Anda di halaman 1dari 12

CERITA PENDEK

IBUKU, IRIANTI SUPRAPTI


Buah Karya
Avicena Hafsah Pradnyaparamita
SINOPSIS

Namanya Irianti Suprapti, ibuku. Ibu dari aku, dan kedua kakakku. Anak dari seorang
penjahit dan penjual warung makan Suparjo. Hidupnya tidaklah mulus, tapi tawa, senyum, dan
ikhlas adalah andalannya. Kami beruntung memilikinya. Walau harus menahan sakit hatinya
karena ayah kami.
Ibu memiliki 5 saudara. Ibu sering berkunjung ke Kartasura rumah nenek dan kakek.
Sedangkan kami tinggal di Gunungpati Kabupaten Semarang. Ibu rajin membantu nenek
berjualan walau sedang hamil sekalipun.
Aku lahir 1995 bertepatan dengan ulang tahun ibuku. Ibu bahagia memilikiku dan kakak
kakakku. Kami jalani kehidupan bersama penuh tawa dan canda walau tak jarang ibu marah
kepadaku karena kenakalanku.
Suatu hari yang tak terduga, ibu sakit, dan sakitnya dianggap remeh oleh dokter kala
itu, hingga akhir hayatnya, tidak ada alasan yang jelas penyebab kematian ibuku. Ibuku
meninggalkan kami selama 11 tahun sudah. Waktu yang tak sebentar.
IBUKU, IRIANTI SUPRAPTI

Cerita ini menceritakan kisah ibuku yang tangguh hingga akhir hidupnya, namanya Iri.
Irianti Suprapti. Dia seorang wanita yang sekarang sedang memenuhi pikiranku.

Dia berasal dari keluarga sederhana dengan bapak seorang penjahit dan ibu seorang
penjual makanan di warung Suparjo. Dia memiliki lima saudara wanita dan dia adalah anak
kelima dari enam bersaudara. Kakak pertamanya bernama Sri Suparmi, Sumarmi, Tri
Sujatwanti, Sunarti, Ibuku, dan Tutik Mulyati.

Ibuku menikah dengan seorang pria, yang sekarang menjadi ayahku. Dia bernama
Kusnandar dari Malang seorang arsitektur. Mereka dikaruniai 3 orang anak. Kakak laki laki
ku bernama Kusniawan Pratama, Kusnia Ratih Aprilia Safitri, dan aku, Lathifah Puteri
Kusumawardhani. Kami tinggal di Gunungpati, Kabupaten Semarang.

*****

Irianti Suprapti, kakek dan nenekku memberi nama ini karena ibu lahir bertepatan
dengan pembebasan Irian Barat tanggal 1 Mei 1963. Ibu seorang wanita yag cantik dengan tahi
lalat yang khas di atas bibirnya. Ibu merupakan anak pertama yang bisa menjadi PNS guru
bersama dengan adiknya Tutik. Sepengetahuanku, ibu wanita yang tangguh, bijaksana, sayang
terhadap keluarga, pekerja keras, dan rajin beribadah. Sebagian dari gaji gurunya diberikan
kepada kakek nenekku untuk membantu ekonomi keluarga yang kesulitan.

Mengapa aku katakan ibu tangguh? Karena hanya ibu yang mencari nafkah di keluarga
kami selain untuk kakek nenekku juga.

*****

Aku akan menceritakan perjalanan hidupnya karena aku ingin mengenang tentangnya
malam ini.

Suatu siang di warung nenekku, ibu sengaja berkunjung dengan kedua kakakku yang
masih kecil naik bus dari Semarang ke Kartasura. Baru sampai dan beristirahat sebentar, nenek
meminta tolong ibu untuk melayani pembeli, maklum siang bolong seperti ini memang enak
menyantap soto dan es teh di jam makan siang.

Nduk, tolong layani pembelinya dulu., kata nenekku (Nduk=nak).

Ya, mbok, kata ibuku (Mbok=ibu).

Soto semangkuk, es teh, tempe satu, bakwan satu, krupuk 2, berapa mbak?, pembeli.
Tiga ribu mas, jawab ibuku.

Mbak, beli soto di rangtang ini ya., pembeli yang lain.

Ya, sebentar.

Sampai kumandang adzan terdengar, barulah ibu istirahat. Kala itu, ibu mengandug aku
yang akan lahir sekitar 2 bulan lagi. Ibu berniat melahirkan di Semarang dan ingin sekali
berkunjung ke nenek dan kakekku sebelum lahir aku. Kangen katanya.

Nduk, kamu asar dulu, nanti nginep sini aja, gak sah balik. Besok aja baliknya. Kata
nenekku.

Kasian suamiku bu, sendirian disana.

Alah sudah gak papa, suamimu bisa ngurus diri sendiri.

Tapi belum bilang kalau nginep, bu.

Gak usah ngomong, paling suamimu ya paham kalau kamu nginep. Kasian anak
anakmu masih kecil dan bayimu, nduk.

Maklum kala itu belum ada handphone. Pun jika ada, hanya orang kaya yang mampu
membelinya.

Manut aja to,nduk., kata kakekku.

Ya wis bu. (wis=sudah).

Malam itu ibu dan kakak kakakku tidur di rumah kakek nenek. Kamar di rumah itu
hanya ada 3. Dan anak kakek nenek yang ada disitu saat itu tinggal budhe narti, dan bulek tutik.
(Budhe=tante lebih tua dari ibu, bulek=tante lebih muda dari ibu).

Minggu kami sudah di bangjo Kartasura untuk nyegat bus ke Semarang jam 6 pagi.
Perjalanan kala itu cepat masih 2 jam. Sampai di rumah, ibu merasakan kontraksi yang hebat
dan air ketuban pecah. Ayah yang menyambut dengan tidak gembira seketika langsung panik.

Wan, kamu ke rumah budhe umi pinjem mobil untuk ngantar ibumu ke bidan! Cepat!
kata ayah.

Tih, kamu ambil uang tabungan ibu dibawah kasur, bawa baju daster ibumu beberapa
dan kunci pintu! Cepat!

Wan adalah panggilan kakak pertamaku, wawan. Tih panggilan untuk kakak keduaku
bernama ratih. Budhe umi adalah tetangga sebelahan kami.
Kus, ayo di gendong istrimu ke mobil, anak anak masuk di kursi belakang! perintah
pakdhe ade suami budhe umi.

Tak lama mobil kijang tahun 1985an meluncur ke bidan terdekat. Lumayan jauh
perjalanan, sekitar 14 km dengan jalan berliku dan naik turun. Sesampainya, ibu langsung
ditangani bidan dengan cekatan. Selang 10 menit saat ibu ditangani, lahirlah aku. Latifah
Kurniawati. Ibu dan ayah bahagia sepertinya saat aku lahir. Tepat tanggal 1 Mei 1995
bersamaan dengan ulang tahun ibuku.

*****

Hari hari ibu jalani dengan bahagia merawatku, dan tampak akur dengan ayah. Kakek
nenek serta saudara ibu dan ayah datang beramai ramai dari Kartasura dan Malang. Aqiqoh
pun diadakan dengan mengundang tetangga. Dapur rumah kala itu ramai dengan ibu ibu
tetangga yang membantu masak. Kami menjalankan prosesi aqiqoh dengan sangat khidmat
walaupun sederhana.

*****

Kebahagiaan ibu tidak berlangsung setiap hari, ada saja masalah datang dari ayah. Tapi
ibu tetap tenang dan ikhlas menghadapi ayah demi merawat anak anaknya. Kakak kakakku
senang sekali menggodaku, sehingga kami tertawa dengan gaya tawaku yang jelas masih sangat
berbeda dan polos. Itulah bahan bakar kehidupan ibu, selain beribadah kepada Allah SWT.

*****

Saat usiaku mencapai 3 bulan, ibu mulai masuk kerja dan menitipkanku pada budhe
umi. Setiap pulang kerja, selalu aku yang jadi tujuan pertama.

Yang iyung iyang iyung, nak cantik cantik cantik, nak pinter pinter pinter, uuuulluuluu
anak ibuuu.

Begitulah ibu yang menghiburku dan menyayangiku.

Saat usiaku 10 bulan, aku diajak ibu ke Kartasura, mengunjungi nenek dan kakek
bersama kakak- kakakku. Di Karasura, bulek Tutik juga baru saja punya bayi. Beda usia kami
4 bulan duluan aku. Sama denganku, dia perempuan. Kami memanggilnya Mita. Dia satu
satunya di keluarga besar kami yang mukanya mirip orang china.

Ibu rutin membawaku ke Kartasura setiap 2 minggu sekali, untuk melepas rindu dengan
keluarga besar dan untuk melihatku main dengan Mita.
Ayo sekarang kalian balapan brangkang ya., kata ibu. (Brangkang=merangkak).

Bersedia, siap, yak!, lanjut ibu.

Loo gimana kok diem aja? Malah duduk manis gitu?,, kata bulek tutik.

Ayo siapa cepat ke boneka, dia yang menang., kata ibu.

Karena kami perempuan dan suka dengan boneka, tentu kami mengikuti kemana boneka
itu berada.

Ayo ayo ayo, ifa, yeeeyyyy ifa menang, ifa menang!, kata ibu.

Tentu aku menang, karena aku lebih besar badan dan lebih lama bisa merangkak. Ibu
tertawa bahagia karena aku menang kompetisi untuk pertama kalinya.

Selain bahagia melihat ku menang lomba balapan merangkak, ibu juga bahagia melihat
aku dan Mita seperti pesepakbola yang mengejar bola kesana kemari, atau saat aku dan Mita
bermain lidi atau saat kami tertidur di lantai tengkurap perhadapan. Ibu akan selalu rutin ke
Kartasura setiap akhir pekan untuk melihatku tertawa bermain dengan sebaya. Walau hanya
sebentar. Minggu pagi kami sampai, minggu sore kami sudah pulang. Dan aku selalu tertidur
dalam pelukan ibu selama di bus.

Setiap liburan sekolah pun, ibu membawaku ke Kartasura dan menitipkanku kepada
bulek Tutik. Ibu tidak bisa ikut karena harus bekerja. Kesempatan emas bagiku dan Mita untuk
bermain. Permainan paling seru untuk kami, dikala rumah Mita kosong karena kerja semua
penghuninya, kami berenang di bak mandi yang berukuran 2 x 1 x 2 meter persegi. Cukup luas
untuk kami. Oleh karena itu, setiap pakde ndang atau bulek pulang, kami selalu kena marah,
dan terpaksa menambah capek mereka karena harus menguras bak sebesar itu.

Namanya juga anak anak, walau dimarahin, tetap saja nekat. Hari berikutnya kami
pindah di bak lantai dua, yang lebih kecil setengahnya dari bak bawah. Dan kena marah lagi,
alhasil ibu juga datang menjemputku dengan marah. Yang aku suka dari ibu, setiap marah
kepada anak anaknya, tidak pernah lama dan selalu langsung memaafkan dengan menciumi
kami. Jarang sekali ada ibu yang melakukan itu kepada anaknya, apalagi di zaman sekarang.

*****

Aku pun bertambah usia, bertambah tinggi, sudah bisa bicara dan siap masuk TK dekat
rumah dan bertemu teman teman masa kecil. Ibu selalu mengantar dan ibu juga yang
menjemput, walau setelah itu ibu balik kerja. Aku dititipkan oleh budhe umi, karena ayah selalu
pergi memancing setiap pagi dan pulang saat sore. SMA tempat ibu mengajar dekat dengan
rumah, dengan naik angkot, 10 menit sampai rumah.

Kadang ibu mengajakku ke sekolahannya hanya untuk bermain, bersalaman, diciumi


oleh teman teman ibu, dan dikasih makanan terkadang. Ibu selalu baik ke orang jadi tak heran
jika orang lain juga baik dan mengenal ibu. Terutama karena tahi lalat khasnya. Semua anak
ibu punya tahi lalat diatas bibir seperti ibu, Cuma tidak sebesar punya ibu.

Waaa anaknya persis sekali bu, lucu juga, kata teman ibu.

Alhamdulillah rezeki Allah bu,

Liat tuh tahi lalatnya sama dengan ibunya Cuma lebih kecil ya bu.

Hahaha iya bu, identik jadinya. Kalo ilang mudah ditemukan.

Waaa iya ya bu, adek ifa mau roti? Ini tante kasih ya.

Bilang apa nak?

Terima kasih., kataku masih malu malu dan ngumpet dibelakang kaki ibu.

*****

Tak lama aku pun masuk SD. Mbak Ratih sudah di SMP kelas 1 dan Mas Wawan sudah
SMA kelas 1. Lumayan banyak biaya yang dikeluarkan ibu untuk menanggung kami bertiga
dengan ayah tidak berpenghasilan.

Kami memang jarang melihat ibu dan ayah berantam adu mulut secara langsung.
Mereka lebih sering diam. Ayah yang acuh tak acuh kepada kami membuat kami kehilangan
sosok ayah dari seorang ayah. Kami mendapatkan sosok ayah dari seorang Ibu.

Bahagia walau sedih sebanarnya. Kami masih kecil belum bisa membahagiakan dan
menyatukan ibu dan ayah. Ingin rasanya melihat ibu tersenyum bahagia tanpa beban ayah yang
selalu bersikap demikian.

*****

Suatu hari, ibu mengajakku ke Kartasura karena ada kerabat yang berbeda dari keluarga
besar untuk berbela sungkawa. Seperti biasa, ibu berangkat pagi dan setelah dhuhur sudah
pulang kembali. Aku tak sempat bermain lama dengan Mita.
Magrib saat sampai rumah, ibu mengeluh perutnya sakit sampai tidak bisa berdiri.
Alhasil ayah membawa ibu dengan bantuan pakdhe ade ke RS Kariyadi. Aku masih kecil, dan
ngantuk saat itu.

Aku baru tahu saat pagi harinya. Kata dokter, ibu cuma masuk angin saja dan tidak
diberi obat apa apa. Hari itu ibu tidak masuk, aku berniat untuk tidak masuk.

Kamu berangkat sama masmu dulu ya, nduk.

La kenapa bu?

Ibu agak gak enak badan.

Ibu sakit?

Enggak kok sayang, ibu cuma kecapekan.

Ya udah, aku gak mau masuk aja, mau nemani ibu

Looo, gak boleh gitu dong. Adek harus sekolah, belajar yang rajin, diperharikan
gurunya, biar bisa jadi guru kayak ibu yang banyak penggemarnya.

Aku gak mau jadi guru, ibuuuukkk!

Hahaha, la maunya jadi apa?

Jadi designer bu.

Ya boleh, designer kan juga harus belajar juga harus pinter, biar pas bikin ukuran
designnya kan?

Iya.

Ya udah, makanya kamu sekolah gih, sama masmu berangkatnya. Nanti pulang naik
angkot dulu ya.

Ya udah bu, ibu istirahat ya.

Ya, wan, ini adekmu diantar dulu!

Ya bu., kata mas wawan.

Salim bu

Assalamualaikum, bu.

Waalaikumsalam.
Akhirnya aku sekolah, dan jam 12 pulang sendiri naik angkot. Saat pulang, aku dapati
ibu sudah tiduran di depan TV lemas, menahan sakit, dikompres ayahku perutnya. Ayah
langsung mengabari bulek tutik dan kakek nenek.

Asar kakek nenek, bulek Tutik, pakdhe Ndang, Mita, Rama (adiknya Mita), mbak Ade
(sepupuku), mas mendeng (suaminya mbak Ade) sudah sampai rumah. Dan melihat kondisi ibu
sudah dikelilingi aku, mbak ratih, mas wawan, budhe umi, untuk membacakan ayat kursi. Ibu
tidak bisa buang air besar, buang air kecil, buang gas, sendawa, dan terasa sebah selama 2 hari.

Akhirnya dibawa lagi ke RS Kariyadi. Lalu ibu tidak sadarkan diri. Aku dan kakak
kakakku ikut, saat sudah sadar, ibu berpesan kepada masing masing dari kami.

Le, wawan, kamu mbarep, kamu harus bisa jaga adek adekmu. Kamu harus sekolah
yang rajin sampai sarjana dan dapat kerja ya buat bantu ayahmu. (mbarep=anak sulung)

Ibu jangan bilang gitu to, Wawan turuti asal ibu sehat.

Ibu sehat kok, le. Ibu cuma pesan dan mengingatkan kamu saja.

Ya bu.

Ratih, kamu anak kedua, perempuan, jagain ifa ya, kamu udah bisa bersih bersih
rumah, dan pinter masak, nanti jangan lupa masakin ayahmu terus, rawat ayah. Kamu juga kudu
rajin sekolah sampai kuliah. Jangan dinakali si ifa, di bimbing ya.

Ya bu.

Air mata sudah menetes di sudut mata kedua kakakku.

Ifa, ibu sayang sama ifa. Ifa gak boleh nakal ya. Sekolah yang rajin, sholat juga, tadarus
yang rutin, makan yang banyak jangan kurus kering gini ya nak.

Ibu, ifa sayang sama ibu. Ibu gak boleh kemana mana.

Ibu gak kemana mana, ibu ada disisimu kok nduk, selalu. Ibu doakan kamu selalu.

Ibu janji ya?

Insyaallah nduk.

Lalu ibu meminta semua anaknya keluar dan berbicara dengan bulek tutik, ayah, kakek
dan nenek. Aku tidak tahu apa yang ibu bicarakan, yang aku tahu, mereka menangis tersedu
sedu.
Akhirnya kami disuruh pulang dan diantar mbak Ade dan mas Mendeng. Hanya aku,
mbak Ratih, Mita, dan Rama saja yang pulang karena sudah malam. Kami disuruh tidur, kami
manut. Ada budhe Umi yang menemani. Tak lama kemudian, telepon rumah berbunyi.

Innaillahi wa innaillahi rojiun., kata budhe Umi.

Mbak Ratih yang duduk disebelah budhe Umi, langsung menangis histeris
membangunkan aku, Mita dan Rama.

Udah nduk yang sabar, nduk. Doakan ibumu khusnul qotimah., kata budhe Umi.

Kenapa budhe?, kataku.

Ibu dah gak ada faaaaaa!!!!, kata mbak Ratih.

Seketika lemas sudah rasanya, yang aku ingat budhe Umi merangkul mbak Ratih dan
aku. Aku tahu Mita dan Rama juga menangis.

Udah nduk, diikhlaskan, yang sabar.

Ibu gak boleh pergi!, kataku.

Ifa gak boleh bilang gitu, ibu kan miliknya Allah to.

Tapi gak boleh pokoknya!, kataku sambil terisak.

Ternyata tangis kami pecah selama 20 menit dan membuat kami lelah. Budhe Umi
mengantar kami tidur di satu kamar. Saat itu pukul 23.45 seingatku hari Jumat. Kami tertidur
pulas, sangat pulas dengan mata sembab.

*****

Kami terbangun saat rumah mulai ramai pelayat yang membantu menyiapkan rumah.
Aku tersadar bahwa ibu sudah tidak ada. Kami berlari ke ruang tamu dan kami temukan ibu
sudah terbaring kaku, ditutupi jarik. Tangisku meledak tak tertahan, sampai bulek tutik
mencoba menenangkan, tapi percuma. Aku dan kedua kakakku tidak bisa terima hal ini. Terlalu
cepat hidup ini dengan keberadaan ibu.

Prosesi memandikan jenazah dan mengkafaninya dilakukan. Anak dan suamilah yang
memandikannya. Ibu dikafani oleh saudara perempuan dan nenekku.

Kok bau harum ya?, kata bulek Tutik.

Saat mencari sumber harum, berasal dari jenazah ibu. Kata bulek Tutik, ibu meninggal
dengan tenang, ada senyuman diwajahnya, wajahnya putih bersih, dan tubuhnya harum.
Kami mensholatkannya dan melakukan prosesi sebelum membawa ibu ke tempat
peristirahatan terakhir. Kata kakek, langit tiba tiba mendung saat ibu diberangkatkan ke
pemakaman. Sampai pemakaman selesai pun langit tetap mendung tapi tidak turun hujan, angin
sepoi sepoi saat itu.

Aku belum paham maksud semua itu, yang aku tahu saat itu, aku belum rela kehilangan
ibu. Beda menjalani hari tanpa ibu. Sangat beda.

Kini aku mengerti bahwa tanda tanda tersebut mengisyaratkan dan berprasangka baik
kepada Allah SWT bahwa ibuku termasuk orang yang diterima disisi Allah SWT nantinya.
Seorang hamba Allah yang berusaha taat kepada agama dan menjalankan ibadahnya, berbuat
baik kepada orang tua dan sesama manusia yang lain. Teladan bagi anak anaknya yang sudah
membekali hingga aku dan kakak kakakku mandiri dan sukses sekarang. Walau tak bisa kami
lihat senyum dan tawa ibu dikala anak anaknya sukses. Inilah ibuku Irianti Suprapti yang
sudah meninggalkanku selama 11 tahun. Kepergian ibu menyadarkan ayah untuk menjadi
sosok ayah dan ibu kembali bagi kami. Ayah masih setia kepada ibu sampai sekarang. Aku baru
menyadari bahwa dibalik semua kejadian pasti ada hikmahnya. Jangan berburuk sangka di awal
dengan ketetapan Allah karena sesungguhnya kita tidak tahu apa yang akan datang.

*****

Inilah malam yang mengingatkanku pada ibuku yang telah tiada. Sosok ibu yang rela
disakiti batinnya demi anak anaknya. Berjuang demi anaknya. Maka gunakanlah waktumu
yang ada sekarang untuk menyayangi dan membalas kasih sayang dan pengorbanannya.
Sungguh ibu sudah mengandungmu selama 9 bulan 10 hari dalam keadaan berat yang
memberatkan.

TAMAT
BIODATA PENULIS

1. Nama : Avicena Hafsah Pradnyaparamita

2. Tempat/Tgl Lahir : Surakarta, 1 September 1995

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

Alun Alun Kartasura RT 01 RW 06 Kartasura


5. Alamat Sekarang :
Sukoharjo

6. Nomor Telepon : 085725198611

7. Prodi : S1 Pendidikan Profesi Dokter (Coass)

8. Email : mithaamazing@gmail.com

9. Pendidikan Terakhir : S1 FK UNS

Anda mungkin juga menyukai