati mengekresikan empedu
sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus. Penyusun utama empedu adalah
air (97%), elektrolit dan garam empedu. Walaupun bilirubin merupakan hasil
akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak memiliki peran aktif, tapi penting
sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat
memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya.

Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen


dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot gliukogen ini disuplai glukosa
secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Sebagian glukosa dimetabolisme di jaringan untu mengahasilkan tenaga dan
sisanya diubah menjadi glikogen (dalam otot) atau lemak (dalam subkutan).

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein plasma


berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik
koloid), protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lain.

Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein,


kolesterol, fosfolipid, dan asam asetoasetat.

Fungsi Hati
Metabolisme Karbohidrat
Apolipoprotein
Asam lemak
Asam amino transaminasi dan deaminasi
Simpanan vitamin larut dalam lemak
Obat-obatan dan konjugasinya
Sintesis Urea
Albumin
Faktor pembekuan
Komplemen C3 dan C4
Feritin dan transferin
Protein C reaktif
Haptoglobin
1- Antitripsin
- Fetoprotein
2- Makroglobulin
Seruloplasmin
Ekskresi Sintesis empedu
Metabolit obat
Endokrin Sintesis 25-Hidroksilase vitamin D
Imunologi Perkembangan limfoit B fetus
Pembuangan kompleks imun sirkulasi
Pembuangan limfosit T CD8 teraktivasi
Fagositosis dan presentasi antigen
Produksi lipopolysaccharide-binding protein
Pengelepasan sitokin, seperti TNF, interferon
Transpor imunoglobulin
Lain-lain Kemampuan untuk regenerasi sel-sel hati
Pengaturan angiogenesis
Tabel 2.1. Fungsi hati

2.2. Abses Hati 2,4

Abses hati merupakan bentuk kavitas supuratif di hati yang


disebabkan oleh invasi dan multiplikasi mikroorganisme yang masuk secara
langsung dari trauma dan melalui pembuluh darah atau melalui sistem
bilier.

Abses hati telah ditemukan sejak zaman hippocrates sekitar 400


sebelum masehi yang mengatakan bahwa prognosis pasien abses hati
berhubungan dengan tipe cairan yang berada di dalam kavitas abses
tersebut. 2

Abses hati umumnya terbagi menjadi piogenik, amoebik dan


2
infeksi campuran, namun dapat pula disebabkan oleh jamur. Menurut
Rajagopalan et al, abses hati digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu abses hati
amebik dan abses hati piogenik. Abses hati amebik disebabkan oleh
Entamoeba hystolitica, sedangkan abses hati piogenik disebabkan oleh
bakteri nonspesifik, mycobacterial, dan jamur. 8

Sebanyak 60% abses hati merupakan lesi soliter dan umumnya


terletak pada lobus kanan hati. Pada kasus lesi multipel biasanya disebabkan
oleh abses hati piogenik atau campuran. Menurut Nasr et al, mayoritas abses
hati terjadi lobus kanan hati (82,4%), pada lobus kiri hati sebesar 11,7%
2, 10
dan pada kedua lobus sebesar 5,9%.

2.2.1. Epidemiologi

Abses hati merupakan masalah kesehatan publik di Asia, Africa,


dan Amerika Selatan. Seiring berjalannya waktu kasus abses hati amebik
hanya terjadi di beberapa negara dengan penduduk dengan sanitasi dan
higienitas yang kurang baik. Berbeda dengan abses hati piogenik yang bisa
ditemukan di berbagai negara. 7

Angka kejadian Abses hati di Amerika Utara relatif jarang, yaitu 2,3 kasus
per 100.000 dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Abses hati sering ditemukan pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun. 9

Kejadian abses hati piogenik meningkat seiring dengan meningkatnya


insidensi gangguan pada hepatobilier sehingga meningkatkan kejadian
infeksi intabadominal. Studi yang dilakukan di Canada dan Denmark
insidensi AHP adalah 1,1-2,3 per 100.000 populasi. Di Taiwan insidensi
AHP adalah 17,6 per 100.000 populasi, Sedangkan studi yang dilakukan di
Amerika Serikat menunjukkan insidensi yang rendah. Angka mortalitas
menurun dalam beberapa dekade ini, studi terbaru menunjukkan sebesar 11-
10, 12
31%.

Dahulu AHA jarang ditemukan di negara-negara Barat, namun


meningkat seiring dengan tingginya angka imigrasi dan perjalanan
internasional. Insiden tertinggi terjadi di India, Mexico, Amerika Selatan,
dan beberapa negara di Afrika Selatan. Hal ini menjelaskan bahwa sanitasi
dan higienitas yang buruk, air minum yang tercemar, dan kurangnya
pendidikan kesehatan berhubungan dengan kejadian AHA. Rasio penderita
AHA antara laki-laki dan perempuan adalah 10:1 dengan insidensi tertinggi
pada dewasa muda kurang dari 40 tahun. Mortalitas AHA berkisar antara 0,2
2,0% pada dewasa dan meningkat menjadi 26% pada anak-anak. 7,11

2.2.2. Etiologi

Pada negara berkembang, penyebab tersering abses hati yaitu


abses hati piogenik. Sumber infeksi dapat berasal dari sistem bilier, portal
pyemia, ekstensi langsung dari organ yang berdekatan dan trauma tembus.
Kurang lebih 15% kasus memiliki etiologi yang tidak diketahui. Abses
piogenik biasanya merupakan infeksi campuran mikroorganisme aerob dan
anaerob. Dan organisme yang paling sering ditemukan adalah gram negatif,
seperti Streptococcus milleri dan Bacteroides sp. Jamur penyebab AHP
tersering adalah Candida sp. Menurut studi yang dilakukan Rahimian et al
(2004) di New York, Klebsiella pneumoniae adalah penyebab AHP
terbanyak (41%) dan banyak ditemukan pada pasien ras Asia. Sedangkan
menurut studi yang dilakukan Singh et al (2013) di India, bakteri terbanyak
adalah E. Coli, Klebsiella, Pseudomonas, dan S. Aureus. Studi yang
dilakukan di Tunisia oleh Nasr et al (2014) menunjukkan hasil bahwa
bakteri terbanyak penyebab AHP adalah Escherichia coli, kemudian
Klebsiella, Bacteroides, Staphylococcus dan Streptococcus serta sebesar
47% berasal dari sistem bilier. 6,7,12

Gram Positif Gram Negatif


Streptococcus Escherichia
Staphylococcus Klebsiella
Pneumococcus Pseudomonas
Proteus
Hemophillus
Serratia
Tabel 2.2. Mikroorganisme penyebab AHP10

Amebiasis adalah infeksi pada gastrointestinal oleh Entamoeba hystolitica,


yaitu parasit yang mampu menembus mukosa intestinal dan menyebar ke
organ lainnya. Abses hati amoeba adalah amebiasi ektraintestinal tersering.
13

2.2.3.Patogenesis

Abses hati piogenik biasanya didahului oleh gangguan pada sistem


bilier, dapat berupa keganasan yang menyebabkan obstruksi, cholangitis dan
choledocholithiasis yang sering dijumpai pada orang Asia. Selain itu
pembedahan pada sistem bilier seperti hepaticojejunostomy dan infestasi
parasit ascaris dapat menyebabkan abses hati piogenik. Infeksi pada
abdomen seperti appendicitis, diverticulitis atau perforasi usus memiliki
resiko untuk menyebabkan untuk terbentuknya bases hati. 3,7

Transmisi infeksi melaui vena porta yang berasal dari abdmen


merupakan jalur penting yang dapat menyebabkan timbulnya abses hati.
Infeksi sistemik memiliki potensial besar untuk menyebabkabkan abses hati
piogenik yang dapat berasal dari infeksi pada katup jantung, endocarditis,
penggunaan obat-obatan intravena, pyokel pada kandung empedu,
pneumonitis, dan osteomyelitis. Adanya mikroemboli dan trauma langsung
pada hepar yang dapat menyebabkan timbulnya hematom dapat
menyebabkan timbulnya abses hati. 7,14

Abses hati amebik disebabkan oleh parasit Entamoeba hystolitica.


Kista yang tertelan akan berubah menjadi trofozoit pada usus besar.
Makanan yang terkontaminasi merupakan sumber infeksi. Keterlibatan
hati terjadi setelah invasi E histolytica ke venula mesenterika. Amoba
kemudian memasuki sirkulasi portal dan perjalanan ke hati di mana
mereka biasanya membentuk abses besar. Lektin Gal / GalNAc adalah
kompleks protein adhesi yang menunjang invasi jaringan. Abses berisi
debris protein aselular dan dikelilingi oleh tepi trofozoit amebik yang
menyerangjaringan. 16

Amebiasis
Intestinal Ekstraintestinal
Kista asimtomatik Abses Hati Amebik
Kolitis Amebik Akut Perforasi dan peritonitis
- Mukosal Pleuropulmonary amebiasis
- Transmural Pericarditis amebik
- Kolitis ulseratif posdisentrik Kutaneus amebiasis
Appendisitis
Amoeboma
Striktur amebik
Tabel 2.3. Amebiasis13

Lobus kanan hati lebih sering terkena daripada lobus kiri. Ini telah
dikaitkan dengan fakta bahwa aliran darah laminar lobus Portal tepat
diberikan didominasi oleh vena mesenterika superior, sedangkan aliran
darah portal lobus kiri disuplai oleh pembuluh darah limpa. 14,15
Gambar 2.3. Amebiasis

Invasi E. Hystolitica ke mukosa merupakan proses aktif yang


dimediasi. Trofozoit beradesi ke dalam lapisan mukus. Deplesi barier mukus
terjadi saat trofozoit berkontak dengan mukosa kemudian, sel epitel dirusak
sehingga terjadi distrupsi mukosa intestinal. Selanjutnya trofozoit akan
membunuh sel host di submukosa dan merusak jaringan lebih lanjut. Terjadi
distrupsi dinding intestinal atau menyebar melalui sirkulasi. 14

Amebiasis juga bisa menyebar secara sistemik dan infeksi


ekstraintestinal. Hati merupakan lokasi yang umum menjadi tempat infeksi
selanjutnya melalui vena portal. Lesi awal dapat berupa lesi-lesi kecil yang
kemudian menyatu menjadi sebuah abses. Abses akan menjadi semakin
besar seiring dengan progesivitas trofozoit menghancurkan sel host. Abses
mengandung hepatosit yang lisis, eritrosit, empedu, dan dan lemak serta
beberapa material nekrotik sehingga cairan abses akan berwarna kuning
hingga kemerahan. Kadang terjadi infeksi sekunder pada AHA. 14,15

Gambar 2.4. Patogenesis amebiasis invasif16


2.2.4. Diagnosis

Manifestasi Klinis

Gejala yang sering timbul biasanya adalah nyeri pada


kuadran kanan atas, disertai dengan lemas, dan demam. Hampir separuh
pasien mengeluhkan tidak nafsu makan, penurunan berat badan dan
keringat pada malam hari. Kadang disertai oleh nyeri pada bahu sebelah
kanan dan batuk. Hanya beberapa pasien menunjukkan gejala diare
sebelumnya. 2

Gejala Persentasi
Penurunan nafsu makan 97%
Nyeri kuadran kanan atas abdomen 93%
Lemas 90%
Demam 88%
Penurunan berat badan 50%
Mual dan muntah 48%
Menggigil 28%
Batuk 27%
Nyeri bahu kanan 22%
Diare 10%
Dispnu 7%
Tabel 2.4. Presentasi gejala klinis abses hati2

Gejala yang timbul antara AHA dan AHP cenderung sama, yang paling
umum ditemukan adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Kadang
ditemui hepatomegali dan ikterik. 6

AHA AHP
Usia <50 tahun Usia >50 tahun
Laki-laki: perempuan = 10:1 Laki-laki = perempuan
Disfungsi paru Demam tinggi
Nyeri perut Gatal
Diare Ikterus
Hepatomegali Syok septik
Tabel 2.5. Perbandingan manifestasi klinis pada pasien abses hati6
`Pemeriksaan Penunjang

Pada AHP yang dapat ditemukan pada pemeriksaan laboratorium adalah


leukositosis, anemia, hypoalbuminemia, peningkatan lakaline fosfatase dan
hiperlbilirubinemia. Kadang ditemukan peningkatan transaminase hampir 50%
pada seluruh kasus. Pada kultur darah menunjukkan hasil positif. Pada AHA
terjadi peningkatan bilirubin, leukositosis, peningkatan transaminase dan alkaline
phospatase. Pemeriksaan feses ditemukan trofozoit yang mengandung eritrosit.
Bila cairan abses diaspirasi, dapat ditemukan amoeba dan material nekrotik. Pada
AHA, pemeriksaan serologi dapat digunakan terutama pada daerah yg tidak
endemik. Indirect Haemagglutinin Assays (IHA) merupakan pemeriksaan dengan
sensitivitas hingga 90%. Antibodi mungkin bisa saja negatif pada infeksi awal dan
harus diulang 7 hari kemudian. 4,,7,8,10,11

Foto polos thorax, pasien AHP kadang tidak ditemukan abnormalitas,


namun dapat terlihat hemidiafragma naik, penuomonitis, atelektasis atau efusi
unilateral atau bilateral. Pada AHA dapat ditemukan juga kenaikan
hemidiafragmma dan terlihat reaksi pada pleura yaitu ditandai dengan sudut
costofrenikus kanan yang kabur. 4, 7

Gambar 2. 5. Foto thorax menunjukkan kenaikan hemidiafragma4

USG abdomen pada pasien AHP akan bergantung kepada tahapan evolusi
abses tersebut, ditemukan lesi > 2 cm yang hiperechoik dan pinggiran lesi tidak
jelas. Namun pada abses yang telah matur dan sudah ada pus akan terlihat lesi
hipoechoic dengan pinggiran lesi yang jelas. Jika pus sangat kental akan terlihat
lesi seperti massa padat. Pada AHA akan ditemukan lesi bulat atau oval
hipoechoik dengan yang berdekatan dengan kapsul hati. 11

1 2

Gambar 2.6. USG pada pasie AHA (1) dan AHP (2) 11,17

CT- Scan merupakan modalitas yang lebih baik dibandingkan USG dan
dapat membedakan lesi abses dengan yang lainnya. Pada AHP akan ditemukan
lesi kistik yang hipodense. Pada AHA akan terlihat lesi bulat dengan dinding
abses yang terlihat jelas. 7,11

1 2

Gambar 2.7. Gambaran CT-Scan pasien AHP (1) dan AHA (2) 17,18

2.2.5. Tatalaksana

Prinsip tatalaksana AHP adalah mengeluarkan pus, mengunakan antibiotik


yang tepat, dan menangani sumber infeksi jika ada. Terapi pada pasien dengan
AHP dapat diberikan antibiotik saja atau dikombinasikan dengan tindakan aspirasi
atau surgical drainage (open laparoscopic). Antibiotik yang digunakan adalah
kombinasi 2 atau lebih antibiotik spektrum luas yang dapat mengatasi bakteri
gram negatif atau pun positif. Pemberian antibiotik harus secara intravena selama
2-3 minggu. Penambahan metronidazole adalah untuk kemungkinan adanya
bacteroides dan organisme anaerobic lainnya. Antibiotik yang diberikan adalah
cefalosporin generasi ketiga atau fluroquinolon dikombinasikan dengan
metronidazol dan aminoglikosida. 7,9

Pengobatan AHA dapat diberikan dengan obat tunggal atau kombinasi. Pemberian
terapi dilakukan paling tidak selama 10 hari. 7,11

Tabel 2.6. Farmakoterapi AHA pada dewasa dan anak-anak11

Tatalaksana abses hati dengan aspirasi yang dibagi menjadi 2 teknik, yaitu
needle aspiration dan catheter drainage. Kedua teknik aspirasi ini menggunakan
USG sebagai panduan. Aspirasi ini dilakukan untuk mendiagnosis dan mengambil
pus untuk dikultur. Aspirasi dengan metode needle aspiration atau yang juga
dikenal sebagai percutaneus aspiration adalah tindakan yang paling sederhana
yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan pus. Efektifitas needle aspiration jika
dibandingakn dengan catheter drainage adalah sama. Komplikasi dari tindakan
aspirasi adalah perdarahan, perforasi viceral, dan sepsis. Menurut Singh et al,
catheter drainage lebih baik karena mampu mengeluarkan pus yang kental jika
dibandingkan dengan needle aspiration. Kemungkinan untuk terjadi kegagalan
pada needle aspiration meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran abses. 2,9

Surgery drainage (laparotomi) dilakukan jika terdapat pus yang sangat


kental dan tidak mampu dikeluarkan dengan teknik aspirasi, terdapat abses yang
multiple, pasien sepsis walaupun sudah diberikan antibiotik dan dilakukan
aspirasi, pasien dengan kelainan yang mendasari seperti gangguan sistem billier
atau sirosis hati dan abses pada lobus kiri serta telah terjadi ruptur abses. 9,11

Pasien dengan manifestasi klinis


mengarah ke abses hati

Laboratorium
Foto Thorax
USG
CT Scan

Abses Hati Bukan Abses Hati

AHP

AHA
Lesi<5 cm Lesi > 5 cm Lesi > 5 cm Pus tidak dapat
Dinding dapat PCA gagal dikeluarkan
kolaps Pus kental dengan PCD,
Lesi multipel posisi kateter
Dinding tidak adekuat, Lesi soliter,
dapat kolaps kateter terlepas Tidak ada
Diding abses komplikasi,
tidak dapat tidak mudah
colaps ruptur, tidak
ada efek
kompresi
Antibiotiks Antibiotik
Antibiotik Antibiotik
+
+ +
PCA
PCD Pembedahan Obat- obatan

Gejala klinis tidak berkurang (48-72 jam), Abses besar dengan hasil kurang
Abses di lobus kanan, Abses besar dan maksimal dengan PCA/PCD, Pemburukan
mudah ruptur, Jaringan hati yang klinis, Komplikasi (abses ruptur dengan
mengelilingi abses < 10 mm), Seronegatif gejala peritonitis, ruptur di kavum
abses, Pengobatan gagal (4-5 hari) pleural/pericardial/organ lain berdekatan.

Pus Kental
Obat-obatan
+
Obat-obatan Obat-obatan Pembedahan
+ +
PCA PCD

Gambar 2.5. Management Abses Hati11

2.2.6. Prognosis 7,11

Prognosis AHP bergantung kepada etiologi yang mendasarinya dan co-


morbid faktor yang ikut memmpengaruhi. Diagnosis yang tertunda biasanya
memiliki prognosis yang kurang baik. Faktor resiko yang berhubungan dengan
mortalitas adalah:

a. Syok septik
b. Jaundice
c. Koagulopati
d. Leukositosis
e. Hipoalbumin
f. Abses multiple
g. Ruptur intraperitoneal
h. Kehamilan
i. Immunocompromised
j. Diabetes
k. Usia tua

Pada AHA yang mempengaruhi lamanya waktu perawatan adalah ukuran


abses, hipoalbumin dan anemia. Faktor resiko independen yang mempengaruhi
angka mortalitas pada AHA adalah:

a. Bilirubin > 3,5 mg/dl


b. Enselopati
c. Volume kavitas abses
d. Hipoalbuminemia< 2,0 g/dl

BAB III

KESIMPULAN

Hati merupakan organ viseral terbesar di dalam tubuh manusia, Hati


memiliki fungsi yang sangat kompleks dan berpengaruh pada tubuh. Abses hati
adalah adanya kavitas berisi pus sebagai akibat dari multiplikasi organisme di
dalamnya. Abses hati dibagi menjadi 2 yaitu, abses hati piogenik dan abses hati
amebik. Abses hati piogenik paling sering disebabkan oleh gangguan pada sistem
biller, angka kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya gangguan pada
sitem billier, selain itu dapat pula disebabkan oleh infeksi dari organ terdekat,
infeksi sitemik maupun trauma langsung. Sedangkan abses hati amebik
disebabkan oleh parasit Entamoeba hystolytica yang biasanya banyak di negara-
negara dengan sanitasi nya kurang baik. Hampir 80% abses hati adalah abses hati
piogenik. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah demam, nyeri perut kanan
atas, kehilangan nafsu makan, lemas, mual, muntah, batuk, nyeri pada bahu
kanan, dan diare. Terapi yang dapat diberikan adalah pemberian farmakoterapi
ataupun dikombinasi dengan aspirasi jika sudah tidak memungkinkan dilakukan
aspirasi maka dibutuhkan tindakan laparotomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S., Alwi I., Sudoyo A.W., Simadibrata K.M., Syan A.F. (2015).
Buku ajar ilmu penyakit dalam Edisi VI jilid III. Internal Publishing:
Jakarta. Pp: 462-463
2. Singh S., Chaudhary P., Saxena N., Khandelwal S., Poddar D.D., Biswal.
U.C. (2013) Treatment of Liver Abscess: Prospective randomized
Comparison of catheter drainage and needle aspiration. Annals of
Gastroenterology, 26(3): 1-8
3. Zakaria A.D., Hassan S., Norzulaikha S., Sulaiman S.A.S., Khan A.H.
(2014). Management of liver abscess. Journal of Pharmaceutical and
scientific innovation, 3 (1): 105-107
4. Luthariana L., Lesmana LA, Rubangi S., Nasir U.Z., Iswari R. (2005)
Management of pyogenic liver abscess and empyema as its complication.
The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive
Endoscopy, 6 (1): 22-26
5. Sheerwood, Lauralee. (2011). Fisiologi manusia dari sel ke sistem.
Jakarta:EGC
6. Zainal A., Alfina D., Kurniawan H. (2003). Multiple liver abscess. The
Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive
Endoscopy, 3 (2): 54-58
7. Rajagopalan B.S., Langer C.V. (2012). Symposium: Hepatic abscesses.
Medical Journal Armed Forces India, 68: 271-275
8. McKaigney C. (2013). Hepatic abscess: Case report and Review. Western
Journal of Emergency Medicine, 14 (2): 154-157
9. Nasr B., Derbel F., Barka F., Farhat W., Sghaier A., Mazhoud J., Mabrouk
M.B., Harrabi F., Azzaza M. Abdennaceur N., Chaker Y., Chatty L.M., Ali
A.B., Hamida R.B.H. (2014). Presentation and management of pyogenic
liver abscess in surgery department: about 34 cases. Journal of
Gastroenterology and Hepatology Research, 3(11): 1349-1356
10. Meddings L., Myers R.P., Hubbard J., Shaheen A.A., Laupland K.B.,
Dixon E., Coffin C., Kaplan G.G. (2010). A population-based stuudy of
pyogenic liver abscesses in the United States: Incidenci, mortality, and
temporal trends. The American Journal of Gastroenterology, 105: 117-124
11. Dutta K.A., Bandyopadhyay K.S. (2012). Management of liver abscess.
Medicine Update, 22: 469-475
12. Rahimian J., Wilson T., Oram V., Holzman R.S. (2004). Pyogenic liver
abscess: Recent trends in etiology and mortality. Clinical Infectious
Diseases, 39: 1654-1659
13. Sharma MP., Ahuja V. (2003). Amoebic Liver Abscess. Journal Indian
Academy of Clinical Medicine, 4 (2): 107-110
14. Nikloes T.A. (2014) Pyogenic Hepatic abcesses.
http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview updated 24
Oktober 2014
15. Kasper D., Fauci A., Hauser S., Longo D., Jameson J., Loscalzo J. (2015)
Harrisons Principles of Internal Medicine 19th Edition. New York: Mc
Graw Hill. Pp: 1363-1367
16. Wisher M.F. (2015). Amebiasis.
http://www.tulane.edu/~wiser/protozoology/notes/intes.html#eh_path.
Updated 3 Juni 2015
17. Elsheshtawy M., Thet Z. (2015). Pyogenic liver abscess mimicking liver
neoplasma on computed tomography scan in a patient with elevated CA
19-9. J Med cases 6 (8): 346-349
18. Petri W.A., Singh U. (1999). Diagnosis and management of amebiasis.
Clinical Infectious Disease 29: 1117-1125

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

KATA PENGANTAR..................................................................................... iii

DAFTAR ISI.................................................................................................. iv

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................ 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi Fisiologi Hati......................................................... 3
2.2. Abses Hati............................................................................ 7
2.2.1. Epidemiologi............................................................... 8
2.2.2. Etiologi........................................................................ 9
2.2.3. Patogenesis.................................................................. 10
2.2.4. Diagnosis..................................................................... 13
2.2.5. Tatalaksana.................................................................. 16
2.2.6. Prognosis.................................................................... 20
BAB 3. KESIMPULAN................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 22

HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Tria Claresia Bungarisi, S.Ked

NIM : H1AP10004

Fakultas : Kedokteran

Judul : Patogenesis, Diagnosis dan Tatalaksana Abses Hati

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Salius Silih, Sp.PD-KGEH, FINASIM, MM


Bengkulu, April 2016
Pembimbing

dr. Salius Silih, Sp.PD-KGEH, FINASIM, MM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Salius Silih, Sp.PD-KGEH, FINASIM, MM
sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah
memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan
tugas ini.
2. Teman teman yang telah memberikan bantuan
baik material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan referat
ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, April 2016

Penulis
REFERAT

PATOGENESIS, DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

ABSES HATI

Oleh:
Tria Claresia Bungarisi
H1AP10004

Pembimbing
dr. Salius Silih, Sp.PD-KGEH, FINASIM, MM

SMF PENYAKIT DALAM RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016

Anda mungkin juga menyukai