Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

Dispepsia Fungsional

Johanes Mayolus Davy Putra

10-2010-197

BP1

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Johanes_davy@yahoo.com

Pendahuluan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu
semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau
bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang
dispepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort
centered in the upper abdomen.

Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000. Jadi dispepsia bukanlah
suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya. Secara garis
besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit
organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll ) dan kelompok dimana
sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat memperlihatkan
adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain, kelompok ini
disebut sebagai gangguan fungsional.

1
Anamnesis

Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik
keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi gangguan
sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan antara dokter
dan pasien yang dihadapinya. Pada anamnesis perlu ditanyakan :

o Identitas dan pekerjaan

o Umur

o Jenis kelamin

o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan

o Riwayat penyakit sekarang

o Riwayat penyakit dahulu

o Riwayat keluarga

o Riwayat sosial

o Riwayat obat yang sudah digunakan

Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :

Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri

Epigastrium gaster, pankreas, duodenum

Periumbilikus usus halus, duodenum

Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu

Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal

Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah terutama di
Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya
harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat
tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada
esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis.

2
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut,
intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai
dengan urutan penyakit berikut : perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi
ileus, kolesistis, apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik
banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.3

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien.
Dokter tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat
sehingga tindakan terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal. Pada dasarnya
langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik
atau biokimiawi.

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen
yang padat ( misalnya tumor ), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya
rangsang peritoneal/ peritonitis. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
faktor infeksi ( lekositosis ), pankreatitis ( amilase, lipase ), keganasan saluran cerna ( CEA,
CA19-9, AFP ). Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intra
abdomen, misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati dan sebagainya.
Pemeriksaan endoskopi ( esofagogastroduodenoskopi ), pemeriksaan ini sangat dianjurkan
untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms
yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada
usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik, terutama
keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural/ organik intra lumen saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta dapat disertai
pengambilan contoh jaringan ( biopsi ) dari jaringan yang dicurigai memperoleh gambaran
histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman
Helicobacter pylori.

Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan
untuk mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada

3
kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat
melewatinya. Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau
tidak spesifik karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan
gambaran yang tepat dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab
penyakit. Tetapi pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi
dispepsia yang disertai alarm symptoms.1

Diagnosis

Working Diagnosis ( WD )

Dispepsia fungsional

Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab tindakan-
tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita. Untuk
lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan kejiwaan
penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik. Pemeriksaan fisik
dan laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia fungsional.

Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang diagnostik,
akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat fungsional. Dalam
konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang kelainan
gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi


saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.

Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya
penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm
symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang persisten,
maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan
pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya.1,3

4
Different Diagnosis

Dispepsia organik

Diagnosis ditegakkan pada dispepsia organik jika pada penunjang diagnostik ditemukan
kelainan struktural organik maupun biokimiawi. Dispepsia organik meliputi ;

1. Gastritis

Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Infeksi
kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat penting.
Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori secara garis
besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan gastritis kronik
atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi antrum adalah inflamasi
moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi di korpus ringan atau tidak sama
sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya
asimptomatis, tetapi mempunyai resiko menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi
multifokal mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh
mukosa, seringkali sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah
antrum dan korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting
displasia epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering
dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau sering
disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan dikuti anemia
pernisiosa dan defisiensi besi.

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah
nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-
keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-keluhan tersebut
juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisis
juga tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untun menegakkan diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya
biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan
mencantumkan topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema,
eksudatif, flat-erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan

5
histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan
proses yang mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan
perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil,
inflamsai sel mononuklear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel
endokrin, kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan
pemeriksaan kuman Helicobacter pylori.2

2. Tukak peptik

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung ( TL ) dan tukak duodenum ( TD )


merupakanpenyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam kelompok umur
diatas 45 tahun.

Tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek mukosa/ submukosa yang
berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat
terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan
lebih dalam dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis.

Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif yang
dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung dan
duodenum.

Secara umum pasien tukak biasanya mengeluh sindrom dispepsia, berupa nyeri dan rasa tidak
nyaman ( discomfort ) pada epigastrium. Memiliki periode remisi dan eksaserbasi.

Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit membangunkan
pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida ( Hunger Pain
Food Relief / HPFR ). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda dengan tukak
duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit
tukak duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing
sign ) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit
bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas.
Muntah kadang timbul pada tukak peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal
pilorik ( obstruksi gastric outlet ). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric
outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis/ oedem dan spasme.1

6
Etiologi

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna,
tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai
penyakit maag/ lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik,
kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan
gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal ( tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa
penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula bermanifest dalam bentuk sindroma
dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak ( inferior
iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya. Bersifat fungsional
jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan
organik/ struktural biokimia.2,3

Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis


terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi,
hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya
gangguan psikologik atau psikiatrik.

Sekresi Asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa
tidak enak diperut.

Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti
dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang

7
sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.

Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan


pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah satu
dari keadaaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia
fungsional, tetapi tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan
pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya
abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, disamping juga ditemukannya
disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga yang mendasari perbedaan
pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir pengobatan yang akan diambil. Pada kasus
dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan
keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas
terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan
berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan
akomodasi lambung waktu makan. Pada keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung
terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung.
Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan
relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya
pembagian subgrup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe
campuran.

Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik
dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas
viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih
belum dipahami. Penelitian dnegan menggunakan balon intargastrik didapatkan hasil bahwa
50% populasi dsipepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada
inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa
nyeri pada populasi kontrol.

8
Disfungsi autonom

Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal pada


kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa


tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi hal ini
bersifat inkonsisten.

Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

Diet dan faktor lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional
dibandingkan kasus kontrol.

Psikologis

Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan
kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada
kasus dispepsia fungsional terdapat adanya masa kecil yang kurang bahagia atau adanya
gangguan psikiatrik.1-4

9
Manifestasi Klinis

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup
didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam
hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )

Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas
( dismotility like dyspepsia )

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.

Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh


gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.1

Penatalaksanaan

Non-medikamentosa

Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya dietetik
kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan
secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan
pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi
lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan
sampai menurunkan/ mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang,
dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.1,4

Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:

1. Atur pola makan

2. Olah raga teratur

3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,
keju, dll )

10
4. Hindari makanan yang terlalu pedas

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok

6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung

7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin.

Medikamentosa

Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,
merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan menurunkan
aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung 4 dan merupakan suatu basa lemah.

Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin H2

Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar ganda,
didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada
dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan manfaat
terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian,
dan juga kemungkinan masuknya kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya
manfaatnya untuk menghilangakn rasa nyeri ulu hati.

Penghambat pompa proton ( PPI )

Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional. Respons
baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan sekresi asam
lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana asam sehingga harus
diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi bersama H2 reseptor antagonis
dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole dan rabeprazole.

Sitoproteksi

Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.

Prokinetik

11
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride 9 agonis
reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan cisapride
mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri epigastrik,
cepat kenyang, distensi abdomen dan mual.

Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas
studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.

Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis
memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada
pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya
efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga
pemakaiannya berada dalam pengawasan.

Obat lain lain

Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional, mebuka peran
obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri. Dalam beberapa
penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat menurunkan
keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.

Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi pada
volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia fungsional,
walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan agonist 5-HT1 (
sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki rasa
keluhan cepat kenyang setelah makan.5

Psikoterapi

Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan manfaatnya


pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.

Komplikasi

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi yang
tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding lambung yang
dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila

12
keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan
komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Muntah
darah ini sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan
mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan
awal.Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang
mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

Pencegahan

Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan
memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung. Berikut ini adalah modifikasi gaya
hidup yang dianjurkan untuk mengelola danmencegah timbulnya gangguan akibat dyspepsia.

1. Atur pola makan seteratur mungkin.

2. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung(coklat,


keju, dan lain-lain).

3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang,


melon,semangka, dan lain-lain).

4. Hindari makanan yang terlalu pedas.

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

6. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obatanti- inflammatory, misalnya
yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen.

Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan
iritasi pada dinding lambung.

7. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.

8. Jika anda perokok, berhentilah merokok.

9. Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.

10. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalubanyak,
terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makansesaat sebelum
olahraga.

13
11. Pertahankan berat badan sehat

12. Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untukmengurangi
stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.

13. Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatandispepsia. Baik itu antasid, PPI,
penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas.

Prognosis

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.1-3

Kesimpulan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia
fungsional didarakan pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan
penunjang baku dapat disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam
kelompok penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan
multifaktorial, diaman tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas
viseral. pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang
disertai alarm symptoms. Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas
patogenesisnya, serta lebih kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan
pengobatan berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih
diperdebatkan manfaatnya.

14
Daftar pustaka

1. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 533.

2. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Alih bahasa, Braham U, Pendit dkk. Editor
edisi bahasa indonesia, Huriawati H. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis penyakit. Edisi
6. EGC. Jakarta; 2005 : 235-40

3. Fauci et all. Harissons priciples of internal medicine. 17 th ed. USA : McGraw-Hill


Companises; 2008 : 2575-590

4. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ; 2004 :


325-40

5. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Edisi- 5. FKUI. Jakarta ;
2005 : 820-5

15

Anda mungkin juga menyukai