Anda di halaman 1dari 19

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Titanium Dioksida

Titanium dioksida (TiO2) atau biasa disebut Titania atau Titanium (IV) oksida

merupakan bentuk oksida dari titanium. Senyawa TiO2 merupakan padatan berwarna

putih, mempunyai berat molekul 79,90; densitas 4,26 g/cm3 (Cotton et al., 1988),

material non-toxic yang secara kimia dan mekanik bersifat semikonduktor yang stabil.

TiO2 tidak terdapat di alam secara alami melainkan harus diekstraksi dari mineral-

mineral yang tersedia di alam. Bahan baku pembuatan titania atau TiO2 tersedia banyak

di alam yaitu ilmenite, rutile alam, titanomagnetite (Fe2TiO4), leucoxene (Fe2O3TiO2),

CaTiO3, CaTiSiO3, maupun MgTiO3 (Baba et al., 2011). Diantara banyaknya bahan

mineral sumber titanium, mineral ilmenite (FeTiO3) dan rutile alam merupakan sumber

utama titanium dan titania.

TiO2 telah diteliti sejak 85 tahun yang lalu namun hingga kini penelitian tentang

TiO2 masih aktif dan tetap dikembangkan (Hoffmann et al., 1995). TiO2 ditemukan

pertama kalinya pada tahun 1821, dan telah dikomersialkan pada tahun 1916 sebagai

zat pewarna putih. TiO2 juga merupakan salah satu sumber daya mineral yang banyak

diteliti karena sifatnya yang menarik. Senyawa ini biasa digunakan sebagai pigmen

pada cat tembok (Braun et al., 1992), dye sensitised solar cell (DSSC), sensor,

perangkat memori serta sebagai fotokatalis (Gambogi, 2009; Khataee dan Mansoori,

2012).
Gambar 1. Serbuk TiO2 (Archive, 2011).

TiO2 dibuat dari ilmenite dan rutile, yang menghasilkan dua bentuk alotropi atau

bentuk struktur kristal yang berbeda dari unsur yang sama, yaitu anatase dan rutile

(Zhang et al., 2011). TiO2 memiliki tiga bentuk morfologi yaitu rutile (tetragonal,

4,120 g/cm3), anatase (tetragonal, 3,894 g/cm3) dan brookite (4,120 g/cm3

orthorombik) (Khataee dan Mansoori, 2012). Meskipun struktur sama-sama berbentuk

oktahedral (TiO6), namun berbeda satu sama lain dalam distorsi oktahedral dan pola

perakitan rantai oktahedral (Winkler, 2003). Rutile dan anatase cukup stabil

keberadaannya dan biasa digunakan sebagai fotokatalis (Tjahjanto dan Gunlazuardi,

2001).

Gambar 2. Struktur kristal TiO2 (a) rutile, (b) anatase (c) brookite
(Moellmann et al., 2012).
Struktur rutile lebih stabil pada suhu tinggi dan anatase pada suhu rendah.

Struktur rutil dan anatase dapat digambarkan dengan TiO6 oktahedral, dimana setiap

ion Ti4+ dikelilingi oleh enam ion O2-. Perbedaan dari kedua struktrur kristalin terletak

pada distorsi struktur oktahedronnya. Pada rutile, struktur oktahedronnya sedikit

distorsi orthorhombic. Sementara anatase distorsi jauh lebih besar, sehingga

strukturnya kurang simetris dibandingkan orthorhombic. Struktur brookite dari TiO2

mengkristal dalam struktur orthorombic, yang memiliki simetri yang polimorf

(memiliki struktur kristal yang tidak teratur) dan akan berubah menjadi fasa rutile pada

temperatur sekitar 750C (Chen et al., 2012). Fasa brookite sangat jarang terjadi dalam

fasa TiO2, fasa brookite terjadi pada temperatur 200oC dan memiliki empat molekul

titania dengan unsur titanium memiliki empat ion positif serta dua ion negatif dari

oksigen. Fasa brookite memiliki kesetabilan pada temperatur 200oC

sampai 400oC dan fasa ini tidak terbentuk sama sekali pada selang temperatur 600oC

sampai 800oC (Bakardjieva et al., 2006).

B. Pasir Besi sebagai sumber Titanium Oksida (TiO2)

Pasir besi merupakan material yang umumnya berwarna abu-abu gelap atau

berwarna kehitaman. Pasir besi memiliki mineral-mineral magnetik seperti magnetite

(Fe3O4), hematite (-Fe2O3) dan maghemite (-Fe2O3) (Gazques et al., 2014). Ketiga

mineral tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan magnet

permanen. Pasir besi yang berasal dari gunung berapi, mengalir melewati sungai,

berkumpul di sepanjang sungai (terutama pada lekukan sungai), dan mengendap di


sungai, muara, hingga menuju laut. Ombak yang menyapu di sepanjang pantai

membuat pasir besi terpilahkan dan menjadi butiran bebas (Bilalodin, et al., 2013).

Pasir besi sebagai sumber utama untuk memperoleh TiO2, dimana TiO2 dalam

pasir besi bersenyawa dengan Fe membentuk mineral yang disebut ilmenite (FeTiO3)

(Chattarjee, 2007) atau dapat pula berbentuk pseudorutile (Fe2Ti3O9) (Yarkadas,

2009). Ilmenite memiliki warna yang buram, hitam seperti besi, atau abu-abu yang

memancarkan warna coklat ketika memantulkan cahaya, serta hitam agak coklat

kemerah-merahan (Mineral Data Publishing, 2005). Ilmenite merupakan mineral yang

bersifat paramagnetik yang secara teoritis mengandung 31,6% titanium (setara dengan

52,67% TiO2), 36,8% besi dan oksigen yang setara. Ilmenite primer yang ada di alam,

muncul bersama dengan mineral lain sebagai impurities, dengan kandungan TiO2 jauh

lebih rendah (Chatterjee, 2007). Sedangkan Pseudorutile (Fe2Ti3O9) merupakan

produk intermediat antara ilmenite dan rutile sebagai efek dari pelapukan ilmenite yang

berlangsung secara alami. Mineral tersebut berwarna keabu-abuan gelap dan bersifat

magnetik. Mineral tersebut secara teoritis mengandung 58,84% TiO2 dan 34,65%

Fe2O3 (Mineral Data Publishing, 2005).

Chattarjee (2007) menyebutkan bahwa sumber komersial yang paling utama dari

ilmenite di seluruh dunia berasal dari pasir mineral yang terdapat di pesisir sungai

maupun pantai, hal yang senada juga diungkapkan oleh Murthy et al., (2012) bahwa

ilmenite (FeTiO3) merupakan mineral alami yang biasanya ditemukan dalam bentuk

deposit pasir mineral pantai. Pasir besi (ilmenite) yang dapat ditemukan di seluruh

dunia, terutama di Australia, Mesir, Amerika Serikat, China, Venezuela, dan juga di
Indonesia (Wahyunigsih et al., 2013). Salah satu sumber material ilmenite di Indonesia

banyak ditemukan di Desa Tapunggaya Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara

yang terkandung dalam pasir besi (Nurdin et al., 2016).

C. Separasi Magnetik

Perlakuan awal pasir besi untuk ekstraksi TiO2 dilakukan dengan metode

separasi magnet. Separasi magnetik ini bertujuan untuk memisahkan partikel magnetik

dan partikel non-magnetik yang ada pada pasir besi. Partikel magnetik meliputi wustite

(FeO), hematite (-Fe2O3), maghemite (-Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4). Hematite

dikenal sebagai bahan pigmen warna merah (Buxbaum, 2005). TiO2 tidak tergolong

pada partikel magnetik sehingga tidak tertarik oleh magnet. Maka dapat diperoleh

kandungan TiO2 yang lebih banyak pada pasir besi setelah proses pemisahan partikel

magnetik. Pasir besi yang telah di separasi magnetik (partikel magnetik) dilakukan

analisis mengunakan X-Ray Fluoroscence (XRF). Hasil analisis partikel magnetik dari

pasir besi dengan XRF ditunjukan pada Tabel 1 dan Gambar 3.

Tabel 1. Hasil Uji X-Ray Fluoroscence (XRF) Setelah di


Separasi Magnetik (Veetil et al., 2015).

Elemen Kandungan
Fe 38,81%
Ti 13,18%
Si 5,47%
Ca 1,55%
Al 1,45%
Mn 0,68%
Hasil analisis menggunakan Energy Dispersive X-ray (EDX) menunjukan

bahwa hasil dari separasi magnetik (partikel non-magnetik) menurunkan kandungan

elemen Fe dan meningkatkan elemen Ti. Kandungan pasir besi Sukabumi (non-

magnetik) Fe yang sebelumnya 50,48% menurun sebesar 38,81% dan pada kandungan

Ti yang sebelumnya 8,65% meningkat sebesar 13,18%, hal ini menunjukan bahwa

perlakuan separasi magnetik dapat mengurangi kadar partikel magnet yang ada pada

material pasir besi.

Gambar 3. Grafik Hasil EDX Setelah di Separasi Magnetik


(Veetil et al., 2015).

Separasi magnetik sangat efektif untuk dijadikan tahap awal dalam

mengeliminasi mineral-mineral non magnetik cukup signifikan yang ditunjukkan pada

Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia pasir mineral (Zulfaina et al., (2014)

Fraksi berat unsur (wt%)


No. Unsur Pasir pra- Pasir Magnetik Pasir
preparasi Non-magnetik
1 Mg 3,35 2,05 8,85
2 Al 2,49 2,43 5,49
3 Si 7,31 1,84 32,57
4 Ca 1,88 0,25 16,30
5 Ti 13,58 11,06 6,78
6 V 0,60 0,76 0,13
7 Cr 0,17 - 0,15
8 Mn 1,47 1,43 1,15

Unsur Ti yang terdapat dalam pasir mineral tersebut ada dalam bentuk senyawa

ilmenite sebagaimana yang ditunjukkan oleh pola difraksi sinar X pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola difraksi sinar X pasir mineral (Mg(OH)2), (Al2O), (SiO2), (Ca(OH)2),
(FeTiO3) dan (Fe3O4) ( Zulfalina dan Azwar , 2004).

D. Pengurangan Silika (Si) dari Ilmenite

Silika adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2 (silicon dioxsida) yang

dapat diperoleh dari silika mineral, nabati dan sintesis kristal. Silika mineral adalah

senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian yang berupa mineral
seperti pasir kuarsa, pasir besi, granit, yang mengandung kristal-kristal silika

(Bragmann dan Goncalves, 2006). Silika merupakan salah satu unsur pengotor dalam

produksi TiO2 dari ilmenite. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurdin et al (2016)

kadar silika yang sangat tinggi memepengaruhi rendahnya rendamen TiO2 yang

diperoleh sehingga perlu untuk dihilangkan. Penelitian pengurangan kadar silica (Si)

dan aluminium (Al) telah dilakukan Mazzocchitti et al., (2009) didasarkan dengan

pelarutan natrium hidroksida (NaOH) 5 M dengan ilmenite dapat menurunkan

sebanyak 0,32% dan 0,61%. Sari dan Suprapto, (2012) juga melakukan pengurangan

silika pada ilmenite menggunakan pelarut NaOH dan diendapkan dengan HCl. Saat

dekomposisi terjadi reaksi antara silika dan NaOH membentuk sodium silikat

(Na2SiO3), dimana reaksi yang terjadi sesuai dengan Persamaan 1. Pemisahan sodium

silikat dalam larutan dapat dilakukan dengan cara mengendapkannya dengan

penambahan HCl hingga pH netral agar membentuk monomer-monomer asam silikat

(Si(OH)4) (Persamaan 2) yang nantinya akan terpolimerisasi menjadi gel silika.

Endapan yang terbentuk berwarna putih. Komposisi utama dari endapan putih tersebut

berupa silika, dengan kadar mencapai 90,7%.

SiO2(s) + 2NaOH(s) Na2SiO3(s) + H2O (1)


Na2SiO3(s) + 2HCl(aq) + H2O(l) Si(OH)4(s) + 2NaCl (aq) (2)

E. Proses Pre-oksidasi Menggunakan Penyinaran Gelombang Mikro

Pre-oksidasi ilmenite dilakukan untuk mendestabilisasi fase ilmenite

menghasilkan fase hematite (Fe2O3) dan fase rutile (TiO2). Kecepatan proses difusi ke
permukaan yang berbeda antara besi dan titanium di dalam struktur ilmenite diduga

dapat memicu pemisahan hematite dan TiO2 dengan proses termal. Besi memiliki

kecepatan difusi lebih tinggi dibandingkan titanium karena afinitas besi terhadap O2

lebih besar (Vasquez and Molina, 2008). Hal ini disebabkan karena potensial oksidasi

Fe II menjadi Fe III lebih tinggi dibandingkan potensial oksidasi Ti III menjadi Ti IV. Besi

pada ilmenite (FeTiO3) mayoritas ada sebagai FeII sehingga mudah teroksidasi

membentuk FeIII. Saat besi mencapai permukaan maka akan terbentuk fase hematite

(Fe2O3). Dengan cara ini ilmenite dapat berubah menjadi fase TiO2 dan Fe2O3.

Perubahan fase ilmenite menjadi fase rutile (TiO2) dan hematite (Fe2O3) ditunjukkan

pada reaksi berikut:

2FeTiO3(s) + O2(g) Fe2O3(s) + 2TiO2(s) (3)

Perubahan ilmenite setelah proses pre-oksidasi terjadi setelah mencapai kondisi

solid solution pada suhu 600oC. Pre-oksidasi ilmenite pada suhu 900C dapat

meningkatkan proses pembentukan pseudobrookite (Fe2TiO5) yang dikenal sebagai

produk antara untuk pembentukan TiO2 anatase. Pre-oksidasi pada suhu 400C, 500C,

600C, 700C dan 800C menunjukkan produk oksidasi masih mengandung fase

ilmenite, hematite (Wahyuningsih et al., 2013). Pada suhu oksidasi lebih tinggi yaitu

900C, 1000C dan 1100C telah terbentuk fasa pseudobrookite yang meningkat

kestabilannya dengan naiknya suhu pre-oksidasi. Pseudobrookite terbentuk dari reaksi

penggabungan kembali TiO2 rutile dan Fe2O3 hasil oksidasi FeO dari struktur ilmenite.
Pseudobrukite yang bersifat kurang stabil mengalami kesetimbangan dengan TiO2 dan

fase Fe2O3 yang juga meningkat seiring dengan peningkatan fase pseudobrookite.

Fe2O3 (s) + TiO2 (s) Fe2TiO5 (s) (4)

Material padatan setelah pre-oksidasi perlu dipisahkan menjadi fase titanium (TiO2)

berkualitas tinggi dan fase besi (Fe2O3) dengan proses leaching menggunakan pelarut

HCl.

F. Proses Leaching Menggunakan Pelarut Asam Klorida (HCl)

Proses leaching adalah metode ekstraksi padat/cair yang tujuannya ialah

memisahkan suatu senyawa kimia yang diperlukan dari senyawa kimia lain atau

pengotor dari padatan ke dalam cairan (Wahyuningsih, 2014). Terdapat dua metode

yang leaching yang digunakan untuk mengekstraksi TiO2 yaitu proses sulfat dan proses

klorida (Chatterjee, 2007).

Proses sulfat secara ringkas dilakukan dengan melarutkan ilmenite dengan

asam sulfat kemudian hasil pelarutan tersebut diencerkan dengan air atau asam yang

telah diencerkan. Liquor yang dihasilkan kemudian diendapkan untuk menghilangkan

residu yang tak larut seperti silika. Besi dihilangkan dengan cara dikristalkan dalam

bentuk garam sulfat (FeSO47H2O), yang kemudian diikuti dengan penyaringan

(Kuznesof, 2006), namun proses sulfat memiliki kekurangan dimana ketika

memproduksi 1 ton TiO2 maka akan dihasilkan 4 ton limbah padat Fe(SO4)2 dan asam

sulfat yang telah digunakan tidak dapat di daur ulang dan terbuang begitu saja. Hal

tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan dan penggunaan asam dengan jumlah


yang banyak (Chatterjee, 2007). Proses klorida merupakan proses standar yang telah

diterima secara universal untuk mengisolasi titanium dari ilmenite secara langsung atau

dari TiO2. Proses ini menggunakan jalur klorinasi, yang mana hingga saat ini proses

klorida merupakan proses yang paling ramah lingkungan (Chatterjee, 2007).

Proses yang hampir sama juga telah dilakukan Vasquez dan Molina (2008), yaitu

leaching dan pre-oksidasi menggunakan asam klorida menghasilkan peningkatan

pemisahan fase Fe dan fase Ti. Proses pelarutan ilmenite tidak dapat berjalan dengan

sederhana, karena sebagian besar Fe2+ pada ilmenite berubah menjadi Fe3+ akibat dari

proses oksidasi. FeIII lebih sulit terlarut maka dibutuhkan proses reduksi untuk

mengembalikan Fe3+ dari Fe2O3 menjadi Fe2+ yang lebih mudah larut menggunakan

reduktor Fe0. Leaching ilmenite dengan asam klorida selama 5 jam tanpa penambahan

agen pereduksi Fe0 hanya mampu mengekstraksi sekitar 29% besi dan 10% titanium,

sedangkan leaching dengan perlakuan sama dengan penambahan agen pereduksi Fe0

dapat meningkatkan pelarutan besi mencapai 90% (Mahmoud et al., 2004). Penelitian

yang dilakukan oleh Mukti et al., (2015) semakin lama waktu leaching, tingkat

perolehan Ti yang didapatkan akan semakin besar. Namun, semakin lama waktu

leaching tidak berarti Prosentase Ti yang didapatkan akan terus meningkat secara

linear. Proses leaching dengan waktu 180 menit justru menunjukkan penurunan

prosentase Ti dari 54% menjadi 49,76%. Berdasarkan variasi waktu leaching tersebut

didapatkan bahwa tingkat perolehan Ti terbesar adalah pada waktu pemanasan 120

menit, dengan persentase Ti sebesar 54%.


Proses pelarutan menggunakan sebagian ilmenite yang akan terlarut menjadi

FeCl2 dan ada yang menjadi TiOCl2 sedangkan yang tidak terlarut mengendap menjadi

padatan Ti setelah terbentuk fase larutan dari hasil leaching, maka selanjutnya adalah

reaksi pengendapan, pada tahapan ini didapatkan TiO2 melalui rangkaian reaksi

sebagaimana yang digambarkan pada persamaan sebagai berikut (Wahyuningsih et al.,

2014).

FeTiO3 (s) + 4HCl (aq) FeCl2(aq) + TiOCl2 (aq) + 2H2O (aq) (5)

2HCl,1
3FeTiO3 (s) O2 3TiO2 (s) + FeCl2 (aq) + H2O (aq)+ Fe2O3 (s) (6)
2

6HCl,1
2FeTiO3 (s) O2 2FeCl3 (aq) + 2TiO2 (s) + 3H2O (aq) (7)
2

Fe2O3 (s) + 6HCl (aq) 2FeCl3 (aq) +3H2O (aq) (8)

TiOCl2 (aq) + H2O (aq) TiO2 (s) + 2HCl (aq) (9)

Berdasarkan reaksi tersebut diketahui bahwa tidak semua TiO2 dapat diendapkan,

namun masih ada Ti yang terlarut. Menurut Mostafa et al., (2013) menegaskan bahwa

tidak semua produksi TiO2 terbentuk dari proses leaching asam klorida dari ilmenite.

Namun dapat terbentuk dari hasil sampingan reaksi seperti TiOCl2. Hidrolisis TiOCl2

dalam kondisi hidrotermal tertutup pada 100C dan 120C selama 6 jam diperoleh

struktur Kristal TiO2 terutama rutile. Campuran rutile dan anatase diperoleh dengan

hidrolisis hidrotermal pada 150C, sementara pada 180C fase utama adalah anatase

yang dapat dilihat pada Gambar 5.


Gambar 5. Pola difraksi TiO2 pada suhu 100oC, 120oC, 150oC
dan 180oC (R = rutile, A = anatase).

G. Pemanasan Microwave

Vorster (2001) menjelaskan bahwa microwave merupakan gelombang

elektromagnetik yang timbul sebagai radiasi dari disturbansi elektrik pada frekuensi

tinggi. Mekanisme pemanasan yang terjadi pada microwave adalah pemanasan

dielektrik. Prinsip pemanasan dielektrik adalah ketika suatu material dielektrik terpapar

medan listrik maka muatan listrik partikel tersebut akan bergerak searah dengan medan

listrik yang diberikan dan mengakibatkan partikel berotasi 180 setiap kali terpapar

medan listrik. Rotasi tersebut terjadi sebanyak 950 juta kali per detik (sesuai dengan
frekuensi yang ada) sehingga mengakibatkan gesekan internal yang memanaskan

material tersebut.

Simi et al, (2006) melakukan penelitian perbandingan pemanasan gelombang

mikro (microwave) dan pemanasan konvensional terhadap tingkat kelarutan Fe yang

terdapat dalam ilmenite menggunakan pelarut HCl, dalam penelitiannya ilmenit

dilarutkan menggunakan HCl 7 M dengan rasio ilmenite-pelarut 1:6 (w/v). Hasil

perbandingan antara pemanasan microwave dan pemanasan konvensional

menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok dimana pada pemanasan microwave

dengan waktu tahan 10 menit Fe yang terlarut adalah sebanyak 70% sedangkan pada

pemanasan konvensional dengan waktu tahan yang sama jumlah Fe yang terlarut hanya

sebanyak 50% sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan kelarutan Fe pada pemanasan microwave


dan pemanasan konvensional (Simi et al., 2006).

Nurdin et al, (2016) telah melakukan studi tentang pengaruh perbandingan

antara pemanasan microwave dan pemanasan konvensional dalam ekstraksi TiO2 dari
pasir besi. Proses yang menggunakan pemanasan konvensional membutuhkan daya

100% dari total output alat pemanas yaitu sebesar 1000 watt dan memerlukan waktu

ekstraksi selama enam jam sedangkan untuk proses yang menggunakan pemanasan

microwave hanya digunakan daya sebesar 60% dari total output alat reaktor sehingga

daya output yang digunakan hanya sebanyak 570 watt. Efektifitas pemanasan

microwave dalam mengoptimasi proses ekstraksi pelarutan Fe2O3 dengan pemanasan

microwave dapat mengeliminasi sebanyak 80,35% selama 120 menit, sedangkan

pemanasan konvensional selama enam jam mampu mengeliminasi Fe2O3 sebanyak

83,4%.

Gambar 7. Kadar Fe2O3 yang tereliminasi setelah proses leaching


menggunakan pemanasan microwave dan pemanasan
konvensional (Nurdin et al., 2016).

Berdasarkan sudut pandang besarnya kadar Fe yang tereliminasi memang tidak

ada perbedaan signifikan antara proses dengan pemanasan microwave dan pemanasan

konvensional, namun jika ditinjau dari alokasi waktu yang dibutuhkan dan besarnya

energi yang diperlukan maka terdapat perbedaan yang signifikan antara proses dengan
pemanasan microwave dan pemanasan konvensional (Nurdin et al., (2016). Pemanasan

microwave juga dapat mengoptimasi kenaikan kadar TiO2. Kenaikan kadar TiO2 pada

hasil ekstraksi dengan pemanasan microwave dan pemanasan konvensional

menunjukkan perbedaan persentase begitu signifikan dimana pada pemanasan

microwave kadar TiO2 yang ada dalam hasil ekstraksi naik sebesar 74,49% dan untuk

pemanasan konvensional lebih tinggi yaitu sebesar 56,04%.

Gambar 8. Kenaikan kadar TiO2 setelah proses pelarutan dengan


pemanasan microwave dan pemanasan konvensional
(Nurdin et al., 2016).

H. Instrumen X-Ray Flourecence (XRF) dan X-Ray Diffractometer (XRD)

Spektrometri XRF adalah suatu metode analisis berdasarkan pengukuran tenaga

dan intensitas sinar-X suatu unsur di dalam cuplikan hasil eksitasi sumber radioisotop.

Spektrometer XRF didasarkan pada lepasnya elektron bagian dalam dari atom akibat

dikenai sumber radiasi dan pengukuran intensitas pendar sinar-X karakteristik yang

dipancarkan oleh atom unsur dalam sampel. Mekanisme kerja XRF secara umum
adalah sinar-X dari sumber pengeksitasi akan mengenai cuplikan dan menyebabkan

interaksi antara sinar-X yang karakteristik untuk setiap unsur. Sinar-X tersebut

selanjutnya mengenai detektor Si(Li) yang akan menimbulkan pulsa listrik yang lemah,

pulsa tersebut kemudian diperkuat dengan preamplifier dan amplifier lalu disalurkan

pada penganalisis saluran ganda atau Multi Chanel Analyzer (MCA). Tenaga sinar-X

karakteristik yang muncul tersebut dapat dilihat dan disesuaikan dengan tabel tenaga

sehingga dapat diketahui unsur yang ada di dalam cuplikan yang dianalisis (Iswani,

1983). XRF telah banyak digunakan dalam bidang industri maupun penelitian untuk

mengidentifikasi unsur, yang salah satunya dilakukan oleh Nurdin et al., (2016) dalam

mengekstraksi TiO2 dari pasir besi, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil indentifikasi XRF sebelum dan setelah proses ekstraksi.

No. Senyawa Fraksi berat (%)


Sampel awal Pemanasan pemanasan
konvensional Microwave
1 Fe2O3 61,69 10,24 12,12
2 TiO2 22,82 35,61 39,82
3 SiO2 8,78 51,66 46,1
4 CaO 3,69 0,7 0,606
5 MnO 1,56 0,146 0,264
6 Cl 0,6 - -
7 K2O 0,219 0,36 -
8 P 2 O5 0,157 0,605 0,489
9 ZrO2 0,077 0,0079 0,117
10 ZnO 0,0712 - -
11 Nb2O5 0,0406 0,0413 0,051
12 SrO 0,0162 0,0129 0,0132
13 SnO2 0,008 - -
14 In2O3 0,0061 - -
Hasil yang diperoleh baik melalui pemanasan microwave maupun konvensional

menunjukkan penurunan kadar Fe dan kenaikan kadar Ti yang sangat signifikan namun

kadar SiO2 yang terdapat dalam hasil ekstraksi juga sangat besar yang tentu

mempengaruhi kemurnian ekstrak TiO2 (Nurdin et al., 2016).

X-Ray Diffractometer (XRD) merupakan teknik yang digunakan untuk

mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter

struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Karakterisasi menggunakan

metode difraksi merupakan metode analisa yang penting untuk menganalisa suatu

kristal (Smallman dan Bishop, 1999). Prinsip kerja XRD yaitu sampel yang berbentuk

serbuk dimasukan dalam wadah sampel. Sampel dikenakan sinar-X dari sudut sebesar

0-90o. Sinar-X dihasilkan di suatu tabung sinar katode dengan pemanasan kawat pijar

untuk menghasilkan elektron-elektron, kemudian elektron-elektron tersebut dipercepat

terhadap suatu target dengan memberikan suatu voltase, dan menembak target dengan

elektron. Ketika elektron-elektron mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan

elektron-elektron dalam target, karakteristik spektrum sinar-X dihasilkan (Nelson,

2010). XRD digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurdin et al., (2016)

untuk menentukan karakteristik terbentuknya kristal TiO2 anatase/rutile seperti

Gambar 9.
Gambar 9. Pola XRD pada ekstrak TiO2 pada kalsinasi 500C (Nurdin et al., 2016)

Karakterisasi data kristal anatase dengan kalsinasi pada 500C.

hasil ekstraksi sampel bijih besi ditunjukkan puncak tertentu dalam spektrum hasil

karakterisasi XRD dengan Joint Commite Powder Diffraction Standard (JCPDS) Pola

difraksi menunjukkan puncak yang spektrum yang dihasilkan oleh kristal anatase TiO2,

yang merupakan puncak dari 70,3 di bidang 220 yang diasumsikan sebagai kristal TiO2

anatase.

Anda mungkin juga menyukai