Anda di halaman 1dari 66

TIM PENYUSUN PROFIL KESEHATAN

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


TAHUN 2011

KETUA : dr. ETTY KUMOLOWATI,Mkes


SEKRETARIS : ANI ROSWIYANI,Ssi, MCs
ANGGOTA :
drh. BERTY MURTININGSIH,Mkes
SUGIHARTO,SKM,MPH
dr. ANANG GATOT ISYANTO
RAHMAD Ds, SKM
dr. PRAHESTI FAJARWATI
JAKA WIDADA, SKM, Mkes
HARYANTO,SKM
DWI SETYOWATI, A.Md
NYATA,A.Md

1
BAB I
PENDAHULUAN

Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah gambaran


situasi kesehatan di Provinsi DIY yang diterbitkan setiap tahun sekali. Maksud
diterbitkannya buku ini adalah untuk menampilkan berbagai data tentang kesehatan
dan data pendukung lain yang dideskripsikan dengan analisis dan ditampilkan
dalam bentuk tabel dan grafik. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah
tersampaikannya informasi kesehatan yang merupakan pencapaian Pembangunan
Kesehatan Tahun 2010.
Profil Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2010 disusun secara sistematis
mengikuti pedoman penyusunan profil kesehatan yang diterbitkan oleh Pusat Data
dan Informasi Departemen Kesehatan RI.
Sistimatika penyajian Profil Kesehatan Provinsi DIY tahun 2010 ini adalah sebagai
berikut :

Bab I Pendahuluan
Bab ini Berisi tentang maksud dan tujuan profil kesehatan dan sistematika dari
penyajiannya.

Bab II Gambaran Umum


Bab ini menyajikan tentang gambaran umum Provinsi DIY. Selain uraian tentang
letak geografis, administratif, dan informasi umum lainnya, bab ini juga mengulas
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dan faktor-faktor lainnya misal
kependudukan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lingkungan.

Bab III Situasi Derajat Kesehatan


Bab ini berisi uraian tentang indikator mengenai mortalitas, morbiditas, dan status
gizi masyarakat.

Bab IV Situasi Upaya Kesehatan


Bab ini menguraikan tentang visi dan misi dalam melaksanakan pembangunan
kesehatan, pelayanan kesehatan dasar & rujukan, perbaikan gizi masyarakat,

2
pelayanan kesehatan ibu dan anak, pembinaan kesehatan lingkungan, serta perilaku
hidup bersih dan sehat.

Bab V Situasi Sumber Daya Manusia


Bab ini menguraikan tentang tenaga kesehatan, sarana kesehatan, serta
pembiayaan kesehatan.

Bab VI Kesimpulan
Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah
lebih lanjut dari Profil Kesehatan Provinsi DIY di tahun 2010.

Lampiran
Pada lampiran ini berisi resume/angka pencapaian Provinsi DIY dan 63 tabel data
yang merupakan gabungan table indicator Provinsi sehat dan Indikator pencapaian
kinerja standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan.

3
BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1. WILAYAH

Provinsi DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara


astronomis terletak pada 733-812 Lintang Selata n dan 11000-11050 Bujur
Timur, dengan luas 3.185,80 km2 atau 0,17 % dari luas Indonesia (1.890.754
km2) (Sumber : RPJMD). Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan dibatasi
Lautan Indonesia, sedangkan di bagian Timur Laut, Tenggara, Barat dan Barat
Laut dibatasi Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas wilayah Provinsi DIY meliputi :
a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten
b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang

Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438
kelurahan/desa, yaitu:

a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, 14 kecamatan, 45 kelurahan);


b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, 17 kecamatan dan 75 desa);
c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km2, 12 kecamatan dan 88 desa);
d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, 18 kecamatan, 144 desa);
e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, 17 kecamatan dan 86 desa).

2.2.. Geomorfologi dan Lingkungan Hidup


Menurut altitude, Provinsi DIY terbagi menjadi daerah dengan ketinggian <
100 m, 100-500 m dan 500 1.000 m (sebagian besar di Kabupaten Bantul),
1.0002000 m diatas permukaan laut terletak di Kabupaten Sleman. Secara
fisiografi, DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah :
(a) Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, mulai dari kerucut gunung hingga
bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian
Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan
lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Wilayah ini

4
memiliki luas kurang lebih 582,81 km2 dengan ketinggian 80 2.911 m.
(b) Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan
batu gamping dan bentang karst tandus dan kurang air permukaan, di
bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi
Plato Wonosari. Wilayah pegunungan ini memiliki luas 1.656,25 km2
dengan ketinggian 150-700 m.
(c) Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang
lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng
curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai kurang lebih
706,25 km2 dengan ketinggian : 0 572 m
(d) Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses
pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang
mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan
Pegunungan Seribu. Wilayah ini memiliki luas 215,62 km2 dengan
ketinggian 0 80 m.

Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran


penduduk, ketersediaan sarana prasarana, sosial, ekonomi, serta
ketimpangan kemajuan pembangunan. Daerah-daerah yang relatif datar,
(dataran faluvial meliputi Sleman, Kota, dan Bantul) adalah wilayah padat
penduduk, memiliki intensitas sosial ekonomi tinggi, maju dan berkembang
namun juga banyak terjadi pencemaran lingkungan.

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan berkisar
0,00 mm 13,00 mm per hari. Suhu udara rata-rata berkisar antara 21-350 C.
Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan udara 1.005,3
mb 1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat 240 derajat dan
kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot

Wilayah DIY mempunyai potensi bencana alam, terutama berkaitan dengan


bahaya geologi yang meliputi:

(a) Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara dan
wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
(b) Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng

5
Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat), lereng Pengunungan
Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul);
(c) Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul;
(d) Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul
bagian selatan, khususnya kawasan karst;
(e) Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan
Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang dari 30 m dpl;
(f) Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh
wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di tumbukan lempeng dasar
Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY.
(g) Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah Provinsi
DIY.

Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan


kelestarian fungsi lingkungan hidup menyebabkan daya dukung lingkungan
menurun dan ketersediaan sumberdaya alam menipis. Kawasan hutan
dengan luas 23,54% dari luas wilayah DIY kurang mencukupi sebagai standar
lingkungan hidup. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumberdaya
alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak
mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.

Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat
karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku
masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan,
dan krisis energi.

Laju kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang terjadi baik di


perkotaan maupun pedesaan terus terjadi. Kerusakan sumberdaya alam dan
penurunan mutu lingkungan secara drastis tersebut menyebabkan perubahan
tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan munculnya

6
ancaman global seperti perubahan iklim global, rusaknya keanekaragaman
hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.

2.3. Kependudukan

Perkembangan jumlah penduduk DIY tahun 2010 hasil Sensus Penduduk


tahun 2010 sesuai dengan Badan Pusat statistik Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebanyak 3.457.491 jiwa. Pada Sensus penduduk tahun 2000
jumlah penduduk di Provinsi D I Yogyakarta sebanyak 3.120.478 jiwa.

Sumber : BPS Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 1. Priramida Penduduk Provinsi DIY Tahun 2010 (sumber: BPS)

Gambar piramida penduduk menunjukkan bahwa penduduk usia produktif


adalah yang paling mendominasi disamping mulai meningkatnya penduduk
usia lanjut. Berdasar hasil SP 2010 BPS, laju pertumbuhan penduduk di DIY
merupakan salah satu yang terkecil di Indonesia (1,04%). Hal ini dapat
diartikan sebagai keberhasilan program kependudukan dan pergeseran
prinsip dari masalah kuantitas menuju kualitas.

7
Sumber : BPS Prov. DIY 2011

Sesuai grafik distribusi penduduk menurut usia di atas, terlihat


kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia >65 tahun dan
menurunnya jumlah penduduk usia 0 14 tahun dari tahun 2003-2008. Hal
tersebut mengindikasikan telah terjadinya pergeseran struktur penduduk
yang ditandai dengan tumbuhnya struktur penduduk tua. Sementara
dependency ratio penduduk usia produktif terhadap penduduk usia non
produktif mencapai 46 (paling rendah di Kota Yogyakarta sebanyak 36%
dan paling tinggi di kabupaten Gunung Kidul sebesar 55%

Pergeseran struktur penduduk menunjukkan adanya transisi demografi yang


diantaranya dipengaruhi oleh perbaikan kesehatan masyarakat. Pergeseran
juga merupakan indikasi tingginya umur harapan hidup penduduk. Usia
harapan hidup (UHH) Provinsi DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia.
UHH panjang merupakan representasi perbaikan dari banyak faktor, antara
lain : kondisi ekonomi, pelayanan kesehatan, kualitas lingkungan, sosio-
kultural masyarakat. UHH menjadi indikator keberhasilan pembangunan.

8
Tabel 1

Sumber: Badan Pusat Statistik DIYTahun 2011

Jumlah penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Namun


hal ini tidak mencerminkan distribusi nyata antara kabupaten dan kota di DIY.
Dua wilayah kabupaten di DIY masih dicirikan oleh dominasi penduduk
perdesaan (Kulonprogo, Gunungkidul) dengan kesenjangan ciri urbanisasi
dengan 3 wilayah lain cukup besar.

Rerata kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per
km2. Sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km2
dengan kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km2) terendah di
Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km2). Permasalahan ketimpangan
kepadatan tersebut diperkuat dengan ketimpangan potensi sumber daya
dimana Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DIY yang memiliki
kesuburan lahan kurang dan keterbatasan suplai air.

2.4. Ekonomi
(a) Investasi, Industri, dan Perdagangan

Investasi domestik terus mengalami peningkatan baik investasi domestik


maupun asing demikian pula untuk bidang perdagangan. Investasi

9
pemerintah banyak yang diarahkan pada pelayanan publik sebaliknya
untuk sektor swasta. Investasi sektor industri mengalami pertumbuhan
baik untuk industri kecil, menengah dan besar (0,65%) dengan dominasi
industri kerajinan serta industri tekstil dan kulit.

Industri kreatif di bidang pariwisata, mempunyai potensi berupa desa


wisata (60) yang tersebar di 4 Kabupaten yang diminati oleh wisatawan
dalam dan luar negeri. Selain itu terdapat industri kreatif di bidang
kebudayaan yang meliputi 25 Production House, seni tari 341 kelompok,
dan drama sebanyak 411 kelompok.
Industri Pariwisata memiliki sumbangan paling besar terhadap PDRB
melalui subsektor perdagangan, perhotelan, restoran, dan jasa-jasa
lainnya. Jasa perhotelan adalah yang paling dominan. Ketersediaan aset
pariwisata yang memadai berupa wisata alam, wisata budaya, wisata
pendidikan dan wisata minat khusus mudah dijangkau dan dilengkapi
fasilitas hotel, penginapan, MCK umum, warung makan, restoran.

(b) Pertanian, Perikanan dan Kehutanan


Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB meskipun pertumbuhannya
relatif namun selama sepuluh tahun terakhir mencapai rerata 16,33%
(terbesar ketiga setelah jasa dan perdagangan). Jumlah rumah tangga
pertanian selama sepuluh tahun terakhir menurun 9,32% menjadi 47,17%
dimana 80,29% diantaranya merupakan petani gurem.
Komoditas tanaman pangan yang meningkat adalah padi, jagung, kacang
tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Komoditas sayuran yang meningkat
adalah kentang dan kacang merah, tomat dan buncis. Lahan sawah
mengalami laju penurunan sebesar 0,27% per tahun, sedangkan lahan
bukan sawah menyusut sebesar 1,62% per tahun.
Luas perkebunan mengalami peningkatan sebesar 14,25%, terutama
pada kelapa, jambu mete dan tembakau. Produksi perkebunan juga
mengalami peningkatan sebesar 3,78%, terutama komoditas kelapa,
jambu mete, kakao dan tembakau.
Produksi ikan konsumsi di DIY selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir
meningkat rerata 9,9% pertahun. Produksi benih ikan dan udang selama

10
sepuluh tahun terakhir meningkat 27,81%. Konsumsi ikan perkapita
selama sepuluh tahun terakhir meningkat sebesar 5,71% pertahun.

(c) Ketahanan Pangan


Ketersediaan energi Provinsi DIY saat ini sebesar 3.085 kkal/kapita/hari
(Nasional 2.500 kkal/kapita/hari). Keanekaragaman pangan menunjukkan
skor 86,5% (standar 100%). Ketersediaan energi sebesar 2.200
kkal/kap/hari; ketersediaan protein 57 g/kap/hari; norma kecukupan gizi
berdasarkan standar PPH >1.907,6/kkal/kap/hari, konsumsi energi
minimum 1500 kkal/kap/hari, dan konsumsi protein sebesar 62,4
g/kap/hari, dan kualitas konsumsi pangan mendekati skor PPH 85,7%.
Angka konsumsi energi di DIY sudah melampaui standar, yaitu sebesar
1.835,93 kkal/kap/hari sedangkan angka konsumsi protein, masih belum
memenuhi angka standar karena baru mencapai angka 51,04 g/kap/hari.
Luas hutan mencapai 23,54% dari luas DIY (74.992,96 Ha) yang terdiri
dari hutan negara dan hutan rakyat, hutan di DIY belum memenuhi fungsi
ekologis ideal (minimal 30%).

2.5. Sosial dan Budaya

(a) Sosial
Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang
ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan kelompok marginal
seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan,
korban bencana alam, korban tindak kekerasan dan lain sebagainya.
Khusus untuk korban bencana mengalami peningkatan yang signifikan
sehubungan dengan adanya erupsi Gunung Merapi.

Lembaga / organisasi serta infrastruktur untuk penanganan dan


pengelolaan masalah kesejahteran sosial masih kurang memadai.
Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam penanganan masalah
kesejahteran sosial masih perlu ditingkatkan. Berbagai kelompok dan
organisasi sosial seperti Taruna Siaga Bencana (Tagana) masih
memerlukan pembinaan dan fasilitasi.

11
30
25
20
15
10
5
0
2006 2007 2008 2009 2010
Desa+kota 19,15 18,99 18,32 17,23 16,83
Kota 17,85 15,63 14,99 14,25 13,98
Desa 27,64 25,03 24,32 22,60 21,95
Nasional 17,75 16,58 15,42 14,25 13,33

Gambar 2. Persentase Penduduk miskin Provinsi DIY tahun 2006-2010


Sumber: : Perhitungan PDRB ( BPS Provinsi DIY)

Jumlah penduduk miskin di Provinsi DIY dari tahun ke tahun menunjukkan


penurunan meskipun masih di atas angka nasional. Tercatat pada tahun
2006 jumlah penduduk miskin mencapai 19,15% menurun menjadi 16,83%
pada tahun 2010.

Sementara dari data kepesertaan jaminan kesehatan bagi penduduk


miskin, jumlah keseluruhan (Jamkesmas, Jamkesos, Jamkesda) tahun
2010 mencapai 1.742.542 jiwa atau sebesar 50,47% dari total jumlah
penduduk (Data program JPK Dinkes Prov DIY, 2010).

Tabel 2 Peserta Jaminan Kesehatan Keluarga Miskin Tahun 2010

WILAYAH JML JIWA


Kab/kota JAMKESMAS JAMKESOS JAMKESDA

KOTA 388.088 68.456 13.200 152.842


BANTUL 910.572 222.987 92.000 2.796

K.PROGO 388.755 141.893 56.000 25.000


G.KIDUL 674.408 340.635 83.000 1.059

SLEMAN 1.090.567 168.158 19.000 195.600


JUMLAH 3.452.390 942.129 263.200 377.297

Sumber : BPS 2010, Dinkes Provinsi DIY 2010

12
Persentase penduduk miskin terbesar di Kabupaten Gunungkidul yang
mencapai 24,27% dari total penduduk Kabupaten Gunung Kidul,
sementara untuk Kabupaten kulonprogo mencapai 23,13%. Persentase
penduduk miskin terkecil adalah di Kabupaten Sleman sebesar 10,78%.

(b) Pendidikan

Jumlah sekolah di Provinsi DIY pada tahun 2009 untuk jenjang TK hingga
Sekolah Menengah Atas tercatat 5.073 unit sekolah atau turun 0,90%
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat 5.119 sekolah.
Jenjang perguruan tinggi pada tahun 2009 tercatat 10 perguruan tinggi
negeri dan 120 perguruan tinggi swasta (PTS).

Tabel 3. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk DIY usia >15


Tahun 2009
Pendidikan 2009
Tertinggi yang Jenis Kelamin
Ditamatkan Laki-laki Perempuan Jumlah
Tidak/Belum Sekolah 42.188 82.738 124.926
Tidak Tamat SD 135.237 121.924 257.161
SD 211.039 165.532 376.571
SLTP 229.585 153.092 382.677
SLTA Umum 188.052 111.424 299.476
SLTA Kejuruan 197.153 111.611 308.764
DI-DIII 50.612 46.400 97.012
Universitas 98.757 71.350 170.107
Jumlah 1.152.623 864.071 2.016.694
Sumber : DIY dalam Angka 2010, BPS

Penduduk DIY usia >15 tahun sebagian besar sudah mengenyam

13
pendidikan dasar 9 tahun (minimal SLTP) yaitu sebanyak 1.258.036 orang
atau sebesar 62,38%. Sedangkan sisanya (37,62%) tidak/belum sekolah,
tidak tamat SD dan hanya tamat SD.

Angka buta huruf umur 15-44 tahun di Provinsi DIY menurun dari 26.183
pada tahun 2006 menjadi 14.159 pada tahun 2007 serta tahun 2008 angka
berkurang menjadi 10.156 orang. Diharapkan sebanyak sebanyak 4003
akan bisa diselesaikan pada tahun 2009.

Indikator mutu pendidikan di DIY dapat dilihat dari tingginya angka


partisipasi, yang terdiri dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka
Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang
SD/MI Provinsi DIY pada tahun 2007/2008 menunjukkan angka sebesar
109,86%, SMP/MTs sebesar 117,15%, SMA/MA sebesar 79,02%.
Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI adalah sebesar 95,17%,
SMP/MTs sebesar 77,41% dan SMA/MA sebesar 57,22%. Dibanding
dengan tahun sebelumnya angka-angka tersebut mengalami kenaikan
walaupun relatif kecil.

Anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan telah mencapai


63,24%. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai
83,35 % sebagian besar berusia >45 tahun. Angka melek huruf pada
penduduk pria dan wanita relatif sama yaitu sekitar 70,8%.

Tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dalam mengikuti
pendidikan pra-sekolah sudah mencapai 70%. Angka Partisipasi Sekolah
(APS) penduduk usia 7-12 tahun sebesar 100%, APS penduduk usia 13-
15 tahun sebesar 100% dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar
79,89 %. APS tersebut telah melampaui SPM sebesar 95%, 95% dan
60,00%.

Produksi tenaga kesehatan oleh sarana pendidikan cukup tinggi namun


daya serapnya masih rendah. Komposisi jenjang pendidikan dan jenis
tenaga kesehatan yang dihasilkan sebagai berikut :

Tabel 4. Komposisi institusi penyelenggara pendidikan kesehatan Provinsi


DIY Tahun 2010

14
Jenis Tenaga yang Jumlah
Jenjang
dihasilkan Institusi
DIII/IV Keperawatan 10
Gizi 2
Analis Kesehatan 4
Kesehatan Lingkungan 3
Kebidanan 16
Farmasi 3
Farmasi dan Makanan 1
Kesehatan Gigi 2
Elektro medik 1
Radiografer 1
Rekam Medis 3
Fisioterapi 1
S1 Kedokteran 4
Kedokteran Gigi 2
Farmasi 4
Kesehatan Masyarakat 4
Keperawatan 11
Perawat Gigi 1
Gizi 2
S2/S3 Spesialis kedokteran 2
Spesialis gigi 1
Farmasi 1
Kesmas 1

Jumlah institusi penyelenggara pendidikan di Provinsi DIY mulai jenjang


DIII/DIV hingga S2/S3 mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Tercatat pada tahun 2009 sebanyak 51 institusi penyelenggara pendidikan
kesehatan meningkat menjadi 80 institusi pada tahun 2010. Semakin
meningkatnya jumlah institusi penyelenggara pendidikan kesehatan ini
akan semakin banyak pula jumlah tenaga kesehatan yang dihasilkan.

(c) Kebudayaan

Nilai-nilai budaya tumbuh dan hidup dalam kehidupan sehari-hari


masyarakat DIY. Pada sisi lain muncul gelombang modernisme yang
memunculkan gejala lunturnya budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai kesenian hidup dan berkembang.

Seni pertunjukan, seperti seni tari dan teater dikelola oleh 2.924 kelompok
yang tersebar di 78 kecamatan. Kesenian non pertunjukan, seperti seni
rupa, seni kerajinan, cukup banyak dan tersebar, dikelola perorangan
maupun kelompok dalam bentuk sanggar Budaya lokal Yogyakarta

15
memberi tempat tinggi pada tradisi yang menekankan hirarkhi sosial kuat
sehingga sulit menjalankan perubahan.

(d) Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Remaja

Pemberdayaan perempuan, anak, remaja telah menunjukkan peningkatan.


Partisipasi remaja/pemuda dalam pembangunan semakin membaik. Taraf
kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan berbagai upaya
pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial bagi
masyarakat rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS), pecandu narkotik dan obat-obat terlarang.

Permasalahan kesetaraan gender di berbagai bidang seperti pendidikan,


kesehatan, ekonomi masih belum optimal.Sejalan dengan itu upaya
perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan dengan
peran serta penuh dari masyarakat juga menjadi tantangan dalam
menjamin terlaksananya pemberian hak secara layak.

(e) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi (IPTEK)

Hasil pengembangan Iptek tercermin melalui berbagai publikasi ilmiah


yang mengindikasikan banyaknya kegiatan penelitian. Pemanfaatan hasil
penelitian dan pengembangan iptek relatif masih rendah disebabkan
antara lain belum efektifnya intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan
antara pengembang dan pemakai iptek, belum berkembangnya budaya
iptek dan masih terbatasnya sumber daya iptek.

Pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) sangat pesat


dengan indikator melek TI sebesar 20% dari jumlah penduduk dan terus
akan meningkat di masa yang akan datang. Pemanfaatan TI akan semakin
berkembang baik untuk pihak swasta maupun pemerintah.
Pengembangan TI akan banyak dilakukan oleh pendidikan baik oleh
institusi pemerintah maupun swasta.

(f) Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Masalah ketenagakerjaan di DIY sangat terkait dengan masalah


pengangguran, sempitnya kesempatan kerja, dan relatif rendahnya

16
produktivitas. Berdasarkan hasil survey angkatan kerja nasional
(Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja penduduk berumur
15 tahun ke atas di Provinsi DIY dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2008 sebanyak 1.999.734
meningkat menjadi 2.06.694 orang pada tahun 2009, sedangkan pada
tahun 2010 (Februari) tercatat sebanyak 2.067.143 orang.

Besarnya jumlah angkatan kerja mengandung konsekuensi besarnya


kebutuhan penciptaan lapangan kerja agar angka pengangguran dapat
ditekan. 37,7 ribu penduduk usia kerja yang masuk dalam kategori
penganggur terbuka meningkat menjadi 86.8 ribu pada tahun 2000.

Berdasarkan data tahun 2003 2008 tingkat partisipasi angkatan kerja


(TPAK) Provinsi DIY yang merupakan persentase antara jumlah penduduk
angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja menunjukkan angka
yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 78,75%, sedangkan
Tingkat Pengangguran Terbuka (open unemployement) atau TPT yang
merupakan persentase perbandingan antara jumlah penduduk yang
ingin/sedang mencari pekerjaan dengan angkatan kerja juga menunjukkan
angka yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 5,90%. Struktur
pencari kerja didominasi oleh kaum perempuan dan dasar pendidikan
sebagian besar SLTA.

Tabel 5 Distribusi Serapan Tenaga Kerja Tahun 2008 & 2009


Tahun Pertanian Pertam Industri Listrik Konstruksi Perdag, Angkutan Keuangan, Jasa
olah Gas,Air Htl,
bangan Resto
2008 29,6 1,07 13,24 0,06 7,79 24,14 4,7 2,21 17,03

2009 30,1 0,95 12,51 0,14 7,67 24,04 4,36 2,56 17,69

Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian
kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Realitas ini menunjukkan
bahwa untuk sektor pertanian dan sektor jasa relatif memberikan kontribusi
paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Demikian juga peranan
sektor pertanian cukup dominan dalam menciptakan lapangan kerja.
Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor

17
perdagangan dan industri terutama industri kecil menengah serta kerajinan
dapat dikembangkan sebagai penunjang keterserapan tenaga kerja.

(g) Agama

(1) Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,04%
memeluk agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,70% agama Kristen,
0,17% agama Hindu dan 0,15% agama Budha.
(2) Kerukunan antar umat beragama berkembang dengan baik,
ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar pemeluk
agama.

2.6. Pemerintahan dan Politik

(a) Pemerintahan dan Politik


(1) Pemerintahan dan politik cukup stabil karena sebagian besar masih
memandang Kraton sebagai penguasa wilayah. Peran serta dan dialog
birokrasi, organisasi sosial-politik, dan kemasyarakatan berjalan baik.
(2) Tuntutan Good governance dilaksanakan dengan pembenahan dan
pengembangan aspek kapasitas pemerintahan dan perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintahan.
(3) Kondisi sosial politik cukup dinamis yang dipengaruhi hubungan
sinergis pihak-pihak terkait dan didorong oleh perubahan peran
pemerintah dari pembina menjadi regulator, fasilitator dan pelayanan.
(4) Perubahan mendasar terjadi dengan pengembalian asas kesatuan
daerah, pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah,
Provinsi dan Kabupaten/Kota atau antar pemerintahan daerah.
(5) Dalam konteks desentralisasi, pemerintah daerah telah menjalankan
otonomi seluas-luasnya. Tuntutan masyarakat terhadap kuantititas dan
kualitas pelayanan publik akan terus semakin meningkat.

(b) Hukum
(1) Ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka proses pembentukan hukum
dan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah, dapat

18
diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar
yang mengikat semua lembaga yang berwenang.
(2) Penegakan hukum dan perundang-undangan masih perlu ditingkatkan.
Tindak kejahatan dan kriminalitas semakin tinggi dan bervariasi
(3) Pada era pasar bebas dan globalisasi, telah dilakukan kerjasama dan
fasilitasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri.

2.7. Prasarana Wilayah

(a) Transportasi
(1) Berdasarkan data dari Ditlantas Polda DIY, jumlah kendaraan bermotor
yang terdaftar di DIY pada tahun 2008 sebanyak 1.276.336 unit atau
naik 9,87% dari tahun 2007. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
didominasi oleh sepeda motor sebanyak 1.116.944 unit (87,51%),
8,49% mobil penumpang, 3,11% mobil barang, 0,85% bus dan 0,04%
kendaraan khusus/ambulans.
(2) Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan
dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan
kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak
peningkatan volume kendaraan dan perilaku pengendara juga terjadi
pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury
(kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai
penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas di DIY mengalami
peningkatan cukup besar. Tahun 2000 tercatat 112 kecelakaan yang
meningkat menjadi 2.407 kecelakaan di tahun 2008 yang merenggut
nyawa 202 orang dan 3.629 orang menderita luka berat dan ringan
dengan nilai kerugian material sebesar Rp 400.110.000,-
(3) Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan
konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki pelayanan serta
jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan-
Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun Kutoarjo.
(4) Bandara internasional direncanakan akan beroperasi di wilayah
Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan operasional

19
penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan
animo maskapai penerbangan untuk membuka jalur penerbangan.
Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya
pengembangan jalur angkutan terintegrasi antara darat, laut, dan
udara.

(b) Sumber Daya Air


(1) Sumber daya air utama di DIY adalah Wilayah Sungai Progo-Opak-Oyo
yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Progo, Opak dan Serang.
Sumberdaya air dimanfaatkan untuk irigasi, kebutuhan rumah tangga,
industri, tenaga listrik dan penggelontoran kota.
(2) Kebutuhan air untuk rumah tangga dipenuhi melalui sistem air pipa
PDAM, sumur dan hidran umum. Pemanfaatan air untuk
penggelontoran dilakukan dalam sistem penggelontoran sanitasi
perkotaan dengan air permukaan.
(3) Terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air sebagai akibat
terganggunya fungsi hidrologi sebagai dampak penggunaan
tanah/alih fungsi lahan dan pengelolaan tanah yang tidak dikendalikan
di daerah tangkapan air. Selain itu juga terjadi pemakaian air yang tidak
efisien, terutama untuk keperluan irigasi dan kolam ikan.

(c) Keciptakaryaan
(1) Pembangunan perumahan permukiman mengarah ke wilayah
Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY). Perkembangan perumahan
dan permukiman meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi
perumahan dan bangunan.
(2) Kebutuhan air minum mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan penduduk dan kegiatan masyarakat.
(3) Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke
sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar tanpa ada
pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai
4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta). Total cakupan pelayanan
limbah dan sanitasi berkisar 51.8%.

20
(4) Pelayanan pengangkutan sampah masih rendah. Pelayanan
pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA) baru
mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.
(5) Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini
mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas sebagai
drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran
air sungai.
(6) Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain
pencemaran lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya lahan
tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.

2.8. Struktur dan Pola Ruang

(a) Wilayah di luar DIY yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi
pola pemanfaatan ruang dan perkembangan pembangunan, antara lain:
(a) Semarang Solo Cilacap; (b) Magelang-Klaten-Purworejo-Salatiga-
Wonogiri-Sukoharjo; (c) Wilayah terpadu Joglosemar, Pawonsari
Bakulrejo, Gelangmanten.

(b) Implikasi wilayah eksternal dalam penataan ruang wilayah adalah:


(1) Semakin meningkatnya kegiatan bersifat perkotaan dalam hal ini
aksesibilitas, kompatibilitas dan fleksibilitas;
(2) Stuktur tata ruang wilayah DIY secara internal dipengaruhi oleh kondisi
topografi dan geografis wilayah, yang meliputi kawasan tertentu
nasional (lindung dan cagar budaya), kawasan cepat tumbuh, kawasan
potensial untuk berkembang, kawasan yang kritis lingkungan Provinsi
DIY.

(c) Kawasan-kawasan Provinsi DIY yang secara langsung maupun tidak


langsung mempengaruhi pola pemanfaatan ruang dan perkembangan
pembangunan di Provinsi DIY, antara lain:
(1) Kawasan Fungsional yang meliputi Hutan Lindung (Kabupaten Gunung
Kidul dan Kulon Progo), Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Cagar Alam/Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya);

21
(2) Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS Progo, DAS Opak-Oyo dan DAS
Serang);
(3) Kawasan tertentu nasional (Taman Nasional Gunungapi Merapi,
Kawasan Cagar Budaya: Keraton, candi-candi, Kawasan Rawan
Bencana: jalur patahan Opak, wilayah Gunung Merapi, dan rawan
tsunami, banjir dan air pasang di pesisir pantai Kulon Progo dan
Bantul);
(4) Kawasan yang cepat tumbuh (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, yang
meliputi Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten Sleman, dan Bantul
yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta);
(5) Kawasan yang potensial untuk berkembang (Kabupaten Bantul:
Sewon, Kasihan, Banguntapan, Sedayu, Srandakan, Imogiri dan
Piyungan; Kabupaten Sleman: Godean, Gamping, Pakem, Depok;
Kabupaten Kulonprogo: Wates, Temon, Pengasih, Sentolo, dan
Nanggulan; Kabupaten Gunungkidul: Wonosari, Bunder, Rongkop,
Sadeng);
(6) Kawasan yang kritis lingkungan (Kabupaten Gunungkidul: di Purwosari,
Panggang, Tepus, dan Rongkop; Kabupaten Bantul: di Worotelo,
Wukirsari, Muntuk, Jatimulyo, Sendangsari, dan Dlingo; Kabupaten
Kulonprogo: Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, dan Kokap).

(d) Karakteristik tata ruang internal DIY ditandai tingginya kebutuhan ruang
untuk kegiatan budidaya namun dilain pihak menghadapi keterbatasan
daya dukung maupun daya tampung lingkungan. Wilayah DIY seluas
318.580 Ha, dengan 47,188% (150.332 Ha) merupakan kawasan lindung
(belum termasuk rawan gempa).

22
BAB III
SITUASI DERAJAT KESEHATAN

Tahun 2008 Provinsi DIY memperoleh penghargaan Manggala Bhakti Husada


Kartika dari Presiden yaitu sebuah penghargaan atas prestasi sebagai provinsi
dengan derajad kesehatan terbaik di Indonesia. Indikator yang dinilai paling peka
dan telah disepakati secara nasional sebagai ukuran derajad kesehatan suatu
wilayah meliputi : (1) Umur Harapan Hidup, (2) Angka Kematian Ibu, (3) Angka
Kematian Bayi, (4) Angka Kematian Balita, dan (5) Status Gizi Balita / bayi.

3.1. MORTALITAS

3.1.1 Umur Harapan Hidup (UHH)

Peningkatan umur harapan hidup di DIY merupakan yang terbaik di Indonesia


bersama dengan DKI dan Bali, namun demikian bila dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara masih tetap lebih rendah (misal Singapura). Berikut
gambaran perkembangan UHH sesuai hasil Sensus Penduduk dari tahun 1971
sampai dengan Sensus Penduduk Tahun 2010 di Provinsi DIY bersumber dari
BPS..

Gambar 3 : Umur Harapan Hidup Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk

23
Jika dirunut sejak tahun 1971, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan
selama 30 tahun dari tahun tersebut yang baru mencapai 45,5 tahun. Gambaran
perkembangan tersebut memperlihatkan telah terjadinya transisi demografi di DIY
yang sebenarnya telah dimulai pada masa 90-an yang ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya usia lanjut.

Peningkatan umur harapan hidup ini dipengaruhi oleh multifaktor yang dalam hal
ini kesehatan menjadi salah satu yang berperan penting didalamnya. Peran
pengaruh kesehatan ditunjukkan dari semakin menurunnya angka kematian,
perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi di masyarakat.

Transisi demografi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kelompok usia


lanjut ini juga membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyakit
degeneratif di provinsi DIY. Penyakit-penyakit degeneratif tersebut dicirikan
dengan adanya kebutuhan longterm care. Dengan demikian di Provinsi DIY
sudah saatnya untuk memulai pengembangan pelayanan jangka panjang
tersebut.

3.1.2. Angka Kelahiran

Beberapa metode perhitungan untuk menghitung angka kelahiran kasar di


provinsi D.I.Yogyakarta sejak tahun 1968 sampai tahun 2009 yang dilakukan oleh
BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1968 mengalami penurunan dari 35,2
menjadi tahun 2009 sebesar 13,4. Berdasarkan parameter Hasil Proyeksi
Penduduk SP2000 di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2000 2025 dari BPS
2006/2007, taksiran jumlah total anak yang dilahirkan oleh 1000 wanita bila para
wanita tersebut secara terus manerus hamil pada saat mereka berada dalam
tingkat fertilitas menurut usia pada saat sekarang atau rata-rata jumlah anak yang
dapat dilahirkan seorang wanita selama masa hidupnya dari tahun 2000 2025
tidak mengalami peningkatan yaitu 1,4 . Dapat diinterpretasikan bahwa jumlah
anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama hidupnya adalah 1,4.

24
Gambar 4. Perkiraan Angka Kelahiran Kasar Provinsi DIY
Sumber : BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011

Jumlah kelahiran pada tahun 2009 yang dilaporkan dari dinas kesehatan
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut : jumlah kelahiran (hidup & mati) 43.919
dan lahir mati 193. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah kelahiran hidup dan mati
sebesar 43.242 dengan jumlah kasus lahir mati sebanyak 194.

3.1.3. Angka Kematian Ibu

Kematian ibu telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30


tahun terakhir. Secara Nasional angka kematian ibu di Provinsi DIY juga tetap
menempati salah satu yang terbaik. Meskipun demikian angka yang dicapai
tersebut masih relative cukup tinggi jika dibandingkan dengan bebagai wilayah di
Asia Tenggara dan dibandingkan target MDGs.

Data kematian ibu dalam 4 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup
baik. Tahun 2008 angka kematian ibu di DIY berada pada angka 104/100rb
menurun dari 114/100rb pada tahun 2004. Jumlah kematian ibu maternal yang
dilaporkan kabupaten / kota pada tahun 2010 mencapai 43 ibu (tahun 2009

25
sebanyak 48 kasus). Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan
penurunan, namun jika diamati tingkat laju penurunan selama periode 5 tahun
terakhir terlihat melandai / kurang tajam. Target MDGs di tahun 2015 untuk
angka kematian Ibu nasional yaitu 97,5/100 ribu, pada tahun 2010 di DIY sudah
tercapai.

3.1.4. Angka Kematian Bayi

Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil
sensus penduduk tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah :
laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan
sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. Hasil sensus penduduk yang dihimpun dari
data BPS dapan digambarkan sejak tahun 1971 sampai 2010 seperti pada
gambar berikut :

Gambar 6 : Angka Kematian Bayi per 100 kelahiran hidup (Sumber: BPS Prov. DIY)

Hasil sensus penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010
menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikans angka kematian
bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangakan menurut

26
proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000 pada kurun waktu 2000-
2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan
untuk periode tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5%
dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun 2020 - 2025 diperkirakan
tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil
(hardrock) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk
dikendalikan diantaranya faktor genetik.

Sebagaimana gambaran perkembangan angka kematian ibu, angka kematian


bayi di DIY juga mengalami penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan
dengan sebelum tahun 1990. Laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa
pada tahun 2010 terjadi sebanyak 346 (tahun 2008 : 330 kasus) bayi meninggal
dengan berbagai sebab. Angka kematian bayi tahun 2010 masih tetap / sama
dengan tahun sebelumnya yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup.

Angka Kematian Bayi tahun 2010 jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun
sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan pola
penurunan tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian bayi di
DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000 kelahiran hidup.

Pola penurunan dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai
faktor lain. Seperti yang terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999
dimana terjadi krisis multidimensi yang berdampak secara tidak langsung kepada
peningkatan angka kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDGs untuk
angka kematian bayi pada tahun 2015 ditargetkan 16 per 1000 kelahiran hidup.

3.1.5. Angka Kematian Balita

Menurut BPS, angka kematian balita memiliki kecenderungan penurunan yang


cukup baik. Tahun 1971 tercatat tingkat kematian balita yang sangat tinggi yaitu
mencapai 152 / 1000 kelahiran hidup, angka tersebut secara berangsur turun dan
20 tahun kemudian menjadi 54/1000 kelahiran hidup, tahun 2002 sudah
mencapai 30 / 1000 dan data tahun 2010 telah mencapai angka 19/1000
kelahiran hidup.

27
Gambar 7 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010
(Sumber: BPS Provinsi DIY tahun 2011)

Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997
sampai dengan 2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi
dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun 2010 menunjukkan jumlah
kematian balita sebesar 409 balita.

Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut maka diprediksikan di tahun
2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000 kelahiran hidup. Secara
Nasional target MDGs untuk angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan
akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999.

3.2. MORBIDITAS

3.2.1. Pola penyakit

Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit (Puskesmas)
selama beberapa tahun terakhir adalah influensa, penyakit saluran nafas
(diantaranya Pneumonia), hipertensi,dan diare. Sementara untuk pertama
kalinya, pada tahun 2010 penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masuk
dalam sepuluh besar penyakit. Demikian halnya dengan tersangka penyakit TBC.

28
Sementara untuk Balita, pola penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit
infeksi.

PM : Penyakit Menular, PTM : Penyakit Tidak Menular, STP : Survailans Terpadu Penyakit

Sumber : Seksi Survailans Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 8 : Pola penyakit rawat jalan di Puskesmas

Pola kunjungan rawat jalan Puskesmas dari tahun ke tahun menunjukkan pola
yang hampir sama. Beberapa catatan penting dikaitkan dengan kunjungan rawat
jalan di Puskesmas adalah munculnya berbagai penyakit tidak menular yang
semakin tinggi. Hipertensi dan diabetes mellitus adalah diantara beberapa
penyakit yang memperlihatkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun
terakhir.
Tabel 6. Penyakit Terbanyak Kunjungan Rawat Jalan Pasien JPK Gakin di
Puskesmas tahun 2008 (Survey Aksesibilitas JPK Gakin DIY, 2008)
Jenis Penyakit di Puskesmas Jumlah
1 ISPA, common cold 70942
2 Hipertensi 28442
3 Gastritis 11797
4 Myalgia 9737
5 Peny.sistem otot & Jar.Pengikat 9616
6 DM 9258
7 Dermatitis 9153
8 Nasofaringitis akut 8823
9 Pusing, nyeri kepala, vertigo 8485
10 Gangguan lain pd jaringan otot 7816

29
Seperti dalam kunjungan rawat jalan umum di puskesmas pada umumnya,
penyakit ISPA masih menjadi yang paling dominan diantara para pengunjung dari
pasien JPK Gakin (Jamkesmas, Jamkesos, Jamkesda) dibandingkan penyakit-
penyakit lainnya. Dominasi penyakit ISPA juga nampak dari jumlah kunjungan
rawat jalan di Puskesmas-puskesmas di DIY di seluruh Kabupaten / Kota. Sampai
dengan awal Bulan Oktober, total sebanyak 70.942 pasien ISPA pasien peseta
JPK-Gakin mengunjungi puskesmas. Persentase penyakit ISPA di setiap
Kabupaten / Kota berkisar antara 31% 39% dari seluruh penyakit.

Distribusi 10 Besar Penyakit Tidak Menular Berdasarkan STP RS


Kab/Kota Rawat Inap tahun 2010
Kecelakaan Lalu Lintas
4.400
Hipertensi Esensial
4.500
DM YTT
4.000
3.500 2.892 DM Tak Bergantung Insulin

3.000 Paru Obstruksi Menahun

2.500 Jantung Hipertensi


2.000 1.620
Infark Miokard Akut
1.500 807
662 461 Neoplasma Ganas Payudara
1.000 452
218 120 Hipertensi Sekunder
500 102

0 Neoplasma Gns Hati & Sal.


PENYAKIT TIDAK MENULAR RAWAT INAP Empedu Intrahepatik

Gambar 7. Pola Penyakit/kejadian Rawat Inap di Rumah Sakit (Sistem Survailans


Terpadu) Tahun 2010

Berdasarkan laporan SIRS tahun 2010 dapat diketahui bahwa kunjungan rawat
jalan di Rumah Sakit juga masih didominasi oleh penyakit infeksi saluran
pernafasan dan diikuti oleh demam. Pola penyakit rawat jalan di puskesmas
maupun rumah sakit tidak jauh berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, dimana
penyakit-penyakit infeksi masih merupakan sepuluh besar penyakit yang dominan
di Propinsi DIY. Penyakit-penyakit infeksi diantaranya diare masih mendominasi
sepuluh besar penyakit pada rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010.

Hal yang menarik bahwa pada kasus kunjungan gakin, penyakit Hipertensi telah
menjadi penyakit paling dominan kedua bagi kelompok keluarga tidak mampu di

30
DIY. Tidak seperti ISPA, besaran persentase penyakit hipertensi menurut
kabupaten kota cukup bervariasi. Persentase tertinggi adalah di Kota Yogyakarta
yang mencapai 28%. Di urutan kedua dan ketiga dengan perbedaan persentase
yang cukup jauh adalah untuk Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman
masing-masing 14%.

Hasil ini mempertegas kesimpulan bahwa di Provinsi DIY telah terjadi transisi
epidemiologi dengan semakin menonjolnya penyakit-penyakit tidak menular
khususnya penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD / cardiovascular disease).
Laporan dari puskesmas tersebut mempertegas kesimpulan lain bahwa penyakit
tidak menular seperti CVD yang semakin menonjol saat ini di Provinsi DIY tidak
hanya didominasi oleh kelompok keluarga mampu.

3.2.1.1. Pola Penyakit Menular

Penyakitpenyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria,


masih memiliki potensi untuk meningkat kembali (re-emerging) mengingat kondisi
perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, budaya) masyarakat yang kurang
mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai
penyakit tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik perilaku maupun
lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis seperti DBD sampai saat
ini masih tetap menjadi ancaman dan pada masuk dalam 10 besar penyakit di
puskesmas.

a. DBD

Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2007 lebih
tinggi dari rata-rata nasional. Data program P2M tahun 2007 menunjukkan
bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY mencapai 1,01
(nasional <1) dengan angka insidensi tahun 2007 sebesar 74,38/100.000
penduduk.

Angka insidensi mengalami penurunan menjadi 64,81 / 100.000 penduduk


pada tahun 2008 sementara untuk angka kematian / CFR mengalami
penurunan menjadi 0,90 dari keseluruhan kasus. Meskipun mengalami
penurunan namun angka kesakitan (insiden rate) masih di atas target nasional
(nasional : 50/100.000 penduduk), sedangkan angka kematian sudah

31
mencapai target nasional (nasional : 1). Jumlah kasus DBD pada tahun 2009
dilaporkan sebanyak 2.203 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 16
kasus (CFR = 0,73). Kasus DBD pada Tahun 2010 mengalami peningkatan
yang signifikan yaitu sebanyak 5.121 kasus dengan jumlah kematian 33 (CFR
= 0,64), sehingga CFR penyakit DBD mengalami penurunan.

Tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor
risiko penularan di masyarakat seperti angka bebas jentik yang masih di
bawah 95% yaitu baru 64,46% pada tahun 2008 dan 71,8% pada tahun 2009
dan pada tahun 2010 angka bebas jentik sebesar 87,88% rumah yang bebas
dari jentik Aedes aegypti.

b. TBC

Kualitas pengobatan TBC di DIY berdasarkan laporan program P2M,


meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat namun tetap masih dibawah
target yaitu angka kesembuhan baru mencapai 83,8% (target 85%).

Permasalahan lain adalah penemuan penderita yang masih rendah dimana


pada tahun 2010 baru mencapai 52,55% (target 70%). Angka tersebut masih
belum beranjak membaik dengan capaian di tahun 2009 yang baru mencapai
52,8% .

Gambar 10. Kasus TB Paru di Provinsi DIY (laporan Program TB)

32
Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh
pengobatan karena belum ditemukan, merupakan sumber penular yang
mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC
disamping bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor
berbagai penyakit dengan fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi,
dan lain sebagainya.

Sementara itu kematian dan kesakitan akibat penyakit infeksi saluran


pernafasan, menjadi penyebab kematian terbesar dan memiliki
kecenderungan peningkatan. Penyakit TBC memegang peran penting kasus
kesakitan dan kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan
bertanggungjawab terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat
penularan dan perilaku masyarakat

c. Malaria

Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun
terakhir. Namun demikian masih ditemukan adanya kasus penularan
indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan non
indigenous) tahun 2010 terlaporkan sejumlah 116 kasus terbanyak berasal
dari Kabupaten Kulonprogo yang mencapai 64 kasus. Kemudian disusul
dengan Kabupaten Sleman dengan 28 kasus dan Kabupaten Bantul dengan
20 kasus.

Gambar 11. Kasus Malaria di Provinsi DIY (Laporan Program P2)

33
Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2008 di Provinsi DIY mencapai 0.02.
Hasil pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum KLB
malaria masih dijumpai di wilayah Kulonprogo. Sementara belum baiknya
kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan
tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini.

d. HIV/AIDS

DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit
HIV/AIDS terbesar. Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum
suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok
usia 20-26 tahun. Laporan program P2M menunjukkan bahwa penemuan
kasus HIV/AIDS masih rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 hanya
mampu dicapai 1288 kasus dengan jumlah kematian karena AIDS pada tahun
2010 sebanyak 14.

Laporan kabupaten / kota menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS sebesar 96


kasus dengan jumlah penemuan kasus baru tertinggi HIV/AIDS adalah di
Kabupaten Bantul sementara terendah adalah di Kabupaten Gunungkidul.

e. Leptospirosis

Kasus leptospirosis ditemukan di beberapa lokasi di Provinsi DIY, diantaranya


di Kabupaten Kulonprogo, Sleman dan Bantul.

KASUS LEPTOSPIROSIS DI DIY

Sumber : Seksi P2, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 12. Situasi Kasus Leptospirosis Tahun 2009 & 2010 (Laporan
Program P2)

34
Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus leptospirosis pada tahun 2009
mengalami peningkatan yaitu sebesar 93 kasus dengan jumlah kematian 6
kasus. Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah kasus :11 kasus,dan jumlah
kematian 2 meninggal. Sedangkan tahun 2010 terlaporkan 230 kasus dengan
kematian yang menigkat tajam menjadi 23 kasus.

f. Kusta

Penderita penyakit kusta di DIY jumlahnya kecil. Berdasarkan laporan


Kabupaten / kota Tahun 2010 jumlah penderita penyakit kusta yang berhasil
diidentifikasi mencapai 31 orang (5 PB dan 26 MB). Angka yang dilaporkan
tersebut lebih tinggi dibandingkan laporan Tahun 2009 jumlah penderita
penyakit kusta yang berhasil diidentifikasi mencapai 45 orang (13 PB dan 32
MB), tahun 2008 yang mencapai jumlah 36 orang dan tahun 2007 sejumlah
45 orang. Salah satu yang menjadi catatan penting dikaitkan dengan penderita
kusta adalah tingkat penderita kusta PB (RFT PB) selesai berobat mencapai
100% dan tingkat penderita kusta MB (RFT MB) selesai berobat mencapai
94,12% di tahun 2010.

g. Pneumonia Balita

Pneumonia pada balita banyak dijumpai di Provinsi DIY. Laporan dari berbagai
sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun
2010 dilaporkan sebanyak 1.813, kemudian tahun 2009 dilaporkan sebanyak
1.189 kasus, tahun 2008 ditemukan sejumlah 783 kasus Pneumonia Balita.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan laporan kabupaten /kota pada tahun
2007 yang mencapai 632 kasus.

h. Diare

Penderita diare di puskesmas di kabupaten / kota setiap tahun jumlahnya


cukup tinggi. Namun demikian hal ini belum dapat menggambarkan prevalensi
keseluruhan dari penyakit diare karena banyak dari kasus tersebut yang tidak
terdata oleh sarana pelayanan kesehatan (pengobatan sendiri atau
pengobatan di praktek swasta). Laporan profil kabupaten / kota menunjukkan
bahwa selama kurun tahun 2007 jumlah balita yang menderita diare dan

35
memeriksakan ke sarana pelayanan kesehatan mencapai 16.589 sementara
tahun 2008 mencapai 31.394. Sedangkan pada tahun 2009 sejumlah 15.678
balita dilaporkan menderita diare. Kemudian pada tahun 2010 dilaporkan
sebanyak 55.880 kasus diare baik yang ditemukan di puskesmas maupun di
rumah sakit.

g. Penyakit bisa dicegah dengan Imunisasi

Program imunisasi telah dijalankan sejak lama di seluruh wilayah Indonesia


dan telah mencapai hasil yang cukup baik. Provinsi DIY merupakan wilayah
yang memiliki tingkat pencapaian kinerja dalam program imunisasi yang
terbaik di Indonesia. Hampir seluruh desa di tahun 2009 (99,09%) yang ada di
Provinsi DIY telah masuk dalam kategori desa UCI (Universal Coverage
Immunization) yaitu suatu indikasi yang menggambarkan bahwa desa tersebut
penduduknya telah menjalankan imunisasi. Kemudian pada tahun 2010
seluruh desa (100%) di Provinsi DIY talah masuk dalam kategori desa UCI.
Hasil pencapaian program imunisasi juga terlihat dari berbagai kasus penyakit
yang bisa dicegah dengan imunisasi yang relatif kecil dibandingkan dengan
wilayah lain.

Laporan kabupaten / kota memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 ditemukan


kasus penyakit campak sebanyak 292 kasus (terbanyak di Kota Yogyakarta)
dan hepatisis sebanyak 1 kasus yaitu di kabupaten Kulonprogo.

Kasus difteri dijumpai sebanyak 2 kasus yang terjadi di Kabupaten Gunung


Kidul.

Di sisi lain pencapaian program imunisasi penyakit campak menunjukkan


bahwa cakupan pada tahun 2010 mencapai 101,53% (tahun 2008 : 92,57%
dan tahun 2009 sebesar 99,09%).

h. New Emerging Disease

Hasil laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa di 5 kabupaten/kota telah


terdeteksi unggas (>1 jenis) positif Avian Influenza. Potensi penyakit Avian
Influenza masih terbuka lebar dengan masih buruknya pemahaman dan
perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan. Beberapa penyakit baru
lain seperti Influanza H1N1, SARS dan lain sebagainya akan tetap

36
mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas penduduk antar
wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat.

3.2.1.2. Penyakit Tidak Menular

Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek
samping modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung
meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan
Jiwa.

Sejak tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di
rumah sakit rumah sakit di DIY telah mulai menunjukkan pergeseran. Jenis
penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular
menjadi kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak
menular. Perkembangan lebih lanjut semakin menunjukkan dominasi penyakit
tersebut sebagai penyebab kematian di DIY.

Pada beberapa tahun yang akan datang, jumlah penderita penyakit tidak menular
akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua semakin
bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan longterm
care.

Datapada saat ini memperlihatnkan bahwa pola penyakit pada semua golongan
umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama
penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan
Diabetes Mellitus (DM).

Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu
diwaspadai di DIY. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10 penyebab langsung dan
tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil
survai kesehatan daerah (Surkesda th 2007) menunjukkan bahwa propinsi DIY
masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak.

37
Kasus Hipertensi per Provinsi
(Riskesdas 2007)
40.0 37.4 37.237.0 36.6
35.8
34.033.9 33.6
35.0 32.4 31.631.5 31.5
31.331.231.2
30.330.2 29.929.8 29.429.3
31,7%
29.1 29.028.8 28.428.1
30.0 27.6
26.3
25.1
24.1
25.0 22.0
20.1
20.0

15.0

10.0

5.0

0.0

Jambi
Riau

Sulawesi Tenggara

Bali

Banten
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Barat

Papua Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Tengah

Kalimantan Tengah

Kepulauan Riau

Papua
NAD

Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Gorontalo

Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Maluku Utara

Sumatera Utara
Bengkulu
Lampung
Jawa Timur

Kalimantan Timur
Sulawesi Barat

Nusa Tenggara Barat

Jawa Barat
Sulawesi Utara

Maluku
Bangka Belitung

DI Yogyakarta

Gambar 13. Kasus Hipertensi di Indonesia (Sumber : Riskesdas 2007)

Suhu udara yang panas dan meningkatnya asap kendaraan bermotor di


Yogyakarta mengakibatkan beberapa parameter pencemaran udara sudah
memasuki taraf waspada. Hasil pantauan kualitas udara oleh Kantor
Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa
kadar zat berbahaya di udara melebihi batas baku mutu udara. Selain itu juga
jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey termasuk Susenas,
telah mencapai lebih dari 30%. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun
2006 dan 2008 memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga di DIY tidak
bebas asap rokok. Kemudian hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan
prevalensi perokok di Provinsi DIY sebanyak 31,6%. Dari perokok tersebut
sebanyak 66,1% diantaranya merokok di dalam rumah.

Kondisi tersebut memberikan dampak buruk khususnya kepada organ paru


penduduk DIY sehingga permasalahan penyakit paru di masa mendatang tidak
hanya akan menjadi meningkat tetapi juga semakin kompleks.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, intra cranial injury (kecelakaan) telah


menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian dan
menunjukkan kecenderungan peningkatan. Kecelakaan lalu lintas di DIY mulai
tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 mengalami peningkatan yang cukup
besar. Jumlah kasus untuk periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2002
tercatat 112 kecelakaan meningkat menjadi 691 kecelakaan saat ini. Selama

38
tahun 2008 kecelakaan telah merenggut nyawa 292 orang dan 3766 orang
menderita luka berat dan ringan. Jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2009 ada
4.384 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 201 orang meninggal dan 6.822
mengalami luka berat dan ringan. Kondisi tersebut meningkat pada tahun 2010
dengan 4.400 kasus kecelakaaan yang terjadi di Provinsi DIY.

Mencegah kematian dini akibat kecelakaan bagaimanapun tidak lagi hanya


menjadi tugas Kepolisian tetapi menjadi tugas semua pihak seperti kesehatan.
Meskipun sampai saat ini data mengenai tingkat risiko kematian yang ditimbulkan
dari kecelakaan dari sektor kesehatan belum dimiliki, namun peran sistem rujukan
dan penanganan pra rujukan diyakini akan memiliki peran besar menurunkan
angka risiko kematian dini tersebut.

Meningkatnya penyakit degeneratif disertai dengan masih berkembangnya


penyakit-penyakit infeksi akan menyebabkan beban ganda pembangunan
kesehatan di Propinsi DIY.

3.2.2. Pola Kematian Akibat Penyakit


Penyakit jantung dan stroke dalam sepuluh tahun terakhir selalu masuk dalam 10
penyakit penyebab kematian tertinggi. Analisis tiga tahun terakhir dari data di
seluruh rumah sakit di DIY menunjukkan, penyakit-penyakit kardiovaskuler
seperti jantung, stroke, hipertensi atau dikenal sebagai penyakit CVD
(cardiovasculer disease) menempati urutan paling tinggi penyebab kematian.

Sampai dengan tahun 2010 menunjukkan bahwa dominasi kematian akibat


penyakit tidak menular sudah mencapai lebih dari 80% kematian akibat penyakit
yang ada di DIY (hospital based). CVD tidak hanya menempati urutan tertinggi
penyebab kematian tetapi jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin
meningkat seiring semakin meningkatnya jumlah penderita penyakit-penyakit
CVD sebagaimana laporan RS di DIY.

39
Gambar 14 : Penyakit penyebab kematian di DIY tahun 2010
(Sumber laporan RS di DIY)

Kematian akibat cedera intracranial (kecelakaan) yang selama ini kurang


mendapat perhatian ternyata telah menempati urutan keempat terbanyak sebagai
penyebab kematian bahkan menunjukkan kecenderungan peningkatan tajam
dalam tiga tahun terakhir.

Dalam enam tahun terakhir, peristiwa kecelakaan lalu lintas di provinsi DI


Yogyakarta terbilang cukup tinggi. Data Kepolisian menunjukkan, tahun 2006
telah terjadi 1.039 kasus kecelakaan di DIY, meningkat tiga kali lipat dibanding
tahun 2005 dan setiap tahun sedikitnya 130 meninggal (12%) akibat kecelakaan
lalu lintas di DIY. Laporan Kepolisian menunjukkan bahwa 88% kematian
diakibatkan oleh cedera kepala.

Faktor perilaku pengendara memang menjadi faktor dominan bagi tinggi


rendahnya tingkat kematian akibat kecelakaan. Meskipun demikian disamping
faktor perilaku tersebut, dukungan pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan
pertolongan pertama / prarujukan, rujukan gawat darurat dan kualitas pelayanan
di sarana pelayanan kesehatan sedikit banyak juga bisa ikut berperan untuk
menurunkan kematian akibat kecelakaan. Oleh karena itu perbaikan sistem
pelayanan termasuk pertolongan prarujukan dan rujukan diharapkan akan
mampu menurunkan tingkat kematian.

40
Penyakit infeksi saluran nafas merupakan satu dari dua penyakit infeksi yang
masuk sebagai penyebab kematian terbanyak di Yogyakarta. Dalam catatan
medis jenis penyebab terbanyak adalah Bronchitis dan Pneumonia, namun
dengan melihat data penemuan kasus baru dan kematian akibat TBC di Provinsi
DIY pada tahun 2010, maka penyakit TBC ikut pula menjadi salah satu
kontributor kematian penyakit tersebut.

3.3. STATUS GIZI

Gambaran keadaan gizi masyarakat Provinsi DIY pada tahun 2010 adalah
masih tingginya prevalensi balita kurang gizi yaitu sebesar 11,31% (KEP total),
balita dengan status gizi buruk sebesar 0,7%, status gizi kurang 10,61% dan
balita dengan status gizi lebih 2,99%. Sedangkan untuk situasi gizi ibu hamil,
prevalensi Ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) di DIY pada tahun 2010 adalah
sebesar 14,41%, tertinggi di Kota Yogyakarta (21,59%) dan paling rendah di
Kabupaten Sleman (8,88%). Situasi prevalensi ibu hamil KEK dari tahun 2008
sampai 2010 dapat dilihat pada gambar di bawah.

PERSENTASE IBU HAMIL KURANG ENERGI KRONIS


(KEK) PROVINSI DIY TAHUN 2008-2010
30.00 27.89
25.7
25.00
21.59 22.1
20.46
19.0918.6 18.38 18.91
20.00 17.55 17.1
15.315.21
14.37 14.41
15.00
11.4211.6
8.88
10.00

5.00

0.00

Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI


Yogyakarta

2008 2009 2010

Sumber : Seksi Gizi, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 15 : Prosentase Bumil KEK tahun 2008-2010

41
Meskipun angka gizi kurang di DIY telah jauh melampaui target nasional
(persentase gizi kurang sebesar 15% di tahun 2015) namun penderita gizi buruk
masih juga dijumpai di wilayah DIY. Tahun 2008 sampai 2010 terdapat
penurunan persentase balita dengan status gizi buruk, namun demikian perlu
dilihat disparitas angka prevalensi gizi buruk di setiap wilayah Kabupaten/kota
dan kecamatan. Prevalensi balita gizi buruk di 4 kabupaten sudah sesuai harapan
yaitu <1%, sedangkan di Kota Yogyakarta masih 1,01%. Situasi status gizi sejak
tahun 2008 sampai tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut:

PREVALENSI BALITA GIZI BURUK PROVINSI DIY


TAHUN 2008-2010

1.2
1.04 1.01
0.98 1 0.99
0.96
1 0.88
0.8
0.8 0.74
0.71 0.70 0.69 0.70
0.66
0.62
0.57 0.56 0.53
0.6

0.4

0.2

0
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta

2008 2009 2010

Gambar 16. Situasi Status Gizi di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

Berdasarkan laporan hasil pemantauan status gizi di kabupaten / kota tahun


2010, peta Balita BGM (Bawah Garis Merah) yaitu standar yang menggambarkan
status gizi balita, memperlihatkan bahwa cakupan BGM/D di Provinsi DIY belum
mencapai target.Di kota Yogyakarta masih menunjukan angka 4,7 % (merah)
sedangkan 4 kabupaten lain <2%.

Dari segi pelayanan, cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan
mencapai 100%, artinya sebanyak 219 balita yang mengalami gizi buruk (dengan
indikator BB/TB), semuanya mendapatkan perawatan.

ooOOoo

42
BAB IV

SITUASI UPAYA KESEHATAN

4.1.VISI & MISI

Pelaksanaan upaya kesehatan di provinsi DIY tidak terlepas dari Visi dan Misi
provinsi DIY dalam melaksanakan pembangunan kesehatan.
VISI DINAS KESEHATAN PROPINSI DIY sebagai berikut :

Dinas Kesehatan yang katalistik mendukung terciptanya


status kesehatan DIY yang tinggi, serta sebagai pusat
pelayanan dan pendidikan kesehatan yang bermutu dan
beretika

Dan misi sebagai berikut :

1. Mencegah meningkatnya risiko penyakit & masalah kesehatan

2. Menyediakan pelayanan kesehatan secara merata, bermutu baik pemerintah


maupun swasta

3. Meningkatnya pembiayaan kesehatan yg cukup untuk peningkatan status


kesehatan masyarakat

4. Meningkatkan mutu pendidikan, pelatihan tenaga kesehatan serta penelitian


kesehatan

Dengan target yang mengacu pada Visi indonesia Sehat 2010 dan standar
pelayanan yang mengacu pada kepmenkes RI No. 281/menkes/SK/IX/2008
tentang standar Palayanan Minimal bidang Kesehatan.

43
4.2. Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan

Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang


meliputi Puskesmas dan jajarannya serta Rumah Sakit adalah sebagai berikut :

Tabel 7 : Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar di Provinsi DIY Tahun 2010

No Kabupaten/Kota Puskesmas Pusk TT Pusk Non Pustu Polindes


TT

1. Kota Yogyakarta 18 3 15 11 26

2. Bantul 27 16 11 67 16

3. Gunung Kidul 30 14 16 107 30

4. Kulon Progo 21 5 16 63 38

5. Sleman 25 4 21 70 86

PROVINSI 121 42 79 318 198

Akses masyarakat Yogyakarta terhadap sarana pelayanan kesehatan telah cukup


baik. Salah satunya diperlihatkan dari aksesibilitas jarak jangkauan. Hasil survey
Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, dimana menunjukkan bahwa lebih
dari 80% penduduk DIY hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih
dari 70% penduduk hanya berjarak 1-5 km terhadap rumah sakit dan dokter
praktek swasta. Tidak ditemukan penduduk yang memiliki jarak tempuh lebih dari
10 km terhadap sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan,
yang menunjukkan mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap sarana
pelayanan.

44
Akses ke Pusk di setiap Kabupaten

100,0%
90,0%
80,0%
70,0% Bantul
60,0% Gunungkidul
50,0% Kota
40,0% Sleman
30,0% Kulonprogo
20,0%
10,0%
0,0%
< 1km 1-5km 6-10km >10km

Gambar 18. Akses ke Puskesmas di Setiap Kabupaten / Kota

Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana pelayanan kesehatan cukup


merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota pada
umumnya berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas.

Meskipun akses jangkauan sarana cukup baik namun tidak demikian dengan
akses informasi pelayanan kesehatan. Salah satu hasil survey tahun 2008 yang
menunjukan bahwa hanya 76% masyarakat DIY yang menyatakan pernah
menerima informasi Jamkesmas dan Jamkesos. Sementara informasi mengenai
pelayanan di berbagai rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit (yang
dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sesuai pilihan mereka),
belum banyak bisa diakses oleh masyarakat.

Perkembangan jaminan kesehatan di tingkat nasional dan daerah telah berdampak


kepada peningkatan jumlah peserta JPK bagi keluarga miskin di DIY. Tahun 2003
Provinsi DIY telah b e r i n i s i a t i f membentuk Badan Pelaksana
( B a p e l ) Jaminan Pelayanan Kesehatan Sosial (Jamkesos) yang telah menjadi
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Jumlah
peserta Jamkesos pada tahun 2010 sebesar 263.200 jiwa.

Selain Jamkessos, juga dikembangkan Jaminan Kesehatan Masyarakat


(Jamkesmas) dengan jumlah peserta sebanyak 942.129 jiwa, sedangkan untuk
peserta Jamkesda yang dikembangkan di masing-masing Kabupaten/Kota sebesar
377.297 jiwa.
Akses penduduk miskin terhadap sarana pelayanan kesehatan juga cukup baik.
Peserta jaminan kesehatan penduduk miskin (Jamkemas, Jamkesos, Jamkesda)
yang membutuhkan perawatan seluruhnya telah mendapatkan pelayanan

45
kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penduduk miskin
sebagaimana tergambar dari hasil pencatatan dan pelaporan Dinas Kesehatan
Provinsi DIY tentang pelayanan rawat jalan penduduk miskin, sebagai berikut :

Tabel 8. Jumlah Layanan Rawat jalan Puskesmas


bagi Masyarakat Miskin Tahun 2010
Rawat Jalan Maskin Jamkesos Jamkesda
Puskesmas per
Kab/Kota Jml % Jml %

1. Kota 24.175 183% 14.141 9%

2. Bantul 66.680 72% 2.796 100%

3. Klprogo 60.152 107% 4.598 18%

4. Gnkidul 33.692 41% 1.059 100%

5. Sleman 18.932 99% 9.863 14%


Provinsi 203.631 77% 32.457 9%

Rata2/bln 16.969 2.705


Sumber : Seksi PJK, Dinkes DIY 2010

Kunjungan rawat jalan keluarga miskin di Puskesmas selama periode tahun 2010
untuk program Jamkesos mencapai 77% (total kunjungan 203.631 dari jumlah
warga miskin peserta jamkesos yaitu sebesar 263.200 jiwa), sedangkan untuk
program Jamkesda baru sekitar 9% atau 32.863 kunjungan (total peserta
Jamkesda sebesar 377.247 jiwa).

Gambaran hasil pencatatan pelaporan yang diperoleh memperlihatkan bahwa


fasilitas jaminan kesehatan telah banyak dimanfaatkan oleh penduduk miskin di
Provinsi DIY, terutama peserta Jamkessos. Gambaran ini juga menunjukkan
disamping aksesibilitas dari sisi ekonomi juga aksesibilitas dari sisi geografis yang
cukup baik sehingga bisa dicapai tingkat pemanfaatan / kunjungan yang cukup
tinggi.

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan khususnya di jalur pemerintah telah


dilaksanakan melalui berbagai strategi. Salah satu contoh peningkatan mutu
sarana pelayanan kesehatan yaitu di puskesmas, puskesmas ditingkatkan mutu
pelayanannya melalui penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM). Sampai
dengan tahun 2010 sebanyak 27 puskesmas dari 121 puskesmas yang ada di

46
Provinsi DIY telah menerapkan ISO. Sedangkan sebanyak 25 puskesmas telah
menerapkan SPMKK (Sistem Pengembangan Mutu Kinerja Klinik).
Peningkatan mutu Rumah Sakit telah dilaksanakan diantaranya melalui
akreditasi Rumah Sakit. Rumah Sakit yang telah diakreditasi di Provini DIY
sebanyak 17 RS dengan rincian RSU sebanyak 14 RS dan RSK sebanyak 3
RS. Pada tahun 2010 telah dilakukan akreditasi pada 16 pelayanan di RS
Bethesda, RS Pantirapih, dan RS JIH, sedangkan untuk akreditasi 12 pelayanan
dilakukan di RS Panembahan Senopati Bantul dan RSUD Kota Yogyakarta.
Untuk akreditasi 5 pelayanan pada tahun 2010 telah dilakukan di RS Mata dr
Yap, dan RS TNI AU Dr S Hardjolukito. Rekapitulasi jumlah Rumah Sakit yang
telah dilakukan akreditasi adalah : untuk akreditasi pada 5 pelayanan sebanyak
10 RS, 12 pelayanan 3 RS dan 16 pelayanan 4 RS. Sedangkan pada tahun
2010 Rumah Sakit yang telah disiapkan dan melaksanakan program kesehatan
jiwa adalah 5 RSUD di seluruh Kabupaten/Kota, RS Dr Sardjito, RS Grasia dan
RS Puri Nirmala.

4.3. Perbaikan Gizi Masyarakat

Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatkan mutu gizi


perseorangan dan masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan program gizi yaitu
meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi
masyarakat.
Pemantauan pertumbuhan balita merupakan alat untuk mengetahui status gizi
anak balita. Peran serta masyarakat turut memberikan andil dalam pencapaian
indikator ini. Di Provinsi DIY pada tahun 2010, tingkat partisipasi masyarakat
dalam penimbangan di Posyandu (D/S) menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta
baru mencapai 60 69% sedangkan untuk Kabupaten Bantul pada angka 70
79%. Hasil tersebut belum dapat mencapai target 80%. Dengan demikian terlihat
bahwa masih banyak masyarakat yang tidak membawa anak balitanya untuk
ditimbang di posyandu. Sedangkan dari segi pencapaian hasil penimbangan yang
dilihat dari balita yang naik berat badan saat ditimbang (N/D), terlihat bahwa
capaian di Kota Yogyakarta masih < 50%, Kabupaten Bantul 50 59%
sedangkan Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul 60 69%.

47
Upaya yang telah dilakukan Provinsi DIY dalam rangka meningkatkan
perbaikan gizi masyarakat antara lain melalui intervensi yang mencakup
penyuluhan gizi di Posyandu, pemantauan pertumbuhan balita, konseling
menyusui, konseling MP-ASI, pemantauan dan penanganan kasus gizi buruk,
pemberian suplemen gizi (melalui pemberian Vitamin A dosis tinggi, tablet Fe),
pemantauan konsumsi garam beryodium, pemberian makanan tambahan untuk
balita gizi buruk dan gizi kurang, serta pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil yang mengalami kekurangan energi kronis.

Capaian pemberian kapsul vitamin A untuk bayi mencapai 98,3% sedangkan


untuk balita mencapai 97,44%. Distribusi vitamin A kepada bayi dan balita
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi bayi dan balita.
Dari hasil tersebut terlihat telah mencapai tingkat cakupan yang cukup baik
namun belum mencapai target 100%.
Anemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian ibu
melahirkan. Angka anemia ibu hamil di Provinsi DIY sebesar 20,95%, dapat
dilihat pada grafik di bawah. Berdasarkan kondisi pada kabupaten/kota, angka
anemia bumil tertinggi yaitu Kabupaten Kulonprogo 27,58%. Prevalensi ibu hamil
anemia di Provinsi DIY ini masih berada di atas 20%, yang artinya masih di atas
nilai ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat.

PERSENTASE IBU HAMIL ANEMIA PROVINSI


DIY TAHUN 2008-2010

40.00 37.83

35.00
26.95 28.05
27.58
30.00 26.71 25.77
23.48 24.45
23.99
22.02 22.45 23.03
25.00 20.90 20.95
20.00 15.61 15.57
15.00
13.97
15.00
10.00
5.00
0.00
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta

2008 2009 2010

Sumber : Seksi Gizi, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 19 : Prosentase Bumil Anemi di DIY

Distribusi kapsul Fe kepada ibu hamil ditujukan untuk mencegah terjadinya


anemia pada ibu hamil. Hasil pantauan terhadap pelaksanaan distribusi kapsul

48
Fe kepada ibu hamil belum menunjukkan hasil yang optimal. Laporan Kabupaten
/ kota tahun 2010 menunjukkan peningkatan dibanding tahun 2009. Distribusi
kapsul Fe1 meningkat dari 91,55% di tahun 2009 menjadi 92,81% di tahun
2010, sedangkan Fe3 meningkat dari 82,51% di tahun 2009 menjadi 86,57% di
tahun 2010. Untuk cakupan Fe3 dapat dilihat pada grafik di bawah.

CAKUPAN FE 3 DI PROVINSI DIY


TAHUN 2008-2010
100.00 92.49 93.36
86.94 88.00 86.56 86.57
90.00 83.86 82.07 83.21 82.76
82.27 81.46 82.70 82.51
77.99 79.92
80.00 73.05
66.18
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta

2008 2009 2010

Sumber : Seksi Gizi, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 20 : Cakupan Fe Bumil di Provinsi DIY


Dari hasil cakupan Fe dan angka anemia ibu hamil di atas, terlihat bahwa capaian
Fe tinggi tidak diikuti dengan turunnya angka anemia ibu hamil. Karena itu perlu
dilakukan kajian lebih mendalam misalnya pada tingkat kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi Fe.
ASI eksklusif merupakan salah satu program yang cukup sulit dikembangkan
karena berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Sampai
dengan tahun 2008 cakupan ASI ekslusif di provinsi DIY baru mencapai 39,9%,
menurun pada tahun 2009 yaitu sebesar 34,56%. Sedangkan pada tahun 2010
ini, cakupan ASI eksklusif meningkat mencapai 40,57% (target 80%). Lebih rinci,
cakupan ASI Eksklusif di empat Kabupaten/Kota masih berkisar 20 39%,
sedangkan Kabupaten Sleman sudah mencapai 60%. Upaya yang telah
dilakukan untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif di antaranya pelatihan
konselor ASI di tiap puskesmas secara bertahap (saat ini belum semua

49
puskesmas ada konselor) dan rumah sakit, Pelatihan Motivator ASI,
pengembangan media KIE serta monitoring dan evaluasi.

CAKUPAN ASI EKSKLUSIF PROVINSI DIY


TAHUN 2008-2010
67.30 66.36
70.00

60.00

50.00
38.42 40.21 39.99 40.57
40.00 35.51 34.2334.71 34.56
30.91
32.63
32.5433.10 31.08
30.09 28.35
30.00 26.41

20.00

10.00

0.00
Kota Bantul Kulonprogo Gunungkidul Sleman PROVINSI
Yogyakarta

2008 2009 2010

Sumber : Seksi Gizi, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 21 : Cakupan ASI eksklusif di Provinsi DIY

4.4. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Aksesibilitas pelayanan kesehatan yang cukup baik di DIY juga tergambar dari
proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga medis bagi ibu melahirkan.
Persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2010 di Provinsi DIY berdasarkan
laporan kabupaten /kota telah mencapai 97,7%, Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2009 yang baru mencapai 92,53%.

Salah satu upaya dalam menurunkan angka kematian ibu adalah dengan
meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh
petugas kesehatan. Di Provinsi DIY pada tahun 2010 ini, cakupan ibu hamil yang
pertama kali mendapat pelayanan antenatal (K1) tingkat capaiannya sudah sangat
tinggi yaitu mencapai 100%. Sedangkan ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu dan sesuai
standar (K4), tingkat capaiannya meningkat dibandingkan tahun 2009 yaitu
dari 89,35% menjadi 90,7% pada tahun 2010. Capaian K1 dan K4 yang sudah

50
cukup tinggi menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang cukup baik terhadap
kesehatan ibu hamil. Meskipun demikian dari hasil capaian tersebut, terlihat masih
ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang cukup jauh. Diharapkan, capaian K4
dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat memberikan
andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4 dan persalinan nakes dapat dilihat
pada gambar di bawah.

K1 dan K4 akan berperan penting dalam mendeteksi secara dini berbagai


permasalahan selama masa kehamilan. Salah satunya adalah mendeteksi ibu
hamil risiko tinggi atau dengan komplikasi kehamilan. Berdasar data yang diperoleh
dari kabupaten/kota, pada tahun 2010 ini cakupan ibu hamil risti yang ditangani
sebanyak 77,61%, meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 62,39%.

Gambar 22 : Cakupan Program Kesehatan Ibu (sumber : seksi Kesga)

Dalam rangka menurunkan angka kematian neonatal (usia 0 28 hari), upaya


yang dilakukan adalah dengan meningkatkan cakupan pelayanan neonatal sesuai
standar pada 6 48 jam pertama setelah lahir (KN-1) serta pelayanan neonatal
minimal tiga kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (KN-L) Berdasarkan
laporan dari kabupaten/kota, cakupan KN-1 di Provinsi DIY pada tahun 2010
sebesar 96,7% dan KN-L sebesar 91,3%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil
Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa cakupan kunjungan neonatal (KN-1) di
Propinsi DIY 96,2%, yaitu tertinggi dari seluruh propinsi (rata-rata nasional baru
mencapai 71,4%), seperti terlihat pada gambar di bawah.

51
KN-1 dan KN-Lengkap
(hasil Riskesdas 2010)
KN-1 KN-Lengkap
120

96.2

86.7
100

77.7

74.3

74.3

71.4
71.2
80

55.6
48.8
60

44.4
41.6

37.5
35.5

31.8
31.5
40

17.1

10.4
20

8.4
0

Kalteng

Indonesia
Jatim

Kaltim
Bali
DI Yogya

Maluku

Maluta
NTB
Gambar 23. Cakupan Kunjungan Neonatal (Hasil Riskesdas 2010)

Sementara untuk kasus kematian neonatal, di Provinsi DIY pada tahun 2010
terjadi sebanyak 241 kasus, dengan penyebab kematian terbanyak disebabkan
karena BBLR dan asfiksia.

Tabel 9. Jumlah Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya Prov. DIY Tahun 2010
Kematian Faktor Penyebab
No Kabupate/Kota Neonatal BBLR Asfiksia Sepsis Kelainan Lain-
Kongenital lain
1 Yogyakarta 27 16 9 2 0 0
2 Bantul 89 31 25 2 0 31
3 Kulonprogo 41 14 14 4 6 3
4 Gunungkidul 49 28 7 0 10 4
5 Sleman 35 9 8 1 4 13
Provinsi DIY 241 98 63 9 20 51

Kesehatan remaja masuk dalam ranah kesehatan anak. Program kesehatan


remaja dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap siswa
SD/MI dan SMP/SMU. Program ini belum mampu menjangkau seluruh target
sasaran. Pada tahun 2010, jumlah siswa kelas 1 yang diperiksa melalui
penjaringan kesehatan sebesar 97,6% untuk SD/MI, 99,21% untuk SMP/MTs, dan
98,36% untuk SMA/MA/SMK.

Dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak, dilakukan berbagai upaya yaitu


dengan meningkatkan cakupan indikator kesehatan ibu dan anak, di antaranya K1,
K4, Pn, KN-1, KN-L, penanganan komplikasi obstetri maupun neonatal, pelayanan
kesehatan bayi dan balita, serta KB aktif. Upaya yang lain adalah dengan
meningkatkan kualitas SDM dengan mengadakan berbagai pelatihan untuk

52
petugas kesehatan seperti pelatihan manajemen asfiksia, BBLR, dll, serta yang
tidak kalah penting adalah meningkatkan kualitas sarana pelayanan kesehatan
(dalam hal ini puskesmas) dengan meningkatkan kemampuan puskesmas menjadi
puskesmas yang mampu PONED, PKPR, PKRE, mampu tatalaksana KtPA,
melaksanakan MTBS, SDIDTK, dan dapat memberikan pelayanan KB sesuai
standar.

4.5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan

Upaya pembinaaan kesehatan lingkungan sangat diperlukan sebagai salah satu


upaya preventif/pencegahan penularan penyakit khususnya penyakit berbasis
lingkungan (environment based diseases) serta meminimalkan faktor risiko
lingkungan. Keberhasilan upaya pembinaan kesehatan lingkungan ini akan sangat
berpengaruh pada penurunan angka kejadian penyakit berbasis lingkungan seperti
penyakit malaria, demam berdarah, TBC, diare dan ISPA.

Upaya pembinaan kesehatan lingkungan diarahkan untuk mewujudkan kondisi


lingkungan sehat melalui beberapa kegiatan pokok yaitu : Penyehatan lingkungan
perumahan dan sanitasi dasar, Penyehatan air, Penyehatan tempat-tempat umum
(TTU) dan Pengembangan Kabupaten/Kota Sehat. Kondisi kesehatan lingkungan
perumahan di Provinsi DIY yang dinyatakan sebagai rumah sehat didasarkan pada
kriteria kepemilikan sarana sanitasi dasar (jamban, sampah, limbah/SPAL dan
SAB) disamping kondisi fisik rumah (dinding, atap, lantai dan ventilasi) serta
perilaku penghuni menunjukkan adanya peningkatan yaitu 64,65% pada tahun
2009 meningkat menjadi 76,0% pada tahun 2010. Hasil ini belum menunjukkan
kondisi seluruh rumah yang ada karena yang dilakukan pemeriksaan baru
mencakup 28,1% (228.156 rumah) dari 811.087 rumah yang ada. Persentase
terbesar rumah sehat ada di Kota Yogyakarta sebesar 89,1% dan terendah di
Kabupaten Gunung Kidul sebesar 51,0%. Beberapa parameter rumah sehat pada
masyarakat di DIY menunjukkan telah cukup baik diantaranya adalah penggunaan
air bersih sebesar 144,5% (dengan catatan ada 1 keluarga yang menggunakan
lebih dari 1 jenis sarana air bersih) dan jamban sehat (94,5%)

53
Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar
di Provinsi DIY Tahun 2010
140,0
144,5
120,0

100,0
94,5
80,0
84,3 75,9
60,0

40,0

20,0

0,0
KK MEMILIKI JAMBAN KK MEMILIKI TEMPAT KK MEMILIKI SPAL KK MENGGUNAKAN
SEHAT SAMPAH SEHAT SEHAT AIR BERSIH

Gambar 24. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar di Provinsi DIY Tahun 2010

Cakupan kepemilikan jamban sehat di Provinsi DIY tahun 2010 sebesar 94,5%
berbeda dengan hasil Riskesdas 2010 sebesar 76,1%. Cakupan kepemilikan
jamban sehat terbanyak di Kabupaten Sleman sebesar 100% dari rumah yang
diperiksa dan terrendah di Kabupaten Kulon Progo sebesar 78,7%. Cakupan
kepemilikan tempat sampah sehat tertinggi di Kabupaten Sleman (100%) dan
paling rendah di Kabupaten Gunung Kidul (66,8%).Cakupan kepemilikan SPAL
sehat tertinggi di Kabupaten Sleman (100%) dan terendah di Kabupaten Gunung
Kidul (39,5%). Sedangkan Cakupan penggunaan air bersih dari berbagai macam
jenis sarana air bersih, semua kabupaten sudah lebih dari 100% dan hanya Kota
Yogyakarta yang baru mencapai 99%. Mengingat cakupan sarana sanitasi dasar di
beberapa kabupaten masih rendah, maka perlu dilakukan kerja sama dan
koordinasi dengan lintas sektor (Dinas PUP) untuk penyediaan sarananya.

Kondisi kesehatan lingkungan tempat-tempat umum dan tempat pengelolaan


makanan/TUPM ( Hotel, restauran/rumah makan, pasar dan TUPM lainnya) di
Provinsi DIY tahun 2010 berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa hotel
yang dinyatakan sehat sebanyak 99,36% dari yang diperiksa (314),
restauran/rumah makan (76,11%) dari 1.963 yang diperiksa, pasar (59,9%) dari
197 pasar yang diperiksa dan TUPM lainnya (80,76%). Seluruh hotel yang
diperiksa (100%) dinyatakan sehat yaitu di Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan
Sleman, sedangkan di Kabupaten Gunung Kidul baru 91,67% dari 12 hotel yang

54
diperiksa dan di Kota Yogyakarta sebesar 99,3% dari 214 hotel yang diperiksa.

Hasil kegiatan pengembangan kabupaten/kota sehat pada tahun 2010 mengalami


peningkatan yang diindikasikan dengan bertambanhnya jumlah kabupaten/kota
sehat yang mendapatkan penghargaan dari 1 kota (Kota Yogyakarta) pada tahun
2007 menjadi 3 kabupaten (Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul dan
Kabupaten Sleman) pada tahun 2009.

4.6. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat DIY

Kesehatan merupakan aset masa depan dan merupakan modal terciptanya


hidup yang sejahtera. Agar status kesehatan dapat diraih, perlu dilakukan upaya
pencegahan penyakit, di antaranya pada tingkat pertama adalah melakukan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pola PHBS ini hendaknya dilaksanakan
di semua tempat, baik di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, di institusi
kesehatan, maupun di rumah tangga.

PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga


agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan di masyarakat. Berdasarkan evaluasi, maka pada
perkembangannya indikator PHBS tatanan rumah tangga mulai ditingkatkan
kualitasnya. Dari 10 indikator yang semula masih menggunakan stratifikasi sehat
I IV, maka secara nasional sudah ditingkatkan kualitas indikatornya menjadi 10
indikator yang sifatnya komposit/gabungan, sehingga 10 indikator PHBS tatanan
rumah tangga semua indikator harus terpenuhi. Sepuluh indikator PHBS rumah
tangga tersebut adalah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, pemberian
ASI eksklusif, balita ditimbang, penggunaan air bersih, cuci tangan, penggunaan
jamban, pemberantasan jentik, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik dan tidak
merokok di dalam rumah.

Provinsi DIY mencoba mulai menerapkan indikator tersebut sebagai evaluasi


pada tatanan PHBS rumah tangga tahun 2010. Hasil pencapaian dari jumlah
rumah tangga yang dipantau menunjukkan 61,4% telah menerapkan PHBS,
seperti terlihat pada gambar di bawah. Walaupun capaian tersebut menunjukkan
penurunan jika dibandingkan dengan capaian tahun 2009, namun bukan berarti
secara kualitas mengalami penurunan.

55
Merokok merupakan salah satu perilaku yang menjadi faktor risiko penyakit
kardiovaskuler. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di
DIY sebesar 31,6%, dan sebanyak 66,1% masih merokok di dalam rumah. Hal
tersebut terlihat pada grafik di bawah.

Dalam Rumah: Provinsi(3)

84.1 85.3
75.7 76.1 76.6 78.6
73.9
66.1 68.1

Indonesia
Jatim

NTB

Maluku
DI Yogya

Malut

Kalteng
Kaltim
Bali

Gambar 25 : Merokok dalam rumah (hasil riskesdas 2010)

Persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%,
tertinggi di Kota Yogyakarta (52,1%) dan terendah di Gunungkidul (40,2%). Dari
hasil tersebut, tidak mengherankan jika persentase perokok pasif cukup tinggi
karena perokok biasa merokok di dalam rumah. Sedangkan jika dilihat dari
statusnya, perokok rumah tangga didominasi suami / kepala rumah tangga.

Untuk mendukung peningkatan capaian 10 indikator PHBS, dilakukan


berbagai upaya, diantaranya meningkatkan pelayanan posyandu, penyuluhan
kesehatan dan membentuk desa siaga. Pada tahun 2010 ini, capaian posyandu
aktif di Provinsi DIY mencapai 72,05%, capaian desa siaga 100% dan desa siaga
aktif mencapai 84,25%.

56
BAB V
SUMBERDAYA KESEHATAN

5.1. Tenaga Kesehatan

Ketersediaan tenaga di sarana kesehatan baik di puskesmas maupun rumah


sakit pada umumnya sudah baik. Jumlah tenaga kesehatan yang ada di seluruh
Propinsi D.I. Yogyakarta yang terdiri dari RSU Pemerintah dan Swasta,
Puskesmas, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi DIY tahun
2010 adalah sebagai berikut :
450 427
400
350 325
301
300 261 Kota
250 Bantul
206
200 174 Kulonprogo
156
150 135 Gunungkidul
107
100 76 7975 80 Sleman
50 3730 2942 14 31 Propinsi
3 0 1 12 9
0
Dokter Dokter Umum Dokter Gigi Dokter Gigi
Spesialis Spesialis

Gambar 26 : Distribusi Tenaga Medis per Kab/kota tahun 2010 (sumber Profil
SDMK tahun 2010)

Dari gambaran data perkembangan jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten/Kota


menunjukkan bahwa persebaran tenaga medis masih belum merata terlihat
masih terpusat di kota Yogyakarta, sementara di kabupaten yang lain selain
Sleman tenaga medis masih jauh lebih kecil jumlahnya. Bahkan untuk dokter gigi
spesialis tidak tersedia di kabupaten Kulon Progo. Untuk gambaran jumlah
tenaga kesehatan yang lainnya seperti tenaga keperawatan dan bidan dapat
dilihat seperti pada gambar berikut :

57
2500

2000 1920
Kota
1500 Bantul
1036 Kulonprogo
1000 821 Gunungkidul
576 Sleman
465
418 411
500 326 328 Propinsi
229
201
83 86 33 4010815 67
0
Perawat Perawat Gigi Bidan

Gambar 27 : Distribusi Tenaga Keperawatan per Kab/kota tahun 2010 (sumber


Profil SDMK tahun 2010)

Program peningkatan sumber daya manusia bertujuan untuk meningkatkan


ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan serta efektifitas
penggunaan. Sumber daya kesehatan di provinsi D.I.Yogyakarta meliputi tenaga
dokter, dokter spesialis , dokter gigi, apoteker bidan dan perawat, ahli gizi, ahli
sanitasi ahli kesehatan masyarakat serta penduduk yang menjadi peserta
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Rasio dokter spesialis sejak tahun 2007 telah mencapai 37,62 : 100.000
penduduk. Rasio dokter spesialis ini mengalami fluktuasi peningkatan selama
enam tahun terakhir dan telah melampaui angka nasional (target nasional tahun
2010 sebesar 6/100.000 penduduk). Tahun 2010 Rasio dokter spesialis mencapai
32 : 100.000 penduduk. Rasio dokter gigi tahun 2008 mencapai 6,44 : 100.000
penduduk. Angka tersebut mengalami penurunan dari 6.64 pada tahun 2007.
Sedangkan untuk tahun 2010 rasio dokter gigi mengalami peningkatan, yaitu : 9 :
100.000 penduduk. Sedangkan rasio untuk dokter umum tahun 2010, yaitu 32 :
100.000 penduduk.

58
RASIO TENAGA KESEHATAN TH 2010
Rasio (100.000
No. Jenis Tenaga
penduduk)
1 Dokter 32
2 Dokter Spesialis 32
3 Dokter Gigi 9
4 Apoteker 17
5 Bidan 44
6 Perawat 151
7 Ahli Gizi 9
8 Ahli Sanitasi 9
9 Ahli Kes Mas 9
SUMBER : PROFIL SDMK TH 2010

Tabel 10 : Rasio Tenaga Dokter Terhadap Penduduk

Dukungan sumberdaya manusia di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi DIY


cukup baik yang diperlihatkan dari beberapa spesifikasi. Jumlah keseluruhan
pegawai di dinas kesehatan Provinsi DIY sampai dengan tahun 2009 mencapai
496 orang dengan dominasi pegawai adalah dari latar belakang pendidikan
umum yang mencapai 256 (52%). (Selengkapnya data dalam lampiran)

SKPD Dinkes Provinsi DIY memiliki 4 UPT yang meliputi Bapelkes, BP4, BLK dan
Jamkesos. Tiga UPT merupakan unit pelayanan yang bersifat teknis medis yang
membutuhkan tenaga medis dan kesehatan yang lebih banyak. Ketiga UPT
dimaksud adalah BP4, BLK dan Bapelkes. Sementara satu UPT yaitu Jamkesos
memiliki karakter yang lebih menonjol dalam aspek manajemen yaitu manajemen
pembiayaan kesehatan, Ditinjau dari komposisi ketenagaan di ketiga UPT
menunjukan bahwa untuk tiga UPT pertama yang membutuhkan tenaga teknis
lebih banyak telah sesuai dengan yang diharapkan demikian pula untuk
Jamkesos.

59
Gambar 28. Jumlah Tenaga di Dinas Kesehatan Provinsi DIY
Tahun 2009

5.2. Sarana Kesehatan

Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi DIY relatif cukup banyak baik dari segi
jumlah maupun jenisnya. Sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah
(Puskesmas) telah menjangkau keseluruhan Kecamatan yang ada di Kabupaten /
kota bahkan jika digabungkan dengan puskesmas pembantu sebagai jaringan
pelayannya, telah mampu menjangkau seluruh desa yang ada. Jumlah
puskesmas terbanyak adalah di Kabupaten Gunungkidul dengan 30 puskesmas
disusul oleh Kabupaten Bantul dan Sleman masing-masing 27 dan 25
puskesmas. Sementara untuk Kota Yogyakarta memiliki 18 puskesmas. Dari
sejumlah total 121 puskesmas tersebut, sebanyak 42 diantaranya telah
dikembangkan menjadi puskesmas rawat inap. Seluruh Puskesmas telah
dilengkapi dengan jaringan Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan
memiliki jaringan kemitraan dengan Desa Siaga di seluruh wilayah.

Perkembangan pelayanan kesehatan dasar di sektor swasta juga berkembang


dengan pesat dengan munculnya berbagai sarana pelayanan seperti dokter
praktek swasta, bidan praktek swasta, poliklinik, praktek bersama dan lain
sebagainya.

Pelayanan kesehatan rujukan (Rumah Sakit) di wilayah Provinsi DIY sebanyak 60


Rumah Sakit, yang terdiri atas : RS Umum pemerintah 8, TNI dan Polri 3, RSU

60
Swasra 32, RS Jiwa 1, dan RS khusus lainnya 14. Sedangkan jumlah tempat
tidur yang tersedia adalah sebagai berikut :

Tabel 11. Sarana Pelayanan Kesehatan Rujukan di Provinsi DIY per Th 2010

Jumlah Tempat
Kab/kota Nama Rumah Sakit
Tidur
Kota RSUD Kota 157
DKT 64
Panti rapih 367
PKU Muhammadiyah 243
Bethesda 438
Bethesda lempuyangan 50
Happyland 67
Hidayatullah 50

Bantul RSUD Bantul 150


PKU Muhammadiyah Bantul 102
Patmasuri 37
Santa Elisabeth 22

Klprogo RSUD Wates 153


St Yusuf Boro 50
PKU Nanggulan 50
Rizki Amalia 50

GK RSUD Wonosari 156


Pelita Husada 30
Bandung 30

Sleman RSUP Sardjito 750


RSUD Sleman 146
RSU PKU 78
Lokapala 36
Panti Baktiningsih 50
Panti Rini 37
Panti Nugroho 50
Dr. S Harjolukito 32
JIH 96

Sarana rujukan di Provinsi DIY juga relatif telah memadai dengan berbagai jenis
pelayannya. Rumah sakit pemerintah tersedia di kelima kabupaten / kota. Secara
kumulatif Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta adalah dua wilayah yang
memiliki jumlah sarana pelayanan kesehatan rujukan terbanyak dibandingkan
dengan tiga wilayah lain. Perkembangan pelayanan rujuakn di sektor swasta
sangat pesat dalam 10 tahun terakhir. Sarana pelayanan rujukan khusus juga

61
telah berkembang diantaranya untuk jenis pelayanan kesehatan mata, jiwa, dan
paru.

Sarana pelayanan kesehatan pendukung seperti laboratorium kesehatan juga


berkembang baik dengan semakin besarnya peran swasta. Dalam 3 tahun
terakhir telah tumbuh berbagai sarana pelayanan pendukung laboratorium dan
apotik. Pemerintah Provinsi sendiri telah memiliki sarana Balai Laboratorium
Kesehatan (UPT) dan instalasi farmasi.

Unit Pelayanan Teknis juga berkembang baik di tingkat provinsi dan Kabupaten /
Kota. UPT laboratorium tersedia di setiap wilayah. Sementara untuk UPT jaminan
kesehatan baru berkembang di tingkat provinsi, Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta. UPT balai paru merupakan unit pelayanan pemeriksaan paru yang
dimiliki oleh Pemerintah Provinsi yang menjadi pusat rujukan untuk pemeriksaan
paru dan di masa mendatang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi rumah
sakit khusus. UPT Bapelkes (balai pelatihan kesehatan) dikelola oleh Dinas
Kesehatan Provinsi DIY untuk memberikan dukungan dalam pengembangan
sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi DIY.

Pelayanan pengobatan tradisional yang berbasis bukti juga telah mulai


dikembangkan bekerjasama dengan berbagai institusi pendidikan kesehatan
yang ada di Provinsi DIY yang melahirkan gagasan untuk pengembangan
pembinaannya di tahun-tahun mendatang.

5.3. Pembiayaan Kesehatan


Pembiayaan kesehatan di Provinsi DIY dan kabupaten/kota berasal dari
berbagai sumber baik APBD maupun APBN (dana dekonsentrasi, dana alokasi
khusus/DAK, Jamkesmas, tugas pembantuan/TP dan BOK). Total anggaran
pembiayaan kesehatan pada tahun 2010 sebesar Rp. 773.083.824.863 atau
meningkat 38,9% dibandingkan total anggaran pembiayaan kesehatan tahun
2009. Anggaran terbesar berasal dari APBD kabupaten/kota yang mencapai
62,72% dan anggaran yang berasal dari APBN, pinjaman/hibah luar negeri
(PHLN) dan sumber pemerintah lainnya sebesar 37,28%.
Anggaran pembiayaan kesehatan terbesar adalah di Kabupaten Sleman
sebesar 25,9% (190 milyard rupiah) dari total anggaran kesehatan disusul

62
Kabupaten Bantul sebesar 20,2% (148 milyard rupiah), Kota Yogyakarta
sebesar 18,1% (132 milyard rupiah), Kabupaten Gunung Kidul sebesar 13,7 %
(100 milyard rupiah) dan terendah adalah Kabupaten Kulon Progo yaitu sebesar
8,1% (59 milyard rupiah). Persentase anggaran kesehatan Kota Yogyakarta
tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya yaitu mencapai 15% dari total
anggaran APBD Kota Yogyakarta, sedangkan kabupaten lainnya masih di
bawah 15% bahkan di Kabupaten kulon Progo baru mencapai 5,7% dari total
anggaran APBD Kabupaten Kulon Progo.
Realisasi anggaran kesehatan di Provinsi DIY bersumber dari APBD provinsi,
APBN, TP dan DAK tahun 2010 sebagai berikut :

100,00 99,80
100
97,24
98
96
94 92,66
P e rs e n ta s e ( % )

92 90,47
89,37
90 88,60
87,14
88
86
84
82
80
APBN TP DAK APBD
Sumber Pembiayaan
REALISASI KEUANGAN
REALISASI FISIK
Gambar 30 : Realisasi Anggaran Tahun 2010
Realisasi anggaran tertinggi berasal dari sumber pembiayaan APBD yaitu sebesar
90,47% dan terendah dari dana alokasi khusus (DAK) sebesar 87,14%. Sedangkan
realisasi fisik tertinggi (100%) dari sumber pembiayaan tugas pembantuan (TP) dan
terendah dari dana alokasi khusus (DAK) sebesar 87,14%. Rendahnya realisasi fisik
dan keuangan yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) ini dikarenakan
adanya pengembalian anggaran dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang
tidak dapat melaksanakan proses pengadaan reagensia dan bahan kimia sebesar
Rp 900.000.000 ke kas daerah karena acuan yang digunakan untuk pengadaan
reagensia (seperti Daftar Obat Essensial Nasional/DOEN tahun 2008) tidak memuat
daftar reagensia kering. Penyebab lain rendahnya realisasi DAK adalah

63
pengembalian anggaran rehabilitasi bangunan Bangsal Klas III RS Ghrasia yang
dihentikan akibat terjadinya bencana erupsi merapi.

64
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan data dan informasi hasil pembangunan Kesehatan di Propinsi


D.I. Yogyakarta tahun 2010 yang telah berhasil dikumpulkan melalui Profil
Kesehatan Kabupaten/Kota, laporan Rumah Sakit (SIRS Revisi V), laporan program
dan data BPS, dan hasil beberapa survai, maka dapat disimpulkan bahwa Indikator
Derajat Kesehatan masyarakat di Propinsi D.I. Yogyakarta berdasarkan beberapa
survai yang telah dilaksanakan adalah :

1. Umur harapan hidup waktu lahir di Provinsi DIY cenderung meningkat dan
pada tahun 2010 diperkirakan telah mencapai angka 74,1 tahun.
2. Angka Kematian Bayi mengalami perbaikan namun tren penurunan
cenderung melandai. Sampai dengan tahun 2010 kematian bayi di Provinsi
DIY telah mencapai angka 17 per 100.000 kelahiran hidup (angka absulut
dilaporkan jumlah kematian bayi sebesar 346 bayi). AKB di DIY tersebut
merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia namun masih tertinggal jika
dibandingkan negara-negara ASEAN.
3. Angka Kematian Balita (AKABA) cenderung membaik dengan tren penurunan
yang cenderung melandai / menetap. Angka kematian balita sampai dengan
tahun 2008 adalah 19 per 1000 balita. Jumlah kematian balita yang dilaporkan
pada tahun 2010 sebesar 63 balita.
4. Angka Kematian Ibu terus mengalami perbaikan dan sampai tahun 2010 telah
mencapai angka 100 per 100.00 kelahiran hidup (jumlah kematian ibu yang
tercatat sebanyak 43 ibu). Angka tersebut merupakan salah satu yang
terbaik namun jauh tertinggal di tingkat Asia Tenggara.
5. Gizi buruk cenderung terus membaik dengan ditunjukan penurunan di tahun
2010 yaitu menjadi 0,7%.

65
PR
OFI

LAMPIRAN

66

Anda mungkin juga menyukai