Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

SUBDURAL HEMATOM

Disusun oleh :
Chatarina Cindy De Pata

11 2015 414

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT TNI AU dr.Esnawan Antariksa
Periode 8 MEI 10 JUNI 2017

1
BAB I
Pendahuluan

Hematom subdural (SDH) adalah kumpulan darah di antara lapisan duramater dan
arakhnoid. Perdarahan dalam ruang subdural sering disebabkan karena adanya disrupsi dari
bridging veins yang disertai memar otak dan biasa berlokasi di regio temporal.
Hematom subdural tidak hanya terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga
pada pasien dengan cedera kepala ringan, terutama mereka yang berusia lanjut atau yang
mengonsumsi obat antikoagulan. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau
disebabkan oleh prosedur suatu tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi,
bahkan dengan perawatan terbaik.
Hematom subdural biasanya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi dan lama
terjadinya (akut, subakut, atau kronis). Gambaran hematom pada studi neuroimaging dapat
membantu menentukan kapan hematom terjadi. Kondisi neurologis dan medis pasien juga
menjadi faktor yang menentukan pengobatan dan prognosisnya.
Hematom subdural akut adalah jenis yang paling umum dari hematom intrakranial
traumatik, terjadi pada 24 % dari pasien dengan kesadaran menurun. Trauma yang signifikan
bukanlah satu-satunya penyebab hematom subdural. Hematom subdural kronis dapat terjadi
pada orang tua setelah trauma kepala yang tampaknya tidak penting. Seringkali, kejadian
sebelumnya tidak pernah disadari. Sebagian kecil hematom subdural kronis berasal dari fase
akut yang telah jatuh tempo karena kurangnya perawatan.
Hematom subdural pada pasien yang lebih tua dapat menimbulkan kesulitan dalam
menegakkan diagnostik dan terapeutik. Hematom subdural kronis, biasanya terjadi pada orang
tua dengan insiden paling tinggi pada dekade keenam dan ketujuh dari kehidupan.
Insiden hematom subdural kronis adalah sekitar 1 dari 100.000 penduduk per tahun,
kejadian meningkat pada usia 70-79 kelompok. Secara signifikan, hematom subdural
merupakan penyebab demensia reversibel.
Faktor predisposisi lainnya termasuk antikoagulan, alkoholisme, epilepsi, perdarahan
diatesis, tekanan intrakranial rendah sekunder akibat dehidrasi atau setelah pengambilan
cairan serebrospinal, dan karena disfungsi trombosit. Sebanyak 24% pasien dengan hematom

2
subdural kronik diketahui mengonsumsi warfarin atau obat antiplatelet, 5% -10% memiliki
riwayat alkoholisme dan epilepsi.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Selubung Otak


Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meninges) yang berasal dari
mesodermal; duramater yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid dan terakhir
piamater. Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara
duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural; antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang subarachnoid.

Gambar 1 Central Nervous System


Dikutip dari Anatomy & Phisiology made Incridibly Visual
a. Duramater
Duramater terdiri dari dua lapisan jaringan penyambung fibrosa yang kuat yaitu
membran eksternal dan internal. Lapisan luar duramater kranialis adalah periosteum
di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang sesungguhnya;
membentuk batas terluar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dura

3
terpisah satu sama lain di sinus dura. Arteri-arteri dura relatif berkaliber besar
karena pembuluh darah tersebut juga menyuplai tulang tengkorak. Pembuluh darah
terbesar pada duramater adalah arteri meningea media yang cabang-cabangnya
tersebar di seluruh konveksitas tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri
maksilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri meningea anterior relatif
kecil dan memvaskularisasi bagian tengah duramater frontalis dan bagian anterior
falks serebri. Arteri meningea posterior memasuki rongga tengkorak melalui
foramen jugulare untuk memvaskularisasi duramater di fossa kranii posterior.

b. Arakhnoid
Arakhnoid otak dan medulla spinalis merupakan membaran avaskular yang tipis
dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang
antara duramater dan arakhnoid disebut ruang subdural, sedangkan ruang antara
ruang arakhnoid dan piamater disebut ruang sub arakhnoid dimana di dalamnya
terdapat cairan serebrospinal.

Gambar 2 Meninges
Dikutip dari Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology
c. Piamater
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.
Tidak seperti arakhnoid, struktur ini tidak hanya meliputi seluruh permukaan

4
eksternal otak dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak
terlihat di sulkus dalam. Pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan otak
dan medulla spinalis melalui ruang subrakhnoid dikelilingi oleh selubung seperti
terowongan piamater, ruang di antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya
disebut ruang Vischow-Robin.

2.2 Definisi
Hematom subdural adalah hematom yang terbentuk karena adanya perdarahan yang
terkumpul di antara duramater dan arakhnoid (ruang subdural). Hal ini bisa terjadi oleh
karena trauma termasuk aselerasi atau deselerasi yang menyebabkan robeknya jembatan
vena dari otak ke sinus dural. Apabila volume hematom meningkat, tekanan intrakranial
juga akan meningkat dan menyebabkan herniasi.
Kejadian hematom subdural bisa dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, tergantung pada ukuran hematom dan kelainan lain yang terkait dengan kerusakan
otak. Semakin cepat kejadian ini dirawat dan diatasi, semakin tinggi harapan pasien pulih.

Gambar 3 Hematom subdural


Dikutip dari Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease 8th

5
Hematom subdural dibagi atas tiga klasifikasi: hematom subdural akut, hematom
subdural subakut dan hematom subdural kronik.

a) Subdural akut ( < 2 hari)


Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam
24 - 48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat,
hematom ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.
b) Subdural subakut ( 2-14 hari)
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna
dalam waktu lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Seperti
hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural.
c) Subdural kronik ( > 14 hari)
Timbulnnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama

2.3 Epidemiologi

Hematom subdural bisa terjadi pada 1/3 dari kejadian cedera kepala berat.
Peningkatan usia bisa menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya hematom
subdural. Kejadian ini dilaporkan sebanyak 7.35 kasus per 100.000 bagi populasi
golongan yang berusia 70- 79 tahun. Penelitian yang dijalankan di UK melaporkan
sebanyak 12,5 kasus per 100.000 untuk setahun bagi populasi anak- anak yang berusia 0-
2 tahun dan sebanyak 24 kasus per 100.000 untuk anak- anak yang berusia 0- 1 tahun.

Penyebab lain hematom subdural yaitu:

Komplikasi perinatal
Meningitis
Idiopatik

6
Hipotensi intrakranial spontan juga turut dilaporkan sebagai penyebab kasus
hematom subdural tetapi kejadiannya jarang. Hematom subdural kronik bisa terjadi pada
golongan usia lanjut akibat trauma atau penggunaan antikoagulan.

2.4 Etiologi
Penyebab dari hematom subdural akut adalah di bawah ini :
Trauma kepala akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, atau penyerangan. Trauma yang
terjadi bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah vena bridging veins yang
berjalan di sepanjang permukaan otak.
Gangguan perdarahan (faktor koagulan) atau orang-orang yang mengonsumsi obat
anti-koagulan (contoh: warfarin, heparin, hemofilia, gangguan hepar,
trombositopenia)
Perdarahan intrakranial non-traumatik seperti aneurisma serebri, arteri-vena
malformasi, atau tumor
Post-operasi (craniotomy, CSF shunting)
Shaken baby syndrome (pada pasien pediatri)
Spontan atau tidak diketahui (jarang)

Penyebab dari hematom subdural kronik termasuk di bawah ini:

Trauma kepala
Hematom subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
Spontan atau idiopatik

Faktor risiko kronik hematom subdural:


Alkoholisme kronik
Koagulopati
Terapi Antikoagulan (termasuk aspirin)
Penyakit Kardiovascular (contoh, hipertensi, arteriosklerosis)
Trombositopenia
Diabetes mellitus

7
Pada pasien muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan perdarahan, dan terapi
antikoagulan oral telah banyak ditemukan. Kista arakhnoid sering dikaitkan dengan
hematom subdural kronik pada pasien usia di bawah 40 tahun.
Pada pasien lebih tua, penyakit jantung dan hipertensi lebih banyak ditemukan.
Dalam suatu penelitian, 16% pasien dengan hematom subdural kronik tengah
mendapatkan terapi aspirin. Gejala dehidrasi berat hanya ditemukan pada 2% pasien
dengan kondisi hematom subdural kronik7. Selain itu, pada pasien lebih tua (>60 tahun)
didapatkan atrofi serebri yang menyebabkan ketegangan pada bridging veins yang
memungkinkan terjadinya cedera.

2.5 Patofisiologi
Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasi-
deselarasi (akselerasi kepala pada bidang sagittal dari posterior ke anterior dan deselarasi
kepala dari anterior ke posterior) akibat dari perbedaan arah gerakan antara otak terhadap
fenomena yang didasari oleh keadaan otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas
tertentu dalam rongga tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulai akselarasi)
otak tertinggal di belakang tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak
akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cerdera
pada permukaan terutama pada vena-vena penggantung (bridging veins).

8
Tabel 1 Tipe Trauma Kepala
Dikutip dari Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology

Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak, dan Diffuse
Axonal Injury. Pembuluh darah yang sering ruptur adalah vena-vena penghubung antara
permukaan korteks sampai sinus duramater. Secara alternatif suatu pembuluh darah
kortikal dapat terganggu akibat akselerasi langsung. Pada hematom subdural akut, ruptur
arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan dan tak ada kontusio.

Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak. Pada kasus-kasus
cedera kepala berat, 44% mempunyai takanan intrakranial >20mmHg dan 82%
mempunyai tekanan >10mmHg. Tingginya tekanan intrakranial mempunya korelasi
dengan prognosis penderita yang buruk (normal tekanan intrakranial 10-15mmHg).
Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih dari 10mmHg dikategorikan sebagai keadaan
yang patologis (hipertensi intrakranial), yang berpontensi merusak otak serta berakibat
fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan intrakranial yang tinggi yang
terjadi melalui dua mekanisme: yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah
serebral dan yang kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseraan otak yang
kemudian menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Penyebab umum tingginya tekanan
intrakranial antara lain: massa lesi (hematom, neoplasma, abses edema fokal), sumbatan
aliran likuor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan ada pula yang
idiopatik seperti pada pseudo tumor serebri.(20)

9
Gambar 4 Patofisiologi Hematom subdural
Dikutip dari Essential of Rubins Pathology 6th Edition

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala dari hematom subdural sangat bergantung pada derajat perdarahannya:

Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan hematom
subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran hingga masuk dalam
fase koma.
Seseorang yang menunjukkan keadaan normal setelah mengalami cedera kepala,
perlahan-lahan akan mengalami kebingungan kemudian penurunan kesadaran
selama beberapa hari. Hasil ini didapatkan dari perdarahan yang lambat.
Pada hematom subdural yang sangat lambat, biasanya tidak ditemukan gejala
signifikan dalam 2 minggu setelah trauma terjadi.

Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan hematom subdural adalah
penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, kebingungan gangguan kognitif,
perubahan perilaku, dan kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan
adalah hemiparese kontralateral dengan lesi, gangguan keseimbangan atau berjalan, parese
N.III & VI ipsilateral dengan lesi, serta kesulitan dalam berbicara.
10
Hematom subdural Akut Hematom subdural Kronik
Gejala muncul sesaat setelah cedera kepala Gejala muncul 2-3 minggu setelah trauma
(ringan sampai berat)
Penurunan kesadaran dapat terjadi tetapi Cedera awal mungkin dianggap tidak
tidak selalu berarti, terutama pada pasien tua dengan
terapi antikoagulan atau alkoholisme
Kemungkinan ditemukan keadaan lucid Gejala cenderung bertahap-progresif
interval beberapa jam setelah trauma.
Biasanya ditemukan defisit neurologis yang
berkembang seperti kelemahan pada kedua
tungkai, kesulitan berbicara, kebingungan,
atau perubahan perilaku
Tabel 2 Perbandingan antara SDH Akut dan SDH Kronik
Dikutip dari patient.co.uk Hematom subdural
Gejala Defisit Neurologi yang dapat ditemukan :
Keluhan pada pasien dapat timbul langsung setelah hematom terjadi atau jauh setelah
mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan biasa
berlangsung berminggu-minggu atau bahkan lebih dari dua tahun. Pada fase ini
kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening,
seperti yang dikeluhkan oleh pasien kontusio serebri pasca trauma kapitis. Apabila di
samping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang
intrakranial, pada saat itulah terhitung mulai muncul manifestasi hematom subdural.
Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, hemiparese ringan,
hemihipestesia, terkadang ditemukan epilepsi fokal dengan tanda-tanda papil edema.
Hemiparese yang dapat timbul adalah hemiparese kontralateral atau ipsilateral.
Hemiparese ipsilateral berkembang sebagai hasil penekanan pedunkulus serebri pada tepi
tentorium di sisi kontralateral hematom.
Seseorang bisa saja memiliki gejala yang berbeda dengan yang lain. Selain ukuran
hematom subdural, usia seseorang dan kondisi medis lainnya dapat mempengaruhi respon
untuk mengalami hematom subdural.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
1. Riwayat trauma kepala baik dengan jejas atau tidak?

11
2. Adanya kehilangan kesadaran (pingsan) atau tidak setelah trauma?
3. Adanya keadaan pasien kembali sadar seperti semula (lucid interval)?
4. Apakah ada riwayat amnesia setelah trauma (amnesia retrograde atau amnesia
anterograde)?
5. Apakah ada muntah atau kejang setelah terjadinya trauma?
Kepentingan mengetahui adanya muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau proses intra
kranial yang masih berlanjut.
6. Apakah ada nyeri kepala atau muntah?
7. Apakah ada kelemahan anggota gerak?
8. Ditanyakan pula riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan yang
pernah dan sedang dikonsumsi, dan konsumsi alkohol
2.7.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang


mencakup jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah dan nadi
(circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Secara bersamaan pemantauan
terhadap terjadinya syok dan peningkatan tekanan intrakranial juga dilakukan. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segera diberikan cairan untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks
Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik meliputi :

1. Penilaian kesadaran pasien menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS)


meliputi kemampuan pasien membuka mata, respon verbal, dan respon
motorik.
2. Penilaian fungsi kortikal luhur pasien apakah ada gangguan atau tidak (contoh:
disorientasi)
3. Pemeriksaan rangsang menings (kaku kuduk dan Kernig sign)
4. Pemeriksaan nervus cranialis untuk menilai adanya tanda-tanda defisit
neurologis fokal, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi
herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal.
5. Pemeriksaan motorik untuk menilai sistem motorik pasien apakah ada parese
atau lateralisasi disertai kelumpuhan.

12
6. Pemeriksaan sensorik untuk menilai apakah ada hipestesi pada pasien.
7. Penilaian sistem saraf otonom pasien

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi


lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi
pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata
bisa membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


a. CT-scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila ada kecurigaan suatu
lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan
secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra- aksial dan ekstra -aksial.
Hematom subdural akut pada CT-san kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk cressent sign sepanjang bagian
dalam tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal.
Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali
subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pengeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada pendarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya
massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral
yang mendasarinya. Pendarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena
serebelum relative tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap bridging
veins yang terdapat di sana.
Di dalam fase subakut pendarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan
otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT
dengan kontras MRI sering dipergunakan pada kasus pendarahan subdural dalam
waktu 48-72 jam setelah trauma kapitis. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-
vena kortikal akan tampak jelas di permukaan otak dan membatasi hematom subdural

13
dan jaringan otak. Pendarah subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks)
sehingga membingungkan dalm membedakannya dengan epidural hematom.

Normal Hematom subdural Epidural hematom

Gambar 5 Perbandingan gambaran CT scan pada orang normal, SDH, dan EDH

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Seringkali, hematom subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya pendarahan berulang dengan tingkat
cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

b. Laboratorium
Pemeriksaan minimal laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, dan profil hemostasis/koagulasi.

2.8 Diagnosis Banding


Epidural Hematom
Hematom subdural Epidural hematom
Terjadi akibat robekan dari bridging Terjadi akibat robekan arteri meningia
veins media
Biasanya terjadi dalam 2x24 jam setelah
Subakut atau kronik
trauma
Nyeri kepala tidak hilang, kadang Dapat didahului lucid interval
menghebat kemudian kesadaran memburuk

14
Edema papil, lateralisasi, jika berat Lateralisasi disertai kelumpuhan atau
dapat terjadi penurunan kesadaran refleks patologis

Tabel 3 Perbandingan antara SDH dan EDH

Perdarahan Subarakhnoid
Hematom subdural Perdarahan Subarakhnoid
Terjadi di ruang subdural Terjadi di ruang subarakhnoid
Terjadi akibat robekan dari bridging Terjadi akibat pecahnya aneurisma pada
veins Sirkulus Willisi
Nyeri kepala tidak hilang kadang
Nyeri kepala tiba-tiba dan berat
menghebat
Jika perdarahan berat dapat terjadi
Kesadaran up and down
penurunan kesadaran
Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens
seperti bulan sabit batas sesuai girus

Tabel 4 Perbandingan antara SDH dan PSA

2.9 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH tentu kita
akan memerhatikan kondisi klinis dan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan medikamentosa
untuk menurukan tekanan intrakranial seperti pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.

2.9.1 Non-Operatif
Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30 cc) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan darah pada
pembuluh darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran. Pemberian diuretik digunakan untuk mengurangi
pembengkakan. Pemberian Fenitoin untuk mengurangi risiko kejang yang terjadi
akibat serangan pasca trauma, karena penderita mempunyai risiko epilepsi pasca
trauma 20% setelah SDH akut. Pemberian transfusi dengan Fresh Frozen Plasma

15
(FFP) dan trombosit, dengan mempertahankan prothrombine time di antara rata-rata
normal dan nilai trombosit >100.000. Pemberian kortikosteroid, seperti deksametason
dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan pada otak.

2.9.2 Operatif
Evakuasi hematom merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat
karena menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada
SDH akut dengan kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada
otak (dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural dan evakuasi bekuan
darah intra parenkimal.

Indikasi operatif pada kasus Hematom subdural

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran
midline shift >5mm pada CT-scan.
b. Semua pasien SDH dengan GCS<9 harus dilakukan monitoring tekanan
intrakranial
c. Pasien SDH dengan GCS<9, dengan ketebalan perdarahan <10mm dan
pergeseran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara
saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS <9 dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed.
e. Pasien SDH dengan GCS <9, dan/atau TIK>20mmHg.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah kraniotomi burr hole, kraniotomi
twist drill, atau drainase subdural. Terapi operatif yang paling banyak dilakukan untuk
perdarahan subdural kronik adalah kraniotomi burr hole. Karena dengan teknik ini
menunjukkan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural
kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada
pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk melakukan operasi ulang
kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan anestesi lokal. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematom yang biasanya solid dan

16
kenyal apabila kalau volume hematom yang cukup besar. Lebih dari seperlima
penderita SDH akut mempunya volume hematom lebih dari 200 ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif


dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya
hematom dan lokasi kerusakan parenkim otak. Usaha di atas adalah untuk
memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif yang luas
dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh hematom, merawat perdarahan dan
mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan
paska operasi menunjukkan sisa hematom dan perdarahan ulang sangat minimal dan
struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula disbanding dengan
penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.

2.10 Prognosis dan Komplikasi


Prognosis bagi kasus hematom subdural akut dan hematom subdural kronik
berbeda. Pasien yang mengalami hematom subdural akut angka mortalitasnya lebih
tinggi walaupun dioperasi dengan segera. Terkadang dapat disertai cedera lain yang
memperburuk prognosis kasus ini. Dalam beberapa kasus ditemukan defisit neurologik
menetap dimana pasiennya berhasil dioperasi. Kadar mortalitas akan meningkatn
hingga 50% jika ditemukan komplikasi berupa cedera parenkim otak sedangkan pada
hematom subdural akut yang tidak berkomplikasi, kadar mortalitasnya 20%.

Komplikasi yang dapat timbul dari hematom subdural adalah kematian akibat
herniasi serebri, peningkatan tekanan intracranial, dan edema serebri. Selain itu, dapat
terjadi infeksi akibat tindakan operasi yang dilakukan. Hematom yang berulang dapat
terjadi selama proses pengobatan.

Prognosis akan menjadi lebih baik jika kondisi pasien:

Tidak hilang kesadaran


Defisit neurologik tidak ditemukan atau sedikit
Usia pasien kurang dari 50 tahun
Tidak mengkomsumsi alkohol
Tidak ada cedera lain

17
Untuk kasus hematom subdural kronik, prognosisnya lebih baik. Kadar
mortalitasnya sekitar 20% setelah dioperasi.

BAB III
Penutup

Hematom subdural akut membawa risiko tinggi kematian . Usia merupakan faktor
penting yang mempengaruhi prospek seseorang . Misalnya , orang-orang yang :
berusia di bawah 40 tahun memiliki risiko 20 % kematian
berusia 40 sampai 80 tahun memiliki risiko 65 % kematian
berusia 80 tahun atau lebih memiliki risiko 88 % kematian
Orang-orang yang selamat dari hematom subdural akut biasanya membutuhkan waktu
lama untuk pulih dari efek hematom. Waktu pemulihan akan tergantung pada tingkat
keparahan hematom . Ada juga kadang-kadang bisa cacat fisik dan mental permanen..
Sedikit informasi yang tersedia tentang subakut hematom subdural karena kasus ini
jarang ditemukan . Namun, prospek untuk hematom subdural subakut sering lebih baik
daripada untuk hematom subdural akut.
Prospek untuk hematom subdural kronis juga jauh lebih baik daripada prospek
hematom subdural akut . Namun, kondisi masih membawa resiko cukup tinggi kematian .
Memperkirakan 1 dari 20 orang akan mati dalam 30 hari pertama setelah menjalani operasi
untuk mengobati hematom subdural kronis.(11)

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Reinhard Rokhamm. Color Atlas of Neurology. Cetakan ke 5: Jakarta.


2. Essential of Rubins Pathology. SDH.Edisi ke 6.
3. Dikutip dari: patient.co.uk Hematom subdural. Perbandingan antara SDH Akut dan
SDH Kronik.
4. Setiati S. Alwi I. Sudoyo A. Simadibrata M. Setiyohadi B. Syam A. Buku Ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid 2. Edisi 6. Interna Publishing. Jakarta. 2014. H 1555-66
5. Mardjono M. Sidharta P. Neurologis klinis dasar. Dian Rakyat. Cetakan 16. Jakarta.
2014
6. Ngoerah I. Dasar-dasar ilmu penyakit syaraf. Airlangga university press. Surabaya.

19

Anda mungkin juga menyukai