Anda di halaman 1dari 7

Workshop Tatalaksana Zoonosis: Leptospirosis

Workshop Pelatihan Penyakit Zoonosis di Hotel Inna Simpang


18-20 Mei 2017
Lembar Kerja

Menghitung Besar Risiko

KRONOLIGIS KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PACITAN


1. Berdasarkan laporan kontak person RSUD Dr. Dharsono Kabupaten Pacitan dan
petugas UPT Puskesmas Ketrowonojoyo kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Pacitan menyatakan bahwa telah terjadi kasus Leptospirosis yang dirawat di RSUD
Dr. Dharsono.
2. Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan melalukan PE ke RSUD dan domisili untuk
mengidentifikasi kasus dan faktor-faktor yang menyebabkannya dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan kasus serta memutus mata rantai penularan
3. Pada tanggal 17 Januari 2017 Kepala Dinas Kesehatan melaporkan adanya KLB
Leptospirosis kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, menggunakan
format W1 tertanggal 14 Januari 2017, dengan keterangan : telah terjadi 1 kasus
kematian suspek Leptospirosis di Ds. Gembuk, Wilayah Kerja Puskesmas
Ketrowonojoyo, Kecamatan Kebonagung (yang dilaporkan hanya kasus terakhir pada saat itu)
4. Pada tanggal 18 Januari Tim Surveilans Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
meluncur ke Kabupaten Pacitan, ternyata didapatkan data bahwa kasus telah
mencapai 7 orang dengan jumlah kematian 4 orang (CFR = 57,1% melebihi
angka nasional 30-50%).
5. Dari data ke 7 kasus tersebut didapatkan keterangan bahwa :
a. Kasus pertama mulai sakit pada tanggal 5 Desember 2016 (minggu 49),
kemudian hampir bersamaan (minggu 49-50) disusul 4 kasus lainnya dengan 3
kematian, dan di awal bulan Januari 2017 muncul kembali 1 kasus dan
meninggal.
b. Seluruh kasus telah mencari pertolongan pengobatan dengan benar, yaitu ke
petugas/ sarana pelayanan kesehatan (bidan/perawat dan dokter praktek).
c. Para bidan/perawat dan dokter praktek tersebut tidak mampu mendeteksi
adanya diagnose ke arah leptospirosis, walaupun sebagaian besar keluhannya
mengarah pada kemungkunan leptospirosis, seperti : demam tinggi dengan
disertai sakit kepala hebat, nyeri di betis, napsu makan menurun, mual dan
badan lemes.
d. Pada akhirnya para penderita berobat ke Puskesmas setelah 4-6 hari menderita
sakit, setelah dirawat inap di Puskesmas 1-3 hari dirujuk ke RSUD Pacitan dan 1
diantaranya dirujuk di RS Jogjakarta.

Tabel : Daftar nama kasus Leptospirosis di Kabupaten Pacitan, Periode 4 Desember


2016 s/d 20 Januari 2017.

Halaman 1 dari 7
Menghitung Besar Risiko

Tabel : Jumlah Kasus Leptospirosis dan Meninggal di Pacitan per Puskesmas,


Periode minggu 49 tahun 2016s/d minggu 2 tahun 2017

Pertanyaan
1. Simulasikan dengan penambahan data apa saja yang diperlukan.

2. Data yang tertera diatas merupakan jenis data apa? Sebagai bahan untuk analisis
resiko.

3. Apakah penyelidikan epidemiologis ini digolongkan sebagai mikro atau makro


dalam pendekatannya? Mengapa?

Halaman 2 dari 7
Menghitung Besar Risiko

4. Jenis penyelidikan epidemiologis analisis apa yang sedang Anda lakukan?

5. Hitung attributable risk dan interpretasikan makna jawaban Anda.

6. Hitung odds ratio dan interpretasikan makna jawaban Anda.

CATATAN: Relative risk, attributable risk, dan odds ratio dapat dihitung dengan
besaran prevalensi. Besaran asosiasi ini serupa dengan relative risk dan attributable
risk yang didefinisikan untuk incidence rates. Karena prevalensi merupakan fungsi dari
insiden (risiko) dan lamanya sakit, besaran-besaran asosiasi yang didasarkan pada
kasus-kasus yang merebak mencerminkan baik efek paparan terhadap insiden maupun
efeknya terhadap durasi atau kelangsungan hidup.

Terima kasih : Dinkes Pacitan atas dukungan data untuk workshop ini.

Halaman 3 dari 7
Menghitung Besar Risiko

Workshop Tatalaksana Zoonosis: Anthrax


Workshop Pelatihan Penyakit Zoonosis di Hotel Inna Simpang
18-20 Mei 2017
Lembar Kerja

Menghitung Besar Risiko

Skenario

Kronologi Kasus
Peternak menginformasikan bahwa kasus kematian sapi terjadi sejak awal Oktober
2014 (menjelang lebaran idul adha 1435 H) Pada saat itu satu ekor sapi terlihat sakit
dan dilaporkan ke petugas KUD setempat untuk diobati, karena tidak ada
perkembangan dan sapi ambruk maka sapi dipotong paksa dan dijual ke jagal. Selang
dua minggu kemudian terjadi lagi satu ekor sapi sakit dan ambruk, diobati oleh petugas
KUD tidak ada respon mem-baik sehingga sapi dipotong paksa dan dijual ke jagal.
Beberapa hari kemudian sakit lagi satu ekor, diobat petugas KUD tidak membaik sapi
dipotong paksa dan dijual ke jagal. Demikian seterusnya sampai tanggal 26 Nopember
2014 telah sakit dan dipotong paksa sebanyak 5 ekor. Jarak waktu kematian antar sapi
harinya makin lama makin pendek dan mulai tanggal 26 Nopember 2014 sampai 1
Desember 2014 kematian terjadi secara beruntun sebanyak 6 ekor, karena hampir
setiap hari mati satu ekor. Sampai dengan akhir Nopember, peternak selalu melapor ke
petugas KUD sehingga penanganan dan pengobatan dilakukan oleh petugas KUD
(Walujo, 2014). Pengobatan dilakukan tanpa menggunaan antibiotik, dengan
pertimbangan belum adanya diagnosa yang dikukuhkan laboratorium dan menghindari
adanya residu antibiotik pada produk susunya.
Pada tanggal 1 Desember 2014 terjadi lagi sapi sakit dan dipotong paksa dan sapi dijual
ke jagal. Karena kematian tidak kunjung berhenti maka peternak melapor ke Dinas
Peternakan setempat (Kab. Blitar). Berdasarkan laporan peternak kemudian dilacak
pemotongannya ke RPH Kota Blitar. Dengan merujuk pada laporan peternak dan dari
gejala sebelum sapi mati serta jumlah sapi yang mati maka dicurigai terhadap
kemungkinan adanya penyakit menular pada sapi terutama anthrax. Sebelum sapi
dibawa ke RPH telah dipotong paksa, dari hasil pemeriksaan ante mortum tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda mengeluarkan darah dari lubang-lubang tubuh maka
oleh keurmaster sapi diijinkan untuk diproses lebih lanjut di RPH di ruang potong darurat
yang tempatnya terpisah dari ruang potong utama. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
pemeriksaan postmortum oleh petugas keurrmaster dan menemukan adanya limpa
yang membesar sehingga pemotongan dihentikan kemudian memanggil petugas dari
Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten Blitar dan Laboratorium Malang. Dengan
pewarnaan sederhana yang dilakukan di laboratorium Blitar ditemukan adanya bakteri
bentuk batang menyerupai anthrax, sehingga dicurigai sapi terserang penyakit anthrax.
Karena dicurigai anthrax maka daging hasil pemotongan disita untuk selanjutnya
dimusnahkan (Walujo, 2014).
Investigasi dilakukan oleh tim Balai Besar Veteriner Wates pada tanggal 2 Desember
2014. Pada hari itu tim mengunjungi lokasi peternakan tempat terjadinya kasus

Halaman 4 dari 7
Menghitung Besar Risiko

kematian sapi. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan populasi sapi tinggal kurang
lebih 12 ekor dewasa dan 4 ekor pedet yang masih kecil-kecil. Sapi dewasa
dikandangkan terpisah dari pedet. Pada saat itu di kandang ditemukan satu ekor sapi
mati dan satu ekor dalam kondisi sakit dengan gejala klinis suhu tubuh tinggi, gelisah
dan mengeluarkan darah segar dari hidung /mimisan dan darah yang keluar mencemari
pakan dan lingkungan. Pengamatan pada sapi yang mati tidak terlihat adanya
pengeluaran darah baik dari mulut/hidung maupun dari anus. Sebagai bahan
pemeriksaan untuk pengujian di laboratorium, dari lokasi kandang diambil sampel
potongan telinga dari sapi mati, swab darah yang keluar dari hidung, swab dari anus
sapi mati, darah dari sapi sakit dan air/tanah dari limbah pembuangan. Karena di
kandang ditemukan banyak lalat yang mengerubungi darah yang tercecer, maka
dilakukan penangkapan beberapa ekor lalat untuk bahan kajian dan peme-riksaan lebih
lanjut. Dari proses pemotongan di RPH (tanggal 1 Desember 2014), oleh petugas RPH
telah diambil beberapa sampel untuk bahan pemeriksaan/konfirmasi laboratorium dan
untuk sementara lokasi RPH darurat ditutup dan didesinfeksi dengan formalin (Walujo,
2014). Gambar 1 sampai dengan gambar 6 disajikan di bawah ini.

Informasi Lain dari Peternak


Peternak pernah membeli sapi terakhir kali sapi betina di Ngancar, Kabupaten Kediri
kurang lebih setahun sebelum kejadian.
Pakan yang diberikan berupa : Comboran yang terdiri dari ampas tahu, ampas singkong
dan konsentrat, pakan lainnya dan rumput gajah dan jerami kering, Jadwal pemberian
pakan sebagai berikut : comboran menggunakan pencampuran pakan yang digunakan
adalah ampas singkong 60%, ampas tahu 35% dan konsentrat 5%, pakan ini diberikan
setelah dilakukan pemerahan susu pagi hari, setelah itu diberi pakan berupa jerami
kering, sore harinya diberi pakan rumput segar (rumput gajah).
Pakan didapatkan dari berbagai tempat, untuk ampas tahu didapatkan dari Mojokerto,
Blitar dan Punden, untuk Ampas singkong didapatkan dari Malang. Sedangkan
Konsentrat didapatkan dari KUD setempat. Rumput gajah didapatkan dari menanam
sendiri di sekitar kandang dan dari ma-syarakat sekitar, untuk jerami didapatkan dari
sawah di sekitar lokasi kandang. Informasi dari BPS Populasi sapi di Kabupaten Blitar
137.206 ekor, sedangkan populasi sapi di Kecamatan Srengat 8.491 ekor.

Jika anda dapat informasi seperti tersebut, maka :

Pertanyaan
1. Simulasikan dengan penambahan data apa saja yang diperlukan.

2. Data yang tertera diatas merupakan jenis data apa? Sebagai bahan untuk analisis
resiko.

3. Apakah penyelidikan epidemiologis ini digolongkan sebagai mikro atau makro


dalam pendekatannya? Mengapa?

4. Jenis penyelidikan epidemiologis analisis apa yang sedang Anda lakukan?

Halaman 5 dari 7
Menghitung Besar Risiko

5. Buat tabel 2 x 2 untuk mengorganisasikan data-data untuk menyelidiki besar risiko


yang terkait dengan pembelian sapi dari daerah endemis anthrax.

6. Hitung relative risk terkait dengan pembelian sapi dari daerah endemis anthrax dan
interpretasikan jawaban Anda.

7. Hitung attributable risk dan interpretasikan makna jawaban Anda.

8. Hitung odds ratio dan interpretasikan makna jawaban Anda.

CATATAN: Relative risk, attributable risk, dan odds ratio dapat dihitung
dengan besaran prevalensi. Besaran asosiasi ini serupa dengan relative risk dan
attributable risk yang didefinisikan untuk incidence rates. Karena prevalensi
merupakan fungsi dari insiden (risiko) dan lamanya sakit, besaran-besaran
asosiasi yang didasarkan pada kasus-kasus yang merebak mencerminkan baik
efek paparan terhadap insiden maupun efeknya terhadap durasi atau
kelangsungan hidup.

Terima kasih :

Halaman 6 dari 7
Menghitung Besar Risiko

Halaman 7 dari 7

Anda mungkin juga menyukai