Anda di halaman 1dari 14

Skenario

Anita (26 tahun) memeriksakan kondisi kesehatan rongga mulutnya ke klinik gigi
dan mulut, hasil pemeriksaan fisik didapatkan oral hyeginie yang baik, adanya lesi putih
yang memanjang pada mukosa labial inferior, beberapa gigi posterior mengalami luxasi
dengan derajat rendah dan terjadinya atrisi pada mahkota gigi terutama gigi posterior.
Pada daerah posterior rahang bawah sinistra terdapat kelainan berupa lipatan hiperplasia
berwarna merah mudah, keras, dan fibrous. Hasil anamnesis didapat adanya kebiasaan
buruk dari Anita berupa teeth grinding dan sering menggigit bibirnya pada saat cemas.
Anita saat ini menggunakan gigi tiruan sebagian lepasan pada daerah gigi 36 dan 37 yang
mulai longgar retensinya. Dokter gigi klinik mencoba mecari penyebab dari keluhan
pasien dan menegakkan diagnosa serta penatalaksanaan penyaki yang diderita Anita.

STEP 1

1. Lesi putih
Suatu istilah nonspesifik yang digunakan untuk menunjuk suatu daerah
abnormal pada mukosa mulut yangpada pemeriksaan klinis tampak lebih putih
daripada jaringan sekitarnya dan biasanya agak lebih tinggi, lebih kasar atau
memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal di dekatnya.

2. Luxasi
perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal
maupun lateral.

3. Sinistra
Bagian kiri.

4. Hiperplasia
Peningkatan abnormal dalam jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan.

5. Mukosa Labial inferior


Mukosa bibir bagian bawah.

6. Fibrous
Jaringan ikat yang padat, karena banyak mengandung serat berkolagen.

7. Teeth grinding
Bruxism atau yang dikenal dengan ngerot atau tooth grinding, adalah suatu
kebiasaan buruk secara tidak sadar ketika tidur, mengatupkan rahang atas dengan
rahang bawah yang disertai dengan mengunyahkan gigi geligi atas dan gigi geligi
bawah

8. Atrisi
suatu istilah yang dipakai untuk menyatakan hilangnya suatu substansi gigi secara
bertahap pada permukaan oklusal dan proksimal gigi karena proses mekanis

9. GTSL retensi longgar


salah satu masalah gigi tiruan dimana kemampuan gigi tiruan bertahan terhadap
pelepasan saat fungsi maupun istirahat (secara vertikal) berkurang sehingga gigi
tiruan menjadi longgar.

STEP 2
1. Apa penyebab terjadi lesi putih yang memanjang pada mukosa labial inferior?
2. Apakah ada efek lain dari sering menggigit bibir bawah saat cemas?
3. Bagaimanakah kelanjutan dari lesi putih apabila kebiasaan buruk Anita tidak
dihilangkan?
4. Apa yang menyebabkan atrisi dan luksasi pada bagian posterior?
5. Apakah ada hubungan antara luksasi dengan teeth grinding?
6. Mengapa terdapat lipatan hiperplasia warna merah muda, keras, dan fibrous?
7. Apakah ada hubungan antara teeth grinding dengan lipatan hiperplasia berwarna
merah muda, keras, dan fibrous?
8. Apa penyebab Anita mempunyai kebiasaan buruk teeth grinding dan sering
menggigit bibir pada saat cemas?
9. Apakah ada hubungan antara teeth grinding dengan retensi GTSL longgar?
10. Apakah ada hubungan antara GTSL longgar dengan menggigit bibir?
11. Apakah ada hubungan antara GTSL Anita dengan kegoyangan gigi Anita pada
bagian posterior?
12. Apakah ada pemeriksaan lain yang akan dilakukan di skenario selain pemeriksaan
klinis?
13. Apa diagnosis yang tepat pada skenario?
14. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus skenario?

Step 3
1. Lesi putih terjadi karena sering menggigit bibir terus-menerus. Lesi putih ada 2
macam yaitu lesi keratotik dan non-keratotik. Di dalam skenario ini termasuk lesi
putih non-keratotik karena berasar dari bukan virus terlihat dari OH Anita yang
baik.
2. Efek lain dari menggigit bibir bawah yaitu bisa mengalami protrusi pada gigi
rahang atas, overjet besar, dan terjadi linguoversi pada gigi rahang bawah.
3. Jika kebiasaan buruk tidak dihilangkan prognosis akan menjadi buruk, karena jika
menggigit bibir terus-menerus akan terjadi luka, jaringan tersebut pun bisa
nekrosis dan bahkan bisa menimbulkan infeksi yang lebih parah.
4. Atrisi disebabkan oleh aktivitas teeth grinding. Teeth grinding ini akan
menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap jaringan periodontal sehingga
terjadi pergerakan gigi pada ridge alveolar (luksasi).
5. Terdapat hubungan antara luksasi dengan teeth grinding. Seperti yang dijelaskan
pada nomor sebelumnya/
6. Karena retensi GTSL longgar sehingga GTSL bisa bergeser-geser, menimbulkan
iritasi kronis pada mukosa tulang akibat tertekan GTSL dan menghasilkan lipatan-
lipatan hiperplasia. Terjadinya resorpsi tulang akibat penekanan berlebihan dari
GTSL juga bisa menjadi penyebab.
7. Tidak terdapat hubungan antara teeth grinding dengan lipatan hiperplasia
berwarna merah muda, keras, dan fibrous.
8. Penyebab kebiasaan buruk Anita karena psikologis Anita yaitu cemas/stress,
depresi atau bisa juga akibat konsumsi obat antidepresan.
9. Tidak terdapat hubungan antara teeth grinding dengan retensi GTSL longgar
10. Tidak terdapat hubungan antara GTSL longgar dengan menggigit bibir
11. Tidak terdapat hubungan antara GTSL Anita dengan kegoyangan gigi Anita pada
bagian posterior
12. Pemeriksaan lain dalam skenario, yaitu:
- Pemeriksaan patologi klinis untuk melihat histopatologi dari keadaan lesi
putih
- Pemeriksaan radiologi untuk melihat apakah terjadi resorpsi tulang yang
menyebabkan longgarnya GTSL.
13. Diagnosis yang tepat pada skenario adalah masalah psikologis.
14. Penanganan untuk kasus di skenario yaitu:
- identifikasi penyebab utama yaitu masalah psikologis, lalu melakukan
pengendalian psikologis dengan merujuk ke psikiater.
- Setelah penyebab utama dihilangkan, lalu perawatan gigi dengan
menggunakan aplikasi night guard untuk masalah bruxism atau teeth grinding,
lip bumper untuk keadaan suka menggigit bibir, lesi dieksisi serta
memperbaiki gigi tiruan sebagian lepasan.

Step 4
Step 5
Learning Objective
1. Teeth Grinding : a. Pengertian
b. Etiologi
c. Penatalaksanaan
2. Lesi Putih akibat trauma : a. Etiologi
b. Jenis
c. Gambaran Klinis
d. Penatalaksanaan
3. Hipeplasia yang disebabkan gigi tiruan : a. Jenis
b. Gambaran klinis
c. Penatalaksanaan
Step 6
Belajar Mandiri
Step 7
1. Teeth Grinding/Bruxism
a. Pengertian dan Jenis
Bruxsim menurut American Academy of Orofacial Pain, 2008 bruxism
adalah diurnal or nocturnal parafunctional activity that includes clenching,
bracing, gnashing and grinding of teeth. Fenomena bruxism dalam kehidupan
sehari-hari lebih mengarah pada aktifitas gigi geligi, seperti mengasah gigi
(Grinding), mengatupkan rahang atas dan rahang bawah dengan keras (Clencing),
menggosok gigi (Rubbing), dan menggertakkan gigi (Gnashing) dalam keadaan
tidak sadar. Keadaan ini merupakan keadaan yang tidak normal dan hampir
pernah dialami oleh semua manusia pada umumnya.
b. Etiologi Bruxism
Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan adanya kontroversi
etiologi bruxism yang telah berlangsung bertahun-tahun. Berdasarkan telaah
literatur terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu periferal
(morfologis) dan sentral (physiopatologis dan psikologis). Saat ini, bruxism lebih
mengarah ke etiologi sentral daripada periferal. Hasil riset ahir-ahir ini
mengindikasikan adanya faktor genetic berperan sebagai etiologi bruxism .
Berbagai studi memperlihatkan pula berbagai factor resiko yang memperburuk
bruxism sperti merokok, kafein dan konsumsi alcohol.
Peran faktor periferal (morpologis)

Faktor periferal pada waktu lalu dipertimbangkan sebagai etiologi utama


bruxism. Ramfjorf (1961) menyarankan bahwa bruxism dapat dihilangkan dengan
penyesuaian oklusal. Tapi dari berbagai studi menunjukkan bahwa hubungan
antara bruxism dan faktor oklusal adalah lemah atau tidak ada. Sementara itu,
Michelotti dkk, 2005, dalam eksperimennya, bahwa suprakontak nyata
berhubungan dengan pengurangan kegiatan elektomiografi (EMG) ketika bangun.
Hasil double-blind randomized controlled studies di Finland menunjukkan bahwa
interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor
pada mereka dengan kelainan temporomandibular.Artikel tinjauan Luther, 2007
menyatakan tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi bruxism,
atau penyesuaian oklusal dapat mencegahnya .
Peran faktor sentral (pathophysiologis dan psychologis)
i. Faktor pathophysiologis

Pathophysiologi dari bruxism sewaktu tidur tampaknya belum dapat


dijelaskansepenuhnya, tetapi mungkin disebabkan mulai dari faktor
psikososial seperti stres, kecemasan, respon yang eksesif sampai
microarousals. Microarousals didefinisi sebagai periode singkat (3-15
detik) dari aktivitas cortikal sewaktu tidur, yang berhubungan peningkatan
aktivitas sistem syaraf sympatetik. Hampir 80% episod bruxism terjadi
dalam kelompok, sewaktu tidur dan berhubungan dengan microarousal.
Mengerotkan gigi didahului urutan kejadian psikologis: peningkatan
aktivitas sympatetik (pada 4 menit sebelum mengerot dimulai), diikuti
aktivasi cortikal (1 menit sebelumnya) danpeningkatan ritme jantung dan
tonus otot pembukaan mulut (1 detik sebelumnya) .
ii. Faktor psikologis

Studi oleh Lobbezoo dan Naeije, 200110 menyatakan bahwa


pengalaman stres dan faktor psikososial berperan penting pada penyebab
bruxism. Menurut literatur berdasarkan laporan sendiri (self-reported) dan
observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara untuk menilai
bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres. Tetapi, ada
keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkanb
sebagai indikator yang lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan
clenching dan grinding. Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh
kepadatan email atau kualitas saliva dan efektivitas lubrikasinya. Dokter
gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan psikis dan
psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati
(mood) dan kelainan personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog
sangat diperlukan. Menurut Lavigne, dkk. 2008, untuk memahami
penyebab bruxism adalah sangat sulit untuk mengisolir peran stres dan
kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomic dan kegiatan
motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan
saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang
jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan
bruxism .
c. Strategi Pengelolaan
Saat ini, tidak hanya satu jenis perawatan saja yang dapat mengurangi
bruxism, karena harus mempertimbangkan pula mekanisme physiopathologisnya.
Evaluasi perawatan bruxism sangat sulit, karena berbagai alasan, variabilitas yang
besar intensitas dan frekwensi bruxism diantara dan antar individu, kondisi medis
dan odontologis, serta symptom subjektif. Perawatan bruxism membutuhkan
kombinasi yaitu perawatan perilaku, perawatan gigi dan perawatan pharmakologis
Perawatan perilaku termasuk higiene tidur, biofeedback, tehnik relaksasi,
pengendalian stres serta terapi hipnosis.
Perawatan pharmakologis, tidak ada obat yang khusus untuk mengatasi
bruxism, tetapi dari berbagai studi yang terkendali telah dievalusi berbagai obat
yang memiliki efek terhadap bruxism. Golongan relaksasi otot, sedatif dan
anxiolitik seperti diazepam clonazepam, metocarbamol dan zolpiden. Agen
dopaminergik: L-dopa. Beta-adregenik agonist : clonidin. Antidepresan: buspirone
dan botulinum toxin A26.
Perawatan gigi diantaranya berbagai alat intraoral untuk mengatasi rasa
sakit lokal, mencegah lesi struktur orofasial, dan mencegah disfungsi artikulasi
temporomandibuler. Mekanisme kerja alat intra oral dan efektivitasnya dalam
mengurangi aktivitas neuromuskuler selama tidur belum sepenuhnya diketahui.
Alasan utama untuk perawatan bite splint . Suatu bite splint disebut pula sebagai
bite plane, deprogrammer, intraoral orthotic, night guard, occlusal splint
merupakan alat lepasan, biasanya dibuat dari akrilik atau komposit menutupi
permukaan oklusal dan insisal gigi-gigi di rahang atas atau bawah .
2. Lesi Putih akibat trauma
1. Morcisatio Buccarum

Berasal dari kata latin, morsus(gigitan), adalah istilah yang digunakan


untuk menyebutkan perubahan pada mukosa mulut yang di sebabkan oleh
mengigit pipi atau mengunyah pipi. Mengunyah atau menggigit adalah kebiasaan
yang umum di lakukan saat gelisah, yang mengakibatkan berkembangnya
perubahan mukosa. Pada awalnya, akan muncul plak putih yang sedikit menonjol
dan tidak teratur dlam pola difus yang menutupi daerah trauma. Bertambahnya
cedera akan menimbulkan respon hiperplastik yang memperbesar ukuran plak.
Pola linear atau striae kadang ditemukan, yang terdiri atas daerah yang kasar dan
tebal zona eritema yang berada di antaranya. Cedera yang bersifat persisten dapat
mengakibatkan pembesaran plak dengan zona eritema dan ulserasi traumatik.
Mengunyah mukosa mulut biasanya terlihat pada bagian anterior mukosa
bukal dan lebih jarang di mukosa labial. Lesi dapat unilateral atau bilateral serta
dapat timbul pada semua usia. Tidak ada predileksi ras atau jenis kelamin. Untuk
diagnosis depeerlukan pemeriksaan visual atau verbal dari kebiasan kegelisahan
tersebut. Meskipun morsicatio buccarum tidak berpotensi menjadi keganasan,
pasien harus diberi tahu akan gambaran klinis yang serupa, bercak leukoplakia
dan kandidiasis harus dibedakan dari lesi ini. Pemeriksaan mikroskopis dari
jaringan biopsis akan menunjukan permukaan epitelium yang matang dan normal
dengan permukaan parakeratosis yang menebal dan kasus serta peradangan
subepitel ringan. (Langlais, Miller, & Nield-Gehrig, 2014)
2. Lesi Putih Traumatik
Disebabkan oleh beberapa iritan kimia fisik seperti trauma karena
gesekan, panas, penggunaan aspirirn secara topikal, penggunaan larutan kumur
mulut berlebihan, cairan kaustik, dan bahkan pasta gigi. Trauma gesekan sering
terlihat padda gingiva cekat. Trauma ini disebabkan oleh penyikatan gigi yang
terlalu kuat, gerakan protesa mulut, dan mengunyah di atas lingir tidak bergigi.
Dengan berjalannya waktu, mukosa akan menebal dan permukaan putih yang
kasar akan berkembang sehingga tidak bisa dihapus. Tidak ada rasa sakit.
Pemeriksaan histologi menunjukan adanya hiperkeratosis.
Trauma akut dapat menimbulkan pengelupasan lesi atau rasa kasar
berwarna putih jika lapisan permukaan dari mukosa mengalami kerusakan. Lesi
biasanya tampak berupa bercak putih dengan tepi tidak teratur. Di bawahnya
terdapat permukaan yang kasar, merah, atau berdarah. Mukosa yang bergerak
lebih rentan terhadap trauma dibandingkan mukosa cekat. Rasa sakit akan reda
dan terjadi penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah penyebabnya
dihilangkan. (Langlais, Miller, & Nield-Gehrig, 2014)

Gambaran Histopatologi anatomi (HPA) Lesi putih Traumatik

1. LINEA ALBA
Histopatologis :
Hiperortokeratosis
Edema intraseluler, inflamasi kronis ringan

2. MORSICATORIO BUCCARUM (CHRONIC CHEEK


CHEWING/ HABITUAL CHEECK CHEWING)

Oral mucosa exhibiting greatly thickened layer of parakeratin with


ragged surface colonized by bacteria.

Histopatologis :
Hiperparakeratosis
Kolonisasi bakteri permukaan

3. LESI PUTIH TRAUMATIK


Histopatologis :
Hyperkeratosis
Akantosis tanpa displasia

3. Hiperplasia yang disebabkan gigi tiruan

I . Epulis Fissuratum

Definisi
Pertumbuhan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan di daerah mukosa yang berkontak
dengan tepi gigi tiruan yang biasanya terlalu cekat dan menekan mukosa. Epulis
fissuratum juga sering disebut inflammatory fibrous hyperplasia, atau denture epulis.
Pertumbuhan jaringan ikat tersebut disebabkan oleh iritasi kronik karena pemakaian gigi
tiruan, di mana tepi gigi tiruan menekan daerah gusi yang berbatasan dengan pipi bagian
dalam (alveolar vestibular mucosa). Penekanan tersebut menyebabkan tulang daerah
tersebut terus menerus berubah karena kehilangan tulang, akibatnya dukungan tulang
untuk basis gigi tiruan menjadi tidak stabil. Hal ini lama kelamaan mengarah kepada
terjadinya penonjolan yaitu epulis fissuratum.
Gbr. Epulis fissuratum yang tampak sebagai penonjolan vestibulum yang berkontak
dengan tepi gigi tiruan
Kondisi ini paling sering terjadi pada orang usia lanjut karena pasien dalam kelompok
umur tersebut banyak yang menggunakan gigi tiruan. Namun masalah ini cenderung
berkurang dengan makin berkembangnya teknologi kedokteran gigi dan meningkatnya
kesadaran pasien untuk menjaga keutuhan dan kesehatan gigi dan mulut sehingga
kebutuhan akan gigi tiruan bisa jadi berkurang. Tampaknya kondisi ini lebih sering
dijumpai pada wanita daripada pria

Gejala
Lesi yang tersusun dari jaringan yang berlebihan ini umumnya berupa lipatan hiperplastik
berwarna merah muda, keras dan fibrous. Bagian dalam dan luar dari lesi terpisah oleh
cekungan (groove) dalam yang menandakan tempat di mana tepi gigi tiruan menekan
mukosa.
Epulis fissuratum jarang terjadi di daerah lingual (bagian yang menghadap lidah), dan
lebih sering dijumpai di bagian depan rahang (anterior).
Ukuran lesi ini bervariasi. Ada lesi yang berukuran kecil namun ada juga yang luas dan
melibatkan seluruh daerah mukosa (mukosa vestibulum) yang berkontak dengan tepi gigi
tiruan.
Terkadang iritasi dapat cukup parah sehingga menyebabkan mukosa tampak kemerahan
dan ulserasi, terutama di dasar cekungan di mana tepi gigi tiruan berkontak dengan
mukosa.

Gambaran Histopatologi
Secara histopatologi, berupa jaringan fibrous aseluler yang terikat longgar dan edematus.
Mukosa di atas jaringan mempunyai epitelium keratinisasi atau parakeratinisasi. Selain
itu, terdapat infiltrat sel peradangan kronis di bawah epitelium. Pada daerah pertemuan
lesi dan mukosa normal, terdapat ulserasi serta penggabungan dari infiltrat sel
peradangan akut dan kronis (Gayford, 1993: 122).

Perawatan
Lesi ini dapat dihilangkan dengan eksisi. Selain itu, gigi tiruan yang menjadi timbulnya
lesi ini harus diperbaiki hingga dapat memiliki kecekatan yang baik namun tidak
memberi tekanan berat terhadap mukosa supaya mencegah iritasi yang lebih berat lagi.
Meski lesi ini sangat jarang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa, namun
sebagai tindakan preventif sebaiknya dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada lesi yang
telah dibuang tersebut.

Daftar Pustaka
1. A.H, S. W., R, N., & A, A. (n.d.). Bruxixm. Bandung: FKG UNPAD.

2. Langlais, R. P., Miller, C. S., & Nield-Gehrig, J. s. (2014). Atlas Berwarna Lesi
Mulut Yang Seing Ditemukan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Gayford, J. J. dan R. Haskell. 1990. Penyakit Mulut. Ed. ke-2,terj. Lilian Yuwono.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Houwink, B. dkk. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan, terj. Sutatmi
Suryo.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai