Anda di halaman 1dari 15

Strategi Pengelolaan Rasa Takut Anak pada

Perawatan Gigi
Posted on April 30, 2011
Strategi Pengelolaan Rasa Takut Anak pada Perawatan Gigi

Ali Taqwim

Mahasiswa Profesi Kedokteran Gigi Universitas Jember

I. Pendahuluan

Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak selain


ditentukan oleh pengetahuan klinis dan ketrampilan dokter
gigi, sebagian juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk
bekerjasama selama perawatan. Hal tersebut menyebabkan
dokter gigi yang merawat pasien anak harus mampu
melakukan pengelolaan perilaku agar pasien bersikap
kooperatif. Pada umumnya, anak yang datang ke praktik dokter
gigi berperilaku kooperatif dan dapat menerima perawatan gigi
dengan baik apabila diperlakukan dengan benar sesuai dengan
dasar-dasar pengelolaan perilaku. Namun, sebagian anak
berperilaku non kooperatif serta bersikap negatif pada
perawatan gigi (Masitahapsari et al., 2009).

Dalam melakukan perawatan gigi anak, terdapat tiga


komponen yang harus bekerja sama, agar perawatan dapat
berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut digambarkan
dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga
perawatan gigi anak. Pada segitiga tersebut, bagian sudut-
sudutnya ditempati oleh dokter gigi, keluarga (terutama ibu)
dan anak sebagai pasien terletak pada puncak segitiga.
Segitiga tersebut saling berhubungan secara dinamik (Koch &
Poulsen, 1991).
Masalah yang dihadapi oleh dokter gigi, pertama adalah anak
dengan berbagai tingkah lakunya sesuai dengan perkembangan
yang sedang berlangsung. Masalah kedua, yang terletak
disudut lain adalah keluarga (terutama ibu) yang diharapkan
memberi dukungan kepada dokter gigi dalam pelaksanaan
perawatan gigi anaknya yang terkadang memerlukan perhatian
khusus sebelum perawatan anak dimulai.

Rasa takut dan cemas pada anak merupakan suatu


pengalaman dental yang tidak menyenangkan. Ketakutan dan
kecemasan mempengaruhi tingkah laku anak dan lebih jauh
lagi menentukan keberhasilan perawatan gigi. Kecemasan
merupakan suatu ciri kepribadian dan ketakutan terhadap
antisipasi bahaya dari sumber yang tidak dikenal, sedangkan
takut merupakan respon emosional terhadap sesuatu yang
dikenal berupa ancaman eksternal (Masitahapsari et al.,
2009).

Strategi pengelolaan rasa takut pada anak adalah dasar untuk


memulai perawatan dengan tujuan untuk mengembangkan
sikap anak yang mau menjalankan perawatan sehingga dicapai
kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan rasa takut.
Selain itu, komunikasi merupakan dasar dari setiap perawatan
yang akan dilakukan. Efektivitas komunikasi dokter gigi-pasien
dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepuasan
serta kenyamanan pasien (York et al., 2007). Strategi
pengelolaan perilaku dibagi menjadi enam kategori dasar yaitu
: pendidikan, dukungan, kognitif-perilaku, paksaan,
pembatasan dan farmakologi (York et al., 2007).

Walaupun rasa takut terhadap perawatan gigi yang dilakukan


dokter gigi bukan masalah yang serius, tetapi merupakan
hambatan bagi para dokter gigi dalam usaha peningkatan
kesehatan gigi di masyarakat. Oleh karena itu penanggulangan
adanya rasa takut terhadap perawatan gigi perlu dicarikan
jalan keluarnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
penulis ingin membahas mengenai strategi pengelolaan rasa
takut anak pada perawatan gigi.

II. Strategi Tahap Primer dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap primer bertujuan untuk membentuk


lingkungan yang aman dan membiarkan anak merasakan
kontrol merupakan kunci dalam bekerja dengan anak yang
akan memberikan hasil baik. Hal ini disebabkan karena
mereka dibantu untuk memahami pikiran dan penatalaksanaan
perawatan yang dilakukan dokter gigi (Karolina, 2008).

Pendekatan Tell-Show-Do (TSD) sebagai metode persiapan


dapat diterapkan pada anak yang pertama kali berkunjung ke
dokter gigi. Penatalaksanaan rasa takut pada tahap ini hanya
sebatas pendekatanTell dan Show saja. Teknik ini digunakan
secara rutin dalam memperkenalkan anak pada perawatan
profilaksis, yang selau dipilih sebagai prosedur operatif
pertama. Anak diceritakan bahwa gigi-giginya disikat, tujukkan
sikat khusus tersebut dan bagimana sikat berputar
dalam handpiece, kemudian gigi-giginya disikat. Penjelasan
tidak perlu panjang lebar, karena hal ini akan cenderung
membingungkan anak dan mungkin membangkitkan
kecemasan. Pada tahap ini diperlukan pujian karena tingkah
laku yang baik selama perawatan awal harus segera diberi
penguatan dan selama perawatan selanjutnya (Andlaw & Rock,
1992).

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi


pada tahap ini adalah.

Memberikan pertanyaan sebelum, selama dan setelah


perawatan. Hal ini dapat membangkitkan rasa percaya
dan memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja
sama.
Saat anak memutuskan pilihan, dokter gigi harus selalu
melaksanakan, oleh karena itu jangan menanyakan anak
mau atau tidak giginya dirawat.

Memberikan anak kesempatan memegang alat dan


menjelaskan fungsi masing-masing alat. Hal tersebut
akan diharapkan rasa takut menjadi hilang dan
meningkatkan perhatian serta memberikan kesan bahwa
mereka penting sehingga dapat bekerja sama sukarela
tanpa dipaksakan.

Memperkenalkan anak dengan ruang perawatan gigi dan


perawatan akan dilakukan sebaiknya tanpa membuat rasa
takut, sehingga kepercayaan diri anak dapat diperoleh
dan rasa takut berubah menjadi keingintahuan dan
kooperatif.

Tingkah laku dan umur yang berbeda pada anak menyebabkan


dokter gigi harus mampu untuk bersikap berbeda dalam
mengatasinya. Pada anak yang berusia 2 tahun, sebaiknya
dokter gigi memberikan alat bermain pada anak pada saat
wawancara atau pemeriksaan agar anak menjadi senang,
segala sesuatu yang terkait dengan kesehatan anak lebih
banyak ditanyakan kepada orang tuanya. Demikian juga
dengan konseling lebih banyak ditujukan kepada orang tua
(Blisa, 2010).

Strategi tersebut akan berhasil apabila ada kerjasama yang


baik antara pasien (anak), orang tua dan dokter gigi serta
lingkungan fisik yang mendukung perawatan. Untuk
mendapatkan keberhasilan perawatan pada pasien yang
memiliki rasa takut adalah dengan menciptakan lingkungan
yang aman untuk anak. Hal-hal yang menarik, lingkungan fisik
yang berorientasi pada anak dengan peralatan permainan dan
berkomunikasi dengan anak adalah sesuatu yang baik (Gambar
1). Hal ini dikarenakan lingkungan psikologis yang aman dapat
mempengaruhi tindakan atau perasaan anak (Finn, 1973).

Gambar 1. Komunikasi dan lingkungan fisik yang berorientasi


pada anak dengan alat permainan

Sumber : http://dental.pacific.edu/

Pasien yang menunggu perawatan pada umumnya cemas, dan


kecemasan dapat ditingkatkan oleh persepsi pasien tentang
ruang praktik sebagai lingkungan yang mengancam, tentang
perawat, cahaya, bunyi, dan bahasa teknis yang asing bagi
pasien (Prasetyo, 2005). Membuat ruang penerimaan yang
nyaman dan hangat sehingga anak merasa tidak asing ketika
memasukinya, Oleh karena itu dekorasi ruangan sangat
memegang peranan penting dan erat kaitannya dengan kondisi
psikologis mereka (Pertiwi et al., 2005).

Pada saat anak memasuki ruang perawatan gigi dengan


sejumlah perasaan takut, hal yang pertama harus dilakukan
oleh dokter gigi adalah menempatkan anak senyaman mungkin
dan mengarahkannya bahwa pengalamannya ini bukanlah hal
yang tidak biasa. Jika tempat praktik tidak terbatas hanya
untuk pasien anak-anak, salah satu metode yang efektif di
antaranya adalah dengan pembuatan ruang tunggu yang dibuat
sedemikian rupa sehingga anak merasa berada di lingkungan
rumahnya sendiri (Gambar 2) (Pertiwi et al., 2005).
Gambar 2. Ruang tunggu dan ruang praktik dokter gigi yang
nyaman untuk anak-anak

Sumber :
http://www.sunnyhillspediatricdentistry.com/; http://coolboom.
net/interior-design

Musik yang lembut dapat memberikan efek baik pada orang


tua maupun anak dalam memecahkan keheningan di ruang
tunggu. Bahan-bahan bacaan yang disediakan di ruang tunggu
tidak saja buat anak-anak, tetapi juga buat orang tuanya.
Sediakan pula kursi dan meja kecil bagi anak untuk duduk dan
membaca. Buku-buku disediakan untuk semua usia anak.
Selain buku bacaan, dapat disediakan juga buku aktivitas,
seperti buku mewarnai (Pertiwi et al., 2005; Prasetyo, 2005).

III. Strategi Tahap Sekunder dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap sekunder bertujuan untuk menghilangkan


rasa takut dengan membentuk pola komunikasi yang baik
dengan pasien. Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola
pasien anak adalah kesanggupannya berkomunikasi dan
memperoleh rasa percaya diri dari anak sehingga anak dapat
bersikap kooperatif. Komunikasi dengan pasien berperan
penting dalam mengurangi rasa takut pasien (Hmud & Walsh,
2009).

3.1. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Memberikan dukungan verbal dan meyakinkan pasien


merupakan strategi yang sering dilakukan. Pendekatan ini
harus diadopsi oleh seluruh tim pada saat berinteraksi dengan
pasien (Hmud & Walsh, 2009). Banyak cara untuk memulai
komunikasi secara verbal, misalnya untuk anak kecil dapat
ditanyakan tentang pakaian baru, kakak adik, benda atau
binatang kesayangannya, sedangkan untuk anak besar dapat
ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman
sebaya ((Finn, 1973).

Untuk menciptakan kepercayaan pada anak yang berusia 2-6


tahun, dokter gigi sebaiknya melibatkan anak dalam dialog dan
semua diskusi dengan menggunakan kata-kata sederhana.
Banyak anak yang merasa senang dengan dokter karena
mereka dapat berkomunikasi dengannya. Pada saat berkunjung
ke dokter gigi mereka tidak takut, tetapi malah senang.
Demikian pula dengan tindakan medis, anak harus diberi
penjelasan terlebih dahulu dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh anak. Berbicara pada anak harus disesuaikan
dengan tingkat pemahaman sehingga diperlukan second
language (Budiyanti & Heriandi, 2001; Blisa, 2010).

Beberapa second language yang dapat membantu dokter gigi


dalam melakukan perawatan gigi pada anak antara lain.

Melakukan anastesi sebelum pencabutan gigi dapat


digunakan istilah menidurkan gigi.
Melakukan pembersihan dengan brush dan pumice dapat
digunakan istilah memandikan dan mengkeramasi gigi,
kemudian mengeringkan dengan tampon dapat digunakan
istilah menghanduki gigi.

Mengebor untuk menghilangkan jaringan karies gigi dapat


digunakan istilah membersihkan rumah kuman dan lain-
lain.

Untuk menciptakan kepercayaan anak pada usia 7-10 tahun,


dokter gigi sebaiknya menanyakan kegiatannya dan beri
komentar yang positif, tanyakan pada anak tentang hal-hal
yang sederhana dan konkret, beri tanggungjawab pada anak
terhadap tugas yang kita berikan, dan jangan lupa untuk
menjelaskan tentang pemeriksaan yang dijalani sesuai dengan
daya piker anak. Sedangkan untuk anak yang berusia 11-17
tahun, dokter gigi harus menghargai pendapat, kebutuhan dan
keterbatasan anak sebelum merekomendasikan sesuatu (Tabel
1) (Blisa, 2010).

Tabel 1. Tingkah laku anak di praktik dokter gigi berdasarkan


umur
Komunikasi non verbal dapat dilakukan misalnya dengan
menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan,
menggandeng anak sebelum mendudukkannya ke kursi gigi
dan lain-lain (Budiyanti & Heriandi, 2001).

3.2 Bimbingan Kerjasama

Model komunikasi bimbingan kerjasama antara dokter gigi dan


pasien merupakan strategi yang terbaik. Pada perawatan ini
diharapkan pasien dapat mematuhi dokter gigi dan anak dapat
besikap kooperatif selama perawatan. Perubahan nada dan
volume suara dapat digunakan untuk mengubah perilaku dan
mengkomunikasikan perasaan kepada anak (Karolina, 2008).

Contoh komunikasi dengan bimbingan kerjasama yang dapat


dilakukann oleh dokter gigi antara lain:
1) buka sedikit lebih lebar mulutnya, anak manis

2) apakah engkau siap untuk dimulai sekarang, maukah


manis?

3) sayang, saya suka caramu membuat mulutmu tetap


terbuka lebar

3.3 Strategi Perilaku Efektif

Selain strategi komunikasi di atas, komunikasi efektif yang


dapat dilakukan oleh dokter gigi adalah dengan strategi
perilaku. Strategi ini dapat digunakan dengan cepat dan
mengurangi rasa takut. Strategi perilaku efektif tersebut
antara lain sebagai berikut (Finn, 1973; Karolina, 2008).

1. Waktu dan lamanya perawatan

Dokter gigi harus mengetahui waktu perawatan yang


dibutuhkan karena pada beberapa anak lamanya perawatan
akan mempengaruhi tingkah lakunya. Terdapat hubungan yang
terbalik antara kooperatif dengan lamanya waktu perawatan.
Menepati janji untuk datang maupun lamanya perawatan
adalah sangat penting (Finn, 1973).

Seorang resepsionis yang mencatat pasien dengan rasa takut


dapat menjadwalkan waktu yang cukup, sehingga
memungkinkan dokter gigi memiliki waktu lebih dalam
menjelaskan prosedur secara hati-hati, dan kemudian
melanjutkan perlahan pengobatannya. Waktu yang paling baik
dalam merawat anak adalah di pagi hari saat anak tidak lelah.
Anak sebaiknya tidak dibawa ke dokter gigi setelah mengalami
trauma emosi, misalnya ia baru saja kehilangan boneka
kesayangannya, karena penjanjian dengan dokter gigi akan
membuat anak menjadi tidak kooperatif (Finn, 1973; Hmud &
Walsh, 2009).
2. Mengalihkan perhatian

Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna


untuk mengurangi rasa takut, tidak nyaman, stress dan
menghilangkan rasa bosan selama periode perawatan.
Semakin bnayak mengetahui tentang anak, lebih besar taktik
yang dapat dilakukan untuk mengalihkan anak, untuk
memberikan kesempatan melakukan prosedur perawatan yang
diperlukan. Bahan pengalih yang terbukti membantu
mengurangi rasa takut anak misalnya radio, program anak di
televisi dan lain-lain.

3. Hipnotis

Hipnotis dilakukan dengan mempengaruhu pikiran orang lain


sehingga anjuran-anjuran yang diberikan akan diterima dengan
baik. Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien yang dapat
bekerja sama. Hipnotis sering digunakan dalam kedokteran
gigi sebagai suatu metode untuk membantu pasien yang
cemas agar rileks dan meningkatkan kooperatif pasien.

4. Modifikasi tingkah laku (penguatan)

Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah


laku yang akan meningkatkan kemungkinan tingkah laku
tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Penguatan
(reinforcement) terbukti mengurangi tingkah laku tidak
kooperatif pada anak dalam menjalani perawatan gigi (Finn,
1973; Andlaw & Rock, 1992).

Hampir semua benda menjadi penguat dokter gigi sehingga


dapat meningkatkan hubungan sosial dengan cara memberikan
perhatian, doa, senyum dan pelukan. Benda penguat yang
dapat diberikan misalnya stiker, pensil dan lain-lain. Bentuk
penghargaan lain adalah hadiah dan ini dapat diberikan pada
tahap akhir perawatan sebagai penghargaan atas tingkah laku
yang baik (Andlaw & Rock, 1992). Namun, upaya yang
terpenting dalam memperkuat tingkah laku adalah kasih
sayang dan perhatian.

5. Kehadiran orang tua di dalam ruangan

Kehadiran orang tua di ruang praktik memepunyai pengaruh


positif dalam meningkatkan keamanan pada anak yang kurang
berani. Sedangkan pendapat agar orang tua sebaiknya berada
di luar karena kehadiran orang tua dapat mengganggu
prosedur perawatan dan rasa takut yang dimiliki orang tua
akan mempengaruhi anak. Sebaiknya orang tua tidak ikut ke
ruang praktik tanpa diminta oleh dokter gigi (Finn, 1973).

IV. Strategi Tahap Tertier dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap tertier ditujukan kepada anak dengan rasa


takut yang berat dengan maksud menghilangkan rasa tkut dan
menyelesaikan perawatan gigi. Teknik yang menjadi pilihan
utama adalah desensitisasi sistemik dan modeling ataupun
kombinasi.

4.1 Desensitisasi

Desentisasi adalah suatu cara untuk mengurangi rasa takut


atau cemas seorang anak dengan jalan memberikan
rangsangan yang membuatnya takut atau cemas sedikit demi
sedikit rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak
tidak takut atau cemas lagi. Prosedur ini dilandasi oleh prinsip
belajarcounterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan
digantikan dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil
latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi ini sangat
efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia
(Tampubolon, 2010).
Prinsip macam terapi ini adalah memasukan suatu respon
yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi.
Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu
caranya misalnya secara progresif merelaksasi berbagai otot,
mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan
tubuh, leher dan wajah. Pada tahap selanjutnya ahli terapi
membentuk hirarki situasi yang menimbulkan kecemasan pada
subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil
sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek
diminta relaks sambil mengalami atau membayangkan tiap
situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling kecil
menimbulkan kecemasan (Andlaw & Rock, 1992; Tampubolon,
2010). Pada tahap desensitisasi ini, pasien dapat diberikan
paparan stimulus berupa injeksi anestesi gigi, aplikasi rubber
dam, dan suara serta melihat bor gigi dengan menjelaskan
hasilnya (Melamed et al., 1975).

4.2 Modeling

Metode modeling adalah cara pendekatan yang sangat praktis,


mudah dilakukan, serta efektif memepersingkat waktu dalam
perubahan perilaku pasien anak sehingga waktu perawatan
gigi menjadi lebih optimal (Soemartono, 2003). Teori social
learning memprediksi bahwa pola respon rasa takut pada
anak-anak dapat dihilangkan dengan mengamati model yang
mendapatkan stimulus tanpa mengalami konsekuensi yang
negatif (Melamed et al., 1975).

Prinsip psikologis metode modeling yaitu belajar dari


pengamatan model. Anak diajak mengamati anak lain yang
ketika dirawat giginya berperilaku kooperatif, baik secara
langsung pada kursi gigi atau melalui film. Setelah metode
modeling dikerjakan maka diharapkan anak berperilaku
kooperatif seperti model yang diamati. Pendekatan tersebut
efektif karena memberikan informasi yang jelas pada pasien
tentang jenis peralatan dan prosedur yang akan dihadapi
(Masitahapsari et al., 2009).

Metode modeling ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu


melalui model di film/ anak sebaya (filmed/ in vivo modeling)
dan melalui model yang ikut berpartisispasi dalam perawatan
secara langsung (participant modeling) dalam
memperkenalkan perawatan gigi (Gambar 3). Metode ini efektif
pada anak dengan umur 4-9 tahun dan hanya beberapa efektif
pada anak yang lebih muda dari umur 4 tahun (Catherine,
2004).

1. Filmed
modeling 2. Participant modeling

Gambar 3. Metode modeling (1) filmed modeling dan


(2) participant modeling

Sumber : Catherine, 2004

Modeling adalah modifikasi perilaku untuk pasien anak yang


masih usia muda, anak dapat belajar tentang pengalaman ke
dokter gigi dengan melihat anak-anak lain menerima
perawatan. Strategi ini tidak hanya mengajarkan anak yang
belum pernah menerima perawatan tentang apa yang
diharapkan darinya, tetapi lebih penting adalah
mendemonstrasikan apa yang diharapkan dari anak (Narwaty,
2008). Strategi ini efektif dalam mengatasi rasa takut selama
kunjungan pertama perawatan gigi pada pasien anak. Metode
ini dapat diterapkan dengan mudah dalam ruang praktik
(Melamed et al., 1975).

4.3 Kombinasi Perawatan Perilaku

Kombinasi perawatan perilaku menunjukkan hasil yang jauh


lebih baik. Penggunaan metode dengan menggabungkan
beberapa metode pada suatu paket perawatan. Pasien yang
takut diajarkan rileks dan kemudian menunjukkan film model
disaat rileks. Modeling dan desensitisasi dapat diterapkan
sekaligus, dengan pengkombinasian dua cara ini akan
diperoleh hasil yang memuaskan. Modeling dan desensitisasi
juga dapat mengurangi rasa cemas orang pada perawatan gigi
anaknya. Merubah perilaku dengan cara modeling dan
desensitisasi dapat diterapkan baik di klinik gigi maupun
praktik pribadi (Narwaty, 2008).

Anda mungkin juga menyukai