Narasi Profil 2010 PDF
Narasi Profil 2010 PDF
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab I Pendahuluan
Bab ini Berisi tentang maksud dan tujuan profil kesehatan dan sistematika dari
penyajiannya.
2
pelayanan kesehatan ibu dan anak, pembinaan kesehatan lingkungan, serta perilaku
hidup bersih dan sehat.
Bab VI Kesimpulan
Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah
lebih lanjut dari Profil Kesehatan Provinsi DIY di tahun 2010.
Lampiran
Pada lampiran ini berisi resume/angka pencapaian Provinsi DIY dan 63 tabel data
yang merupakan gabungan table indicator Provinsi sehat dan Indikator pencapaian
kinerja standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan.
3
BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1. WILAYAH
Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438
kelurahan/desa, yaitu:
4
memiliki luas kurang lebih 582,81 km2 dengan ketinggian 80 2.911 m.
(b) Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan
batu gamping dan bentang karst tandus dan kurang air permukaan, di
bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi
Plato Wonosari. Wilayah pegunungan ini memiliki luas 1.656,25 km2
dengan ketinggian 150-700 m.
(c) Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang
lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng
curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai kurang lebih
706,25 km2 dengan ketinggian : 0 572 m
(d) Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses
pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang
mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan
Pegunungan Seribu. Wilayah ini memiliki luas 215,62 km2 dengan
ketinggian 0 80 m.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan berkisar
0,00 mm 13,00 mm per hari. Suhu udara rata-rata berkisar antara 21-350 C.
Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan udara 1.005,3
mb 1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat 240 derajat dan
kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot
(a) Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara dan
wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
(b) Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng
5
Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat), lereng Pengunungan
Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul);
(c) Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul;
(d) Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul
bagian selatan, khususnya kawasan karst;
(e) Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan
Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang dari 30 m dpl;
(f) Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh
wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di tumbukan lempeng dasar
Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY.
(g) Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah Provinsi
DIY.
Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat
karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku
masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan,
dan krisis energi.
6
ancaman global seperti perubahan iklim global, rusaknya keanekaragaman
hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.
2.3. Kependudukan
7
Sumber : BPS Prov. DIY 2011
8
Tabel 1
Rerata kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per
km2. Sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km2
dengan kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km2) terendah di
Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km2). Permasalahan ketimpangan
kepadatan tersebut diperkuat dengan ketimpangan potensi sumber daya
dimana Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DIY yang memiliki
kesuburan lahan kurang dan keterbatasan suplai air.
2.4. Ekonomi
(a) Investasi, Industri, dan Perdagangan
9
pemerintah banyak yang diarahkan pada pelayanan publik sebaliknya
untuk sektor swasta. Investasi sektor industri mengalami pertumbuhan
baik untuk industri kecil, menengah dan besar (0,65%) dengan dominasi
industri kerajinan serta industri tekstil dan kulit.
10
sepuluh tahun terakhir meningkat 27,81%. Konsumsi ikan perkapita
selama sepuluh tahun terakhir meningkat sebesar 5,71% pertahun.
(a) Sosial
Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang
ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan kelompok marginal
seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan,
korban bencana alam, korban tindak kekerasan dan lain sebagainya.
Khusus untuk korban bencana mengalami peningkatan yang signifikan
sehubungan dengan adanya erupsi Gunung Merapi.
11
30
25
20
15
10
5
0
2006 2007 2008 2009 2010
Desa+kota 19,15 18,99 18,32 17,23 16,83
Kota 17,85 15,63 14,99 14,25 13,98
Desa 27,64 25,03 24,32 22,60 21,95
Nasional 17,75 16,58 15,42 14,25 13,33
12
Persentase penduduk miskin terbesar di Kabupaten Gunungkidul yang
mencapai 24,27% dari total penduduk Kabupaten Gunung Kidul,
sementara untuk Kabupaten kulonprogo mencapai 23,13%. Persentase
penduduk miskin terkecil adalah di Kabupaten Sleman sebesar 10,78%.
(b) Pendidikan
Jumlah sekolah di Provinsi DIY pada tahun 2009 untuk jenjang TK hingga
Sekolah Menengah Atas tercatat 5.073 unit sekolah atau turun 0,90%
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat 5.119 sekolah.
Jenjang perguruan tinggi pada tahun 2009 tercatat 10 perguruan tinggi
negeri dan 120 perguruan tinggi swasta (PTS).
13
pendidikan dasar 9 tahun (minimal SLTP) yaitu sebanyak 1.258.036 orang
atau sebesar 62,38%. Sedangkan sisanya (37,62%) tidak/belum sekolah,
tidak tamat SD dan hanya tamat SD.
Angka buta huruf umur 15-44 tahun di Provinsi DIY menurun dari 26.183
pada tahun 2006 menjadi 14.159 pada tahun 2007 serta tahun 2008 angka
berkurang menjadi 10.156 orang. Diharapkan sebanyak sebanyak 4003
akan bisa diselesaikan pada tahun 2009.
Tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dalam mengikuti
pendidikan pra-sekolah sudah mencapai 70%. Angka Partisipasi Sekolah
(APS) penduduk usia 7-12 tahun sebesar 100%, APS penduduk usia 13-
15 tahun sebesar 100% dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar
79,89 %. APS tersebut telah melampaui SPM sebesar 95%, 95% dan
60,00%.
14
Jenis Tenaga yang Jumlah
Jenjang
dihasilkan Institusi
DIII/IV Keperawatan 10
Gizi 2
Analis Kesehatan 4
Kesehatan Lingkungan 3
Kebidanan 16
Farmasi 3
Farmasi dan Makanan 1
Kesehatan Gigi 2
Elektro medik 1
Radiografer 1
Rekam Medis 3
Fisioterapi 1
S1 Kedokteran 4
Kedokteran Gigi 2
Farmasi 4
Kesehatan Masyarakat 4
Keperawatan 11
Perawat Gigi 1
Gizi 2
S2/S3 Spesialis kedokteran 2
Spesialis gigi 1
Farmasi 1
Kesmas 1
(c) Kebudayaan
Seni pertunjukan, seperti seni tari dan teater dikelola oleh 2.924 kelompok
yang tersebar di 78 kecamatan. Kesenian non pertunjukan, seperti seni
rupa, seni kerajinan, cukup banyak dan tersebar, dikelola perorangan
maupun kelompok dalam bentuk sanggar Budaya lokal Yogyakarta
15
memberi tempat tinggi pada tradisi yang menekankan hirarkhi sosial kuat
sehingga sulit menjalankan perubahan.
16
produktivitas. Berdasarkan hasil survey angkatan kerja nasional
(Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja penduduk berumur
15 tahun ke atas di Provinsi DIY dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2008 sebanyak 1.999.734
meningkat menjadi 2.06.694 orang pada tahun 2009, sedangkan pada
tahun 2010 (Februari) tercatat sebanyak 2.067.143 orang.
2009 30,1 0,95 12,51 0,14 7,67 24,04 4,36 2,56 17,69
Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian
kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Realitas ini menunjukkan
bahwa untuk sektor pertanian dan sektor jasa relatif memberikan kontribusi
paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Demikian juga peranan
sektor pertanian cukup dominan dalam menciptakan lapangan kerja.
Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor
17
perdagangan dan industri terutama industri kecil menengah serta kerajinan
dapat dikembangkan sebagai penunjang keterserapan tenaga kerja.
(g) Agama
(1) Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,04%
memeluk agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,70% agama Kristen,
0,17% agama Hindu dan 0,15% agama Budha.
(2) Kerukunan antar umat beragama berkembang dengan baik,
ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar pemeluk
agama.
(b) Hukum
(1) Ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka proses pembentukan hukum
dan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah, dapat
18
diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar
yang mengikat semua lembaga yang berwenang.
(2) Penegakan hukum dan perundang-undangan masih perlu ditingkatkan.
Tindak kejahatan dan kriminalitas semakin tinggi dan bervariasi
(3) Pada era pasar bebas dan globalisasi, telah dilakukan kerjasama dan
fasilitasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri.
(a) Transportasi
(1) Berdasarkan data dari Ditlantas Polda DIY, jumlah kendaraan bermotor
yang terdaftar di DIY pada tahun 2008 sebanyak 1.276.336 unit atau
naik 9,87% dari tahun 2007. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
didominasi oleh sepeda motor sebanyak 1.116.944 unit (87,51%),
8,49% mobil penumpang, 3,11% mobil barang, 0,85% bus dan 0,04%
kendaraan khusus/ambulans.
(2) Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan
dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan
kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak
peningkatan volume kendaraan dan perilaku pengendara juga terjadi
pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury
(kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai
penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas di DIY mengalami
peningkatan cukup besar. Tahun 2000 tercatat 112 kecelakaan yang
meningkat menjadi 2.407 kecelakaan di tahun 2008 yang merenggut
nyawa 202 orang dan 3.629 orang menderita luka berat dan ringan
dengan nilai kerugian material sebesar Rp 400.110.000,-
(3) Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan
konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki pelayanan serta
jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan-
Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun Kutoarjo.
(4) Bandara internasional direncanakan akan beroperasi di wilayah
Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan operasional
19
penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan
animo maskapai penerbangan untuk membuka jalur penerbangan.
Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya
pengembangan jalur angkutan terintegrasi antara darat, laut, dan
udara.
(c) Keciptakaryaan
(1) Pembangunan perumahan permukiman mengarah ke wilayah
Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY). Perkembangan perumahan
dan permukiman meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi
perumahan dan bangunan.
(2) Kebutuhan air minum mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan penduduk dan kegiatan masyarakat.
(3) Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke
sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar tanpa ada
pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai
4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta). Total cakupan pelayanan
limbah dan sanitasi berkisar 51.8%.
20
(4) Pelayanan pengangkutan sampah masih rendah. Pelayanan
pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA) baru
mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.
(5) Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini
mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas sebagai
drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran
air sungai.
(6) Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain
pencemaran lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya lahan
tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.
(a) Wilayah di luar DIY yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi
pola pemanfaatan ruang dan perkembangan pembangunan, antara lain:
(a) Semarang Solo Cilacap; (b) Magelang-Klaten-Purworejo-Salatiga-
Wonogiri-Sukoharjo; (c) Wilayah terpadu Joglosemar, Pawonsari
Bakulrejo, Gelangmanten.
21
(2) Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS Progo, DAS Opak-Oyo dan DAS
Serang);
(3) Kawasan tertentu nasional (Taman Nasional Gunungapi Merapi,
Kawasan Cagar Budaya: Keraton, candi-candi, Kawasan Rawan
Bencana: jalur patahan Opak, wilayah Gunung Merapi, dan rawan
tsunami, banjir dan air pasang di pesisir pantai Kulon Progo dan
Bantul);
(4) Kawasan yang cepat tumbuh (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, yang
meliputi Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten Sleman, dan Bantul
yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta);
(5) Kawasan yang potensial untuk berkembang (Kabupaten Bantul:
Sewon, Kasihan, Banguntapan, Sedayu, Srandakan, Imogiri dan
Piyungan; Kabupaten Sleman: Godean, Gamping, Pakem, Depok;
Kabupaten Kulonprogo: Wates, Temon, Pengasih, Sentolo, dan
Nanggulan; Kabupaten Gunungkidul: Wonosari, Bunder, Rongkop,
Sadeng);
(6) Kawasan yang kritis lingkungan (Kabupaten Gunungkidul: di Purwosari,
Panggang, Tepus, dan Rongkop; Kabupaten Bantul: di Worotelo,
Wukirsari, Muntuk, Jatimulyo, Sendangsari, dan Dlingo; Kabupaten
Kulonprogo: Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, dan Kokap).
(d) Karakteristik tata ruang internal DIY ditandai tingginya kebutuhan ruang
untuk kegiatan budidaya namun dilain pihak menghadapi keterbatasan
daya dukung maupun daya tampung lingkungan. Wilayah DIY seluas
318.580 Ha, dengan 47,188% (150.332 Ha) merupakan kawasan lindung
(belum termasuk rawan gempa).
22
BAB III
SITUASI DERAJAT KESEHATAN
3.1. MORTALITAS
23
Jika dirunut sejak tahun 1971, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan
selama 30 tahun dari tahun tersebut yang baru mencapai 45,5 tahun. Gambaran
perkembangan tersebut memperlihatkan telah terjadinya transisi demografi di DIY
yang sebenarnya telah dimulai pada masa 90-an yang ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya usia lanjut.
Peningkatan umur harapan hidup ini dipengaruhi oleh multifaktor yang dalam hal
ini kesehatan menjadi salah satu yang berperan penting didalamnya. Peran
pengaruh kesehatan ditunjukkan dari semakin menurunnya angka kematian,
perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi di masyarakat.
24
Gambar 4. Perkiraan Angka Kelahiran Kasar Provinsi DIY
Sumber : BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011
Jumlah kelahiran pada tahun 2009 yang dilaporkan dari dinas kesehatan
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut : jumlah kelahiran (hidup & mati) 43.919
dan lahir mati 193. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah kelahiran hidup dan mati
sebesar 43.242 dengan jumlah kasus lahir mati sebanyak 194.
Data kematian ibu dalam 4 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup
baik. Tahun 2008 angka kematian ibu di DIY berada pada angka 104/100rb
menurun dari 114/100rb pada tahun 2004. Jumlah kematian ibu maternal yang
dilaporkan kabupaten / kota pada tahun 2010 mencapai 43 ibu (tahun 2009
25
sebanyak 48 kasus). Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan
penurunan, namun jika diamati tingkat laju penurunan selama periode 5 tahun
terakhir terlihat melandai / kurang tajam. Target MDGs di tahun 2015 untuk
angka kematian Ibu nasional yaitu 97,5/100 ribu, pada tahun 2010 di DIY sudah
tercapai.
Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil
sensus penduduk tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah :
laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan
sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. Hasil sensus penduduk yang dihimpun dari
data BPS dapan digambarkan sejak tahun 1971 sampai 2010 seperti pada
gambar berikut :
Gambar 6 : Angka Kematian Bayi per 100 kelahiran hidup (Sumber: BPS Prov. DIY)
Hasil sensus penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010
menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikans angka kematian
bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangakan menurut
26
proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000 pada kurun waktu 2000-
2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan
untuk periode tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5%
dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun 2020 - 2025 diperkirakan
tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil
(hardrock) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk
dikendalikan diantaranya faktor genetik.
Angka Kematian Bayi tahun 2010 jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun
sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan pola
penurunan tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian bayi di
DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000 kelahiran hidup.
Pola penurunan dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai
faktor lain. Seperti yang terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999
dimana terjadi krisis multidimensi yang berdampak secara tidak langsung kepada
peningkatan angka kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDGs untuk
angka kematian bayi pada tahun 2015 ditargetkan 16 per 1000 kelahiran hidup.
27
Gambar 7 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010
(Sumber: BPS Provinsi DIY tahun 2011)
Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997
sampai dengan 2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi
dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun 2010 menunjukkan jumlah
kematian balita sebesar 409 balita.
Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut maka diprediksikan di tahun
2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000 kelahiran hidup. Secara
Nasional target MDGs untuk angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan
akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999.
3.2. MORBIDITAS
Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit (Puskesmas)
selama beberapa tahun terakhir adalah influensa, penyakit saluran nafas
(diantaranya Pneumonia), hipertensi,dan diare. Sementara untuk pertama
kalinya, pada tahun 2010 penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masuk
dalam sepuluh besar penyakit. Demikian halnya dengan tersangka penyakit TBC.
28
Sementara untuk Balita, pola penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit
infeksi.
PM : Penyakit Menular, PTM : Penyakit Tidak Menular, STP : Survailans Terpadu Penyakit
Pola kunjungan rawat jalan Puskesmas dari tahun ke tahun menunjukkan pola
yang hampir sama. Beberapa catatan penting dikaitkan dengan kunjungan rawat
jalan di Puskesmas adalah munculnya berbagai penyakit tidak menular yang
semakin tinggi. Hipertensi dan diabetes mellitus adalah diantara beberapa
penyakit yang memperlihatkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun
terakhir.
Tabel 6. Penyakit Terbanyak Kunjungan Rawat Jalan Pasien JPK Gakin di
Puskesmas tahun 2008 (Survey Aksesibilitas JPK Gakin DIY, 2008)
Jenis Penyakit di Puskesmas Jumlah
1 ISPA, common cold 70942
2 Hipertensi 28442
3 Gastritis 11797
4 Myalgia 9737
5 Peny.sistem otot & Jar.Pengikat 9616
6 DM 9258
7 Dermatitis 9153
8 Nasofaringitis akut 8823
9 Pusing, nyeri kepala, vertigo 8485
10 Gangguan lain pd jaringan otot 7816
29
Seperti dalam kunjungan rawat jalan umum di puskesmas pada umumnya,
penyakit ISPA masih menjadi yang paling dominan diantara para pengunjung dari
pasien JPK Gakin (Jamkesmas, Jamkesos, Jamkesda) dibandingkan penyakit-
penyakit lainnya. Dominasi penyakit ISPA juga nampak dari jumlah kunjungan
rawat jalan di Puskesmas-puskesmas di DIY di seluruh Kabupaten / Kota. Sampai
dengan awal Bulan Oktober, total sebanyak 70.942 pasien ISPA pasien peseta
JPK-Gakin mengunjungi puskesmas. Persentase penyakit ISPA di setiap
Kabupaten / Kota berkisar antara 31% 39% dari seluruh penyakit.
Berdasarkan laporan SIRS tahun 2010 dapat diketahui bahwa kunjungan rawat
jalan di Rumah Sakit juga masih didominasi oleh penyakit infeksi saluran
pernafasan dan diikuti oleh demam. Pola penyakit rawat jalan di puskesmas
maupun rumah sakit tidak jauh berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, dimana
penyakit-penyakit infeksi masih merupakan sepuluh besar penyakit yang dominan
di Propinsi DIY. Penyakit-penyakit infeksi diantaranya diare masih mendominasi
sepuluh besar penyakit pada rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010.
Hal yang menarik bahwa pada kasus kunjungan gakin, penyakit Hipertensi telah
menjadi penyakit paling dominan kedua bagi kelompok keluarga tidak mampu di
30
DIY. Tidak seperti ISPA, besaran persentase penyakit hipertensi menurut
kabupaten kota cukup bervariasi. Persentase tertinggi adalah di Kota Yogyakarta
yang mencapai 28%. Di urutan kedua dan ketiga dengan perbedaan persentase
yang cukup jauh adalah untuk Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman
masing-masing 14%.
Hasil ini mempertegas kesimpulan bahwa di Provinsi DIY telah terjadi transisi
epidemiologi dengan semakin menonjolnya penyakit-penyakit tidak menular
khususnya penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD / cardiovascular disease).
Laporan dari puskesmas tersebut mempertegas kesimpulan lain bahwa penyakit
tidak menular seperti CVD yang semakin menonjol saat ini di Provinsi DIY tidak
hanya didominasi oleh kelompok keluarga mampu.
a. DBD
Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2007 lebih
tinggi dari rata-rata nasional. Data program P2M tahun 2007 menunjukkan
bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY mencapai 1,01
(nasional <1) dengan angka insidensi tahun 2007 sebesar 74,38/100.000
penduduk.
31
mencapai target nasional (nasional : 1). Jumlah kasus DBD pada tahun 2009
dilaporkan sebanyak 2.203 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 16
kasus (CFR = 0,73). Kasus DBD pada Tahun 2010 mengalami peningkatan
yang signifikan yaitu sebanyak 5.121 kasus dengan jumlah kematian 33 (CFR
= 0,64), sehingga CFR penyakit DBD mengalami penurunan.
Tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor
risiko penularan di masyarakat seperti angka bebas jentik yang masih di
bawah 95% yaitu baru 64,46% pada tahun 2008 dan 71,8% pada tahun 2009
dan pada tahun 2010 angka bebas jentik sebesar 87,88% rumah yang bebas
dari jentik Aedes aegypti.
b. TBC
32
Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh
pengobatan karena belum ditemukan, merupakan sumber penular yang
mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC
disamping bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor
berbagai penyakit dengan fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi,
dan lain sebagainya.
c. Malaria
Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun
terakhir. Namun demikian masih ditemukan adanya kasus penularan
indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan non
indigenous) tahun 2010 terlaporkan sejumlah 116 kasus terbanyak berasal
dari Kabupaten Kulonprogo yang mencapai 64 kasus. Kemudian disusul
dengan Kabupaten Sleman dengan 28 kasus dan Kabupaten Bantul dengan
20 kasus.
33
Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2008 di Provinsi DIY mencapai 0.02.
Hasil pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum KLB
malaria masih dijumpai di wilayah Kulonprogo. Sementara belum baiknya
kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan
tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini.
d. HIV/AIDS
DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit
HIV/AIDS terbesar. Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum
suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok
usia 20-26 tahun. Laporan program P2M menunjukkan bahwa penemuan
kasus HIV/AIDS masih rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 hanya
mampu dicapai 1288 kasus dengan jumlah kematian karena AIDS pada tahun
2010 sebanyak 14.
e. Leptospirosis
Gambar 12. Situasi Kasus Leptospirosis Tahun 2009 & 2010 (Laporan
Program P2)
34
Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus leptospirosis pada tahun 2009
mengalami peningkatan yaitu sebesar 93 kasus dengan jumlah kematian 6
kasus. Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah kasus :11 kasus,dan jumlah
kematian 2 meninggal. Sedangkan tahun 2010 terlaporkan 230 kasus dengan
kematian yang menigkat tajam menjadi 23 kasus.
f. Kusta
g. Pneumonia Balita
Pneumonia pada balita banyak dijumpai di Provinsi DIY. Laporan dari berbagai
sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun
2010 dilaporkan sebanyak 1.813, kemudian tahun 2009 dilaporkan sebanyak
1.189 kasus, tahun 2008 ditemukan sejumlah 783 kasus Pneumonia Balita.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan laporan kabupaten /kota pada tahun
2007 yang mencapai 632 kasus.
h. Diare
35
memeriksakan ke sarana pelayanan kesehatan mencapai 16.589 sementara
tahun 2008 mencapai 31.394. Sedangkan pada tahun 2009 sejumlah 15.678
balita dilaporkan menderita diare. Kemudian pada tahun 2010 dilaporkan
sebanyak 55.880 kasus diare baik yang ditemukan di puskesmas maupun di
rumah sakit.
36
mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas penduduk antar
wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat.
Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek
samping modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung
meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan
Jiwa.
Sejak tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di
rumah sakit rumah sakit di DIY telah mulai menunjukkan pergeseran. Jenis
penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular
menjadi kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak
menular. Perkembangan lebih lanjut semakin menunjukkan dominasi penyakit
tersebut sebagai penyebab kematian di DIY.
Pada beberapa tahun yang akan datang, jumlah penderita penyakit tidak menular
akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua semakin
bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan longterm
care.
Datapada saat ini memperlihatnkan bahwa pola penyakit pada semua golongan
umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama
penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan
Diabetes Mellitus (DM).
Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu
diwaspadai di DIY. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10 penyebab langsung dan
tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil
survai kesehatan daerah (Surkesda th 2007) menunjukkan bahwa propinsi DIY
masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak.
37
Kasus Hipertensi per Provinsi
(Riskesdas 2007)
40.0 37.4 37.237.0 36.6
35.8
34.033.9 33.6
35.0 32.4 31.631.5 31.5
31.331.231.2
30.330.2 29.929.8 29.429.3
31,7%
29.1 29.028.8 28.428.1
30.0 27.6
26.3
25.1
24.1
25.0 22.0
20.1
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Jambi
Riau
Sulawesi Tenggara
Bali
Banten
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Barat
Papua Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Tengah
Kalimantan Tengah
Kepulauan Riau
Papua
NAD
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Gorontalo
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Maluku Utara
Sumatera Utara
Bengkulu
Lampung
Jawa Timur
Kalimantan Timur
Sulawesi Barat
Jawa Barat
Sulawesi Utara
Maluku
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
38
tahun 2008 kecelakaan telah merenggut nyawa 292 orang dan 3766 orang
menderita luka berat dan ringan. Jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2009 ada
4.384 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 201 orang meninggal dan 6.822
mengalami luka berat dan ringan. Kondisi tersebut meningkat pada tahun 2010
dengan 4.400 kasus kecelakaaan yang terjadi di Provinsi DIY.
39
Gambar 14 : Penyakit penyebab kematian di DIY tahun 2010
(Sumber laporan RS di DIY)
40
Penyakit infeksi saluran nafas merupakan satu dari dua penyakit infeksi yang
masuk sebagai penyebab kematian terbanyak di Yogyakarta. Dalam catatan
medis jenis penyebab terbanyak adalah Bronchitis dan Pneumonia, namun
dengan melihat data penemuan kasus baru dan kematian akibat TBC di Provinsi
DIY pada tahun 2010, maka penyakit TBC ikut pula menjadi salah satu
kontributor kematian penyakit tersebut.
Gambaran keadaan gizi masyarakat Provinsi DIY pada tahun 2010 adalah
masih tingginya prevalensi balita kurang gizi yaitu sebesar 11,31% (KEP total),
balita dengan status gizi buruk sebesar 0,7%, status gizi kurang 10,61% dan
balita dengan status gizi lebih 2,99%. Sedangkan untuk situasi gizi ibu hamil,
prevalensi Ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) di DIY pada tahun 2010 adalah
sebesar 14,41%, tertinggi di Kota Yogyakarta (21,59%) dan paling rendah di
Kabupaten Sleman (8,88%). Situasi prevalensi ibu hamil KEK dari tahun 2008
sampai 2010 dapat dilihat pada gambar di bawah.
5.00
0.00
41
Meskipun angka gizi kurang di DIY telah jauh melampaui target nasional
(persentase gizi kurang sebesar 15% di tahun 2015) namun penderita gizi buruk
masih juga dijumpai di wilayah DIY. Tahun 2008 sampai 2010 terdapat
penurunan persentase balita dengan status gizi buruk, namun demikian perlu
dilihat disparitas angka prevalensi gizi buruk di setiap wilayah Kabupaten/kota
dan kecamatan. Prevalensi balita gizi buruk di 4 kabupaten sudah sesuai harapan
yaitu <1%, sedangkan di Kota Yogyakarta masih 1,01%. Situasi status gizi sejak
tahun 2008 sampai tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut:
1.2
1.04 1.01
0.98 1 0.99
0.96
1 0.88
0.8
0.8 0.74
0.71 0.70 0.69 0.70
0.66
0.62
0.57 0.56 0.53
0.6
0.4
0.2
0
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta
Gambar 16. Situasi Status Gizi di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)
Dari segi pelayanan, cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan
mencapai 100%, artinya sebanyak 219 balita yang mengalami gizi buruk (dengan
indikator BB/TB), semuanya mendapatkan perawatan.
ooOOoo
42
BAB IV
Pelaksanaan upaya kesehatan di provinsi DIY tidak terlepas dari Visi dan Misi
provinsi DIY dalam melaksanakan pembangunan kesehatan.
VISI DINAS KESEHATAN PROPINSI DIY sebagai berikut :
Dengan target yang mengacu pada Visi indonesia Sehat 2010 dan standar
pelayanan yang mengacu pada kepmenkes RI No. 281/menkes/SK/IX/2008
tentang standar Palayanan Minimal bidang Kesehatan.
43
4.2. Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan
1. Kota Yogyakarta 18 3 15 11 26
2. Bantul 27 16 11 67 16
4. Kulon Progo 21 5 16 63 38
5. Sleman 25 4 21 70 86
44
Akses ke Pusk di setiap Kabupaten
100,0%
90,0%
80,0%
70,0% Bantul
60,0% Gunungkidul
50,0% Kota
40,0% Sleman
30,0% Kulonprogo
20,0%
10,0%
0,0%
< 1km 1-5km 6-10km >10km
Meskipun akses jangkauan sarana cukup baik namun tidak demikian dengan
akses informasi pelayanan kesehatan. Salah satu hasil survey tahun 2008 yang
menunjukan bahwa hanya 76% masyarakat DIY yang menyatakan pernah
menerima informasi Jamkesmas dan Jamkesos. Sementara informasi mengenai
pelayanan di berbagai rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit (yang
dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sesuai pilihan mereka),
belum banyak bisa diakses oleh masyarakat.
45
kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penduduk miskin
sebagaimana tergambar dari hasil pencatatan dan pelaporan Dinas Kesehatan
Provinsi DIY tentang pelayanan rawat jalan penduduk miskin, sebagai berikut :
Kunjungan rawat jalan keluarga miskin di Puskesmas selama periode tahun 2010
untuk program Jamkesos mencapai 77% (total kunjungan 203.631 dari jumlah
warga miskin peserta jamkesos yaitu sebesar 263.200 jiwa), sedangkan untuk
program Jamkesda baru sekitar 9% atau 32.863 kunjungan (total peserta
Jamkesda sebesar 377.247 jiwa).
46
Provinsi DIY telah menerapkan ISO. Sedangkan sebanyak 25 puskesmas telah
menerapkan SPMKK (Sistem Pengembangan Mutu Kinerja Klinik).
Peningkatan mutu Rumah Sakit telah dilaksanakan diantaranya melalui
akreditasi Rumah Sakit. Rumah Sakit yang telah diakreditasi di Provini DIY
sebanyak 17 RS dengan rincian RSU sebanyak 14 RS dan RSK sebanyak 3
RS. Pada tahun 2010 telah dilakukan akreditasi pada 16 pelayanan di RS
Bethesda, RS Pantirapih, dan RS JIH, sedangkan untuk akreditasi 12 pelayanan
dilakukan di RS Panembahan Senopati Bantul dan RSUD Kota Yogyakarta.
Untuk akreditasi 5 pelayanan pada tahun 2010 telah dilakukan di RS Mata dr
Yap, dan RS TNI AU Dr S Hardjolukito. Rekapitulasi jumlah Rumah Sakit yang
telah dilakukan akreditasi adalah : untuk akreditasi pada 5 pelayanan sebanyak
10 RS, 12 pelayanan 3 RS dan 16 pelayanan 4 RS. Sedangkan pada tahun
2010 Rumah Sakit yang telah disiapkan dan melaksanakan program kesehatan
jiwa adalah 5 RSUD di seluruh Kabupaten/Kota, RS Dr Sardjito, RS Grasia dan
RS Puri Nirmala.
47
Upaya yang telah dilakukan Provinsi DIY dalam rangka meningkatkan
perbaikan gizi masyarakat antara lain melalui intervensi yang mencakup
penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan balita, konseling
menyusui, konseling MP-ASI, pemantauan dan penanganan kasus gizi buruk,
pemberian suplemen gizi (melalui pemberian Vitamin A dosis tinggi, tablet Fe),
pemantauan konsumsi garam beryodium, pemberian makanan tambahan untuk
balita gizi buruk dan gizi kurang, serta pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil yang mengalami kekurangan energi kronis.
40.00 37.83
35.00
26.95 28.05
27.58
30.00 26.71 25.77
23.48 24.45
23.99
22.02 22.45 23.03
25.00 20.90 20.95
20.00 15.61 15.57
15.00
13.97
15.00
10.00
5.00
0.00
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta
48
Fe kepada ibu hamil belum menunjukkan hasil yang optimal. Laporan Kabupaten
/ kota tahun 2010 menunjukkan peningkatan dibanding tahun 2009. Distribusi
kapsul Fe1 meningkat dari 91,55% di tahun 2009 menjadi 92,81% di tahun
2010, sedangkan Fe3 meningkat dari 82,51% di tahun 2009 menjadi 86,57% di
tahun 2010. Untuk cakupan Fe3 dapat dilihat pada grafik di bawah.
49
puskesmas ada konselor) dan rumah sakit, Pelatihan Motivator ASI,
pengembangan media KIE serta monitoring dan evaluasi.
60.00
50.00
38.42 40.21 39.99 40.57
40.00 35.51 34.2334.71 34.56
30.91
32.63
32.5433.10 31.08
30.09 28.35
30.00 26.41
20.00
10.00
0.00
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta
Aksesibilitas pelayanan kesehatan yang cukup baik di DIY juga tergambar dari
proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga medis bagi ibu melahirkan.
Persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2010 di Provinsi DIY berdasarkan
laporan kabupaten /kota telah mencapai 97,7%, Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2009 yang baru mencapai 92,53%.
Salah satu upaya dalam menurunkan angka kematian ibu adalah dengan
meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh
petugas kesehatan. Di Provinsi DIY pada tahun 2010 ini, cakupan ibu hamil yang
pertama kali mendapat pelayanan antenatal (K1) tingkat capaiannya sudah sangat
tinggi yaitu mencapai 100%. Sedangkan ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu dan sesuai
standar (K4), tingkat capaiannya meningkat dibandingkan tahun 2009 yaitu
dari 89,35% menjadi 90,7% pada tahun 2010. Capaian K1 dan K4 yang sudah
50
cukup tinggi menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang cukup baik terhadap
kesehatan ibu hamil. Meskipun demikian dari hasil capaian tersebut, terlihat masih
ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang cukup jauh. Diharapkan, capaian K4
dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat memberikan
andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4 dan persalinan nakes dapat dilihat
pada gambar di bawah.
51
KN-1 dan KN-Lengkap
(hasil Riskesdas 2010)
KN-1 KN-Lengkap
120
96.2
86.7
100
77.7
74.3
74.3
71.4
71.2
80
55.6
48.8
60
44.4
41.6
37.5
35.5
31.8
31.5
40
17.1
10.4
20
8.4
0
Kalteng
Indonesia
Jatim
Kaltim
Bali
DI Yogya
Maluku
Maluta
NTB
Gambar 23. Cakupan Kunjungan Neonatal (Hasil Riskesdas 2010)
Sementara untuk kasus kematian neonatal, di Provinsi DIY pada tahun 2010
terjadi sebanyak 241 kasus, dengan penyebab kematian terbanyak disebabkan
karena BBLR dan asfiksia.
Tabel 9. Jumlah Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya Prov. DIY Tahun 2010
Kematian Faktor Penyebab
No Kabupate/Kota Neonatal BBLR Asfiksia Sepsis Kelainan Lain-
Kongenital lain
1 Yogyakarta 27 16 9 2 0 0
2 Bantul 89 31 25 2 0 31
3 Kulonprogo 41 14 14 4 6 3
4 Gunungkidul 49 28 7 0 10 4
5 Sleman 35 9 8 1 4 13
Provinsi DIY 241 98 63 9 20 51
52
petugas kesehatan seperti pelatihan manajemen asfiksia, BBLR, dll, serta yang
tidak kalah penting adalah meningkatkan kualitas sarana pelayanan kesehatan
(dalam hal ini puskesmas) dengan meningkatkan kemampuan puskesmas menjadi
puskesmas yang mampu PONED, PKPR, PKRE, mampu tatalaksana KtPA,
melaksanakan MTBS, SDIDTK, dan dapat memberikan pelayanan KB sesuai
standar.
53
Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar
di Provinsi DIY Tahun 2010
140,0
144,5
120,0
100,0
94,5
80,0
84,3 75,9
60,0
40,0
20,0
0,0
KK MEMILIKI JAMBAN KK MEMILIKI TEMPAT KK MEMILIKI SPAL KK MENGGUNAKAN
SEHAT SAMPAH SEHAT SEHAT AIR BERSIH
Gambar 24. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar di Provinsi DIY Tahun 2010
Cakupan kepemilikan jamban sehat di Provinsi DIY tahun 2010 sebesar 94,5%
berbeda dengan hasil Riskesdas 2010 sebesar 76,1%. Cakupan kepemilikan
jamban sehat terbanyak di Kabupaten Sleman sebesar 100% dari rumah yang
diperiksa dan terrendah di Kabupaten Kulon Progo sebesar 78,7%. Cakupan
kepemilikan tempat sampah sehat tertinggi di Kabupaten Sleman (100%) dan
paling rendah di Kabupaten Gunung Kidul (66,8%).Cakupan kepemilikan SPAL
sehat tertinggi di Kabupaten Sleman (100%) dan terendah di Kabupaten Gunung
Kidul (39,5%). Sedangkan Cakupan penggunaan air bersih dari berbagai macam
jenis sarana air bersih, semua kabupaten sudah lebih dari 100% dan hanya Kota
Yogyakarta yang baru mencapai 99%. Mengingat cakupan sarana sanitasi dasar di
beberapa kabupaten masih rendah, maka perlu dilakukan kerja sama dan
koordinasi dengan lintas sektor (Dinas PUP) untuk penyediaan sarananya.
54
diperiksa dan di Kota Yogyakarta sebesar 99,3% dari 214 hotel yang diperiksa.
55
Merokok merupakan salah satu perilaku yang menjadi faktor risiko penyakit
kardiovaskuler. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di
DIY sebesar 31,6%, dan sebanyak 66,1% masih merokok di dalam rumah. Hal
tersebut terlihat pada grafik di bawah.
84.1 85.3
75.7 76.1 76.6 78.6
73.9
66.1 68.1
Indonesia
Jatim
NTB
Maluku
DI Yogya
Malut
Kalteng
Kaltim
Bali
Persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%,
tertinggi di Kota Yogyakarta (52,1%) dan terendah di Gunungkidul (40,2%). Dari
hasil tersebut, tidak mengherankan jika persentase perokok pasif cukup tinggi
karena perokok biasa merokok di dalam rumah. Sedangkan jika dilihat dari
statusnya, perokok rumah tangga didominasi suami / kepala rumah tangga.
56
BAB V
SUMBERDAYA KESEHATAN
Gambar 26 : Distribusi Tenaga Medis per Kab/kota tahun 2010 (sumber Profil
SDMK tahun 2010)
57
2500
2000 1920
Kota
1500 Bantul
1036 Kulonprogo
1000 821 Gunungkidul
576 Sleman
465
418 411
500 326 328 Propinsi
229
201
83 86 33 4010815 67
0
Perawat Perawat Gigi Bidan
Rasio dokter spesialis sejak tahun 2007 telah mencapai 37,62 : 100.000
penduduk. Rasio dokter spesialis ini mengalami fluktuasi peningkatan selama
enam tahun terakhir dan telah melampaui angka nasional (target nasional tahun
2010 sebesar 6/100.000 penduduk). Tahun 2010 Rasio dokter spesialis mencapai
32 : 100.000 penduduk. Rasio dokter gigi tahun 2008 mencapai 6,44 : 100.000
penduduk. Angka tersebut mengalami penurunan dari 6.64 pada tahun 2007.
Sedangkan untuk tahun 2010 rasio dokter gigi mengalami peningkatan, yaitu : 9 :
100.000 penduduk. Sedangkan rasio untuk dokter umum tahun 2010, yaitu 32 :
100.000 penduduk.
58
RASIO TENAGA KESEHATAN TH 2010
Rasio (100.000
No. Jenis Tenaga
penduduk)
1 Dokter 32
2 Dokter Spesialis 32
3 Dokter Gigi 9
4 Apoteker 17
5 Bidan 44
6 Perawat 151
7 Ahli Gizi 9
8 Ahli Sanitasi 9
9 Ahli Kes Mas 9
SUMBER : PROFIL SDMK TH 2010
SKPD Dinkes Provinsi DIY memiliki 4 UPT yang meliputi Bapelkes, BP4, BLK dan
Jamkesos. Tiga UPT merupakan unit pelayanan yang bersifat teknis medis yang
membutuhkan tenaga medis dan kesehatan yang lebih banyak. Ketiga UPT
dimaksud adalah BP4, BLK dan Bapelkes. Sementara satu UPT yaitu Jamkesos
memiliki karakter yang lebih menonjol dalam aspek manajemen yaitu manajemen
pembiayaan kesehatan, Ditinjau dari komposisi ketenagaan di ketiga UPT
menunjukan bahwa untuk tiga UPT pertama yang membutuhkan tenaga teknis
lebih banyak telah sesuai dengan yang diharapkan demikian pula untuk
Jamkesos.
59
Gambar 28. Jumlah Tenaga di Dinas Kesehatan Provinsi DIY
Tahun 2009
Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi DIY relatif cukup banyak baik dari segi
jumlah maupun jenisnya. Sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah
(Puskesmas) telah menjangkau keseluruhan Kecamatan yang ada di Kabupaten /
kota bahkan jika digabungkan dengan puskesmas pembantu sebagai jaringan
pelayannya, telah mampu menjangkau seluruh desa yang ada. Jumlah
puskesmas terbanyak adalah di Kabupaten Gunungkidul dengan 30 puskesmas
disusul oleh Kabupaten Bantul dan Sleman masing-masing 27 dan 25
puskesmas. Sementara untuk Kota Yogyakarta memiliki 18 puskesmas. Dari
sejumlah total 121 puskesmas tersebut, sebanyak 42 diantaranya telah
dikembangkan menjadi puskesmas rawat inap. Seluruh Puskesmas telah
dilengkapi dengan jaringan Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan
memiliki jaringan kemitraan dengan Desa Siaga di seluruh wilayah.
60
Swasra 32, RS Jiwa 1, dan RS khusus lainnya 14. Sedangkan jumlah tempat
tidur yang tersedia adalah sebagai berikut :
Tabel 11. Sarana Pelayanan Kesehatan Rujukan di Provinsi DIY per Th 2010
Jumlah Tempat
Kab/kota Nama Rumah Sakit
Tidur
Kota RSUD Kota 157
DKT 64
Panti rapih 367
PKU Muhammadiyah 243
Bethesda 438
Bethesda lempuyangan 50
Happyland 67
Hidayatullah 50
Sarana rujukan di Provinsi DIY juga relatif telah memadai dengan berbagai jenis
pelayannya. Rumah sakit pemerintah tersedia di kelima kabupaten / kota. Secara
kumulatif Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta adalah dua wilayah yang
memiliki jumlah sarana pelayanan kesehatan rujukan terbanyak dibandingkan
dengan tiga wilayah lain. Perkembangan pelayanan rujuakn di sektor swasta
sangat pesat dalam 10 tahun terakhir. Sarana pelayanan rujukan khusus juga
61
telah berkembang diantaranya untuk jenis pelayanan kesehatan mata, jiwa, dan
paru.
Unit Pelayanan Teknis juga berkembang baik di tingkat provinsi dan Kabupaten /
Kota. UPT laboratorium tersedia di setiap wilayah. Sementara untuk UPT jaminan
kesehatan baru berkembang di tingkat provinsi, Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta. UPT balai paru merupakan unit pelayanan pemeriksaan paru yang
dimiliki oleh Pemerintah Provinsi yang menjadi pusat rujukan untuk pemeriksaan
paru dan di masa mendatang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi rumah
sakit khusus. UPT Bapelkes (balai pelatihan kesehatan) dikelola oleh Dinas
Kesehatan Provinsi DIY untuk memberikan dukungan dalam pengembangan
sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi DIY.
62
Kabupaten Bantul sebesar 20,2% (148 milyard rupiah), Kota Yogyakarta
sebesar 18,1% (132 milyard rupiah), Kabupaten Gunung Kidul sebesar 13,7 %
(100 milyard rupiah) dan terendah adalah Kabupaten Kulon Progo yaitu sebesar
8,1% (59 milyard rupiah). Persentase anggaran kesehatan Kota Yogyakarta
tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya yaitu mencapai 15% dari total
anggaran APBD Kota Yogyakarta, sedangkan kabupaten lainnya masih di
bawah 15% bahkan di Kabupaten kulon Progo baru mencapai 5,7% dari total
anggaran APBD Kabupaten Kulon Progo.
Realisasi anggaran kesehatan di Provinsi DIY bersumber dari APBD provinsi,
APBN, TP dan DAK tahun 2010 sebagai berikut :
100,00 99,80
100
97,24
98
96
94 92,66
P e rs e n ta s e ( % )
92 90,47
89,37
90 88,60
87,14
88
86
84
82
80
APBN TP DAK APBD
Sumber Pembiayaan
REALISASI KEUANGAN
REALISASI FISIK
Gambar 30 : Realisasi Anggaran Tahun 2010
Realisasi anggaran tertinggi berasal dari sumber pembiayaan APBD yaitu sebesar
90,47% dan terendah dari dana alokasi khusus (DAK) sebesar 87,14%. Sedangkan
realisasi fisik tertinggi (100%) dari sumber pembiayaan tugas pembantuan (TP) dan
terendah dari dana alokasi khusus (DAK) sebesar 87,14%. Rendahnya realisasi fisik
dan keuangan yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) ini dikarenakan
adanya pengembalian anggaran dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang
tidak dapat melaksanakan proses pengadaan reagensia dan bahan kimia sebesar
Rp 900.000.000 ke kas daerah karena acuan yang digunakan untuk pengadaan
reagensia (seperti Daftar Obat Essensial Nasional/DOEN tahun 2008) tidak memuat
daftar reagensia kering. Penyebab lain rendahnya realisasi DAK adalah
63
pengembalian anggaran rehabilitasi bangunan Bangsal Klas III RS Ghrasia yang
dihentikan akibat terjadinya bencana erupsi merapi.
64
BAB VI
KESIMPULAN
1. Umur harapan hidup waktu lahir di Provinsi DIY cenderung meningkat dan
pada tahun 2010 diperkirakan telah mencapai angka 74,1 tahun.
2. Angka Kematian Bayi mengalami perbaikan namun tren penurunan
cenderung melandai. Sampai dengan tahun 2010 kematian bayi di Provinsi
DIY telah mencapai angka 17 per 100.000 kelahiran hidup (angka absulut
dilaporkan jumlah kematian bayi sebesar 346 bayi). AKB di DIY tersebut
merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia namun masih tertinggal jika
dibandingkan negara-negara ASEAN.
3. Angka Kematian Balita (AKABA) cenderung membaik dengan tren penurunan
yang cenderung melandai / menetap. Angka kematian balita sampai dengan
tahun 2008 adalah 19 per 1000 balita. Jumlah kematian balita yang dilaporkan
pada tahun 2010 sebesar 63 balita.
4. Angka Kematian Ibu terus mengalami perbaikan dan sampai tahun 2010 telah
mencapai angka 100 per 100.00 kelahiran hidup (jumlah kematian ibu yang
tercatat sebanyak 43 ibu). Angka tersebut merupakan salah satu yang
terbaik namun jauh tertinggal di tingkat Asia Tenggara.
5. Gizi buruk cenderung terus membaik dengan ditunjukan penurunan di tahun
2010 yaitu menjadi 0,7%.
65
PR
OFI
LAMPIRAN
66