Anda di halaman 1dari 44

PERBEDAAN PROPORSI KEJADIAN INSOMNIA

PADA KELOMPOK REMAJA, DEWASA, DAN LANSIA


DI RW I BENER NGRAMPAL SRAGEN

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

MEIRINA FATMASARI
G0004153

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu keluhan yang sering didengar dalam praktek kedokteran ialah

insomnia atau kesukaran tidur (Maramis, 1995). Faktor yang erat kaitannya

dengan gangguan tidur adalah penyakit, depresi, kecemasan (anxietas), stres,

lingkungan yang menyulitkan tidur, kafein, alkohol, perokok berat, tidur siang,

kebiasaan tidur terlalu dini atau menghabiskan waktu ditempat tidur ketika tidak

ingin tidur. Insomnia adalah keadaan sulit tidur, sulit mempertahankan tidur,

sering terbangun ketika tidur, bangun tidur terlalu dini (Lumbantobing, 2004).

Perubahan usia datang tanpa pernah disadari. Pelan-pelan bertambahnya

usia penglihatan tak lagi tajam dan kualitas pendengaran semakin berkurang.

Seiring waktu yang sama, pengalaman tidur kitapun berubah. Kadang-kadang

perubahan usia mengubah topeng yang menutupi masalah tidur. Contohnya, tidur

apnea dan kelainan bernapas sering terjadi di usia paruh baya sampai usia tua.

Pengulangan bangun diwaktu malam yang disebabkan oleh kurang napas, bisa

memicu terjadinya ketiduran di siang hari. Banyak manula mengira bahwa tidur

yang buruk bukan yang penting untuk dipikirkan. Perubahan-perubahan berkaitan

dengan masalah tidur pada manula cenderung beragam dibandingkan pada

kalangan usia muda. Tidak hanya melingkup pola tidur, melainkan juga

peningkatan kejadian gangguan-gangguan tidur (Rafknowledge, 2004).

2
Pada sebagian besar kasus insomnia, inti permasalahannya adalah

emosional. Kegelisahan yang mendalam, kemarahan yang tak terkendali, situasi

sosial yang tak berpihak termasuk di antara yang memicu sulitnya tidur. Depresi

juga berkaitan erat dengan insomnia; mudah terbangun mendatangkan depresi

individual. Semua bisa meningkat frekuensinya seiring bertambahnya usia

(Rafknowledge, 2004).

Bertolak dari pemikiran dan latar belakang di atas penulis menganggap

perlu diketahui adanya perbedaan proporsi kejadian insomnia pada kelompok

remaja, dewasa dan lansia di RW I Desa Bener, Ngrampal, Sragen.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adakah perbedaan proporsi kejadian insomnia pada kelompok remaja,

dewasa, dan lansia di RW I Desa Bener, Ngrampal, Sragen.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi kejadian

insomnia pada kelompok remaja, dewasa, dan lansia di RW I Desa Bener,

Ngrampal, Sragen.

D. MANFAAT PENELITIAN

a). Manfaat Teoritis

3
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

perbedaan proporsi kejadian insomnia pada kelompok remaja, dewasa, dan

lansia di RW I Desa Bener, Ngrampal, Sragen.

b). Manfaat Praktis

Dengan mengetahui derajat insomnia diharapkan dapat membantu

menentukan langkah-langkah dalam upaya menangani kasus insomnia

dikalangan remaja,dewasa, dan lanjut usia.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

a. Kebutuhan Tidur

Kebutuhan tidur seseorang bervariasi, antara 4-6 jam sehari.

Kebutuhan ini sangat relatif tergantung pada umur, status mental, status fisik,

dan status sosial individu (Soejono, 1990). Makin muda usia,makin banyak

kebutuhan akan tidur. Pada bayi membutuhkan tidur sekitar 16 jam.

Sedangkan pada orang dewasa berkisar antara 4-8 jam sehari (Nanang, 1990).

Peningkatan kebutuhan tidur terjadi pada kerja fisik, latihan, penyakit,

kehamilan, stres mental, dan peningkatan aktivitas mental (Kaplan & Sadock,

1997).

Tidur mempunyai fungsi restoratif pada penyakit akut. Berdasarkan

sebuah penelitian, gangguan tidur akan menurunkan aktivitas natural killer

cell, menurunkan produksi T cell sitokin, dan menurunkan jumlah leukosit.

Kira-kira 70% hormon pertumbuhan akan disekresi selama tidur. Oleh karena

itu, sangat penting untuk pemeliharaan dan penyembuhan tubuh (Dracup &

Bryan, 2000).

Periode kekurangan tidur yang panjang kadang-kadang menyebabkan

disorganisasi ego, halusinasi, dan waham. Pasien yang kekurangan tidur REM

5
sering menunjukkan sikap mudah tersinggung dan letargi (Kaplan &

Sadock,1997).

Berdasarkan lamanya waktu tidur seseorang, ada 2 kelompok :

a. Short Sleepers

Adalah kelompok orang yang membutuhkan tidur kurang dari 6 jam

setiap malamnya (Nanang, 1990).

b. Long Sleepers

Adalah kelompok orang yang membutuhkan tidur lebih dari 9 jam

sehari (Nanang, 1990).

Secara fisik tidak ditemukan perbedaan 2 kelompok tersebut. Tetapi

secara perekaman EEG ditemukan perbedaan yang bermakna. Proses tidur

terjadi secara teratur dan menurut siklus tertentu. Siklus tersebut relatif sama

pada orang yang sehat (Nanang, 1990).

Tidur terdiri dari 2 keadaan fisiologis (Kaplan & Sadock,1997), yaitu :

1) NREM (Non Rapid Eye Movement)

Merupakan keadaan tidur dengan gerakan mata tidak cepat.

Sebagian besar fungsi fisiologis jelas menurun. Dalam keadaan tidur

NREM terjadi perubahan fisiologis tubuh diantaranya :

a) Respirasi lebih teratur.

b) Kecepatan denyut jantung menjadi lebih lambat 5 10

denyut permenit dibawah tingkat terjaga penuh dan sangat

teratur.

6
c) Tekanan darah juga cenderung rendah dengan sedikit

variasi dari menit ke menit.

d) Resting membrane potensial dari otot menjadi lebih rendah.

e) Penurunan tonus otot.

2) REM (Rapid Eye Movement)

Merupakan keadaan tidur dengan gerakan mata yang cepat.

Tidur REM berbeda secara kualitatif yang ditandai tingkat aktivitas

otak dan fisiologis yang aktif, hampir mirip dengan keadaan terjaga.

Adapun beberapa perubahan fisiologis yang terjadi selama tidur REM

antara lain:

a) Peningkatan pemakaian oksigen.

b) Respon pernafasan terhadap peningkatan kadar CO2

tertekan sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal

saat tekanan parsial CO2 (PCO2) meningkat.

Pada normal volunter akan mendapatkan 20% REM sleep.

Pada masa awal depresi, penderita tersebut ternyata mengalami difisit

REM sleep. Bila pemeriksaan dilakukan pada awal penyakit akan

terlihat jumlah REM sleep penderita depresi antara 0-10%. Biasanya

pendrita depresi yang mengalami REM sleep mimpi buruk dan

menakutkan sehingga terbangun. Dengan demikian jumlah REM sleep

7
akan berkurang dan frekuensi bangun di malam hari akan bertambah

(Yul Iskandar, 1985).

Penurunan tidur REM juga merugikan fungsi kognitif karena

dapat menyebabkan kesalahan memori dan kesulitan berkonsentrasi

(Dracup dan Bryan, 2000).

1. Stadium Tidur

Proses tidur terjadi secara teratur dan menurut siklus tertentu.

Siklus tersebut relatif sama pada orang yang sehat. Apa yang terjadi dalam

tidur dapat diterangkan melalui gambaran sel-sel otak selama tidur. Untuk

merekamnya, cara yang dipakai adalah dengan EEG

(Electroencephalogram) poligrafi. Dengan cara tersebut, aktivitas sel-sel

otak, gerakan bola mata, dan tonus otot dapat terekam. Dari rekaman EEG

yang normal didapatkan 4 jenis gelombang, yaitu gelombang Alfa, Beta,

Theta, dan Delta (Nanang, 1990).

Dalam tidur terdapat 4 stadium yang mana masing-masing stadium

mempunyai gambaran EEG yang karakteristik. Pada keadaan jaga

gambaran EEG didominasi oleh gelombang Alfa, gerakan bola mata

berkurang, dan tonus otot kadang-kadang meninggi (Nanang, 1990).

Stadium I

Biasanya terdiri dari gelombang campuran Alfa, Beta, dan kadang-

kadang Theta. Dalm stadium ini tidak terlihat aktivitas bola mata yang

8
cepat, sementara tonus otot menurun bila dibandingkan dengan stadium

jaga (Nanang, 1990).

Stadium II

Biasanya terdiri dari campuran gelombang Alfa, Beta, dan Delta.

Terdapat aktivitas bola mata yang cepat dan kadang-kadang terlihat

peningkatan tonus otot secara tiba-tiba. Hal ini menunjukkan bahwa otot-

otot belum seluruhnya berada dalam keadaan relaksasi (Nanang, 1990).

Stadium III

Dalam stadium ini, presentasi gelombang Delta antara 20% - 50%

(Nanang, 1990).

Stadium IV

Dalam keadaan ini, presentasi gelombang delta 50%, tidak

tampak aktivitas bola mata yang cepat, dan terjadi penurunan tonus otot

(Nanang, 1990).

Setiap orang normal akan memulai fase tidur dari fase relaks

tenang kemudian memasuki stadium I, stadium II, stadium III, dan

stadium IV. Setelah itu memasuki fase REM sleep dan berlahan-lahan

tidurnya menjadi berkurang dan kembali memasuki stadium I, stadium II,

dan seterusnya (Yul Iskandar, 1985). Waktu yang dibutuhkan antara

memejamkan mata sampai masuk tidur disebut Sleep latency (SL). Pada

keadaan normal waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari 5 menit (Soejono,

1990).

9
Pada kondisi normal, orang dewasa mamasuki stadium I dan II

dengan cepat dan mempunyai stadium tidur dalam stadium II dan IV yang

berbeda antara 70 100 menit. Setelah itu, timbul stadium REM yang

mempunyai gambaran EEG mirip dengan stadium tidur yang dangkal.

Kejadian antara siklus ini berulang dengan interval 90 menit. Semakin

menjelang pagi, tidur yang dalam semakin berkurang dan tidur REM

semakin bertambah (Nanang, 1990).

Dalam kondisi normal terjadi 4 6 kali periode tidur REM. Secara

keseluruhan periode tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan tidur

(Nanang, 1990).

2. Irama Tidur-Bangun

Tidur dipengaruhi oleh irama biologis. Dalam periode 24 jam,

orang dewasa tidur sekali, kadang-kadang dua kali. Irama tersebut tidak

terdapat saat lahir tetapi berkembang dalam dua tahun pertama kehidupan.

Pada beberapa wanita, pola tidur berubah selama fase siklus menstruasi.

Tidur sejenak (naps) yang dilakukan pada waktu berbeda di siang hari

adalah sangat berbeda dalam kandungan tidur REM dan NREM-nya. Pada

petidur malam hari yang normal, tidur sejenak yang dilakukan pada pagi

hari atau pada siang hari menagandung sejumlah besar tidur REM,

sedangkan tidur sejenak yang dilakukan pada petang hari atau menjelang

malam mengandung tidur REM yang jauh lebih sedikit. Tampaknya, suatu

10
irama sirkadian mempengaruhi kecenderungan memiliki tidur REM

(Kaplan & Sadock,1997).

3. Gangguan Tidur

Gangguan tidur yang termasuk gangguan tidur non-organik adalah:

a.) Dyssomnia

Merupakan kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya

adalah jumlah, kualitas atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal

emosional, misalnya: insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur-jaga

(Maslim, 2002).

b.) Parasomnia

Merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur;

(pada kanak-kanak hal ini terkait terutama dengan perkembangan anak,

sedangkan pada dewasa terutama pengaruh psikogenik), misalnya:

somnambulisme (sleepwalking), teror tidur (night terrors), mimpi buruk

(nightmares) (Maslim, 2002).

b. Insomnia

1. Pengertian

1) Menurut Ibrahim (2001)

Insomnia adalah gangguan tidur atau perubahan nyata yang dapat

dilihat pada pola tidur.

2) Menurut Widjaja (1997)

11
Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mepertahankan

tidur.

3) Menurut Aribowo (2001)

Insomnia dalah gangguan tidur yang dialami oleh penderita

dengan gejala-gejala selalu merasa lelah dan letih sepanjang hari dan

secara terus menerus (lebih dari 10 hari) mengalami kesulitan untuk

tidur atau selalu terbangun di tengah malam dan tidak dapat kembali

tidur.

4) Menurut Goldman (1997)

Insomnia adalah kesulitan untuk tidur baik itu kesulitan untuk

memulai tidur, kesulitan untuk kembali setelah terbangun di tengah

malam, maupun terbangun lebih awal dan tidak bisa tidur lagi.

5) Menurut Lumbantobing (2004)

Insomnia adalah persepsi yang tidak adekuat daripada kuantitas

dan kualitas tidur dengan akibat yang terkait di siang hari.

2. Macam Insomnia

Dari sisi etiologi, ada 2 macam insomnia (Turana, 2007) yaitu:

a.) Insomnia primer

Pada insomnia primer, terjadi hyperarousal state dimana terjadi

aktivitas ascending retikular activating system yang berlebihan. Pasien

bisa tidur tapi tidak merasa tidur. Masa tidur REM sangat kurang,

sedangkan masa tidur NREM cukup, periode tidur berkurang dan

12
terbangun lebih sering. Insomnia primer ini tidak berhubungan dengan

kondisi kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis lainnya, ataupun

penggunaan obat-obat tertentu.

b.) Insomnia sekunder

Insomnia sekunder disebabkan karena gangguan irama sirkadian,

kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis lainnya, atau reaksi

obat. Insomnia ini sangat sering terjadi pada orang tua. Insomnia ini

bisa terjadi karena psikoneurotik dan penyakit organik. Pada orang

denga insomnia karena psikoneurosis, sering didapatkan keluhan-

keluhan non organik seperti sakit kepala, kembung, badan pegal yang

mengganggu tidur. Keadaan ini akan lebih parah jika orang tersebut

mengalami ketegangan karena persoalan hidup. Pada insomina

sekunder karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau

kontinuitas tidurnya terganggu karena nyeri organik, misalnya

penderita arthritis yang mudah terbangun karena nyeri yang timbul

karena perubahan sikap tubuh.

Berdasarkan waktu terjadinya insomnia (Ibrahim, 2001) dibagi menjadi:

a.) Initial Insomnia

Yaitu kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya terdapat pada pasien

gangguan jiwa dengan anxietas.

b.) Middle Insomnia

13
Ditandai dengan seringnya terbangun di tengah malam dan kesulitan

untuk tidur kembali. Biasanya terdapat pada pasien depresi.

c.) Late Insomnia

Yaitu sering bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali.

Biasanya diketemukan pada pasien depresi.

Berdasarkan lamanya insomnia terbagi dalam tiga golongan besar, yaitu:

a.) Transient Insomnia / Insomnia Sekilas

Jika lamanya kurang dari 4 minggu. Biasanya terjadi pada orang yang

tidur secara normal, tetapi mengalami kesulitan tidur karena suatu

stres yang berlangsungnya tidak terlalu lama, misalnya pada

perjalanan jauh dengan kapal terbang yang melampau zona waktu

hospitalisasi (Rudi, 1988).

b.) Short Term Insomnia

Yaitu insomnia jangka pendek. Terjadi antara 4 minggu sampai 36

bulan. Sering dihubungkan denga stress. Situasional seperti duka cita,

kehilangan orang yang dicintai, menghadapi ujian/wawancara

pekerjaan (Kaplan & Sadock, 1997).

c.) Long Term Insomnia / Insomnia Kronik

Insomnia jangka panjang yang terjadi lebih dari 36 bulan, bahkan

sampai bertahun-tahun (Rudi, 1988).

Berdasarkan berat ringannya (Dohrmaji, 2006), insomia terbagi:

a.) Mild Insomnia

14
Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, tanpa atau

sedikit mengalami penurunan kualitas hidup.

b.) Moderate Insomnia

Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, di

sepanjang malam. Penderita insomnia jenis ini akan mengalami

penurunan kualitas hidup yang relatif sedang.

c.) Severe Insomnia

Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, di

sepanjang malam dan hampir di setiap hari. Biasanya diikuti dengan

penurunan beratkualitas hidup.

3. Epidemiologi

Angka insidensi insomnia berkisar 20 30 % dari populasi umum dalam

satu tahun. Lebih dari 50 % usia lanjut mengeluhkan kesulitan waktu tidur

malam (Lumbantobing, 2004). Kira-kira sepertiga dari semua orang

dewasa di amerika mangalami suatu jenis gangguan tidur selama hidupnya

(Kaplan & Sadock, 1997). Sedangkan Joyce Walsleben, Ph.D., Direktur

Pusat Tidur Bermasalah di Fakultas Kesehatan, Universitas New York,

Amerika Serikat, justru menilai, insomnia meningkat pada perempuan usia

44-45 tahun.

4. Faktor Penyebab

Faktor penyebab menurut Ibrahim N (2004):

15
a.) Problema situasi seperti adanya stress, tekanan pekerjaan, dan

ketidakselarasan perkawinan.

b.) Umur (insomnia lebih sering terjadi pada orang berusia di atas 60

tahun).

c.) Gangguan medik yang tidak bisa dielakkan umpamanya rasa sakit dan

ketidakenakan fisik.

d.) Serangan yang berhubungan dengan pemakaian obat, umpamanya

gejala lepas obat, alkohol, atau sedatif.

e.) Kondisi psikologis terutama gangguan jiwa berat sperti schizophren

dan gangguan afektif.

Turana Y (2007) menjelaskan ada beberapa faktor resiko insomnia, yaitu:

a.) Emosi (faktor psikologik)

Transient dan recurrent insomnia biasanya disebabkan oleh gangguan

emosi. Memendam kemarahan, cemas, ataupun depresi bisa

menyebabkan insomnia.

b.) Kebiasaan

Penggunaan kafein, alkohol yang berlebihan, tidur yang berlebihan,

merokok sebelun tidur dan stres kronik bisa menyebabkan insomnia.

Faktor lingkungan seperti bising. Suhu yang ekstrim, dan perubahan

lingkungan atau jet lag bisa menyebabkan transient dan recurrent

insomnia.

c.) Usia di atas 50 tahun

16
d.) Jenis kelamin

e.) Episode insomnia sebelumnya.

f.) Kondisi fisikyang mempengaruhi tidur:

Penyakit kronis yang menyebabkan nyeri (misalnya arthritis),

terbatasnya pergerakan (misalnya Parkinson), atau kesulitan bernafas.

5. Simptom

Simptom insomnia dapat meliputi salah satu atau lebih simptom di bawah

ini (Landis dan Moe, 2004):

1) Kesulitan tidur

2) Bangun tidur secara berkala saat malam hari dengan kesulitan

untuk kembal tidur

3) Bangun terlalu pagi di pagi hari

4) Tidur yang tidak menyegarkan (rasa lelah saat bangun dan selama

keseharian)

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

1) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,

atau kualitas tidur yang buruk

2) Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal

satu bulan

3) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan

peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan

sepanjang siang hari

17
4) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur

menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi

fungsi dalam sosial dan pekerjaan

6. Akibat

Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan merasa mengantuk yaitu

penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan

kemungkinan kecelakaan, resiko morbiditas dan mortilitas lebih tinggi,

penurunan kualitas hidup (Rafknowledge, 2004).

Sedangkan menurut Turana Y (2007) efek insomnia adalah sebagai

berikut :

1) Efek fisiologis.

Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stres, terdapat

peningkatan noradrenalin serum, peningkatan Adrenocorticotropic

hormone (ACTH) dan kortisol, juga penurunan produksi

melatonin.

2) Efek psikologis.

Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi,

kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.

3) Efek fisik/somatik.

Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.

4) Efek sosial.

18
Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah

mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa

menikmati hubungan sosial dan keluarga.

5) Kematian.

Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka

harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam.

Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi

insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena

high arousal state yang terdapat pada insomnia mempertinggi

angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari

penyakit. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki

kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu

lintas jika dibandingkan dengan orang normal.

c. Usia

Sumiati (cit. Mutiara, 2003), membagi periodisasi biologis

perkembangan manusia sebagai berikut :

0 - 1 tahun = masa bayi

1 - 6 tahun = masa pra sekolah

6 - 10 tahun = masa sekolah

10 - 20 tahun = masa pubertas

20 - 40 tahun = masa dewasa

19
40 - 65 tahun = masa setengah umur (Prasenium)

60 tahun ke atas = masa lanjut usia (Senium).

Jos Masdani (cit. Mutiara, 2003), mengatakan usia lanjut merupakan

kelanjutan dari usia dewasa.Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian :

1. Fase iuventus = 25 40 tahun.

2. Fase verilitas = 40 50 tahun.

3. Fase prasenium = 55 65 tahun.

4. Fase senium = 65 tahun hingga tutup usia.

Koesoemato Setyonegoro (cit. Mutiara, 2003), mengelompokkan usia

lanjut sebagai berikut

1. Usia dewasa muda (Elderly Adulhood) = 18/20 25 tahun.

2. Usia dewasa penuh (Middle Years) = 25 60/65 tahun.

3. Usia lanjut (Geriatric Age) = > 65/70 tahun ; terbagi :

a. untuk umur 70 75 tahun (Young Old)

b. untuk umur 75 80 tahun (Old)

c. untuk umur > 80 tahun (Very Old)

Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan

bahwa yang disebut usia lanjut adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke

atas (cit. Mutiara, 2003).

d. Kejadian Insomnia di Berbagai Usia

1. Insomnia yang terjadi pada remaja-dewasa muda

20
Tidur pada remaja dewasa muda (16-30 th.) mempunyai pola

yang berbeda dibandingkan usia lainnya. Ini disebabkan oleh perubahan

hormonal yang terjadi di akhir masa pubertas. Pada masa ini mereka

mengalami pergeseran irama sirkadian, sehingga jam tidur pun bergeser

(Prasadja, 2006).

Secara umum kebutuhan tidur meningkat menjadi 8,5-9,25 jam

setiap harinya. Tetapi waktu tidurnya berubah, rasa kantuk baru menyerang

sekitar tengah malam, dimana orang lain sudah tertidur. Saat orang lain

mulai mengantuk pada pukul 21:00 atau 22:00, orang muda justru baru

bersemangat untuk berkarya, baik itu belajar atau menyelesaikan pekerjaan.

Sementara di pagi hari sudah harus bangun awal untuk mempersiapkan diri

ke sekolah, kuliah atau bekerja. Secara umum, orang muda sebenarnya

mengalami kekurangan tidur, sehingga banyak diantara mereka yang

tertidur di kelas atau terkantuk-kantuk di kantor. Belum lagi karena tuntutan

sosial yang menggoda untuk bermain hingga larut, bahkan pagi hari.

Sebuah tarik pendapat yang dilakukan di Amerika oleh National

Sleep Foundation mendapatkan bahwa:

1 Lebih dari sepertiga (36%) dewasa muda usia 18-29 tahun dilaporkan

mengalami kesulitan untuk bangun pagi (dibandingkan dengan 20%

pada usia 30-64 tahun dan 9% di atas usia 65 tahun).

21
2 Hampir seperempat dewasa muda (22%) sering terlambat masuk kelas

atau bekerja karena sulit bangun (dibandingkan dengan 11% pada

pekerja usia 30-64 tahun dan 5% di atas usia 65 tahun).

3 Empat persen dewasa muda mengeluhkan kantuk saat bekerja

sekurangnya 2 hari dalam seminggu atau lebih (dibandingkan dengan

23% pada usia 30-64 tahun dan 19% di atas usia 65 tahun) (Prasadja,

2006).

2. Insomnia pada usia dewasa

Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur selama

masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa

mengalami kesukaran tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah

serius (Japardi, 2002).

Pada orang dewasa, untuk mencapai kualitas tidur yang baik

umumnya memang diperlukan jam tidur sekitar delapan jam per malam.

Meski pada orang-orang tertentu dengan jam tidur hanya dua jam, pun

tetap bisa produktif dan pola ini tergolong wajar (Nariswari, 2008).

Pada kondisi normal, seorang dewasa memasuki stadium 1 dan 2

dengan cepat dan mempunyai stadium tidur dalam (stadium 3 dan 4) yang

berkisar antara 70 - 100 menit. Setelah itu timbullah stadium REM yang

gambaran EEG nya mirip dengan stadium tidur yang dangkal. Kejadian

atau siklus ini berulang dengan interval waktu 90 menit. Semakin

22
mendekat ke pagi hari, tidur yang dalam semakin berkurang dan tidur

REM semakin bertambah. Dalam kondsi normal, terjadi 4 6 kali periode

tidur REM. Secara keseluruhan periode tidur REM meliputi 25% dari

keseluruhan tidur (Musadik, 1988).

3. Insomnia pada lanjut usia ( 60 tahun)

Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita dan pada kelompok

usia lebih lanjut. Lebih dari 50% usia lanjut mungkin mengeluhkan

kesulitan waktu tidur malam (Lumbantobing, 2004).

Perubahan-perubahan ini berbarengan dengan perubahan fisik lain.

Umumnya dorongan homeostatik untuk tidur lebih dulu menurun, baru

diikuti oleh dorongan irama sirkadian untuk terjaga. Sehingga kita sering

melihat orang tua yang sebelumnya menderita insomnia, tapi setelah

lanjut usia adalah insomnia sekunder. Insomnia ini bisa terjkadi karena

psikoneurosis dan penyakit organik (Turana, 2007).

Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami

waktu tidur dalam (delta sleep) lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1

dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan

penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye

movement (REM) (Rahayu, 2006).

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur

normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang.

Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon

23
dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol

dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di

waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan

temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon

yang disekresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur,

menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

24
B. KERANGKA PEMIKIRAN

RESPON PENYESUAIAN

RESPON TIDAK BAIK / RESPON BAIK /


ADA PROBLEM / NORMAL
GANGGUAN MENTAL

INSOMNIA TIDAK INSOMNIA

C. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan proporsi kejadian insomnia pada kelompok remaja,

dewasa, dan lansia di RW I Desa Bener, Ngrampal, Sragen.

25
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis Penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor

resiko) dengan variabel tergantung yang diobservasi hanya sekali pada saat

yang sama (Taufiqurohman, 2004).

B. LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RW I Desa Bener, Kecamatan Ngrampal,

Kabupaten Sragen.

C. SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini mengambil subjek orang yang mempunyai usia 10 tahun

keatas. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yang mempunyai kriteria,

yaitu :

1. Kriteria inklusi:

a. Pria dan wanita usia 10-24tahun

b. Pria dan wanita usia 25-59 tahun

c. Pria dan wanita usia 60 tahun

2. Kriteria eksklusi:

26
a. Sedang menderita penyakit.

b. Sedang menderita gangguan jiwa berat (psikiatri).

D. TEKNIK SAMPLING

Penelitian ini mengambil sampel dengan cara simple random sampling,

yaitu metode mencuplik sampel secara acak di mana masing-masing subjek atau

unit dari populasi memiliki peluang sama dan independen untuk kepilih ke

dalam sampel (Murti, 2006).

Dengan jumlah sampel penelitian dicari dengan rumus sebagai berikut :

Z 21 - / 2 p q
n
d2
(1,96) 2 . 0,30 . 0,70
n
(0,10) 2
80,6736

Jadi, jumlah sampel penelitian yang digunakan adalah 81 orang.

E. IDENTIFIKASI VARIABEL

1. Variabel bebas

Pria dan wanita usia 10 tahun keatas

2. Variabel terikat

Darajat insomnia

3. Variabel luar

a. Faktor Internal

27
Genetik, gangguan psikologis, penyakit medis, irama biologis

b. Faktor Eksternal

Kondisi tempat, penerangan, suhu lingkungan, rutinitas harian,

kebiasaan.

F. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Variabel Bebas

Subjek penelitian yang digunakan yaitu yang mampunyai umur 10 tahun

keatas. Dengan pembagian sebagai berikut:

a. Remaja dan dewasa muda : usia 10-25 tahun (Mutiara, 2003).

b. Dewasa : 25-60 tahun (Mutiara, 2003).

c. Lanjut usia : 60 tahun (Mutiara, 2003).

Skala pengukurannya adalah ordinal.

2. Variabel Terikat

Insomnia dapat ditentukan dengan kuesioner Insommnia

RatingScale.Derajat Insomnia yang dipakai KSPBJ Rating Scale adalah:

1). No Insomnia : <8

2). Mild Insomnia : 8-13

3). Moderate Insomnia : 13-18

4). Severe Insomnia : >18

Dinyatakan insomnia jika skor Insomnia Rating Scale 8 dan tidak

insomnia jika skor Insomnia Rating Scale < 8. Data yang didapat adalah

28
insomnia dan tidak insomnia. Dengan demikian skala datanya adalah

nominal.

G. TEKNIK ANALISA DATA

1. Uji Chi Square (X2)

Uji analisis yang digunakan adalah chi square (X2). Chi square adalah

teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi

terdiri atas dua atau lebih klas, data berbentuk kategori dan sampelnya besar

N(ad - bc)
Rumus dasar chi square adalah : X2 =
(a b)(c d)(a c)(b d)

Keterangan : X2 = chi square

N = sampel

a,b,c,d = frekuensi yang diharapkan dari populasi

Interpretasi nilai X2 sebagai berikut :

1). Derajat kebebasan untuk nilai-nilai X2 adalah 1

2). Taraf signifikasi yang dipakai adalah 5%, dengan ketentuan jika Xo

(Xhitung)2 > Xh (Xtabel)2 5 %, maka nilai X2 kita katakan signifikan.

Sebaliknya jika Xo (Xhitung)2 < Xh (Xtabel)2 5%, maka nilai X2

dikatakan non signifikan.

Dengan : Xo = chi square yang diperoleh.

Xh = chi square yang diharapkan.

29
(Sugiono, 2005)

2. Uji Anova

Uji anova digunakan untuk membandingkan perbedaan lebih dari dua


kelompok (Budiarto, 2002).

H. INSTRUMENT PENELITIAN

Dalam penelitian ini ada beberapa instrumen yang akan digunakan yaitu:

1. Data Identitas Responden

2. Skala L-MMPI (Lie-Minnesota Multiphasic Personality Inventory)

Merupakan skala validitas yang berfungsi mengidentifikasi hasil

yang mungkin invalid karena kesalahan subjek penelitian. Nilai batas skala

asalah 10. Artinya, apabila responden mempunyai nilai 10, maka data hasil

penelitian dari responden tersebut dinyatakan invalid.

3. Insomnia Rating Scale

Sebagai alat pengukur tergatung yaitu insomnia adalah Insomnia

Rating Scale yang telah dibakukan oleh KSPBJ (Kelompok Studi Psikiatri

Biologi Jakarta) yang telah dikenal sebagai KSPBJ Insomnia Rating Scale

yang terdiri dari 8keluhan gangguan tidur yang dianggap cukup untuk

melengkapi semua keluhan tidur (Yul Iskandar, 1985).

Derajat insomnia yang dipake KSPBJ Rating Scale adalah:

a. No Insomnia : <8

b. Mild Insomnia : 8-13

30
c. Moderate Insomnia : 13-18

d. Severe Insomnia : >18

I. CARA KERJA DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Responden mengisi biodata

2. Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mengetahui angka

kebohongan sampel. Bila didapatkan angka lebih besar atau sama dengan 10

maka responden invalid dan dikeluarkan dari sampel penelitian.

3. Responden mengisi kuesioner insomnia untuk mengetahui derajat insomnia.

Pengukuran insomnia adalah dengan menggunakan kuesioner Insomnia

Rating Scale. Responden dinyatakan insomnia bila skor Insomnia Rating

Scale yang diperoleh 8 dan tidak insomnia bila skor Insomnia Rating Scale

yang diperoleh <8.

31
J. SKEMA PENELITIAN

Subjek penelitian yang telah memenuhi


kriteria inklusi dan eksklusi

REMAJA DEWASA LANSIA

L-MMPI L-MMPI L-MMPI

INSOMNIA RATING INSOMNIA RATING INSOMNIA RATING


SCALE SCALE SCALE

Insomnia Tidak Insomnia Tidak Insomnia Tidak


Insomnia Insomnia Insomnia

UJI STATISTIK

32
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari-Februari terhadap

90 subyek penelitian di RW I desa Bener, Ngrampal yang terdiri dari 30 remaja,

30 dewasa, dan 30 lansia. Dari jumlah tersebut yang diikutsertakan dalam

penelitian selanjutnya yaitu untuk usia remaja yang memenuhi syarat sebanyak

27 orang karena 3 subyek penelitian tidak lulus tes L-MMPI,dan untuk usia

dewasa yaitu 29 orang yang telah memenuhi syarat karena 1 subyek penelitian

tidak lulus tes L-MMPI, sedangkan untuk lansia yaitu 25 orang yang telah

memenuhi syarat karena 5 orang tidak lulus tes L-MMPI. Sehingga dari jumlah

tersebut total responden yang memenuhi skala L-MMPI yakni 81 responden.

Tabel. 1 Distribusi responden remaja,dewasa, dan lansia

No Responden Jumlah Prosentase

(orang) (%)

1. Remaja 27 33,34

2. Dewasa 29 35,80

3. Lansia 25 30,87

Jumlah 81 100

33
Berdasarkan table di atas, jumlah responden terbanyak adalah dewasa,

yaitu sebanyak 35,80% dari seluruh responden

Tabel. 2 Distribusi frekuensi insomnia (+) dan insomnia (-)

No Responden Nominal Prosentase (%)

1. Insomnia (+) 46 56,79

2. Insomnia (-) 35 43,21

Jumlah 81 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa insomnia warga masyarakat Desa Bener

RW I tergolong tinggi yaitu 56,79% dari jumlah responden yang ada.

Tabel. 3 Distribusi frekuensi insomnia pada usia remaja, dewasa, dan lansia

No Responden Insomnia Prosentase (%)

1. Remaja 12 26,09

2. Dewasa 16 34,78

3. Lansia 18 39,13

Jumlah 46 100

Berdasarkan tabel 3, angka insomnia pada lansia ternyata lebih tinggi

yaitu sebesar 39,13 % dari jumlah responden yang mengalami insomnia.

34
Tabel. 4 Distribusi responden yang mengalami insomnia berdasarkan

klasifikasi insomnia

Tingkatan Insomnia

No Responden Mild Moderate Severe Jumlah

1. Remaja 11 1 - 12

2. Dewasa 14 2 - 16

3. Lansia 10 8 - 18

Jumlah 35 11 - 46

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 46 orang yang mengalami insomnia,

35 orang tersebut masuk dalam klasifikasi mild insomnia.

B. ANALISA DATA

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji chi square

untuk mengetahui perbedaan proporsi kejadian insomnia pada remaja, dewasa,

dan lansia di Rw I Bener, Nrgampal Kabupaten Sragen.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji kai Kuadrat didapatkan

35
X2 hitung sebesar 10,80 dimana nilai ini lebih kecil daripada X2 tabel sebesar

12,592 dengan derajat kebebasan sebesar 1 pada tingkat kemaknaan 0,05.

Dengan demikian Ho diterima sedangkan Ha ditolak sehingga dapat dinyatakan

bahwa tidak ada perbedaan proporsi insomnia pada remaja, dewasa, dan lansia

di RW I Desa Bener.

Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan Uji Anova untuk

mengukur scor rata-rata insomnia pada remaja, dewasa, dan lansia. Didapatkan

F hitung sebesar 4,100, dimana harga F tabel lebih kecil 3,114 maka Ho ditolak

dan Ha diterima atau dikatakan ada perbedaan scor rata-rata insomnia pada

remaja, dewasa, dan lansia.

Dengan demikian dapat dikatakan proporsi insomnia pada remaja,

dewasa, dan lansia di Desa Bener Rw I tidak terdapat perbedaan yang signifikan

tetapi didapatkan perbedaan yang signifikan pada scor rata-rata insomnia pada

remaja, dewasa, dan lansia, dimana lansia menduduki scor rata-rata paling

tinggi.

36
BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisa data yang diuji dengan uji chi square

didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara proporsi kejadian insomnia pada

remaja, dewasa, dan lansia, karena X2 =10,80. Tetapi berdasarkan nilai scor rata-rata

yang diuji dengan uji anova didapatkan perbedaan nilai scor rata-rata insomnia

dimana kelompok lansia mempunyai nilai rata-rat yang paling tnggi. Di dalam teori

sebelumnya dikatakan bahwa kejadian insomnia lebih cenderung meningkat pada usia

lebih dari 60 tahun.

Insomnia adalah kesulitan untuk tidur baik itu kesulitan untuk memulai

tidur, kesulitan untuk kembali tidur setelah terbangun ditengah malam, maupun

terbangun lebih awal dan tidak bisatidur lagi (Goldman, 1997). Faktor penyebab

insomnia menurut Ibrahim N (2004): 1) Problema situasi seperti adanya stress,

tekanan pekerjaan, dan ketidakselarasan perkawinan. 2)Umur (insomnia lebih sering

terjadi pada orang berusia di atas 60 tahun). 3) Gangguan medik yang tidak bisa

dielakkan umpamanya rasa sakit dan ketidakenakan fisik. 4) Serangan yang

berhubungan dengan pemakaian obat, umpamanya gejala lepas obat, alkohol, atau

sedatif. 5) Kondisi psikologis terutama gangguan jiwa berat sperti schizophren dan

gangguan afektif.

Karena faktor usia merupakan salah satu penyebab terjadinya insomnia.

Maka lansia dapat dikatakan mempunyai resiko tinggi untuk mengalami insomnia.

37
Hal ini disebabkan karena kebutuhan tidur untuk tiap-tiap umur berbeda-beda. Pada

remaja membutuhkan waktu untuk tidur 8,5-9,5 jam, orang dewasa membutuhkan

tidur 6-8 jam. Dan semakin dia berumur atau tua, maka semakin sedikit kebutuhan

tidurnya. Dengan kata lain, dia akan kian sulit memejamkan mata dan tidak dapat

tidur untuk waktu yang relatif lama (Elmeida, 2008). Selain itu juga disebabkan oleh

karena pada usia lanjut terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu

menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian

yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan

selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan

temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan

GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin,

hormon yang disekresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun

dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

Dari 46 responden yang mengalami insomnia 35 orang termasuk dalam

klasifikasi mild insomnia. Mild insomnia merupakan salah satu jenis insomnia

dimana pasiaen mengalami kesulitan tidur (Ibrahim, 2001). Dengan demikian

sebagian besar lansia mengalami insomnia kemungkinan penyebabnya berhubungan

dengan kecemasan terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Stres adalah segala

masalah atau tuntutan penyesuaian diri dan karena itu sesuatu yang mengganggu

keseimbangan kita yang bila kita tidak dapat mengatasinya dengan baik maka akan

muncul gangguan badan ataupun gangguan jiwa (Maramis, 1998). Stres

menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia

38
beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, Rathus, Greene, 2005). Stres adalah satu

tanggapan penyelesaian, diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu atau proses

psikologi akibat dari setiap tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang

menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan seseorang (Gibson,

Donnely, Ivancevich, 1997).

Sesuai kerangka pemikiran yang telah diutarakan sebelumnya, respon

penyesuaian yang baik atau tidak adanya permasalahan dan gangguan mental maka

tidak akan terjadi insomnia pada individu tersebut. Sedangkan didapatkannya hasil

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara proporsi pada remaja, dewasa,dan

lansia mungkin dikarenakan jumlah sampel yang terlalu kecil.

Hasil penelitian ini relatif dapat dipercaya dengan dilakukannya proses

sertriksi dalam penelitian. Tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut mengingat adanya

kekurangan dalam penelitian ini antara lain sampel yang hanya berjumlah 90 dan

waktu yang kurang memadai. Selain itu, dengan tidak ditelitinya variabel-variabel

luar yang ikut berpengaruh dalam kejadian insomnia seseorang. Serta kesalahan dan

ketidaktelitian dalam cara kerja dan teknik pengumpulan data.

39
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara proporsi pada kelompok remaja, dewasa, dan

lansia di RW I Bener Ngrampal Sragen. Tetapi bila dilihat dari nilai rata-rata scor

insomnia, lansia mempunyai nilai yang paling tinggi

B. SARAN

1. Dengan melihat angka insomnia yang tergolong tinggi tersebut perlu adanya

perhatian terhadap masalah ini.

2. Perlu adanya upaya mengetahui penyebab yang pasti dari insomnia yang

dialami oleh usia lanjut untuk menentukan penanganan lebih lanjut.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap angka insomnia dan

penyebabnya dengan jumlah sampel yang besar dan metode pengukuran yang

lebih baik dan teliti.

40
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, H. 1990. Pengalaman Klinik Penderita Insomnia dengan Triazolam, dalam


Kumpulan Makalah Seminar Gangguan Tidur Pada Masyarakat Modern
Semarang, IDAJI. Pp : 63-69.

Aribowo, P. 2001. Mengatasi Insomnia.


http://www.Sinarharapan.com (4 Oktober 2008).

Barlow DH, Durand V. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Cetakan I. Jakarta:


pustaka pelajar.

Elmeida, Effendy. 2008. Insomnia Jangan Dibiarkan Berlarut-larut.


http;//www.medanbisnisonline.com. ( Sabtu, 25 April 2009).

Hawari, D. 2006. Manajemen Stres, cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Harvey, A.G., Pre-Sleep Cognitive Activity : A Comparison of Sleep-Onset


Insomniacs and Good Sleepers. British Journal of Clinical Psychology,
September 2000, Vol : 39. Pp : 275-286.

Hurlock, Elizabeth. 1990. Psikologi Perkembangan edisi kelima Erlangga Jakarta

Ibrahim N. 2001. Symptomatollogi Psikiatri Surakarta. Fakultas Kedokteran UNS


Surakarta.Pp:68-69.

Japardi, Iskandar. 2002. GangguanTidur.


http://www.library.usu.ic/download/japardi12.pdf. (7 November 2008).

Kaplan, H.I.& Sadock, B.J., 1997. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2, edisi VII. Jakarta,
Binarupa Aksara. Pp : 194-201.

Landis, C. A. dan Moe, K.E. 2004. Sleep and Menopause. Mar;39(1):97-115.


www.pubmed.com (17 September 2008).

Lumbantobing , 2004. Ganngguan TIdur. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.


Mangoenprasodjo. 2004. Kiat Memasuki Masa Paruh Baya Tanpa Was-Was
dan Cemas. Yogya: Thinkfresh.

41
Mansjoer,Arif, dkk. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Jilid 2, Edisi III. Jakarta:
Media Aeskulapis FK UI

Maramis, W.F.1998. Gangguan Psikiatrik yang Khusus, dalam Catatan Ilmu


Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Pp : 404-412.

Murti, Bhisma. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pp : 58-65.

Musadik, Keja.1988. Patofiologi Gangguan Tidur.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/53_10_PatofisiologiGangguanTidur.pdf
/53_10_PatofiologiTidur.html (4 Oktober 2008).

Mutiara, Erna. 2003. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia.


http://www.library.usu.ac.iddownloadfkmfkm-erna%20mutiara.pdf.
(10November 2008).

Nanang, A.P. 1990. Fisiologi dan Arti Tidur Dalam Kehidupan Sehari-hari, dalam
Kumpulan Makalah Seminar Gangguan Tidur Pada Masyarakat Modern.
Semarang, IDAJI. Pp : 1-5.

Prasadja. 2006. Pola Tidur Remaja-Dewasa Muda.


http://sleepclinicjakarta.tblog.com/post/19698905222 (4 Oktober 2008).

Rafknowledge. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur lainnya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.Pp: 57-65.

Rahayu. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3, Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, pp: 1350-1355.

Rudy,S.1990.Psikopatologi, Klasifikasi, dan Etiologi Insomnia,dalam Kumpulan


Makalah Seminar Gangguan Tidur Pada Masyarakat.

Syamsuddin.2008. Mencapai Optimum Aging pada Lansia.


http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=797 ( 8
Mei 2009).

Soejono, P.1990. Insomnia Pada Adolesen (Remaja), dalam Kumpulan Makalah


Seminar Gangguan Tidur Pada Masyarakat Modern. Semarang, IDAJI. Pp :
35-59.Modern,IDAIJ.Pp:17-29.

42
Sugiono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta.

Taufiqurohman MA. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan.


Klaten: CGSF(The Community of Self Help Ggroup Forum),pp:62-68.

Townstend, Mary. 2005. Essentials of psichiatrc Mental Health nursing. Third


Edition. Philadelphia: F.A.Danis Company.

Turana,Yudha. 2007. Gangguan Tidur:Insomnia.


http://www.medikaholistik.com (19 September 2008).

Widjaja, K. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dan Anti Depresan, dalam Psikiatri


Biologik. Vol ii. Jakarta, Yayasan Dharma Graha. Pp : 14-17.

Yul, Iskandar. 1985. Insomnia, Anxietas, dan Depresi. Dalam: psikiari Biologi,Vol II.
Jakarta: Yayasan Dharma Graha. Pp:37-41.

43
44

Anda mungkin juga menyukai